BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Zakat merupakan ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis dan menentukan. Baik dilihat dari sisi ajaran islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, sebagai ibadah pokok zakat termasuk salah satu rukun, (rukun ketiga ) dari rukun islam yang lima. Sehingga keberadaannya di anggap sebagai ma;luu minad-diin bidh-dharuroh atau di ketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.
Harta yang di miliki atau di inginkan untuk di miliki oleh manusia, pada kenyataanya sangat beragam dan berkembang terus menerus. Keragaman dan perkambangan tersebut berbeda dari waktu kewaktu, tidak terlepas kaitannya dengan ‘urf “adat” dalam lingkungan kebudayaan dan peradaban yang berbeda-beda. Di Indonesia, misalnya di bidang pertanian, disamping pertaniuan yang bertumpu pada pemenuhan kebutuhan pokok, kini sector pertanian sudah terkait dengan sector perdagangan, demikian pula sector perdagangan yang kini perkembangannya sangat pesat, mencakup komoditi perdagangan hasil bumi, hasil hutan, hasil laut dan sebagainya. Juga kegiatan jasa yang melahirkan profesi yang bermacam-macam seperti konsultan, tenaga kesehatan, tenaga pengajar, pegawai dan karyawan dalam berbagai kegiatan ekonomi.
Sector perdagangan dan perusahaan kini kini juga melebar pada perdagangan valuta asing, perdagangan saham, pasar modal, perdagangan saham, obligasi, sertifikat pasar modal dan surat-surat berharga lainnya.
Dalam kajian fiqih, timbul pertanyaan bagaimana menempatkan beragam komoditi dan jasa yang terus berkembang sebagai subyek atau objek zakat, termasuk yang berkaitan dengan nisbah, besarnya zakat, waktu pengeluarannya dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Terutama yang berkaitan dengan perkembangan ekonomi modern. Al-Qur’an merupakan rujukan dan sumber utama umat islam, menjelaskan bahwa sumber zakat ini dengan dua pendekatan. Yakni pendekatan ijmali ‘global’ segala harta yang dimiliki yang memenuhi persyaratan zakat dan pendekatan tafsili ‘terurai’ yang menjelaskan berbagai jenis harta yang apabila sudah memenuhi persyaratan zakat, maka wajib di keluarkan zakatnya
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan zakat perusahaan, saham, obligasi dan profesi ?
2. Berapakah nisab dan haul zakat perushan, saham, obligasi dn profesi ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar dapat mengetahui pengertian-pengertian tentang zakat.
2. Agar dapat mengetahui tentang haul dan nisab zakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Zakat Perusahaan
Perusahaan pada umumnya, mencakup tiga hal yang besar, pertama perusahaan yang menghasilkan produk-produk tertentu. Jika di kaitkan dengan kewajiban zakat, maka produk yang di hasilkan harus halal dan dimiliki oleh orang yang beragama islam, atau jika pemiliknya bermacam-macam agamanya, maka berdasarkan kepemilikan saham yang beragama islam, contohnya perusahaan sandang pangan, perusahaan kendaraan dan lain sebagainya.
Kedua, perusahaan yang bergerak di bidang jasa, seperti perusahaan di bidang akuntansi dan sebagainya. Ketiga, perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, misalnya lembaga keuangan, baik bank maupun non bank (asuransi, reksadana, money changer).
Adapun yang menjadi landasan hukum kewajiban zakat pada perusahaan adalah nash-nash yang bersifat umum, seperti dalam surat al-baqoroh : 267 dan ta- Taubah : 103. Juga hadist riwayat Imam Bukhori hadist ke 1448 dan di kemukakan kembali hadist ke-1450 dan 1451) dari Muhammad bin Abdillah al-Ashari, ia berkata bahwa Abu Bakar R.A telah menuliskan surat yang berisikan kewajiban yang di perintahkan Rasulallah SAW Yang artinya sebagai berikut:
“Dan janganlah disatukan (dikumpulkan) harta yang mula-mula terpisah, sebaliknya jangan pula di pisahkan harta yang pada mulanya bersatu, karena takut mengeluarkan zakat.dan harta yang di satukan dari dua orang yang berkongsi maka kembalikan padan keduaya secara sama.”
Hadist tersebut pada awalnya berdasarkan asbab al-wurud, adalah hanya berkaitan dengan perkongsian hewan ternak, sebagaimana di kemukakan dalam berbagai kitab fiqih, tetapi dengan dasar qiyas, (analogi) di pergunakan pula untuk berbagai syirkah perkongsian serta kerjasama usaha dalam berbagai bidang.
Sebagaimana yang di kemukakan Hadist riwayat Imam Abu Dawud, dari Abu Hurairoh R.A yang di marfu’kannya (dinisbahkan kepada Rasulallah SAW) bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT berfirman : Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berkonjungsi (berserikat) selama salah satunya tidak berkhianat dengan yang lainnya. Jika terjadi pengkhianatan maka aku akan keluar dari mereka.”
Berdasarkan hadist-hadist tersebut, keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha menjadi badan hukum (rech person).
Karena itu, muktamar interasional pertama tentang zakat menyatakan bahwa kewajiban zakat sangat terkait dengan perusahaan, dengan catatan adanya kesepakatan sebelumnya antara pemegang saham, agar terjadi keridhaan dan keikhlashan mengeluarkan kesepakatan itu. Seyogyamya di tuangkan dalam aturan perusahaan, sehingga sifatnya menjadi terikat.
Dalam kaitannya dengan kewajiban zakat perusahaan ini, dalam Undang-undang No. 38, Tahun 1997, tentang pengelolaan zakat Bab IV Pasal II ayat (2) bagian (b) di kemukakan bahwa di antara objek zakat yang wajib di keluarkan zakatnya adalah perdagangan dan perusahaan.
Secara umum, pola pembayaran dan perhitungan zakat perusahaan adalah sama dengan zakat perdagangan, demikian pula nishabnya adalah senilai 85 gram emas. Pola perhitungan zakat perusahaan di dasarkan pada laporan keuangan (neraca) dengan mengurangkan kewajiban kewajiban atas aktiva lancer atau seluruh harta (diluar sarana dan prasarana) di tambah keuntngan, di kurangi pembayaran utang dan kewajiban lainnya, lalu di keluarkan 2,5 % sebagai zakatnya. Sementara pendapatan lain ada yang menyatakan, bahwa yang wajib di keluarkan zakatnya itu hanyalah keuntungan saja.
2.2 Pengertian Zakat Saham
Salah satu bentuk harta yang berkaitan dengan perusahaan dan bahkan dengan kepemilikannya adalah saham.
Yusuf Al-Qordhowi mengemukakan dua pendapat yang berkaitan dengan kewajiban zakat pada saham. Pertama, jika perusahaan itu merupakan perusahaan industri murni artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan maka sahamnya tidak wajib di zakati. Misalnya hotel, travel dan angkutan.
Alasannya adalah saham-saham itu tidak terletak pada alat-alat, perlegkapan, gedung, sarana dan prasarana lainnya. Akan tetapi keuntungan yang ada di masukan kedalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya di keluarkan bersama zakat lainnya.
Pendapat ini pula di kemukakan oleh Syekh Abdurrahman Isa. Kedua, jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan dagang murni yang membeli dan menjual barang-barang, tanpa melakukan keguatan pengolahan seperti perusahaan yang menjual hasil-hasil industri. Seperti dagang internasional, perusahaan ekspor-impor, maka saham atas perusahaan itu wajib di keluarkan.Dari sudut hukum, saham termasuk kedalam harta yang wajib di keluarkan zakatnya. Kewajiban zakat ini di kaitkan dengan nash-nash yang bersifat umum, seperti at-Taubah : 103 dan Al-Baqoroh : 267 yang mewajibkan semua harta yang di miliki untuk di keluarkan zakatnya.
Zakat saham di analogikan pada zakat perdagangan, baik nishab maupun kadarnya. Yaitu nishabnya senilai 85 gram emas, dan kadarnya 2,5 %. Yusuf al Qahdhawi memberikan contoh jika seseorang memiliki saham senilai 100 dinar, kemudian di akhir tahun mendapatkan dividen (keuntungan) sebesar 200 dinar, maka ia hars mengeluarkannya sebesar 2,5 % dari 1.200 dinar. Atau sekitar 30 dinar.
Sementara itu, muktamar internasional pertama tentag zakat menyatakan bahwa, jika perusahaan telah mengeluarkn zakatnya sebelum dividen di bagikan kepada para pemegang saham, maka para pemegang saham tidak perlu lagi mengeluarkan zakatnya. Jika belum mengeluarkan zakat, maka para pemegang sahamlah berkewajiban mengeluarkan zakatnya.
2.3 Pengertian Zakat Obligasi
Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa obligasi adalah perjanjian tertulis dari bank, perusahaan atau pemerintah kepada pemegang untuk melunasi sejumlah pinjaman dalam masa tertentu dengan bunga tertentu pula. Yusuf Al-Qardhawi mengemukakan perbedaan saham dan obligasi. Saham merupakan bagian harta dari bank atau perusahaan. Sedangkan obligasi merupakan pinjaman kepada perusahaan atau, bank atau pemerintah.
Saham memberikan keuntungan sesuai dengan keuntungan perusahaan atau bank. Sedangkan obligasi memberikan keuntungan tertentu (bunga) atas pinjaman tanpa bertambah atau berkurang. Dividen saham hanya di bayar dari keuntungan bersih perusahaan, sedangkan bunga obligasi di bayar setelah waktu tertentu yang di tetapkan.
Selama perusahaan tidak memperoduksi barang-barang yang di larang maka saham menjadi salah satu obyek atau sumber zakat. Sedangkan obligasi terganntng kepada bunga yang termasuk riba yang di larang secara tegas oleh ajaran islam. Meskipun demikian sebagian ulama walaupun sepakat akan haramnya bunga, tetapi mereka tetap menyatakan bahwa obligasi adalah salah satu sumber sumber objek dalam perekonomian modern.
Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa jika obligasi itu kita bebaskan dari zakat, maka akibatnya orang lebih suka memanfaatkan obligasi dari pada saham. Dengan demikian orang akan terdorog untuk meninggalkan yang halal, dan melakukan yang haram, tetapi jika obligasi hanya tergantung pada bunga, maka bukan merupakan sumber zakat, karena zakat hanyalah di ambil dari harta yang baik dan halal, sementara bunga termasuk kategori riba, dan riba sangat jelas keharamannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT, Q.S Ali Imron : 130 yang artinya:
“Hai, orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Di dalam Surat Al-Baqoroh :278 yang artinya :
“Hai, orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan riba ( yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”(Q.S Al-Baqoroh :278 )
Cara menghitung zakat saham dan obligasi adalah 2,5% atas jumlah terendah dari semua saham / obligasi yang dimiliki selama setahun, setelah dikurangi pinjaman untuk membeli saham / obligasi tersebut.
Jadi pada hakikatnya baik saham maupun obligasi merupakan suatu bentuk penyimpanan harta yang potensial berkembang. Oleh karenanya masuk kedalam kategori harta yang wajib dizakati, apabila telah mencapai nisab. Zakatnya sebesar 2,5% dari nilai kumulatif rill bukan nilai nominal yang tertulis pada saham dan obligasi tersebut, dan zakat itu dibayarkan setiap tahun.
2.4 Pengertian Zakat Profesi
Yusuf Al-Qordowi menyatakan bahwa diantara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslim saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang di usahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukan secara sendiri, misalnya, profesi dokter, arsitek, ahli hukum dan sebagainya maupun yang di lakukan secara bersama-sama misalnya pegawai (pemerintah maupun swasta) dengan memakai system upah atau gaji.
Wahab al-Zuhaili mengemukakan kegiatan penghasilan atau pendapatan yang di terima seseorang melalui usaha sendiri (wirausaha) seperti dokter, ahli hukum, penjahit dan sebagainya. Dan juga terkait dengan pemerintah (pegawai negri) atau pegawai swasta yang mendapatkan gaji dan upah, dalam waktu yang relative tetap. Seperti sebulan sekali.
Penghasilan atau pendapatan yang semacam ini dalam istilah fiqh di katakana al-maal al-mustafaad. Fatwa ulama yang di hasilkan pada waktu Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di kwait tanggal 29 Rojab 1404 H. ( 30 April 1984 M.), Bahwa salah satu kegiatan yang menghasilkan kekuatan bagi manusia sekarang adalah kegiatan profesi yang menghasilkan amal bermanfaat baik yang di lakukan sendiri, seperti kegiatan dokter, arsitek dan sebagainya.
Maupun yang di lakukan secara bresama-sama seperti karyawan atau para pegawai. Semua itu menghasilkan pendapatan gaji. Secara global, Allah telah menyatakan mengenai zakat pendapatan dengan redaksi “min thayyibati maa kasabtum” (Q.S. Al-Baqoroh 2 : 267) sebagaimana di terangkan dalam hadist “ Barang siapa yang mendapatkan harta, dia tidak wajib zakat hingga harta tersebut telah dimilikinya, selama satu tahun.”
(H.R Turmudzi, dari Ibnu Umar ).
Menurut Yusuf Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara:
1. Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor secara langsung, setelah penghasilan diterima. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang tidak mempunyai tanggungan/ kecil tanggungannya. Contoh: Seseorang yang masih lajang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.
2. Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang mempunyai tanggungan. Contoh: Seseorang yang sudah berkeluarga dan punya anak dengan penghasilan Rp 3.000.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp 1.500.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X (3.000.000-1.500.000)=Rp 37.500 per bulan atau Rp 450.000,- per tahun.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Zakat merupakan ibadah maaliyah ijtimaa’iyyah artinya ibadah di bidang harta yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam membangun masyarakat. Jika zakat di kelola dengan baik, baik dalam pengambilannya maupun pendistribusianya pasti akan dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat.
2. Sector ekonomi modern potensial sebagai harta wajib zakat adalah zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat berharga, zakat perdagangan mata uang, dan sumber zakat modern lainnya
3. Di dalam menentukan sumber atau objek zakat atau harta yang wajib di keluarkan zakatnya, Al-Qur’an dan hadist mempergunakan dua metode tafsil dan pendekatan ijmal (global).
DAFTAR PUSTAKA
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta : 2002 PT Gema Insani Press.
Yusuf Al-Qhardhawi, Fiqih Zakat : Beirut, Muassasah, 1991
Hassan Saleh, Kajian Fiqih Nabawi Dan Fiqih Kontemporer, Jakarta, 2008. PT Raja Grafindo Persada.