BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum yang menjadi penutan masyarakat merupakan cita-cita sosial yang tidak
pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat.Cita-cita sosial bersandarkan pada
hukum.Setiap keberadaan hukum tidak dapat terlepas dari tujuan dan harapan
subjek hukum. Harapan manusia terhadap hukum pada umumnya meliputi harapan
keamanan dan ketenteraman hidup tanpa batas waktu.
Manusia berharap pada beberapa hal-hal
berikut:
Kemaslahatan hidup
bagi diri orang lain, Menegakkan keadilan, Persamaan hak dan kewajiban dalam
hukum, Saling control dalam masyarakat, Kebebasan berekpresi, ,berpendapat,bertindak
dengan tidak melebihi batasan hukum Regenerasi sosial yang positif dan bertanggungjawab.
Cita-cita hukum adalah menegakkan keadilan,tetapi yang menegakkan keadilan
bukan teks-teks hukum,melainkan manusia yang menerima sebutan hakim,pengacara penguasa hukum,penegak hukum, polisi dan
sebagainya.
Identitas hukum Islam
adalah adil,memberi Rahmat dan mengandungi Hikmah yang banyak bagi
kehidupan.Dengan yang demikian setiap hal yang merupakan kezaliman,tidak memberi
rasa keadilan,jauh dari rahmat,menciptakan kemafsadatan bukan merupakan tujuan
hukum Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalahsebagai
berikut :
1. Apa Itu Hukum
Islam ?
2. Apa Saja
Tujuan Hukum Islam?
C. TUJUAN
1. Untuk Megatahui
Yang Di Maksut Hukum Islam.
2. Untuk Mengatahui
Apa Saja Tujuan Dari Hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Islam
Secara
Etimologi, syariah berarti jalan terang, menerangkan, menjelaskan, dan membuat
peraturan. Sedangkan secara terminologi syriah adalah suatu aturan ALLAH SWT
dari hukum-hukum yang di tetapkan dengan argumentasi-argumentasi yang
bersumberkan dari Al-Qur’an dan sunnah serta cabang sumber hukum islam seperti:
ijma, qiyas, dan dalil-dalil yang lain ( Qardawi , t.t.:21)
B. Tujuan Hukum Islam
Setiap peraturan mempunyai tujuan
yang hendak dicapai oleh pembuatanya. Kita meninjau tata aturan pada hukum
positif maka tujuannya pembuatanya tidak lain adalah ketenetraman masyarakat,
yaitu mengatur sebaik-baiknya sangat menentukan batas hak dan kewajiban bagi
setiap anggota masyarakat dalam hubungan satu sama lain.
Sebagai Agama Islam wahyu dari Allah yang
brdimensi Rahmatan lil al’alamin memberi pedoman hidup kepaada manusia secara
menyeluruh, menuju tercapainya kebahagian hidup manusia rohani dan jasmani
serta untuk mengatur tata kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun
masyarakat, sementara aturan yang berkaitan dengan sisi kehidupan individu
tidak dinamakan hukum tetapi disebut norma budi pekerti, atau susila. Alasanya
karna hukum sebagai produk dari hasil proses kehidupan manusia dalam bermasyarakat,
di mana ada masyarakat di sanalah terdapat hukum.
Secara umum tujuan terciptanya dan
penetapan hukum oleh Allah SWT yakni untuk kepentingan, kemaslahatan, dan kebahagian manusia seluruhnya, baik di
dunia maupun di akhirat. Ungkapan tersebut dalam Al-Quran surah
Al-Baqarah{2}:201-202,alih bahasanya:
“Dan di antara mereka ada orang berdoa:
Ya tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
periharalah kami dari siksa neraka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat
bahagian yang mereka usahakan; dan allah cepat perhitungan-Nya.
Tujuan Al- Quran menurut Abu Zahra, pensucian jiwa, penegakan
keadilan,dan perwujudan kemaslahatan. Pensucian jiwa dimaksudkan agar setiap
muslim dalam setiap aktivitas dapat menajdi sumber kebaikan bagi masyarakat di
lingkungannya. Pendekatan dengan banyak melakukan ibadah yang disyariatkan,
karna dengan ibadah dapat membersihkan jiwa dan dapat memperkukuh hubungan
kesetia kawanan sosial (ukhuwah islamiyah, ukhuwah insaniyah, dan ukhuwah
wathaniyah). Penegakan keadilan di harapkan dapat terwujud dalam kehidupan
masyarakat muslim, pendekatannya dapat dilakukan diantaranya melalui pandangan
bahwa setiap manusia mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan peradilan
serta tidak ada perbedaan yang didasarkan atas sertifikasi sosial.
Hukum islam yang bertujuan untuk mewujudkan
kepentingan dan kebaiakan hidup manusia yang hakiki menjadi titik perhatian
utama. Sejalan pemikiran abu Zahra, Alghazali, kepentingan hidup manusia
tersebut menjadi tiga, yaitu kepentingan pokok, sekunder,dan kepentingan
pelengkap. Kepetingan pokok , yaitu kepentingan mutlak di butuhkan oleh setiap
manusia dalam upaya mewujudkan kemaslahatan hidup. Selain itu, Asy-Syatibi berpendapat
bahwa tujuan utama penciptaan manusia menetapkan hukum-hukumnya. Yaitu
terpeliharanya lima aspek pokok yang di kemukakan Al-Ghazali seperti yang di
kutip oleh Asy-syatibi, yaitu:
a. Memelihara
Agama,
b. Memelihara
Jiwa,
c. Memelihara
Akal,
d. Memelihara
Harta Benda
e. Memelihara
Keturunan.
Artinya,
ketika kepentingaan itu tidak terpenuhi secara maksimal dalam kehidupan manusia
maka tidak akan rusak tata kehidupannya, namun hanya mengakibatkan kesulitanya.
Apabila terpenuhi tiga kepentingan di atas,
maka memberikan kesempurnaan dalam hidup manusia. Ketika manusia sanggup
memenuhui kebutuhan primer, sekunder, maka konsep filsafat hukum islam
kehidupan manusia tidak akan mengalami kebinasaan, kehancuran dan kepunahan.
Oleh karna itu, apabila hukum positif yang
berasaskan Al-Quran dan Al-Hadis dibandingkan dengan tujuan hukum islam, maka
ditemukan bahwa tujuan hukum islam lebih tinggi dan bersipat abadi, artinya
tidak terbatas pada lapangan materi yang bersifat sementara.
Tujuan hukum islam dapat dilihat dari
dua aspek, yaitu :
1. Dilihat
dari aspek pembuat hukum islam, maka tujuan hukum islam adalah untuk memenuhi
keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, tersier, dan untuk
ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari serta meningkatkan
kemampuan manusia untuk memahami hukum islam melalui todologi pembentukannya (ushul
fiqh).
2. Dilihat
dari aspek pelaku hukum, yakni manusia. Maka, tujuan hukum islam adalah untuk
mencapai kehidupan yang bahagia. Caranya, yaitu mengambil yang bermanfaat dan
menolak yang tidak berguna bagi kehidupan. Untuk mencapai keridhaan Allah dalam
kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Kepentingan
hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, tersier adalah kebutuhan hidup
manusia dalam melakasanakan eksistensinya sebagai khalifah di bumi. Tujuan
hukum islam dimaksud menjadi landasan bagi seorang ahli hukum islam, baik dalam
usahanya mengembangkan untuk menjawab persoalan baru yang tidak didapati
hukumnya secara harfiah dalam wahyu, dan dalam kepentingan untuk mengetahui
apakah terhadap satu kasus masih dapat diterapkan suatu ketentuan hukum atau
tidak dapat diterapkan.
Dalam khazanah ilmu ushu
fiqh, tujuan hukum islam disebut dengan maqhosid al-syari’ah, yang
menjadi bahasan utamanya yakni mengenai masalah hikmah dan ‘illah ditetapkannya
suatu hukum. Dari sisi etimologis, kalimat maqhosid al-syari’ah terdiri
dari dua unsur kata, yaitu maqhosid dan al-syari’ah. Kata maqhosid
adalah jamak yang berartikan tujuan atau maksud, sedangkan kata al-syari’ah
yang berarti peraturan atau undang-undang. Dengan demikian, kalimat maqhosid
al-syari’ah dapat diartikan sebagai tujuan penetapan hukum syara’.
Dari sudut terminologis, sebagaimana yang dikemukakan olehh Abu ishaq
al-syatibi, bahwa yang dimaksud dengan maqhosid al-syari’ah adalah
ketentuan-ketentuan yang disyariatkan Allah untuk kemaslahatan manusia. Tujuan
umum pembuatan syariat/hukum adalah meralisasikan maslahat bagi manusia dalam
kehidupan ini, baik mendapatkan manfaat bagi mereka, dengan menolak bahaya dari
diri mereka. Dalil-dalil syar’i yang menguatkan makna diatas diantaranya :
1. Firman
Allah di dalam surah al-Anbiyaa ayat 107 yang artinya:
“ dan tiadalah kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam “
2. Firman
Allah di dalam surah Yunus ayat 57 yang artinya:
“ Hai manusia, sesungguhnya telah
datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
(yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman “
Sehingga
yang dimaksud dengan maqhosid al-syari’ah adalah makna-makna dan
tujuan-tujuan yang ditekankan dalam syariat pada seluruh hukum-hukumnya
sebagian besarnya. Imam Abu Ishaq Al-syatibi menyebutkan, bahwa tujuan Allah
menciptakan dan mensyariatkan hukum yakni untuk kemaslahatan umat manusia, baik
di dunia maupun di akhirat nanti. Zaki al-din sya’ban juga menyebutkan, bahwa
Allah tidaklah mensyariatkan hukum-hukumnya kecuali untuk kemaslahatan bagi
seluruh umat manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan
dunia dari maksiat dan perbuatan dosa.
Dalam
perkembangan selanjutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat
hukum Islam, sehingga pada akhirnya istilah maqashid syari'ah identik dengan
filsafat hukum Islam. Tujuan hukum Islam harus diketahui oleh mujtahid (orang
yang melakukan ijtihad) dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam
secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya
tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur'an dan Sunnah. Semua ketentuan hukum
Islam (syariah) baik yang berupa perintah maupun larangan, sebagaimana tertera
dalam Al-Qur'an dan Sunnah. mempunyai tujuan tertentu. Tidak ada satu ketentuan
pun dalam syariah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum Islam datang ke dunia
membawa misi yang sangat mulia, yitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia di
muka bumi dalam (QS. Yunus 10: 57) dan (QS. al-Anbiyaa'[21]:
107).
Pembuat
syari'ah Allah dan Rasul-Nya menetapkan syari'ah bertujuan untuk merealisasikan
ke-maslahat-an umum, memberikan kemanfaatan, dan menghindarkan kemafsadatan
bagi umat manusia Terkait dengan ini. Abu Zahrah mengatakan bahwa setiap hukum
Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu kemaslahatan. Tidak ada perintah dalam
Al-Qur'an dan Sunnah yang tidak memiliki kemaslahatan itu tidak tampak dengan
jelas. Kemaslahatan di sini adalah kemaslahatan hakiki yang bersifat umum dan
tidak didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu (Zahrah, 1958: 366). Dengan
diketahuinya tujuan hukum Islam, dapat ditarik suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya
secara tepat dan benar dan selanjutnya dapat ditetapkan hukum peristiwa yang
tidak ada nash-nya. Senada dengan pendapat di atas, al-Syathibi, seorang
pakar hukum Islam dari kalangan mazhab Maliki, mengembangkan doktrin magashid al-syari'ah
dengan menjelaskan, bahwa tujuan akhir hukum Islam adalah satu, yaitu
kemaslahatan dan kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
Pendapat
al-Syathibi didasarkan pada prinsip, bahwa Tuhan melembagakan syari'ah (hukum
Islam) demi kemaslahatan manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang
Dalam rangka mewujudkan kemaslaatan di dunia dan di akhirat, berdasarkan
penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus
dipelihara dan diwujud kan Kelima unsur pokok itu adalah agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Seseorang yang memelihara lima hal tersebut akan
memperoleh kemaslahatan, sedang yang tidak dapat memelitaranya akan men
dapatkan kerusakan. Prinsip itulah yang dikembangkan oleh al-Syathibi dalam
bukunya al- Muwafaqatfi ushul al ahkam. Dalam buku ini, al-Syathibl
memerinci dengan panjang lebar doktrin maqashid al syariah yang
didasarkan pada al-kullyyat al-khams (lima kebutuhan pokok) seperti di
atas. Lima kebutuhan pokok ini masih dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu dlarurlyyat
(kebutuhan primer), hajjiyyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyyat
(kebutuhan tersier). Kebutuhan primer adalah sesuatu yang harus ada untuk
kemaslahatan manusia. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, kehidupan manusia akan
menjadi kacau balau, kemaslahatan tidak tercapal dan kebahagiaan ukhrawi tidak
bakal dapat diraih.
Kebutuhan
sekunder merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan manusia bukan untuk
memelihara salah satu dari kebutuhan pokok yang lima, melainkan untuk
menghilangkan kesulitan-kesulitan dan kesempitan atau kekhawatiran dalam
menjaga kelima kebutuhan pokok. jika kebutuhan Ini tidak ada, tidak sampai
membawa tata aturan hidup manusia berantakan atau kacau, tetapi hanya membawa
kesulitan. Oleh karena itu, prinsip utama kebutuhan sekunder ini adalah untuk
menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan manusia dalam
melakukan muamalah dan tukar menukar manfaat (Yahya dan Fathurrahman, 1993:
335).
Adapun
kebutuhan tersier merupakan kebutuhan pelengkap bagi manusia dalam menunjang pemenuhan
kebutuhan primer dan sekunder. Tujuannya bukan untuk mewujudkan eksistensi
kebutuhan yang lima atau menghindari kesulitan dalam memelihara kebutuhan yang
lima, melainkan untuk menghilangkan ketakutan dan menjaga kemuliaan dalam
memelihara kebutuhan yang lima. Pemenuhan terhadap kebutuhan tersier ini tidak
berimplikasi adanya hukum wajib pada yang diperintahkan dan hukum haram pada
yang dilarang (Abu Zahrah 1958: 372).
1slam
dengan segala kesempurnaan aturannya bertujuan menjadi satu-satunya agama samawi
yang dapat menjawab segala tantangan problematika yang dihadapi manusia dari
zaman ke zaman. sehingga sudah merupakan kewajiban manusia itu sendiri untuk
mengaplikasikan apa yang telah Allah SWT syariatkan melalui para Rasul-Nya
sehingga terlahirlah sebuah aturan baku dari Allah SWT dalam kitabnya Al-Quran
dan As-Sunnah sebagai pengantur seluruh kehidupan manusia di muka bumi ini.
Namun dikarenakan beralihnya zaman dari masa ke masa, sehingga masalah
keagamaaan dalam berbagai apeknya mengalami perkembangan yang sangat pesat yang
semuanya menuntur untuk diselesaikan dan diselaraskan dengan pedoman baku
syariat itu sendiri yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah,maka pada kondisi seperti ini
dibuntuhkan suatu ilmu yang dapat digunakan untuk mengakrualisasikan Al Qur’an
dan As-Sunnah demi kemaslahatan manusia h secara umum menuju sesuatu yang
diingini syariat. Dan,inilah yang dimaksud dengan maqasid syari’at.
Maqashid
syari’ah tidak dapat (terwujudkan manakala tidak ditopang
dengan pokok-pokok bahasan yang dapat disatukan menjadi suatu kesatuan utuh
sehingga dengannya dapat menelurkan suatu gagasan yang ingin dicapal oleh
syariat itu sendiri. Salah satu pembahasan pokoknya adalah dengan melihat ruh
tasyri atau latar belakang dalam setiap syariat yang telah Allah berlakukan
kepada manusia selaku pelaksana syariat itu sendiri. Karena dengan mengerti ruh
tasyri dalam setiap syariat kita akan mengerti apa hikmah yang dapat kita
ambil dari
disyariatkannya suatu masalah tersebut. Misalnya, mengenal syariat shalat lima waktu dengan
berbagai teknis pelaksanaannyayang wajib dilaksanakan oleh mukalaf,tujuandisyariatkanyasholatoleh Allah
SWTadalahuntukmenjadikanmanusia agar senantiasaingat Allah SWT,yang
seterusnya akan terhindar dari perbuatan keji dan melanggar hukum, tentu saja
hasilnya adalah ketenangan atau kebahagiaan hidup. Selain ruh tasyri,maqasid
syariah juga membutuhkan
pembahasan mengenai Illat (penyebab ditetapkanya suatu hukum) dan qiyas(penghubung status hukum baru) yang keduanya saling
berhubungan erat
dalam menentukan suatu hukum syar’i. Misalnya, syariat pengharaman khomradalah sesuai dengan illatnya yaitu memabukkan
sehingga dapat di-qiyas-kan dengan narkobadengan berbagai variannya yang sama-sama mempunyai efek memabukan.Sehingga
dengan menghubungkan antara illar dan qiyas
dapai disimpulkanbahwa narkoba dalam konteks hari ini adalah haram hukumnya
diselaraskan dengan hukum khomaryang
intinya adalah memabukan.
Pokok
bahasan lainnya dari maqashid syariah
adalah berkenaan dengan tahqiqui manath
atau biasa
disebut juga
penentan sikap antara
melaksanakan-menangguhkan (pending) sejenak
tanpa adanya penolakan atau penghapusan suatu hukum syar’i
berdasarkanpertimbangan jalbul Mashalih wa Dar’ul Mafasid(mendatangkan kemaslahatan dan menanggulangi kerusakan),
maka dalam
konteks tahqiqul manath
harus diperumbangkan secara matang mana yang hendaknya didahulukan antara
mendatangkan kemaslahatan atau menanggulangi kerusakan.
Hukum
Islam yang bertujuan untuk mewujudkan kepentingan dan kebaikan hidup manusia
yang hakiki menjadi titik perhatian utama. Sejalan dengan pemikiran Abu
Zahra, Al Ghazali, kepentingan hidup manusia tersebut terbagi tiga, yaitu
kepentingan pokok sekunder dan kepentingan pelengkap. Kepentingan pokok, yaitu kepentingan yang mutlak
dibutuhkan oleh setiap manusia dalam upaya mewujudkan kemaslahatan hidup
(Al-Ghazali, t.t. 286). Selain itu, Asy-Syatibiberpendapat
bahwa tujuan utama penciptaan manusia (Allah) menetapkan hukum hukumnya adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh karena itu, taklid dalam aspek hukum harus mengarah pada upaya
merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut. Konsep maslahat dalam pandangan
Asy-Sya-tibi mencakup seluruh aspek hukum
islam dan bukan semata pada aspek yang telah diatur oleh nash, melainkan mencakup tujuan Allah SWT menurunkan hukum Islam
untuk mewujudkan kemaslahatan yaitu terpeliharanya lima aspek pokok bagaimana
yang dikemukakan Al-Ghazali seperti yang dikutib oleh Asy-syatibi, yaitu: 1)
Memelihara agama; 2) Memelihara jiwa; 3) Memelihara akal; 4) Memelihara harta
benda; dan 5) Memelihara keturunan (Syatibi, 385).
Uralan
di atas, menunjukan bahwa Al-ghazali dan Asy Syatibi sependapat bahwa prinsip
dasar dari tujuan hukum Islam adalah terwujudnya kemaslahatan yang berpangkal
kepada terpeliharanya lima aspek pokok dalam konsep Al-Maqosid As-Syariah,
yaitu kepentingan sekunder adalah kepentingan yang diperlukan dalam kehidupan
manusia agar tidak mengalami kesulitan. Artinya, ketika kepentingan itu tidak
terpenuhi secara maksimal dalam kehidupan manusia, maka tidak akan merusak tata
kehidupannya, namun hanya mengakibatkan kesulitan. Kepentingan pelengkap, yaitu
kepentingan yang apabila tidak terpenuhi juga tidak mengakibatkan kesulitan dalam
hidup apalagi merusak tata kehidupan manusia. Apabila terpenuhi tiga
kepentingan di atas maka memberikan kesempurnaan dalam hidup manusia. Ketika
manusia sanggup memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maka dalam konsep falsafah
hukum Islam kehidupan manusia tidak akan mengalami kebinasaan, kehancuran, dan
kepunahan.
Tujuan
hukum islam lebih tinggi dan bersifat abadi, artinya tidak terbatas kepad
lapangan materi yang bersifat sementara sebab faktor faktor individu,
masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya selaludiperhatikan dan dirangkaikan
satu sama lain dan dengan hukum islam dimaksud agar kebaikan mereka semua dapat
terwujud. Dalam lapangan ibadah misalnya shalat, puasa, zakat, dan haji. Hal
itu dimaksud untuk membersihkan jiwa dan mempertemukan dengan tuhan, kesehatan,
jasmani, dan kebaikan individu maupun masyarakat bersama sama dengan berbagai
aspeknya. Hal itu tampak lapangan muamalat (hubungan sesama manusia) dengan
segala aspeknya. Diantara kaidah aturan pokok tersebut yakni kaidah berbunyi
menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan. Maksudnya kepentingan
umum harus didahulukan atas kepentingan kepentingan pribadi (Abdul wahal
khallaf, 1996: 347)
Tujuan
hukum islam dimaksud dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek pembuatan hukum
islam adalah Allah dan nabi Muhammad SAW serta aspek manusia sebagai pelaku dan
pelaksanaan hukum islam itu. Hal itu akan diuraikan sebagai berikut.
1. Kalau
dilhat dari aspek pembuatan hukum islam maka tujuan hukum islam adalah untuk
memenuhi keperluan hidup manusia bersifat perimer, sekunder, dan tersier.
2. Dilihat
dari segi aspek pelaku hukum yakni manusia maka tujuan hukum islam
adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengertian
Hukum Islam
Secara
Etimologi, syariah berarti jalan terang, menerangkan, menjelaskan, dan membuat
peraturan. Sedangkan secara terminologi syriah adalah suatu aturan ALLAH SWT
dari hukum-hukum yang di tetapkan dengan argumentasi-argumentasi yang
bersumberkan dari Al-Qur’an dan sunnah serta cabang sumber hukum islam seperti:
ijma, qiyas, dan dalil-dalil yang lain ( Qardawi , t.t.:21)
Tujuan
Hukum Islam
Secara umum tujuan hukum islam
adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya baik kemaslahatan di dunia maupun
kemaslahatan di hari yang kekal`
Secara khusus yaitu kemaslahatan
untuk diri sendiri dan orang lain , tegaknya nya keadilan, persamaan hak dan
kewajiban di depan hukum saling kontrol di kehidupan bermasyarakat, kebebasan
berekpresi , berpendapat, bertindak tidak melebihi hukum dan norma-norma
sosial. Kemudian di dasarkan juga pada kelima tujuan syariat itu sendiri yaitu
Memelihara Agama. Memlihara Jiwa, Memelihara Akal, Memelihara Keturunan, Dan
Memelihara Harta`
DAFTAR PUSTAKA
Izomuddin, Pemikiran Dan Filsafat Hukum Islam, (Jakarta:Prenada Media Group, 2018)