BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Membahas tentang tujuan hukum (maqashid syariah), tak lepas dengan pemahaman terhadap pengertian
hukum Islam. Kata hukum senantiasa bergandengan dengan pengertian
kebijaksanaan. Maksudnya, orang yang memahami hukum lalu mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari dianggap orang bijaksana. Selain itu, akar kata dapat
melahirkan kata artinya kendali, yaitu hukum dapat mengendalikan atau mengekang
seseorang dari hal-hal yang sebenarnya dilarang oleh agama.
Setiap peraturan yang dibuat pasti memiliki tujuan
yang hendak dicapai oleh pembuatnya. Jika meninjau pada hukum positif maka
tujuannya adalah untuk ketenteraman masyarakat, yaitu mengatur sebaik-baiknya
sangat menentukan batas-batas hak dan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat
dalam hubungan satu sama lain. Tujuan-tujuan yang bernilai tinggi dan abadi
tidak menjadi perhatian aturan-aturan pada hukum positif kecuali hukum Islam
yang sudah menjadi hukum positif.
Islam sebagai (agama) Wahyu dari Allah SWT yang
berdimensi rahmatan lil al’alamin
memberikan pedoman hidup kepada manusia secara menyeluruh, menuju tercapainya
kebahagiaan hidup rohani dan jasmani serta untuk mengatur tata kehidupan
manusia baik secara individu maupun masyarakat. Sebaliknya, persepsi atas
konsep hukum di luar Islam semata-mata menekankan pada sisi kehidupan
bermasyarakat, sementara aturan yang berkaitan dengan sisi kehidupan individu
tidak dinamakan hukum tapi disebut Norma budi pekerti, atau sisila. Alasannya
kerana hukum sebagai produk dari hasil proses kehidupan manusia dalam
bermasyarakat, di mana ada masyarakat di sanalah terdapat hukum. Dalam makalah
ini kami akan menjelaskan mengenai tujuan hukum islam secara lebih jelas.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa tujuan
dari hukum islam?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui
Tujuan Hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tujuan Hukum Islam
Secara umum tujuan terciptanya dan penetapan hukum oleh Allah SWT yakni
untuk kepentingan, yakni untuk kepentingan, kemaslahatan, dan kebahagiaan
manusia seluruhnya, baik di dunia mahupun di akhirat. Ungkapan tersebut dalam
Al-Qur'an surah Al-Baqarah
(2):201-202, alih bahasanya:
"Dan
diantara mereka orang yang berdo:" Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat bagian daripada yang mereka usahakan dan Allah
sangat cepat perhitungan-Nya."
Tujuan Al-Qur'an, menurut Abu Zahra, yaitu pensucian
jiwa, penegakan keadilan dan perwujudan kemaslahatan. Pensucian jiwa dimaksudkan
agar setiap muslim dalam setiap aktivitas dapat menjadi sumber kebaikan bagi
masyarakat di lingkungannya. Pendekatan dengan banyak melakukan ibadah yang
disyariatkan, karena dengan ibadah tersebut dapat membersihkan jiwa dan dapat
memperkukuh hubungan ketika kesetiakawanan sosial (ukhuwah islamiyah, ukhuwah
insaniyah dan ukhuwah wathoniyah). Penegakan keadilan diharapkan dapat terwujud
dalam kehidupan masyarakat muslim, yaitu keadilan yang bertalian dengan sesama
umat Islam maupun dalam berhubungan dengan umat yang berbeda keimanan.
Pendekatannya dapat dilakukan diantaranya melalui pandangan bahwa setiap
manusia mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan peradilan serta tidak ada
perbedaan yang didasarkan atas sertifikasi sosial. Selain itu, upaya menjunjung
tinggi hak asasi manusia harus dikedepankan, kerana Islam mengharamkan tindakan
kekerasan, penyiksaan, dan penganiayaan. Perwujudan kemaslahatan adalah
kemaslahatan hakiki yang bertali dengan kepentingan umum, bukan kemaslahatan
dipengaruhi kepentingan pribadi mahupun golongan apalagi yang dipengaruhi oleh
hawa nafsu.
Hukum
Islam yang bertujuan untuk mewujudkan kepentingan dan kebaikan hidup manusia
yang hakiki menjadi titik perhatian utama, sejalan dengan pemikiran Abu Zahra,
Al-Ghazali, kepentingan hidup manusia tersebut terbagi tiga, yaitu kepentingan
pokok, sekunder, dan kepentingan pelengkap. Kepentingan pokok, yaitu
kepentingan yang mutlak dibutuhkan oleh setiap manusia dalam upaya mewujudkan
kemaslahatan hidup (Al-Ghazali, t.t.: 286). Selain itu, Asy-Syatibi berpendapat
bahwa tujuan utama penciptaan manusia (Allah) menetapkan hukum-hukumnya adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh karena itu, taklid dalam aspek hukum harus mengarah pada upaya merealisasikan
terwujudnya tujuan hukum tersebut. Konsep maslahat dalam pandangan Asy-Syatibi
mencakup seluruh aspek hukum Islam dan bukan semata pada aspek yang telah
diatur oleh nash, melainkan mencakup
tujuan Allah SWT menurunkan hukum Islam untuk mewujudkan kemaslahatan, yaitu
terpeliharanya lima aspek pokok bagaimana yang dikemukakan Al-Ghazali seperti
yang dikutib oleh Asy-syatibi, yaitu: 1) Memelihara agama; 2) Memelihara jiwa;
3) Memelihara akal; 4) Memelihara hana benda; dan 5) Memelihara keturunan
(Syatibi, 385).
Uraian
di atas, menunjukan bahwa Al-ghazali dan Asy-Syatibi sependapat bahwa prinsip
dasar dari tujuan hukum Islam adalah terwujudnya kemaslahatan yang berpangkal
kepada terpeliharanya lima aspek pokok dalam konsep Al-Maqosid As-Syariah,
yaitu kepentingan sekunder adalah kepentingan yang diperlukan dalam kehidupan
manusia agar tidak mengalami kesulitan. Artinya, ketika kepentingan itu tidak
terpenuhi secara maksimal dalam kehidupan manusia, maka tidak akan merusak tata
kehidupannya, namun hanya mengakibatkan kesulitan. Kepentingan pelengkap, yaitu
kepentingan yang apabila tidak terpenuhi juga tidak mengakibatkan kesulitan
dalam hidup apalagi merusak tata kehidupan manusia.
Apabila
terpenuhi tiga kepentingan di atas, maka memberikan kesempurnaan dalam hidup manusia.
Ketika manusia sanggup memenuhi kebutuhan primer. sekunder, maka dalam konsep
falsafah hukum Islam kehidupan manusia tidak akan mengalami kebinasaan,
kehancuran, dan kepunahan.
Tujuan
hukum Islam untuk memenuhi kepentingan, kebahagiaan kesejahteraan. dan
keselamatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, apabila
hukum positif yang berasaskan Al-Quran dan Al-Hadis dibandingkan dengan tujuan
hukum Islam, maka ditemukan bahwa tujuan hukum Islam lebih tinggi dan bersifat
abadi, artinya tidak terbatas kepada lapangan materi yang bersifat sementara.
Sebab faktor faktor individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya selalu
diperhatikan dan dirangkaikan satu sama lain. Dan, dengan hukum Islam,
dimaksudkan agar kebaikan mereka semua dapat terwujud. Dalam lapangan ibadah
misalnya, shalat, puasa, zakat, dan haji. Hal ini dimaksudkan untuk
membersihkan jiwa dan mempertemukannya dengan Tuhan, kesehatan jasmani, dan
kebaikan individu maupun masyarakat bersama-sama dengan berbagai aspeknya, Hal
itu, tampak lapangan muamalat (hubungan sesama manusia) dengan segala aspeknya.
Tujuan dimaksud tampak jelas seperti yang terlihat pada aturan pokok hukum
Islam yang menguasai lapangan tersebut.
Di antara kaidah aturan pokok tersebut yakni
kaidah yang berbunyi: “menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan.”
Maksudnya: “Kepentingan umum harus didahulukan atas kepentingan-kepentingan
pribadi (Abdul Wahabkhallaf, 1996: 347).
Kalau kita pelajari seksama ketetapan Allah dan
ketentuan Rasul-Nya
yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan kitab-kitab Hadis yang sahih, kita mengetahui tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan
mencegah dan menolak yang mudharat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah
kemaslahatan hidup manusia. Baik rohani maupun jasmani individual dan social. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia
saja tetapi juga kehidupan yang kekal di akhirat (H. Muhammad Daud Ali, 1993:
53)
Dengan Kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia
baik jasmani maupun rohani, individu dan masyarakat. Kemaslahatan dimaksud dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-syatibi dan disepakati oleh ahli hukum islam lainnya
seperti yang dikutip oleh H.
Hamka Haq, yaitu
memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta (H. Hamka Haq, 1998: 68).
Tujuan hukum Islam dimaksud, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek pembuatan hukum Islam adalah Allah dan
Nabi Muhammad SAW serta aspek manusia sebagai pelaku dan pelaksana hukum Islam
itu. Hal Itu
akan diuraikan sebagai berikut:
1.
Kalau dilihat dari aspek pembuat hukum Islam, maka tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi
keperluan hidup manusia bersifat primer, sekunder, dan tersier. Selain itu, untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam
kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami hukum Islam melalui metodologi
pembentukannya (ushul al-fiqh).
2.
Dilihat dari segi aspek perilaku hukum yakni manusia, maka tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai
kehidupan yang bahagia. Caranya, yaitu
mengambil yang bermanfaat dan menolak yang tidak berguna bagi kehidupan. Singkat kata adalah untuk mencapai keridhoan Allah
dalam kehidupan manusia, baik di
dunia maupun di akhirat (Muhammad Daud Ali, 1991: 62)
Kepentingan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tersier adalah kebutuhan hidup manusia dalam
melaksanakan eksistensinya sebagai khalifah di bumi. Oleh karena itu perlu dijelaskan kebutuhan-kebutuhan
dimaksud:
:
1) Agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar
kemaslahatan hidup manusia apa itu benar-benar terwujud;
2) Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan
oleh manusia untuk mencapai kebutuhan primer misalnya pelaksanaan Hak Asasi
Manusia;
3)
Kebutuhan tersier adalah kebutuhan hidup manusia yang menunjang
kebutuhan primer dan sekunder.
Selain hal diatas, perlu diungkapkan bahwa tujuan hukum Islam dalam
penerapannya dalam kajian Ushul Fiqih, yaitu tujuan hukum Islam yang ditentukan Allah SWT. Tujuan hukum Islam dimaksud menjadi landasan bagi
seorang ahli hukum islam, baik dalam usahanya mengembangkan untuk menjawab
persoalan baru yang tidak didapati hukumnya secara harfiah dalam Wahyu, dan dalam kepentingan untuk mengetahui apakah
terhadap suatu kasus masih dapat diterapkan suatu ketentuan hukum atau tidak
dapat diterapkan.
Sebab, ada
pergeseran nilai yang ditimbulkan oleh perubahan struktur kehidupan sosial. Karena pengetahuan maqashid asy-syariah merupakan kunci bagi keberhasilan mujtahid
dalam menentukan hasil ijtihadnya. Ijtihad dimaksud, dilaksanakan oleh seorang mujtahid karena ada
pengetahuan yang bersumber salah satunya dari maqashid asy-syariah.
Pengetahuan bidang ini mulai mendapat perhatian setelah Nabi Muhammad
SAW. wafat, di saat para sahabat menghadapi berbagai persoalan
baru sebagai akibat perubahan sosial yang belum ada di masa Rasulullah SAW. Untuk itu, teks Wahyu yang amat terbatas itu perlu di
interpretasi dan dikembangkan. Dalam situasi dan kondisi yang demikian, para sahabat mulai menelusuri tujuan hukum Islam
untuk dijadikan pedoman dalam usaha menyelesaikan masalah-masalah baru dari
adanya perubahan sosial dimaksud. Dan, bagi orang yang menjalankan hukum Islam atau
aturan Islam biasanya akan bijaksana, mengapa demikian? Karena agama Islam akan
hikmah atau bijaksana, sedangkan orang-orang yang bijaksana biasanya banyak
disenangi oleh orang banyak. Adapun yang bijaksana merupakan cerminan bagi
orang yang beragama, yaitu beragama islam.
Adapun tujuan hukum islam dapat dilihat dari dua
aspek:
1.
Aspek pembuat atau yang membuat hukum Islam itu
sendiri yang dimaksud atau yang membuat, yaitu Allah SWT dan rasul-Nya, yaitu
Nabi Muhammad SAW. Kalau dilihat dari aspek pembuat hukum islam itu sendiri
adalah memenuhi keperluan hidup manusia bersifat primer, sekunder, dan tersier.
Selain itu, juga hukum islam harus ditaati dan dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari dan dapat meringankan beban manusia.
2.
Dari aspek manusia atau pelakunya, maka tujuannya
adalah untuk menuju ke hidup yang bahagia dengan cara mengambil dan berguna
atau bermanfaat dan meninggalkan atau menolak yang tidak berguna.
Dalam khazanah ilmu Ushul fiqh, tujuan hukum islam sering disebut maqashid asy-syariah. Yang menjadi bahasa utama dalam maqashid asy-syariah adalah masalah
hikmah dan 'illah ditetapkannya suatu hukum. Kajian maqasid asy-syariah merupakan kajian yang
penting dan menarik dalam bidang Ushul
fiqh (Musa, 1988: 160-179).
Dari sisi etimologis, kalimat maqashid asy-syariah terdiri dari dua unsur kata, yaitu maqhosid berarti tujuan atau maksud.
Adapun kata al-syari’ah berasal dari
kata syar’un yang berarti peraturan
atau undang-undang. Dengan demikian, kalimat muqhasid al-syari’ah dapat diartikan sebagai tujuan penetapan hukum
syara’.
Tujuan umum pembuatan syariah/hukum adalah
merealisasikan maslahat bagi manusia dalam kehidupan ini. Baik dengan
mendapatkan manfaat bagi mereka, dengan menolak bahaya dari diri mereka. Dalil-dalil
Syar'i yang menguatkanan makna diatas
diantaranya:
1.
Firman Allah di dalam surat al Anbiya ayat 107, alih bahasanya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan
untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”.
2.
Firman Allah di dalam surat Yunus ayat 57 alih bahasanya: “Hai
manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman”.
Sehingga yang dimaksud maqashid asy-syariah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan yang ditekankan
dalam syariat pada seluruh hukum-hukumnya atau sebagian besarnya. Dan bisa juga
diartikan tujuan dari pembuat syariat dalam setiap hukum dari hukum-hukumnya.
Iman Abu
Ishaq al-Syatibi menyebutkan, bahwa tujuan Allah menciptakan dan mensyariatkan
hukum yakni untuk kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat
nanti. Kemaslahatan disini adalah menyangkut kemaslahatan yang dihajatkan oleh
manusia dalam segala aspek kehidupan mereka. Sejalan dengan pandangan Al-
Syatibi di atas, Zaki al-Din Sya'ban
menyebutkan, bahwa Allah tidaklah mensyari’atkan hukum-hukum-Nya kecuali untuk
kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan
serta membebaskan dunia ini dari maksiat dan perbuatan dosa. Para ulama ushul telah berupaya untuk menyelani maqashid asy-syariah ini lewat ijtihad
dan istinbat hukum. Hal ini semua bertujuan tidak lain agar apa yang menjadi
tujuan persyaratan umum dapat direalisasikan dalam kehidupan umat.
Maqashid asy-syariah tidak hanya mewujudkan maslahat di suatu pihak, tetapi juga tidak
membuat mafsadat pada pihak lain.
Menurut Abdul Wahab Khalaf:
1.
Kata maslahat mengandung arti yaitu mencari
kebaikan.
2.
Adapun kata mafsadat
mengandung arti kerusakan dan keburukan yang membawa kerugian bagi kehidupan umat
manusia.
Adapun menurut Abdul Karim Zaidan,
maslahat yakni meraih manfaat dan menolak kerusakan atau kemudaratan. Abdul
karim sayidan menjelaskan bahwa esensi maslahat dan mafsadat dapat dilihat dari
dua sisi:
1.
Dapat dilihat dari sisi kemestian adanya maslahat,
yaitu keharusan terwujud nya manfaat yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia;
2.
Bila dilihat dari sisi peniadaan kerusakan, maka
ia menghilangkan dan menghindar kerusakan yang menimbulkan kerugian bagi
kehidupan manusia.
Dalam
perkembangan selanjutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat
hukum Islam, sehingga pada akhirnya istilah maqashid
syari'ah identik dengan filsafat hukum Islam. Tujuan hukum Islam harus
diketahui oleh mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) dalam rangka
mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab
persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara
eksplisit oleh Al-Qur'an dan Sunnah. Semua ketentuan hukum Islam (syariah) baik
yang berupa perintah maupun larangan, sebagaimana tertera dalam Al-Qur'an dan
Sunnah, mempunyai tujuan tertentu. Tidak ada satu ketentuan pun dalam syariah
yang tidak mempunyai tujuan. Hukum Islam datang ke dunia membawa misi yang
sangat mulia, yitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia di muka bumi dalam (QS. Yunus [10] : 57) dan (QS. al-Anbiyaa' [21]: 107).
Pembuat
syari’ah Allah dan Rasul-Nya menetapkan syari'ah bertujuan untuk merealisasikan
ke-maslahat-an umum, memberikan
kemanfaatan, dan menghindarkan kemafsadatan bagi umat manusia. Terkait dengan
ini, Abu Zahrah mengatakan bahwa setiap hukum Islam memiliki tujuan yang
hakiki, yaitu kemaslahatan. Tidak ada perintah dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang
tidak memiliki kemaslahatan itu tidak tampak dengan jelas. Kemaslahatan di sini
adalah kemaslahatan hakiki yang bersifat umum dan tidak didasarkan pada
pemenuhan hawa nafsu (Zahrah, 1958: 366). Dengan diketahuinya tujuan hukum
Islam, dapat ditarik suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya secara tepat dan benar dan selanjutnya dapat ditetapkan
hukum peristiwa yang tidak ada nash-nya.
Senada dengan pendapat di atas, al-Syathibi, seorang pakar hukum Islam dari
kalangan mazhab Maliki, mengembangkan doktrin maqashid al-syari'ah dengan menjelaskan, bahwa tujuan akhir hukum
Islam adalah satu, yaitu kemaslahatan dan kebaikan dan kesejahteraan umat
manusia.
Pendapat
al-Syathibi didasarkan pada prinsip, bahwa Tuhan melembagakan syari'ah (hukum
Islam) demi kemaslahatan manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam
rangka mewujudkan kemasiaatan di dunia dan di akhirat, berdasarkan penelitian
para ahli ushul fiqh, ada lima unsur
pokok yang harus dipelihara dan diwujukan. Kelima unsur pokok itu adalah agama,
jiwa, akal, keturunan, harta. Seseorang yang memelihara lima hal tersebut akan
memperoleh kemaslahatan, sedang yang tidak dapat memeliharanya akan mendapatkan
kerusakan. Prinsip itulah yang dikembangkan oleh al-Sya-thibi dalam bukunya al-Muwafaqat ji ushul al-ahkam. Dalam
buku ini, al-Syathibi memerinci dengan panjang lebar doktrin maqashidal- syari'ah yang didasarkan
pada al-kulliyyat al-khams (lima
kebutuhan pokok) seperti di atas. Lima kebutuhan pokok ini masih dibagi menjadi
tiga tingkat, yaitu dlaruriyyat (kebutuhan
primer), hajjiyyat (kebutuhan
sekunder), dan tahsiniyyat (kebutuhan
tersier). Kebutuhan primer adalah sesuatu yang harus ada untuk kemaslahatan
manusia. Jika kebutuhan ini tidak
dipenuhi, kehidupan manusia akan menjadi kacau balau, kemaslahatan tidak
tercapai dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat diraih.
Kebutuhan
sekunder merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan manusia bukan untuk
memelihara salah satu dari kebutuhan pokok yang lima, melainkan untuk
menghilangkan kesulitan-kesulitan dan kesempitan atau kekhawatiran dalam
menjaga kelima kebutuhan pokok. Jika kebutuhan ini tidak ada, tidak sampai
membawa tata aturan hidup manusia berantakan atau kacau, tetapi hanya membawa
kesulitan. Oleh karena itu, prinsip utama kebutuhan sekunder ini adalah untuk
menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan manusia dalam
melakukan muamalah dan tukar menukar manfaat. (Yahya dan Fathurrahman, 1993:
335).
Adapun
kebutuhan tersier merupakan kebutuhan pelengkap bagi manusia dalam menunjang pemenuhan
kebutuhan primer dan sekunder. Tujuannya bukan untuk mewujudkan eksistensi
kebutuhan yang lima atau menghindari kesulitan dalam memelihara kebutuhan yang
lima, melainkan untuk menghilangkan ketakutan dan menjaga kemuliaan dalam
memelihara kebutuhan yang lima. Pemenuhan terhadap kebutuhan tersier ini tidak
berimplikasi adanya hukum wajib pada yang diperintahkan dan hukum haram pada
yang dilarang (Abu Zahrah.1958: 372).
Islam
dengan segala kesempurnaan aturannya bertujuan menjadi satu-satunya agama samawi
yang dapat menjawab segala tantangan problematika yang dihadapi manusia dari
zaman ke zaman, sehingga sudah merupakan kewajiban manusia itu sendiri untuk
mengaplikasikan apa yang telah Allah SWT syariatkan melalui para Rasul-Nya
sehingga terlahirlahsebuah aturan baku
dari Allah SWT dalam kitabnya Al-Qur'an
dan As-Sunnah sebagai pengantur seluruh kehidupan manusia di muka bumi ini.
Namun dikarenakan beralihnya zaman dari masa ke masa, sehingga masalah
keagamaaan dalam berbagai aspeknya mengalami perkembangan yang sangat pesat,
yang semuanya menuntut untuk diselesaikan dan diselaraskan dengan pedoman baku
syariat itu sendiri, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka pada kondisi seperti
ini dibutuhkan suatu ilmu yang dapat digunakan untuk mengaktualisasikan
Al-Qur'an dan As-Sunnah demi kemaslahatan manusia secara umum menuju sesuatu
yang diingini syariat. Dan, inilah yang dimaksud dengan maqasid syari'at.
Maqashid syari'ah
tidak dapat terwujudkan manakala tidak ditopang dengan pokok-pokok bahasan yang
dapat disatukan menjadi suatu kesatuan utuh, sehingga dengannya dapat
menelurkan suatu gagasan yang ingin dicapai oleh syariat itu sendiri. Salah
satu pembahasan pokoknya adalah dengan melihat ruh tasyri atau latar belakang dalam setiap syariat yang telah
Allah berlakukan kepada manusia selaku pelaksana syariat itu sendiri. Karena
dengan mengerti ruh tasyri dalam
setiap syariat kita akan mengerti apa hikmah yang dapat kita ambil dari
disyariatkannya suatu masalah tersebut. Misalnya, mengenai syariat shalat lima waktu
dengan berbagai teknis pelaksanaannya yang wajib dilaksanakan oleh mukalaf,
tujuan disyariatkannya shalat oleh Allah SWT adalah untuk menjadikan manusia
agar senantiasa ingat Allah SWT, yang seterusnya akan terhindar dari perbuatan
keji dan melanggar hukum, tentu saja hasilnya adalah ketenangan atau
kebahagiaan hidup. Selain ruh tasyri,
maqasid syari’ah juga membutuhkan
pembahasan mengenai Illat (penyebab ditetapkanya suatu hukum) dan qiyas (penghubung status hukum baru)
yang keduanya saling berhubungan erat dalam menentukan suatu hukum syar'i. Misalnya, syariat pengharaman
khomradalah sesuai dengan illatnya yaitu memabukkan, sehingga dapat
di-qiyas-kan dengan narkoba dengan berbagai variannya yang samasama mempunyai
efek memabukan. Sehingga dengan menghubungkan antara illat dan qiyas dapat disimpulkan, bahwa narkoba
dalam konteks hari ini adalah haram hukumnya diselaraskan dengan hukum khomar
yang intinya adalah memabukan.
Pokok
bahasan lainnya dari maqashid syariah adalah
berkenaan dengan tahqiqul manath atau
biasa disebut juga penentuan sikap antara melaksanakan-menangguhkan (pending) sejenak tanpa adanya penolakan
atau penghapusan suatu hukum syar'i
berdasarkan pertimbangan jalbul Mashalih
wa Dar'ul Mafasid (mendatangkan kemaslahatan dan menanggulangi kerusakan),
maka dalam konteks tahqiqul manath harus dipertimbangkan secara
matang mana yang hendaknya antara mendatangkan didahulukan antara mendatangkan
kemaslahatan atau menanggulangi kerusakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum
tujuan terciptanya dan penetapan hukum oleh Allah SWT yakni untuk kepentingan,
yakni untuk kepentingan, kemaslahatan, dan kebahagiaan manusia seluruhnya, baik
di dunia mahupun di akhirat. Dalam pandangan
Asy-Syatibi tujuan Allah SWT menurunkan hukum Islam untuk mewujudkan
kemaslahatan, yaitu terpeliharanya lima aspek pokok sebagaimana yang
dikemukakan Al-Ghazali seperti yang dikutib oleh Asy-syatibi, yaitu:
1) Memelihara agama;
2) Memelihara jiwa;
3) Memelihara akal;
4) Memelihara hana benda; dan
5) Memelihara keturunan.
Pada intinya tujuan hukum islam dapat
kitab lihat pada ketetapan Allah
dan ketentuan Rasul-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadis yang sahih, kita mengetahui tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan
mencegah dan menolak yang mudharat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah
kemaslahatan hidup manusia. Baik rohani maupun jasmani individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia
saja tetapi juga kehidupan yang kekal di akhirat.
Tujuan hukum
Islam yang dimaksud, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek pembuatan hukum Islam adalah Allah dan
Nabi Muhammad SAW,
serta aspek manusia sebagai pelaku dan pelaksana hukum Islam itu.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah dengan judul
Tujuan Hukum Islam ini diharapkan kami (penulis) dan juga pembaca dapat tahu
dan bisa memahami tentang tujuan hukum islam, serta dapat menerapkan pemahaman
tersebut pada kehidupan sehari-hari.