BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemerintahan
lokal merupakan sendi dari negara Kesatuan yang demokratis. Keberadaan
Pemerintahan Lokal (otonom) merupakan bentuk pengakuan terhadap karakteristik
atau ciri masing-masing wilayah negara, dan merupakan pencerminan dari prinsip
negara hukum yang demokratis.
Keberadaan
Pemerintahan Lokal di dalam suatu negara, khususnya di Indonesia pernah
menimbulkan perdebatan di lingkungan akademis terkait dengan peristilahannya.
Ada yang mempergunakan istilah Pemerintahan
di Daerah dan ada pula yang mempergunakan istilah Pemerintahan Daerah. Bagi kalangan awam kedua peristilahan tersebut
dianggap mengandung pengertian yang sama, padahal jika ditelaah lebih dalam
antara satu dengan yang lain terkandung perbedaan yang bersifat prinsipiil.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Pemerintahan Lokal?
2. Bagaimana Bentuk Pemerintahan Lokal?
3. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan
Lokal?
4. Apa Saja Sistem Rumah Tangga Riil?
5. Beberapa Periode Sejarah Pemerintahan
Lokal di Indonesia.
C.
Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini untuk melengkapi tugas mata kuliah pada mata
kuliah Hukum Tatanegara. Adapun
tujuan yang lain nya supaya menambah wawasan bagi mahasiswa mengenai apa itu
Pemerintahan Lokal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peristilahan
Istilah
Pemerintahan Daerah, lebih tepat
dipergunakan untuk menyebut satuan pemerintahan di bawah pemerintah pusat yang
memiliki wewenang pemerintahan sendiri. Dalam konteks UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Istilah
Pemerintahan Daerah lebih tepat
dipergunakan untuk menyebutkan kegiatan yang dilakukan oleh Daerah Otonom dalam
melaksanakan urusan atau wewenang pemerintahan sendiri.
Istilah
Pemerintahan di Daerah pernah
digunakan di Indonesia pada waktu dasar penyelenggaraannya mempergunakan UU No.
5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Istilah ini sebenarnya
lebih tepat dipergunakan untuk menyebutkan satuan-satuan atau organ-organ
Pemerintahan Pusat yang ditempatkan di daerah dalam rangka menyelenggarakan sistem
pemerintahan dalam arti luas.
Menurut
Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 mengatur mengenai Pemerintahan Daerah, bukan
Pemerintahan di Daerah, karena Pemerintahan di Daerah pada hakikatnya merupakan
unsur tata laksana penyelenggaraan Pemerintahan Pusat sebagai cerminan dari
pelaksanaan asas dekonsentrasi.
B.
Bentuk Pemerintahan Lokal
Di
dalam Amandemen UUD 1945 telah diberikan garis secara tegas mengenai
penyelenggaraan pemerintahan lokal di Indonesia. Garis tegas tersebut
menyangkut pemberian otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sendiri, serta pengakuan kepada
daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa termasuk kesatuan-kesatuan
masyarakat adat asalkan tidak melanggar batas-batas dari Prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hal ini berarti setelah Amandemen UUD 1945 titik tolak
penyelenggaraan pemerintahan lokal hanya ditekankan pada otonomi daerah.
Dalam
khasananh teori Hukum Tata Negara dikenal Pula adanya dua bentuk
penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal. Kedua bentuk pemerintahan
tersebut adalah:
1. Pemerintahan Lokal Administratif, yakni
satuan-satuan pemerintahan lokal di bawah pemerintahan pusat yang semata-mata
hanya menyelenggarakan aktifitas pemerintahan pusat di wilayah-wilayah Negara.
Satuan pemerintahan lokal seperti ini pada hakikat nya hanya merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintahan Pusat. Pemerintahan ini hanyalah
merupakan kegiatan-kegiatan atau aktifitas pemerintahan yang dilakukan oleh
organ-organ pemerintah pusat yang ditempatkan di wilayah-wilayah Negara.
2. Pemerintahan Lokal Otonom, yakni
satuan-satuan pemerintahan lokal yang berada di bawah pemerintahan pusat yang
berhak berwenang menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat setempat.
Kedua
bentuk penyelenggaraan Pemerintahan Lokal tersebut pernah dilakukan secara
bersama-sama dalam satu wilayah. Hal ini nampak jelas ketika politik
perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia mempergunakan UU
No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Di dalam
undang-undang ini dinyatakan bahwa di dalam satu wilayah akan terdapat
pemerintahan daerah Otonom dan Wilayah Administratif.
Menurut
Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah setelah reformasi 1998
dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan lokal tersebut sudah dipisahkan secara
tegas. Baik UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 tahun 2004 menegaskan bahwa
pemerintahan Lokal Otonom hanya dilaksanakan di kabupaten dan kota, sedangkan
untuk penyelenggaraan pemerintahan lokal administratif dan otonom dilaksanakan
secara bersama-sama di provinsi yang dalam hal ini dilakukan oleh gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Hal ini nampak dari ketentuan Pasal 9
UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan:
1. Kewenangan provinsi sebagai daerah
otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas
kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu
lainnya.
2. Kewenangan provinsi sebagai daerah
otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah
kabupaten dan Daerah Kota.
3. Kewenangan Propinsi sebagai wilayah
administratif mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan
kepada gubernur selaku wakil pemerintah.
Sedangkan
menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 nampak dari ketentuan Pasal 37 ayat 1
yang menyatakan bahwa Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai
wakil pemerintahan di wilayah provinsi yang bersangkutan.
C.
Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Lokal
Dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan Lokal dikenal adanya 4 (empat) asas
penyelenggaraan, yaitu:
1.
Asas Sentralisasi.
Asas
Sentralisasi yaitu suatu asas pemerintahan yang terpusat, artinya tidak dikenal
adanya penyerahan wewenang atau urusan pemerintahan kepada bagian-bagian
(daerah/wilayah) negara. Semua kewenangan pemerintahan baik ditingkat pusat
maupun di tingkat lokal berada di tangan pemerintah pusat, kalaupun ada
kewenangan yang berada di pemerintahan lokal, hal itu semata-mata hanya
menjalankan perintah dari pemerintah pusat saja. Pemerintah Lokal termasuk
pejabat-pejabatnya di tingkat lokal hanya melaksanankan kehendak atau
kebijaksanaan dari pemerintah pusat. Tidak dikenal adanya inisiatif atau
prakarsa dari pemerintahan lokal.
2.
Asas Desentralisasi.
Asas
desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan
pemerintahan dari Pemerintah Pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang
lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga
menjadi urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah
itu, baik mengenai politik kebijaksanaan, perencanaan, dan pelaksanaannya
maupun mengenai segi-segi pembiayaannya. Perangkat pelaksanaannya adalah
perangkat daerah sendiri.
Menurut
Hans Kelsen, pengertian desentralisasi berkaitan dengan pengertian negara.
Menurut nya negara itu nerupakan tatanan hukum (legal order). Oleh sebab itu
pengertian desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan hukum dalam
suatu Negara. Di dalam Negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk
seluruh wilayah negara yang sering disebut sebagai kaidah sentral (central
norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian
wilayah yang berbeda yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or
local norm). Jadi menurut Hans Kelsen, apabila kita membicarakan tatanan hukum
yang desentralik, maka hal ini akan dikaitkan dengan lingkungan tempat
berlakunya suatu tatanan hukum yang berlaku sah tersebut.
Menurut
Bagir Manan desentralisasi adalah bentuk dari susunan organisasi negara yang
terdiri dari satuan-satuan Pemerintahan Pusat dan satuan pemerintahan yang
lebih rendah yang dibentuk baik berdasarkan teritorial ataupun fungsi pemerintahan
tertentu.
Menurut
Irawan Soedjito desentralisasi memiliki arti sebagai pelimpahan wewenang
pemerintahan untuk dilaksanakan.
Sedangkan Joeniarto mengatakan bahwa desentralisasi adalah asas yang bermaksud
memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk
mengatur dan menurus rumah tangga sendiri.
Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut, maka asas desentralisasi pada prinsipnya
adalah:
1. Penyerahan urusan atau wewenang
pemerintahan dari pemerintah atau pemerintahan lokal tingkat yang lebih atas
kepada daerah untuk menjadi urusan atau wewenang pemerintahan sendiri.
2. Merupakan suatu asas yang bermaksud
melakukan pembagian wilayah negara menjadi daerah besar dan daerah kecil yang
berhak atau berwenang mengatur urusan pemerintahan (rumah tangga) sendiri
3. Merupakan suatu asas yang bermaksud
membentuk pemerintahan lokal yang berwenang menyelenggarakan pemerintahan
sendiri atas dasar inisiatif atau prakarsanya masing-masing
4. Merupakan manifestasi bentuk susunan
organisasi negara ditinjau dari bangunannya yang terdiri dari pemerintahan
pusat dan pemerintahan lokal serta dibentuk berdasarkan aspek teritorial maupun
atas dasar fungsi pemerintahan tertentu.
Desentralisasi
sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan lokal merupakan salah satu
pilar yang dipergunakan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan negara yang
mempergunakan prinsip negara hukum yang demokratis. Penggunaan asas
desentralisasi ini di samping bertujuan untuk menyelenggarakan sistem
pemerintahan yang efektif dan efisien juga dilandasi oleh beberapa latar
belakang prinsipiil. Latar belakang perlunya desentralisasi, khususnya di dalam
Negara Kesatuan adalah:
1. Prinsip Negara Hukum
2. Prinsip Demokrasi
3. Prinsip Welfare State
4. Prinsip Kebhinekaan
Berdasarkan
prinsip-prinsip latar belakang tersebut maka secara konseptual teoritis dikenal
adanya bentuk-bentuk desentralisasi sebagai berikut:
1. Desentralisasi Teritorial, yakni
penyerahan urusan pemerintahan atau pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan
suatu urusan pemerintahan dari pemerintah pusat/daerah tingkat yang lebih atas
kepada badan-badan yang bersifat kewilayahan (teritorial).
2. Desentralisasi Fungsional, yakni
penyerahan urusan-urusan pemerintahan atau pelimpahan wewenang untuk
menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau daerah
tingkat yang lebih atas kepada badan-badan fungsional tertentu.
3. Desentralisasi politik, yakni pelimpahan wewenang dari pemerintah yang menimbulkan hak mengurus
kepentingan rumah tangga sendiri dari badan-badan politik di daerah-daerah yang
dipilih rakyat dalam daerah-daerah tertentu.
4. Desentralisasi Kebudayaan, yaitu
memberikan hak kepada golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas)
untuk menyelenggarakan kebudayaan sendiri seperti mengatur pendidikan, agama
dan lain sebagainya. Dalam kebanyakan negara kewenangan ini diberikan pada
kedutaan asing demi pendidikan warga negara masing-masing negara dari kedutaan
yang bersangkutan. Dengan demikian sebenarnya desentralisasi yang seperti ini
bukan merupakan bentuk penyelenggaraan pemerintahan lokal. Dalam konteks
Indonesia, desentralisasi ini nampak dalam ketentuan Pasal 18B UUD 1945.
3.
Asas Dekonsentrasi.
Asas dekonsentrasi pada hakikatnya merupakan bentuk penghalusan dari asas
sentralisasi. Dikatakan demikian, karena di dalam penyelenggaraanya peran dan
kedudukan pemerintah pusat masih sangat mendominasi dalam menentukan asas-asas
(prinsip-prinsip) maupun carap enyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat
daerah. Dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi pemerintah pusat menempatkan
pejabat-pejabatnya di daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan pusat.
Didalam asas dekonsentrasi ini yang ditekankan adalah aspek pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang bertindak
sebagai wakil dan ditempatkan di daerah.
Menurut undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang pernah dan sedang
berlaku di Indonesia, asas dekonsentrasi mengalami perubahan konseptual yang
cukup signifikan. Di dalam Pasal 1 huruf f UU No. 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dinyatakan bahwa dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi
Vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Ketentuan seperti
ini berbeda dengan ketentuan yang dirumuskan oleh undang-undang setelah
reformasi.
a.
Pasal 1 huruf f UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah,
menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah.
b.
Pasal 1 angka 8 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansivertikal diwilayah tertentu.
Ditinjau dari pengertian dan makna yang
terkandung didalamnya, maka pada hakikatnya asas dekonsentrasi, adalah:
a.
Merupakan manifestasi dari penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang
mempergunakan asas sentralisasi yang dipersempit atau diperhalus
b.
Merupakan manifestasi pelimpahan wewenang pemerintahan dari pemerintah
kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
c.
Merupakan manifestasi penyelenggaraan tata laksanana pemerintahan umum
pusat di daerah.
d.
Dalam pelaksanaannya, asas dekonsentrasi tidak mengakibatkan adanya
kewenangan dari suatu daerah atau organ Pemerintahan untuk menentukan sendiri
kebijaksanaan-kebijaksanaan, atau dengan kata lain tidak memiliki otonomi.
Kewenangan, pendanaan, sarana dan prasarana, serta arah kebijakan untuk
pelaksanaannya ditentukan semuanya oleh Pemerintah Pusat, sedangkan
pejabat-pejabat yang dimaksud hanya melaksanakan perintah.
Pada zaman Orde Baru, melalui UU No. 5 Tahun 1974 pelaksanaan asas
dekonsentrasi dilakukan secara bersama-sama dengan asas desentralisasi. Dengan
mempergunakan konsep seperti ini, maka UU tersebut berwatak sentralistik,
sehingga otonomi daerah tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan
tidak ada otonomi daerah.
4.
Asas Medebewind.
pengertian asas
medebewind (Tugas Pembantuan) tercantum dalam Pasal 1huruf d yang menyatakan bahwa
tugas pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintahan Daerah oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah tingkat atasnya, dengan kewajiban mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan. Sementara itu menurut Pasal 1 huruf g UU No. 22 Tahun
1999, tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa
ilari dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai
pembiayaan, saranadan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 9UU No. 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa tugas
pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kotadan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dari ketiga UU
tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam pengertian tugas pembantuan
tersebut yang masih menyertakan adanya kewajiban untuk mempertanggung jawabkan
kepada pihak yang menugaskan adalah UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 22 tahun
1999, sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 sudah tidak menyertakan lagi aspek
pertanggungjawaban dalam merumuskan pengertian tugas pembantuan. Undang-undang
yang terakhirini tidak menyertakan aspek pertanggungjawaban dalam merumuskan
pengertian tugas pembantuan karena, asas ini sebenarnya merupakan langkah uji
coba untuk melakukan penyerahan secara penuh urusan-urusan pemerintahan
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah kabupaten/Kota.
Asas medebewind (tugas pembantuan) merupakan bentuk desentralisasi
atau otonomi tidak penuh. Asas ini diperlukan untuk sarana uji coba kesiapan
bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sendiri. Oleh
sebab itu sebenarnya kebijaksanaan pemekaran daerah yang sering menimbulkan
konflik di tingkat masyarakat dapat dilakukan dengan mempergunakan asas
initerlebih dahulu. Namun dalam praktek sekarang ini, justru pemekaran daerah
tidak dilalui dengan langkah uji coba melalui asas medebewind, sehingga secara
empiris daerah-daerah hasil pemekaran itu tidak menunjukkan kesiapan untuk
melaksanakan otonomi penuh. Pemekaran daerah lebih kental nuansa kepentingan
politiknya.
D.
Sistem Rumah Tangga Daerah.
Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan
yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab
mengatur dan mengurus urusanp emerintahan antara pusat dan daerah. Salah satu
penjelmaan pembagian tersebut, daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan
pemerintahan baik itu atas dasar penyerahan atau pengakuan atau yang dibiarkan
sebagai urusan rumah tangga daerah. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan lokal dikenala danya tiga sistem rumah tangga daerah, yaitu:
sistem rumah tangga materiil, sistem rumah tangga formil, dan sistem rumah
tangga nyata (riil).
1.
Sistem Rumah Tangga Materiil.
Pada hakikatnya sistem rumah tangga ini
berpijak dari isiatau subtansi (materi) dari urusan atau wewenang pemerintahan
yang dapat diserahkan kepada daerah. Secara singkat sistem rumah tangga
materiil ini mengandung sifat-sifat sebagai berikut:
a.
Isi atau urusan rumah tangga daerah yang merupakan wewenang dari
pemerintahan lokal telah ditentukan secarategas.
b.
Ada pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab yang rinci antara pusat
dan daerah.
c.
Secara kodrati antara wewenang pemerintah pusat dan wewenang pemerintah
daerah sudah dapat dipisahkan.
d.
Daerah berhak mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sebagai urusan
rumah tangga sendiri apabila urusan tersebut telah diserahkan kepada daerah.
Penyerahan tersebut harus berdasarkan pada prinsip pembedaan urusan
pemerintahan antara pusat dan daerah.
e.
Sistem rumah tangga ini berpangkal tolak dari asumsi bahwa memang ada
pembedaan yang mendasar antara urusan pemerintahan pusat dan urusan
pemerintahan daerah. Artinya daerah tidak berhak menyelenggarakan kewenangan
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, jikalau urusan tersebut
merupakan urusan pusat.
2.
Sistem Rumah Tangga Formil.
Sistem rumah tangga formil berpangkal
tolak dari asumsi bahwa antara urusan atau wewenang pemerintahan pusat dan
daerah tidak ada perbedaan yang substansiil. Oleh sebab itu ciri-ciri dari
sistem rumah tangga ini, adalah:
a.
Merupakan bentuk penyempurnaan dari sistem rumah tangga materiil.
b.
Tidak ada perbedaan antara urusan pusat dan urusan daerah.
c.
Daerah dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tanpa harus menunggu
adanya penyerahan.
d.
Penyerahan urusan pemerintahan harus dilaksanakan secara formal melalui UU
desentralisasi.
Menurut Sujamto, dalam sistem rumah tangga
formil, urusan-urusan yang termasuk ke dalam urusan rumah tangga daerah tidak apriori
harus ditetapkan dengan undang-undang.
Bagir Manan mengemukakan bahwa menurut
sistem rumah tangga formil isi rumah tangga daerah tidak diberikan (toekennen) tetapi sesuatu yang
dibiarkan tumbuh (toelaten) atau diberipengakuan (erkennen).
Menurut Bagir Manan, ditinjau dari perspektif
hubungan antara pusat dan daerah, sepintas sistem rumah tangga formil
memberikan peluang kuatnya desentralisasi dan kuatnya otonomi. Namun dalam
kenyatannya tidaklah demikian. Sistem rumah tangga formil merupakan sarana yang
baik untuk mendukung sentralisasi. Ketidak pastian urusan rumah tangga daerah,
akan menjelmakan daerah yang serba menunggu dan tergantung dari pusat.
3.
Sistem Rumah Tangga Nyata (Riil).
Sistem rumah tangga nyata (riil) merupakan
bentuk penyempurnaan dari kedua sistem rumah tangga terdahulu. Disebut nyata
karena isi kewenangan pemerintahan bagi daerah di dasarkan pada keadaan atau
faktor-faktor nyata yang ada di suatu daerah. Koesoemahatmadja mengatakan bahwa
bagaimanapun juga sistem rumah tangga riil itu mengandung unsur-unsur dari
sistem rumah tangga materiil dan sistem rumah tangga formil. Jadi merupakan
jalan tengah atau campuran antara kedua sistem tersebut, sehingga bagaimanapun
juga merupakan sistem tersendiri.
Menurut Bagir Manan berdasarkan ciri-ciri
yang ada tidaklah berlebihan jikalau dikatakan bahwa rumah tangga nyata memang
mencerminkan sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem rumah tangga formil
dan sistem rumah tangga materiil. Lebih lanjut dikatakan bahwa ciri-ciri sistem
rumah tangga Rill adalah:
a.
Adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah
otonom, memberikan kepastian mengenai urusan tangga daerah. Hal semacam ini
tidak mungkin terjadi pada sistem rumah tangga formil.
b.
Di samping urusan rumah tangga yang ditetapkan secara materiil,
Daerah-daerah dalam rumah tangga nyata, dapat mengatur dan mengurus pula
semua urusan pemerintahan bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus
olehpusat atau daerah tingkat lebih
atas.
c.
Otonomi dalam rumah tangga nyata di dasarkan kepada faktor-faktor nyata
suatu daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan rumah tangga
daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.
Dari pandangan tersebut dapat dipahami
bahwa sistem rumah tangga nyata mengandung unsur sistem rumah tangga materiil
dan sistem rumah tangga formil.
Bagir Manan mengemukakan bahwa diantara
kedua unsur (materiil dan formil) tersebut yang paling utama adalah unsur
formil, sebab unsur inilah yang memberikan jalan bagi perkembangan inisiatif
dan kreatifitas daerah.
E.
Sejarah Pemerintahan Lokal di Indonesia.
Sebelum bangsa Indonesia membentuk suatu
organisasi kekuasaan yang disebut negara melalui Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 di wilayah Indonesia (HindiaBelanda) sudah banyak dijumpai adanya
satuan-satuan pemerintahan asli yang menyelenggarakan sistem pemerintahan
sendiri. Penyelenggaraan organisasi pemerintahan yang dimaksud ini berlandaskan
pada hukum asli Indonesia (Hukum adat), dan pelaksanaannya masih bersifat
tradisional serta pada umumnya bercorak feodalistik. Contohnya kerajaan,
kasultanan, dan kasunanan.Setelah bangsa asing khususnya Belanda masuk di
bumi Nusantara ini, keberadaan satuan-satuan pemerintahan aslitersebut masih
tetap dipertahankan (diakui), bahkan menjadi alat bagi Pemerintah Kolonial
untuk meneguhkan hegemoninya dalam menguasai Indonesia. Kondisi yang demikian
inilah mengakibatkan otonomi dari masing-masing satuan pemerintahan asli
Indonesia mulai dibatasi. Bahkan disana-sini dapat dikatakan mulai tidak
memiliki otonomi lagi.Hal ini mengingat sistem pemerintahan yang dikembangkan
oleh Pemerintah Kolonial bersifat sentralistik.
Berdasarkan gambaran singkat tersebut,
maka perjalanan sejarah Pemerintahan Lokal di Indonesia dapat dibagi
menjadibeberapa periode:
1.
Masa Pemerintahan Hindia belanda.
2.
Masa Pendudukan Bela Tentara Jepang.
3.
Masa Kurun Waktu Berlakunya UUD 1945 Periode I.
4.
Masa Berlakunya Konstitusi RIS.
5.
Masa Berlakunya UUDS 1950.
6.
Masa Berlakunya UUD 1945 Periode Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
7.
Masa Berlakunya UUD 1945 di bawah Orde Baru.
8.
Masa Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi (setelah Amandemen UUD 1945).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggara
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam
khasananh teori Hukum Tata Negara dikenal Pula adanya dua bentuk
penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal. Kedua bentuk pemerintahan
tersebut adalah: Pemerintahan Lokal
Administratif dan Pemerintahan Lokal Otonom.
Dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan Lokal dikenal adanya 4 (empat) asas
penyelenggaraan, yaitu: Asas Sentralisasi, Asas Desentralisasi, Asas
Dekonsentrasi, Asas Madebewind.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal dikenaladanya tiga sistem rumah
tangga daerah, yaitu: sistem rumahtangga materiil, sistem rumah tangga formil,
dan sistem rumahtangga nyata (riil).
Perjalanan sejarah Pemerintahan Lokal di
Indonesia dapat dibagi menjadibeberapa periode:
1.
Masa Pemerintahan Hindia belanda.
2.
Masa Pendudukan Bela Tentara Jepang.
3.
Masa Kurun Waktu Berlakunya UUD 1945 Periode I.
4.
Masa Berlakunya Konstitusi RIS.
5.
Masa Berlakunya UUDS 1950.
6.
Masa Berlakunya UUD 1945 Periode Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
7.
Masa Berlakunya UUD 1945 di bawah Orde Baru.
8.
Masa Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi (setelah Amandemen UUD 1945).
Daftar Pustaka
Cipto Handoyo,Hestu. 2015. Hukum Tata Negara Indonesia. Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka
Kansil,C.S.T.
2000. Hukum Tata Negara Republik
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.