BAB I
PENDAHULUAN
A.   
Latar Belakang Masalah
Sebagai sumber ajaran  Islam yang kedua setelah
Al-qur’an, keberadaan hadits, di samping telah mewarnai masyarakat dalam
berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik,
dan tiada henti-hentinya. Penalitian terhadap hadits baik dari segi
keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya,
macam-macam tingkatan maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-qur’an
dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.
Hasil-hasil penelitian dan kajian para ahli tersebut
selanjutnya telah didokumentasikan dan dipublikasikan baik kepada kalangan
akademis di perguruan-perguruan tinggi, bahkan madrasah maupun pada masyarakat
pada umumnya. Bagi kalangan akademis, adanya berbagai hasil penelitian hadits
tersebut telah membuka peluang untuk diwujudkannya suatu disiplin kajian Islam,
yaitu Bidang Studi Hadits.
Mengingat pentingnya kedudukan hadits dalam syariat islam
dan fungsinya terhadap Al-Qur’an, para sahabat memberikan perhatian terhadap
hadits-hadits Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap
mereka terhadap Al-Qur’an. Mereka menghafalkan lafaz-lafaz hadits atau
maknanya, memahami dan mengetahui maksud tujuannya, dengan berdasarkan naluri yang
mereka miliki, berdasarkan petunjuk-petunjuk Rasul yang mereka dengar,
perbuatan dan perilakunya yang mereka saksikan dan berdasarkan pengetahuan
mereka mengenai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi diucapkannya
hadits-hadits itu. Dan hadits-hadits yang sulit dipahami atau tidak diketahui
maksudnya, mereka tanyakan langsung kepada Nabi SAW.  
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN
HADIS
Pada garis besarnya pengertian hadits dapat dilihat melalui
dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik),
dan pendekatan Istilah (terminologis).
Dilihat dari pendekatan kebahasaan,
hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan, dengan pengertian yang
bermacam-macam. Kata tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim  yang artinya sesuatu yang
sudah kuno atau klasik. Penggunaan kata al-hadits dalam arti demikian dapat
kita jumpai pada ungkapan hadits al-bina
dengan arti jaded al-bina artinya bangunan
baru.
Selanjutnya, kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan pada
waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Untuk ini kita dapat melihat pada
contoh hadits al-’ahd bi al-Islam
yang berarti orang yang baru masuk Islam.
Kata al-hadis kemudian dapat pula berarti al-khabar yang berarti mayutahaddats
bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau
diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain. 
Dari ketiga arti kata al-hadits tersebut, nampaknya yang
banyak digunakan adalah pengertian yang ketiga, yaitu sesuatu yang
diperbincangkan atau al-hadits dalam
arti al-khabar. Misalnya ayat-ayat
yang mengandung kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut ini.
“Maka hendaklah mereka mendatangkan
khabar (berita) yang serupa dengan Al-qur’an itu jika mereka mengaku
orang-orang yang benar”. (QS Al-Thur, 52:34).
Selanjutnya, hadits dilihat dari segi pengertian istilah
dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal ini antara lain disebabkan karena
perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat suatu
masalah. Para ulama ahli hadits misalnya berpendapat bahwa hadits adalah
ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Sementara ulama ahli hadits
bukan hanya perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW, akan tetapi
termasuk perkataan, perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in. Dari
pada itu ulama ahli ushul fiqih berpendapat bahwa hadits adalah perkataan,
perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum. Ulama ahli
fiqih mengidentikkan hadits dengan sunnah, yaitu sebagaisalahsatudarihukum taklifi, suatu perbuatan apabila
dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan disiksa.
Dalam kaitan ini ulama ahli fiqih berpendapat bahwa hadis adalah sifat syar’iyab untuk perbuatan yang dituntut
mengerjakannya, akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidak secara pasti,
sehingga diberi pahala orang yang mengerjakannya dan tidak disiksa orang yang
meninggalkannya. 
Meskipun demikian, di kalangan para ulama terdapat pula
perbedaan pendapat di sekitar istilah hadis,
khabar, dan atsar. Pada umumnya para ulama berpendapat bahwa hadis dan
khabar mempunyai pengertian sama, yaitu berita baik yang berasal dari nabi,
sahabat, maupun tabi’in. Berita yang berasal dari nabi mereka disebut hadis
marfu, berita yang berasal dari sahabat mereka disebut hadis mauquf, dan berita
yang berasal dari tabi’in mereka sebut hadis maqtu.
Namun demikian kalangan jamhur ulama umumnya berpendapat
bahwa hadis, sunnah, khabar dan atsar tidak ada perbedaannya atau sama saja
pengertiannya, yaitu segala sesuatu yang di nuklilkan dari Rasulullah SAW,
sahabat atau tabi’in baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan, baik
semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu saja, maupun lebih sering dan banyak di
ikuti oleh para sahabat.
B.    
MODEL – MODEL PENELITIAN HADIS
Sebagaimana halnya al-Qur’an,
al-hadis pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan
pengertian terhadap al-hadis lebih banyak kemungkinannya dibandingkan
penelitian terhadap al-Qur’an. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya
al-Qur’an dan hadis berbeda. Kedatangan (wurud),
atau turun (nuzul) nya al-Qur’an
diyakini secara mutawatir berasal dari Allah. Tidak ada satu ayat al-Qur’anpun
yang diragukan sebagai yang bukan berasal dari Allah SWT. atas dasar ini maka
dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat al-Qur’an itu berasal dari Allah
atau bukan. Hal ini berbeda dengan al-hadis. Dari segi datangnya hadis tidak
seluruhnya diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain
Nabi. Hal ini selain disebabkan sifat dari lafadz-lafadz hadis yang tidak
bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap penulisan hadis pada
zaman Rasulullah aga kurang, bahkan beliau pernah melarangnya; dan juga karena
sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan
para ulama seperti Imam Bukhari dan Muslim yang mencurahkan segepan tenaga,
pikiran dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadis, dan hasilnya
penelitiannya itu dibukukan dalam Kitabnya Sahih Bukhari (810-870) dan
Sahih Muslim (820-875).
Karena begitu luasnya peredaran dan
pengaruhnya dari kedua macam kitab tersebut, maka belakangan datang para
peneliti yang selain menggunakan pendekatan perbandingan (comparativ) juga
melakukan kritik. Ulama yang paling keras mengkritik Bukhari adalah
al-Daruquthni. Ia mengatakan bahwa tidak semua hadis yang terdapat dalam Sahih
Bukhari dan Muslim diterima oleh ulama secara sepakat. Di antara ulama yang
tidak menerima adalah dia sendiri, karena di dalamnya terdapat hadis mu’allaq.
Bagian-bagian lain yang dikritik antara lain: a) Berkaitan dengan lebih atau
kurangnya rawi; b) berkaitan dengan perbedaan rawi disebabkan perubahan sanad;
c) Berkaitan dengan penyendirian (fard) rawi; dan penyebutannya pada kali yang
lain tanpa sanad hanya sebagai syahid saja.
Sebagaimana halnya pada Bukhari,
pada Muslimpun datang pula ulama yang memuji dan mengkritiknya. Ulama yang
memuji Muslim antara lain ulama dari al-Maghriby dan al-Naisaburi. Sedangkan
ulama yang mengkritiknya seperti al-Daruquthny yang mengatakan: “Seandainya
tidak ada Bukhari, Muslim tidak akan ada.” Kritik yang bernada meremehkan Imam
Muslim ini berkisar pada masalah sanad atau matan.
Namun, demikian kritik terhadap
kedua kitab tersebut tidak akan sampai menjatuhkan kesahihan kitab tersebut,
dengan dua alasan: a) Kritik pada sanad itu muncul ketika Bukhari menerima
riwayat seseorang yang oleh orang lain diangap memiliki kelemahan karena dia
menganggap lebih dekat dan lebih tahu terhadap rawi tersebut; b) terdapatnya
hadis-hadis mu’allaq dalam Sahih Bukhari hanyalah sekedar untuk menjelaskan
hadis-hadis lainnya yang sanadnya sudah ada.
Selanjutnya terdapat pula penelitian
terhadap hadis Bukhari Muslim dengan menggunakan pendekatan perbandingan.
Menurut hasil penelitian Jumhur Ulama, bahwa Sahih bukhari lebih tinggi
nilainya dari Sahih Muslim dengan alasan: 1) Persyaratan yang dikemukakan
Bukhari lebih ketat dibandingkan persyaratan yang dikeluarkan Muslim; 2)
Kenyataan menunjukan bahwa kritik terhadap Bukhari lebih sedikit dibandingkan
kritik yang ditujukan pada Imam Muslim. Hal ini dapat dilihat, misalnya: a)
Rijal hadis Bukhari yang dikritik hanya 80 orang, sedangkan terhadap Muslim 180
orang; b) Kritik terhadap matan al-Bukhari haya 76 orang, sedangkan terhadap
Muslim 180 orang; 3) Perawi hadis Bukhari yang dikritik adalah orang-orang yang
diketahiu keadaannya oleh Bukhari, atau Bukhari lebih kenal pada orang tersebut
daripada orang yang mengkritiknya.
Pada sisi lain ada yang menilai
bahwa Sahih Muslim jauh lebih memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang
dimiliki Bukhari. Kelebihan tersebut antara lain: 1) Sistematikanya lebih baik;
2) Dari segi redaksi, Muslim lebih diterima daripada Bukhari, karen Muslim
lebih banyak meriwayatkan dengan lafadz, sedangkan Bukhari lebih banyak
meriwayatkan dengan makna, sehingga redaksinya memiliki kelemahan. Hal ini
antara lain, karena Bukhari setelah mendengar hadis dari salah seorang perawi
tidak langsung menuliskannya sehingga kemungkinan lupa bisa terjadi. Oleh
karena itu jika dijumpai perbedaan matan yang terdapat pada kedua kitab
tersebut, maka yang dipakai adalah matan yang berasal dari Imam Muslim.
Melihat beberapa kelebihan yang
terdapat pada Imam Muslim tersebut, maka ulama Maghriby menganggap bahwa hadis
Sahih Muslim lebih tinggi kedudukannya dibandingkan hadis Sahih Bukhari, karena
meskipun persyaratan Muslim dalam menerima hadis lebih sedikit dibandingkan
dengan persyaratan bukhari, namun sudah dianggap memenuhi persyaratan minimal,
sedangkan penamhan liqa’ yakni harus
berjumpa antara sesama perawi dalam hadis Bukhari, mereka menganggapnya sebagai
berlebih-lebihan.
Demikianlah berbagai penilaian yang
diberikan para ahli mengenai kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada
masing-masing kitab tersebut. Hal ini hendaknya semakin menyadarkan kepada
kita, bahwa betapapun hebatnya penelitian tersebut tetap memiliki kelemahan,
disamping kelebihan masing-masing. Yang jelas mereka adalah peneliti-peneliti
awal di bidang hadis. Peneliti hadis berikutnya dapat diikuti pada uraian
berikut ini.
1.     
Model H.M. Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Quraish
Shihab terhadap hadis menunjukan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan
dengan penelitian terhadap al-Qur’an. Dalam bukunya yang brejudul Membumikan Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadis,
yaitu mengenai hubungan hadis dan al-Qur’an serta fungsi dan posisi sunnah
dalam tafsir. Bahan-bahan penelitian yang beliau gunakan adalah bahan bacaan,
yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar di bidang hadis termasuk pula
al-Qur’an. Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis, dan bukan
uji hipotesa.
Hasil penelitian Quraish Shihab
tentang fungsi hadis terhadap al-Qur’an, menyatakan bahwa al-Qur’an menekankan
bahwa Rasul SAW. Berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (Qs. 16:44).
Penjelasan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk
dan sifat serta fungsinya.
Selain itu Al-Hadis juga dapat
mengambil peran sebagai menetapkan hukum atau aturan yang tidak di dapati di
dalam al-qur’an. Dalam hubungan ini kita misalnya membaca hadis yang artinya:
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah
(saudari bapak) nya dan seorang wanita khalah (saudari ibu) nya.” (HR Bukhari
Muslim), dan hadis yang artinya: “Sungguh allah telah mengharamkan mengawini
seseorang karena sepersusuan, sebagaimana hal nya allah telah mengharamkannya
karena senasab” (HR Bukhari dan Muslim). 
2.   Model Musthafa
Al-Siba’iy
Musthafa al-Siba’iy yang dikenla
sebagai tokoh intelektual Muslim dari Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut
gerakan Ikhwanul Muslim, selain banyak menulis (meneliti) tentang
masalah-masalah sosial ekonomi dari sudut pandang Islam, juga menulis buku-buku
materi kajian agama Islam. Di antara bukunya yang berkenaan dengan hadis adalah
al-Sunnah wa Makanatuba fi al-tasyri’i
al-Islami yang diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid menjadi Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam Sebuah
Pembelaan kaum Suni dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta pada
tahun 1991, cetakan pertama.
Penelitian yang dilakukan Mushthafa
al Siba’iy dalam bukunya itu bercorak eksploratif dengan menggunakan pendekatan
historis dan disajikan secara deskriptif analitis. Yakni dalam sistem
penyajiannya mengunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah. Ia
berupaya mendapatkan bahan-bahan penelitian sebanyak-banyaknya dari berbagai
literatur hadis sepanjang perjalanan kurun waktu yang tidak singkat. Penerjemah
buku ini, Nurcholish Madjid mengatakan: “Seperti dapat kita baca dari buku
Mushthafa al-Siba’iy ini, proses pencatatan dan pengumpulan bahan “laporan” itu
memakan waktu cukup panjang, selama 200 tahun, sejak dari masa rintisan Syihab
al-Dina al-Zuhri (wafat 124 H./724M.) sampai penyelesaian al-Nasa’iy (wafat 303
H./916 M.), salah seorang tokoh al-Kuttab al-Sittah”. 
Hasil penelitian yang dilakukan
Mushthafa al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadi dan
tersebarnya hadis mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadis
dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah,
dibukukannya Ilmu Musthalah al-Hadis,
Ilmu Jarh dan al-Ta’dil, Kitab-kitab tentang Hadis-hadis Palsu dan Para
Pemalsu dan penyebarannya.
Selanjutnya Al-Siba’iy juga
menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pandangan kaum Khawarij, Syi’ah,
Mu’tazilah dan Mutakallimin, para penulis modern dan kaum Muslimin pada umumnya
terhadap al-Sunnah. Dilanjutkan dengan laporan tentang sejumlah kelompok di
masa sekarang yang mengingkari kehujjahan al-sunnahdisertai pembelaannya.
Dengan melihat isi penelitian yang
dikemukakan di atas, al-Siba’iy nampak tidak netral. Ia berupaya mengumpulkan
bahan-bahan kajian sebanyak mungkin untuk selanjutnya diarahkan untuk melakukan
pembelaan kaum sunni terhadap al-sunnah. Seharusnya ia menyajikan data apa
adanya, sedangkan penilaiannya diserahkan kepada pembaca.
3.   Model Muhammad
Al-Ghazali
Muhammad al-Ghazali yang menyajikan hasil
penelitiannya tentang hadis dalam bukunya berjudul al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits adalah salah seorang ulama jebolan
Universitas Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khususnya Timur
Tengah, dan salah seorang penulis Arab yang sangat produktif.
Menurut Quraish Shihab buu ini telah menimbulkan tanggapan yang berbeda,
sehingga menjadi salah satu buku terlaris dengan lima kali naik cetak dalam
waktu antara Januari-Oktober 1989. 
Dilihat dari segi kandungannya yang terdapat
dalam buku tersebut, nampak bahwa penelitiab hadis yang dilakukan Muhammad
al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan
menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat
untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadis
tersebut. Dengan kata lain Muhammad Al-Ghazali terlebih dahulu memahami hadis
yang ditelitinya itu dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan
berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat. Corak penyajiannya masih
bersifat deskriptif analitis. Yakni mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian
rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan fikih, sehingga
terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran Islam dari berbagai paham yang
dianggapnya tidak sejalan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah yang mutawatir.
Masalah yang terdapat dalam buku
hasil penelitian Muhammad al-Ghazali itu nampak cukup banyak. Setelah ia
menjelaskan tentang kesahihan hadis dan persyaratannya, ia mengungkapkan
tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya, tentang hukum qishash,
salat tahiyat masjid, tentang sekitar dunia wanita yang meliputi antara
kerudung dan cadar, wanita keluarga dan profesi, hubungan wanita dengan masjid,
kesaksian wanita dalam kasus-kasus pidana dan qishash, perihal nyanyian, etika
makan, minum, berpakaian dan membangun rumah, kemasukan setan: esensi dan cara
pengobatannya, memahami al-Qur’an secara serius, hadis-hadis tentang masa
kekacauan, antara sarana dan tujuan, serta takdir dan fatalisme.
Berbagai masalah yang dimuat dalam
buku tersebut nampak didominasi oleh masalah-masalah fikih yang aktual.
Sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan etika dan teologi hanya
disinggung secara sepintas saja. Di sini menunjukan kecenderungan peneliti
menekuni masalah fikih.
4.   Model Zain al-Din
‘Abd al-Rahim bin Al-Husain Al-Irqiy
Al-Hafidz Zain al-Din ‘Abd al-Rahim
bin Al-Husain Al-Irqiy yang hidup tahun 725-806 tergolong ulama generasi
pertama yang banyak melakukan penelitian hadis. Bukunya berjudul al-Taqyid wa
al-Idlah Syarh Muqaddiman Ibn al-Shalah adalah termasuk kitab ilmu hadis tertua
yang banyak mengemukakan hasil penelitian dan banyak dijadikan rujukan oleh
para peneliti dan penulis hadis generasi berikutnya. Ia disebutkan sebagai
penganut mazhab Syafi’i, belajar di Mesir dan mendalami bidang fikih. Di antara
gurunya adalah al-Asnawiy dan Ibn ‘Udlanyang keduanya termasuk pendiri mazhab
Syafi’i. Selain itu ia juga dikenal menguasai ilmu al-nahwu (gramatika), ilmu
qira’at dan hadis. 
Mengingat sebelum zaman al-Iraqy
belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak ia berusaha membangun ilmu hadis
dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta berbagai pendapat para ulama
yang dijumpai dalam kitab tersebut. Dengan demikian penelitiannya bersifat
penelitian awal, yaitu penelitia yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan
untuk digunakan membangun suatu ilmu. Buku inilah buat pertama kali
mengemukakan macam-macam hadis yang didasarkan pada kualitas sanad dan
matannya, yaitu ada hadis yang tergolong sahih, hasan, dan dhaif.kemudian
dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya
menjadi hadis musnad, muttasil, marfu’, mauquf, mursal, al-munqatil.
Selanjutnya dilihat pula dari keadaan kualitas matannya yang dibagi menjadi
hadis yang syadz dan munkar.
Dalam buku tersebut dikemukakan
tentang sifat dan karakteristik orang yang dapat diterima riwayatnya, cara
menerima dan menyampaikan hadiah, etika dan tatakrama kesopanan para ahli hadis
dan lainnya yang berkaitan dengan adanya hadis-hadis yang secara lahiriah
bertentangan dengan cara mengkompromikannya. 
            5.     
Model Penelitian Lainnya
Selanjutnya terdapat pula model
penelitian hadis yang diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja.
Misalnya, Rifat Fauzi Abd al Muthallib pada tahun 1981, meneliti tentang
perkembangan al-Sunnah pada abad ke-2 Hijriah. Hasil penelitian itu dilaporkan
dalam bukunya berjudul Tautsiq al-Sunnah
fi al-Qurn al-Tsaniy al-Hijri Ususubu wa Itijabat. Selanjutnya Mahmud Abu
Rayyah melalui telaah kritis atas sejumlah hadis Nabi Muhammad SAW. dalam
bukunya berjudul Adlwa’a ‘Ala al-Sunnah
al-Muhammadiyah, tanpa menyebutkan tahun terbitnya. Sementara itu Mahmud
Al-Thahhan khusus meneliti cara menyeleksi hadis serta penentuan sanad yang
disampaikan dalam bukunya berjudul Ushul
al-Takbrij wa Dirasat al-AsanidUshul al-Takbrij wa Dirasat al-Asanid,
diterbitkan tanpa tahun. Disusul pula oleh Ahmad Muhammad Syakir yang meneliti
buku Ikhtisbar ‘Ulum al-Hadits karya
Ibn Katsir (701-774 H) dalam bukunya al-Baits
al-Hadits Syarb Ikhtisbar Ulum al- Hadits yang diterbitkan di Beirut, tanpa
tahun.
            Dalam pada
itu ada pula yang menyusun buku-buku hadis dengan mengambil bahan-bahan pada
hasil penelitian tersebut. Di antaranya Muhammad Ajjaj al-Khatib menulis buku Ushul al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu;
Adib Shalih menulis buku berjudul Lahmat
fi Ushul al-Hadits; dan Nur al-Din Atar menulis buku berjudul Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, yang
diterbitkan Dar al-Fikr tanpa tahun.
            Berdasarkan
pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadis tumbuh menjadi salah
satu disiplin ilmu ke-Islaman. Penelitian hadis nampak masih terbuka luas
terutama jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian
terhadap kualitas hadis yang dipakai dalam berbagai kitab misalnya belum banyak
dilakukan. Demikian pula penelitian hadis-hadis yang ada hubungannya dengan
berbagai masalah aktual nampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam
memahami hadis juga belum banyak digunakan. Misalnya pendekatan sosiologis,
paedagogis, antropologis, ekonomi, politik, filosofis dan sebagainya nampak
belum banyak digunakan oleh para peneliti hadis sebelumnya. Akibat dari keadaan
demikian, nampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadis pada umumnya masih
bersifat persial.
  
BAB III
KESIMPULAN
A.   
Kesimpulan
Para ahli bahasa mendefinisikan yang dimaksud dengan “sebab”
(arab: sababa) adalah “al-habl”: tali, yang menurut lisan al-‘arab dinyatakan
bahwa: kata ini dalam bahasa arab berarti “saluran”, yang berarti: “segala
sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda lainnya”. Para ahli istilah
memaksudkannya sebagai : “segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”.
Sementara
itu, para ahli hukum islam mendefinisikannya dengan: “suatu jalan menuju
terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hukum itu”.
Munculnya
(wurud) hadits sebagai: “sesuatu yang
membatasi arti suatu hadits, baik berkenaan dengan arti umum atau khusus,
mutlak atau terbatas, di nasikh (dihapus)
dan seterusnya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat
kemunculannya.
Manfaat
mempelajari Asbabul Hadits
1.     
Mentakhsish (mengkhususkan) arti yang umum
Seperti
contoh hadits dibawah ini:
“Paha
orang yang shalat dengan orang yang duduk, setengah dari shalat orang yang
berdiri”.
2.    Membatasi arti yang Mutlak
3.    Merinci yang Mujmal (global)
4.    Menerangkan ‘illat (alasan) suatu hukum
Salah satu keistimewaan para ahli ilmu di dunia islam,
terutama para imam hadits, ialah banyak melakukan lawatan dan perjalanan. Dalam
hal ini, mereka mengikuti jejak para sahabat dan tabi’in. apabila mereka
menerima sebuah hadits dari sanad perawi yang dapat dipercaya, mereka tidak
merasa puas dengan cara ini, tetapi mereka melakukan perjalanan berhari-hari,
bahkan berbulan-bulan untuk mendapatkan hadits tersebut secara langsung dari
orang yang meriwayatkannya, tanpa melalui perantara.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin
Nata, Prof. Dr. H. M.A. Metodologi Studi
Islam. 2004. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Abdurrahman.M.Dr.
Pergeseran Pemikiran Hadits. 2000.
Jakarta: Paramidana.
Iraqy,
Al-Hafidz Zain Al-Din ‘Abd al-Rahim bin Al-Husain, al-taqyid wa al-idlah Syarh
Muqaddimah Ibn al-Shalah, (Beirut: Dar al-fikr, 1401 H./ 1981).