BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil
amandemen) disebutkan, bahwa :Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradi lan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara dan oleh sebuah Makamah Konstitusi.
Berbeda dengan UUD
1945 sebelum amandemen, yang mengatur kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agungdan badan kehakiman di lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kekuasaan kehakiman
kita sekarang selain diselenggarakan olah Mahkamah Agung(MA) dan badan badan
peradilan di bawahnya dalam empat lingkungan peradilan juga oleh Mahkamah
Konstitusi (MK).
Kedudukan Mahkamah Agung sama, baik sebelum dan sesudah
amanden UUD 1945 merupakan puncak dari
badan badan peradilan di empat lingkungan peradilan. Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari 1
(satu) lingkungan peradilan umum dan 3
(tiga) lingkungan peradilan khusus yaitu
: agama, militer dan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan tersebut
masing-masing memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat pertama dan
banding. Badan-badan peradilan t ersebut berpuncak pada sebuah MA.
Untuk lingkungan peradilan tata usaha negara berdasarkan
Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang - Undang nomor 9
tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang - Undang nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
Kewenangan Pengadilan
untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal
dengan kompetensi atau kewenangan
mengadili. PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha
negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Ta ta Usaha Negara
(PT.TUN) untuk tingkat banding. Akan
tetapi untuk sengketa -sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi
berdasarkan Pasal 48 UU No. 5 tahun1986 jo UU
No. 9 tahun 2004 maka PT.TUN merupakan b adan peradilan tingkat pertama.
Terhadap putusan PT.TUN tersebut tidak ada upaya hukum banding melainkan
kasasi.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana PTUN di Indonesia?
2.
Bagaimana Kompetensi PTUN?
3.
Apa obyek dan subyek sengketa di ptun?
4.
Apa obyek dan subyek sengketa di ptun?
5. Apa subyek sengketa?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui bagaimana PTUN di Indonesia
2.
Mengetahui bagaimana Kompetensi PTUN
3.
Mengetahui obyek dan subyek sengketa di ptun
4.
Mengetahui obyek dan subyek sengketa di ptun
5.
Meengetahui subyek sengketa
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PTUN DI INDONESIA
Dalam UU No 5 Tahun 1986 untuk membentuk PTUN dengan
Keputusan Presiden (Keppres). Di
Indonesia sampai dengan sekarang ada 26 PTUN. Berdasarkan Keppres No. 52 Tahun
1990 tentang Pembentukan PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Keppres No. 16 Tahun 1992 tentang
Pembentukan PTUN di Bandung, Semarang dan Padang. Keppres No. 41 Tahun 1992
tentang Pembentukan PTUN Pontianak, Banjarmasin
dan Manado. Keppres No. 16 Tahun 1993 tentang Pembentukan PTUN Kupang, Ambon, dan Jayapura. Keppres No. 22 Tahun 1994
tentang Pembentukan PTUN Bandar Lampung, Samarinda dan Denpasar. Keppres No. 2
Tahun 1997 tentang Pembentukan PTUN Banda Aceh, Pakanbaru, Jambi, Bengkulu,
Palangkaraya, Palu,Kendari, Yogyakarta, Mataram dan Dili. Untuk wilayah hukum
PTUNDili, setelah Timor Timur merdeka bukan lagi termasuk wilayah Republik
Indonesia.
B. KOMPETENSI PTUN
Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk
mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi
absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk
mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi
absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut
obyek, materi atau pokok sengketa.
a.
Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh
batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatubadan pengadilan dinyatakan
berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang
bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hokum yang
menjadi wilayah hukum pengadilan itu. Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata
usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 54:Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo
UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan : Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di
ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah
Kabupaten/Kota.(2)Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota
Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi. Untuk saat sekarang
PTUN masih terbatas sebanyak 26 dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PT.TUN) ada 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasardi seluruh
wilayah Indonesia, sehingga PTUN wilayah hukumnya meliputi beberapa kabupaten
dan kota. Seperti PTUN Medan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi
Sumatera Utara dan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi provinsi-provinsi yang ada
di Sumatera.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan
atau tempat kediaman para pihak, yakni pihak Penggugatdan Tergugat.
Dalam
Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 diatur sebagai berikut :
Gugatan
sengketa tata usaha negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(1).
Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara.
(2).
Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan
tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan
kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(3).
Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang
bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan
kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Penggugat.
(4).
Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan
diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(5).
Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.
Dengan demikian gugatan pada prinsipnya diajukan ke
pengadilan di tempat tergugat dan hanya bersifat eksepsional di tempat
penggugat diatur menurut Peraturan Pemerintah. Hanya saja sampai sekarang
Peraturan Pemerintah tersebut belum ada.
b.
Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan
Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau
pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun
2004. Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul
dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan
Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1
angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004). Obyek sengketa Tata Usaha
Negara adalah Keputusan tata usaha negara sesuai Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU
No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.Namun ini, ada pembatasan pembatasan yang
termuat dalam ketentuan Pasal-Pasal UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004
yaitu Pasal 2, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 142.
Pembatasan ini dapat dibedakan menjadi : Pembatasan
langsung, pembatasasn tidak langsung dan pembatasan langsung bersifat
sementara.
1).
Pembatasan Langsung
Pembatasan
langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi PTUN untuk
memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Pembatasan langsung ini terdapat dalam Penjelasan Umum, Pasal 2 dan Pasal 49 UU
No. 5 Tahun 1986. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004
menentukan, bahwa tidaktermasuk Keputusan
tata
usaha negara menurut UU ini :
a.
Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b.
Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c.
Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
d.
Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
e.
Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f.
Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
g.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilihan umum.2.Pasal 49, Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata
usaha negara yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.
Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar
biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku.
b.
Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2).
Pembatasan Tidak Langsung Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan atas
kompetensi absolut yang masih membuka kemungkinan bagi PT.TUN untuk memeriksa
dan memutus sengketa administrasi, dengan ketentuan bahwa seluruh upaya
administratif yang tersedia untuk itu telah ditempuh. Pembatasan tidak langsung
ini terdapat di dalam Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004 yang menyebutkan, (1) Dalam
hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui
upaya administratif yang tersedia.(2)Pengadilan baru berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) jika seluruh upaya adminisratif yang bersangkutan telah
digunakan.(3) Pembatasan langsung bersifat sementara Pembatasan ini bersifat
langsung yang tidak ada kemungkinan sama sekali bagi PTUN untuk mengadilinya,
namun sifatnya sementara dan satu kali (einmalig).
Terdapat dalam Bab VI Ketentuan Peralihan Pasal 142 ayat (1)
UU No. 5 Tahun 1986 yang secara langsung mengatur masalah ini menentukan bahwa,
“ Sengketa tata usaha negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut UU
ini belum diputus oleh Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan
di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum”.
C. OBYEK dan SUBYEK SENGKETA di PTUN
1.
Obyek Sengketa
Obyek sengketa di PTUN adalah Keputusan tata usaha negara
sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 dan Keputusan fiktif negatif berdasarkan
Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.
a.
Keputusan Tata Usaha Negara :
Pengertian Keputusan tata usaha negara menurut pasal 1 angka
3 uu No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 ialah Suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.
Dari rumusan keputusan tersebut di atas, dapat ditarik
unsur-unsur yuridis keputusan menurut hukum
positip sebagai berikut:
1).
Suatu penetapan tertulis.
2).
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara.
3).
Berisi tindakan hukum tata usaha negara.
4).
Bersifat konkret, individual dan final.
5).
Menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.
b.
Keputusan tata usaha negara fiktif negatifObyek sengketa PTUN termasuk
keputusan tata usaha Negara yang fiktif negatif sebagai mana dimaksud Pasal 3
UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004, yaitu :
(1).
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya
maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2).
Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagai
mana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka
badan atau penjabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak
mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3).
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan
jangka waktu maka setelah lewat jangka waktu 4 bulan sejak diterimanya
permohononan, badan atau penjabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap
telah mengeluarkan keputusan. Jadi jika jangka waktu telah lewat sebagaimana
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau setelah lewat empat bulan
sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat tata usaha Negara itu tidak
mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, maka Badan atau Pejabat tata usaha
negara tersebut dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Sikap pasif Badan/Pejabat tata usaha negara yang tidak
mengeluarkan keputusan itu dapat disamakan dengan keputusan tertulis yang
berisi penolakan meskipun tidak tertulis. Keputusan demikian disebut keputusan
fiktif-negatif. Fiktif artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi
dapat dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis. Sedangkan negatif berarti
karena isi keputusan itu berupa penolakan terhadap suatu permohonan.
Keputusan fiktif negatif merupakan perluasan dari keputusan
tata usaha negara tertulis yang menjadi objek dalam sengketa tata usaha negara.
D.
SUBYEK SENGKETA
A.
Penggugat
Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha
negaratutan agar Keputusan tata usaha negara yang disengketakan dinyatakan
batal atau tidak sah dengan atau disertai tata usaha negaratutan ganti rugi dan
rehabilitasi. (Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun
2004).Selain itu pula Penggugat dapat mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan
keputusan tata usaha negara yang dijadikan obyek gugatan selama pemeriksaan
sengketa tata usaha negara sedang berjalan sampai ada putusan Pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2) UU
No.5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.
Kedudukan Mahkamah Agung sama, baik sebelum dan sesudah
amanden UUD 1945 merupakan puncak dari
badan badan peradilan di empat lingkungan peradilan. Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari 1
(satu) lingkungan peradilan umum dan 3
(tiga) lingkungan peradilan khusus yaitu
: agama, militer dan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan tersebut
masing-masing memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat pertama dan
banding. Badan-badan peradilan t ersebut berpuncak pada sebuah MA.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kedudukan Mahkamah Agung sama, baik sebelum dan sesudah
amanden UUD 1945 merupakan puncak dari
badan badan peradilan di empat lingkungan peradilan. Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari 1
(satu) lingkungan peradilan umum dan 3
(tiga) lingkungan peradilan khusus yaitu
: agama, militer dan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan tersebut
masing-masing memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat pertama dan
banding. Badan-badan peradilan t ersebut berpuncak pada sebuah MA.
Dalam UU No 5 Tahun 1986 untuk
membentuk PTUN dengan Keputusan Presiden
(Keppres). Di Indonesia sampai dengan sekarang ada 26 PTUN. Berdasarkan
Keppres No. 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan PTUN di Jakarta, Medan,
Palembang, Surabaya, Ujung Pandang.
Keppres No. 16 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN di Bandung.
Pengertian Keputusan tata usaha
negara menurut pasal 1 angka 3 uu No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 ialah
Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.