BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur’an dan al-Sunnah terhadap segala permasalahan yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin diperbolehkan berijtihad dengan menggunakan akalnya guna menemukan ketentuan hukum untuk penetapannya dalil sebagai landasan kebolehan Hadits Nabi SAW, Alquran adalah sumber hukum ilahi yang paling autentik. Al-Qur’an diturunkan sebagai sumber hukum bagi manusia. Hukum Islam yang ada di tangan kita saat ini adalah sesuatu yang telah mengalami perjalanan yang sangat panjang.
Dalam uraian ini disampaikan sejarah pembentukan dan perkembangan dengan menggabungkan beberapa sumber.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pembentukan hukum islam pada masa Rasullah SAW?
2. Bagaimakah pembentukan hukum islam pada masa al-khulafa dan al-rasiyidin?
3. Bagaimakah proses masa pembinaan, pengembangan, dan pembukuan hukum islam?
4. Bagaimakah hukum islam pada masa kelesuan?
5. Bagaimanakah hukum islam di era modern?
 
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pembentukan hukum islam pada masa Rasullah SAW.
2. Untuk mengetahui pembentukan hukum islam pada masa al-khulafa dan al-rasiyidin.
3. Untuk mengetahui proses masa pembinaan, pengembangan, dan pembukuan hukum islam.
4. Untuk mengetahui hukum islam pada masa kelesuan.
5. Untuk mengetahui hukum islam di era modern.
PEMBAHASAN
A. Pembentukan Hukum Islam pada Masa Rasullah SAW (610-632).
Agama islam sebagai induk hukum islam muncul di semenanjung arab di suatu daerah tandus yang dikelilingi laut pada ketiga sisinya dan lautan pasir pada sisi ke empat. Daerah ini adalah daerah yang sangat panas, di tengah-tengah gurun pasir yang sangat luas yang memengaruhi cara berpikir dan cara hidup suku-suku arab, mereka hidup dalam klan-klan yang disusun berdasarkan garis patrilineal yang saling bertentangan.
Pengangkatan anggota klan ini di dasarkan pada pertalian darah dan ada juga yang berdasarkan pertalian adat. 
Pertalian adat terjadi apabila anggota suku klan lain di angkat menjadi anggota klan yang bersangkutan dalam suatu upacara antara lain dengan meminum beberapa tetes darah anggota klan yang asli.
Susunan klan yang demikian menuntut kesetiaan mutlak para anggotanya dan oleh karena itu jika ada salah satu anggota klan yang melepaskan diri dari anggota klannya. Inilah latar belakang penjelasan mengapa nabi Muhammad setelah hijrah dari mekkah ke madinah dianggap telah memutuskan hubungan dengan klannya yang asli dank arena itu juga ia diperangi oleh anggota klen  asalnya. 
 
Sebagaimana juga dalam masyarakat patrilineal yang lain karenanya kedudukan wanita dipandang sangat rendah. Wanita hanya dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama sekali. Oleh karena itu, jika anak perempuan lahir di dalam satu rumah tangga seluruh keluarga menjadi malu karena telah melahirkan anak yang kelak tidak akan bisa mempertahankan nama klannya sehingga keluarga yang bersangkutan berusaha melenyapkannya ataupun membunuh bayi wanita.
Di tengah kondisi bangsa arab pada waktu itu lahirlah seorang bayi yang oleh ibunya diberi nama Ahmad dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan Muhammad. Kedua nama ini berasal dari satu akar kata yang di dalam bahasa arab berarti terpuji atau yang dipuji. Muhammad lahir pada bulan Rabiul awal tahun gajah. Para penulis sejarah menyebut kelahirannya itu pada 12 rabiul awal (bulan ke tiga tahun hijriah) bersamaan dengan tanggal 20 April 571 M. Akan tetapi, ada pula yang menyamakan bulan rabiul awal tersebut dengan bulan agustus tahun 507 M.
Pada usia 25 tahun Nabi Muhammad menikah dengan siti khadijah yang usianya 15 tahun lebih tua dari beliau. Ketika beliau berumur 40 tahun (610 M) beliau menerima wahyu pertama. Pada waktu itu pula beliau ditetapkan menjadi Rasulullah. Tiga tahun berikutnya malaikat jibril membawwa perintah Allah untuk menyebarkan wahyu yang diterimanya keppada umat manusia.
Dalam menyampaikan dakwah tersebut rasulullah menyebarkan secara sembunyi-sembunyi hingga akhirnya diperintahkan  untuk melakukan hijrah dari mekkah ke madinah. Yang dibawa nabi Muhammad adalah wahyu, yang di antara wahyu tersebut terdapat ayat-ayat yang berkenaan dengan soal hukum. Menurut abdul wahab khalab (guru besar Universitas Kairo) ayat-ayat hukum mengenai soal ibadah berjumlah 140 ayat di dalam al-qur’an. Ayat-ayat itu antara lain mengenai shalat, zakat, puasa, dan haji. Adapun mengenai hukum muamalah yang berjumlah 228 ayat.
Metode yang terbaik dalam memahami ayat-ayat al-qur’an itu adalah metode autentikyakni metode perbandingan langsung antara semua ayat-ayat yang ada sangkut pautnya satu dengan yang lain dengan persoalan pokok masalah yang dibicarakan. Wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad juga dapat penjelasan terhadap persoalan yang dihadapi oleh umatnya pada waktu itu. selain itu, juga beliau memutuskan berbagai persoalan yang muncul dengan berdasarkan pendapat beliau sendiri yakni dengan sunnahnya yang kini telah dibukukan dalam kitab-kitab hadist.
Dengan turunnya wahyu kepad rasulullah, dalam bentuk Al-Qur’an dan Sunnah, mulailah timbul sejarah hukum islam. Ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum kebanyakan ayat madiniyah yang jumlahnya tidak banyak, diturunkan secara berangsur-angsur tidak sekaligus. Selain dari kedua sumber diatas, nabi sendiri memberi contoh berijtihad apabila tidak ada nash Al-Qur’an, sedangkan persoalan harus segera diselesaikan. Untuk itu pada zaman ini nabi memiliki multitugas, yakni tugas membuat hukum sekaligus pelaksanaannya.
Pengertian fiqh pada zaman rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadist), baik yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum, maupun kebudayaan.
Di samping itu, fiqh pada periode ini bersifat actual, bukan bersifat teori. Penetuan hukum terhadap sesuatu masalah baru ditentukan setelah kasus terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun dari sunnahnya sendiri.
Sehingga dapat dikatakan, bahwa pada periode inilah lebih kurang 22 tahun terwariskan dasar-dasar pembentukan hukum yang sempurna. 
Periode ini terdiri dari dua fase yang berbeda:
1) Fase pertama, yaitu rasulullah di Mekkah, lamanya 12 tahun lebih beberapa bulan, sejak kerasulan beliau hingga hijrah ke Madinah. Pada fase ini belum ada arahan pembentukan hukum amaliya dan penyusunan undang-undang perdata, perdagangan, keluarga, dan sebagainya.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada masa itu sebagian besar berbicara tentang akidah, akhlak, suritauladan, dan sejarah perjalanan orang-orang terdahulu. 
2) Fase kedua, yaitu sewaktu rasul berada di madinah, lamanya hampir 10 tahun, sejak hijrah beliau hingga wafatnya. Dalam fase ini, islam benar-benar tegak dengan kuantitas pengikut yang besar dan memiliki pemerintahan sendiri.
Kebutuhan pembentukan hukum dan penyusunan undang-undanng yang menjadi sebuah keniscayaan untuk mengatur hubungan internal, eksternal, baik dalam keadaan perang maupun damai. Oleh karena itu di syariatkan hukum perkawinan, talak, waris, utang piutang, dann sebagainya.
1. Wewenang Pembentukan Hukum di Masa Rasulullah
Dalam periode ini, wewenang pembentukan hukum sepenuhya berada di tangan Rasul. Al-Qur`an selalu diiringi bentuk praktis lewat perkataan dan tindakan beliau. Apabila kaum muslimin dihadapkan pada suatu permasalahan, mereka segera menyampaikan pada rasul. Beliau sendiri yang langsung menyampaikan fatwa hukum, menyelesaikan sengketa, dan menjawab berbagai pertanyaan. Keputusan hukum tersebut kadang-kadang dijawab oleh ayat-ayat al-quran yang diwahyukan keepada rasul dan kadang-kadang beliau berijtihad.
2. Sumber Pembentukan Hukum di Masa Rasulullah
Sumber pembentukan hukum periode rasul ini ada dua, yaitu: wahyu ilahi dan ijtihad rasul (ijtihad nabawi). Pada periode rasul ini dapat dikatakan seluruhnya adalah bersumber dari Allah. Meskipun ada ijtihad rasul. Karena pada akhirnya keputusan tetap harus sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Jika ijtihad itu benar Allah akan membiarkannya, dan jika salah maka akan segera mendatangkan pembetulan atau ralat.
3. Pedoman Pembenukan Hukum di Masa Rasulullah
a. Berangsur-angsur (Tadarruj)
Tadarruj ini memiliki hikmah sebagai berikut:
1. Memudahkan umat dalam mengenal materi demi materi undang-undang yang mengatur kehidupannya
2. Mempermudah umat dalam memahami masalah-masalah hukum secara sempurna
3. Menjadi ilaj (obat) untuk memperbaiki jiwa-jiwa yang keras agar siap menerima taklif agama tanpa bosan, kesulitan, atau keengganan.
b. Menyedikitkan peraturan-peraturan
 Kelahiran hukum-hukum syariat adalah semata-mata karena adanya kebutuhan manusia dalam menjamin kemaslahatannya, maka pembentukan hukum-hukum itu dibatasi menurut relevansi kebutuhan dan kemaslahatan manusia.
c. Mempermudah dan Memperingan (Taisir dan Takhfi)
 Prinsip memberikan kemudahan dan keringan adalah karakter syariat Islam yang menonjol, Allah SWT berfirman (QS. Al-Baqarah : 185) yang artinya:
“Allah menghendaki kemudahan harimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." 
Dalam hadist shahih diriwayatkan, bahwasannya apabila dipilihkan kepada nabi dua hal, maka nabi mesti memilih yang lebih mudah di antara keduanya, asal saja tidak mengandung dosa. Dalam syariat Islam, jika ada situasi khusus, di mana hukum-hukum yang telah ditetapkan ternyata mengandung kesulitan, maka sudah pasti disyariatkan rukhsah (keringanan), maka dihalalkan apa yang semula haram, manakala timbul keadaan yang memaksa.
Diperbolehkan meninggalkan kewajiban apabila timbul kesulitan dalam melaksanakannya. Keadaan terpaksa, sakit, bepergian, lupa, ketidaksengajaan, ketidaktahuan, adalah hal-hal yang dianggap uzur yang menuntut adanya keringanan (Rasyad Hasan Khalil, Tarikh al-Fiqh al-Islam, Tarikh Tasyri’, 1995 : 82).
d. Pembentukan Hukum Sejalan dengan Kemaslahatan Manusia
 Bukti berlakunya prinsip ini merujuk pada beberapa kenyataan yang terjadi, bahwa pada suatu saat Allah telah menentukan hukum sesuatu, kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi, karena dipandang tidak relevan lagi dengan kemaslahatan manusia, misalnya:
1. Perubahan ketentuan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Baitullah, Ka’bah
2. Perubahan ketentuan masa ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, dari setahun menjadi 4 bulan 10 hari
3. Nabi pernah melarang ziarah kubur, kemudian memperkenankannya
Selain itu, syariat Islam pada masa itu juga membiarkan tradisi manusia yang ada, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat agama dan tidak menimbulkan bahaya. Contoh: Islam membiarkan masalah kekufuan dalam perkawinan, membiarkan ikatan kekeluargaan dalam hukum waris, dan lain-lain.
4. Peninggalan Produk Hukum pada Masa Rasulullah
 Yaitu mewariskan wahyu ilahi (ayat-ayat ahkam) dan ijtihad rasul (hadist-hadist ahkam). Ayat-ayat ahkam tentang ibadah dan hubungannnya dengan berijtihad  berjumlah 140 ayat. Sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalat, jinayat kira kira ada 200 ayat. Semuanya terjabar dalam berbagai surat. Sementara jumlah hadist-hadist ahkam berjumlah 4500 hadist.
B. Pembentukan Hukum Islam pada Masa al-Khulafa, al-Rasiyidin 
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum perlu melakukan ijtihad apabila hukum suatu persoalan yang muncul dalam masyarakat tidak di temukan dalam al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah, di tambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah.
Masa khalifah pertama Abu Bakar as-shidiq, disebut sebagai masa penetapan tiang-tiang hukum Islam. Para sahabat telah mewarisi kepada yang pernah ada pada masa Rasulullah, dan diharapkan pula kepada mereka masalah-masalah baru ia memutuskan (qodla) hukum Islam. Para sahabat lainnya ia libatkan dalam masalah fatwa mengeluarkan keputusan qodla, mengajarkan pada orang lain melakukan ijtihad menginterpresikan ayat-ayat dan sebagainya (abd al-wahab Ibrahim).
Meskipun ushul fiqh dikenal belum sebagai disiplin ilmu tetapi induksi terhadap hukum-hukum dan ijtihad terhadap masalah-masalah baru sudah didapatkan dan tersebar luas di kalangan para sahabat.  
 Setelah Abu Bakar meninggal dunia, yang menjadi Khalifah kedua adalah Umar bin Khattab, ketiga Usman bin Affan, dan  keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Pemerintahan keempat ini berlangsung selama 30 tahun dari 632 M sampai dengan 662 M. Metode pengajaran hukum yang dilakukan para sahabat adalah mengembalikan permasalahan terlebih dahulu kepada al-Qur’an.
Jika tidak dapat diselesaikan baru mereka ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dicari, cara mereka berijtihad adalah dengan berpegang kepada ma’qul al-nash dan mengeluarkan i’lah (penyebab adanya hukum) atau hikmah yang dimaksud daripada nash itu, kemudian menerapkan semua masalah yang sesuai i’lah-nya dengan i’lah yang ada pada nash. Inilah yang disebut dengan Qiyas, dengan bermusyawarah dalam mencari hukum yang tidak ada nashnya, kemudian mereka bersepakat temukan atas suatu masalah ,inilah yang dimaksud dengan ijma’.
Diakui ahli sejarah, bahwa masa pemerintah Khulafaur Rasyidin sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam karena dijadikan contoh oleh generasi berikutnya, terutama oleh generasi ahli hukum Islam saat ini, tentang cara menemukan dan menerapkan hukum Islam. Pemerintahan keempat Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 30 tahun yakni dari tahun 632-662 M. 
 Abu Bakar as-Shiddiq memerintah sejak tahun 632-634 M.
Menyelesaikan masalah hukum yang timbul di dalam masyarakat, mula-mula pemecahan masalah dicarinya dari al-Qur’an. Selanjutnya bila tidak terdapat di dalam al-Qur’an, dicarinya di dalam Hadis Nabi jika penyelesaian masalah tersebut tidak ditemukan di dalam Hadist, maka beliau bertanya kepada para sahabat nabi yang berkumpul dalam satu majelis itu mengambil satu ijtihad bersama atau ijtihad kolektif sehingga muncullah konsensus bersama yang disebut ijmak mengenai masalah-masalah tersebut.
Dalam masa pemerintah Abu Bakar inilah sering dicapai apa yang dimaksud dengan ijmak sahabat.  
 Pemerintah Umar bin Khattab berlangsung sejak tahun 634-643 M. Umar turut aktif di dalam mensyariatkan agama Islam sampai ke Palestina, Syria, Irak, Persia di sebelah utara serta Mesir di barat daya. Pada masanya ia juga menetapkan tahun hijriah sebagai tahun Islam. Penetapan tahun baru Hijriah ini dilakukan pada 638 M dengan bantuan para ahli ilmu hisab. Penetapan ini kemudian dilakukan oleh umat Islam seluruh dunia seperti melaksanakan shalat tarawih. Shalat Sunnah, sesudah sholat isya’, di dalam menyelesaikan permasalahan hukum Umar mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar.
Umar berani dalam menafsirkan nash-nash al-Qur’an berdasarkan keadaan yang nyata pada suatu waktu tertentu. Ia adalah orang yang bijaksana dalam menetapkan ketentuan hukum yang timbul di dalam masyarakat dengan kemaslahatan atau kepentingan umum. Misalnya, talak tiga yang diucapkan sekaligus pada suatu tempat disuatu ketika dianggap sebagai talak yang tidak mungkin untuk ruju’ sebagai suami-istri kecuali salah satu pihak menikah terlebih dulu dengan orang lain. Hal ini dimaksudkan agar suami lebih berhati-hati dalam menjatuhkan talak. Selain itu, juga khalifah Umar melarang perkawinan campuran untuk melindungi kedudukan wanita muslim.
Pemerintahan Usman berlangsung pada 644-656 M. pada masa pemerintahan Usman banyak diiringi dengan politik keluarga atau yang lebih dikenal dengan nepotisme untuk mengutamakan keluarga dan sanak saudara sehingga hal tersebut menyebabkan keguncangan pada pemerintahannya. Pada pemerintahan Usman mulai dilakukan pembukuan al-Qur’an dengan membentuk panitia yang dipimpin oleh zid bin Tsabit yang kemudian disimpan oleh Hafsah. 
 Ali bin Abi Thalib memerintah sejak 656-662 M.
Pada masa pemerintahannya Ali tidak dapat sepenuhnya mengembangkan hukum Islam, dikarenakan kondisi Negara yang tidak stabil akibat banyak terjadi perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang pada akhirnya bermuara pada perang saudara.
Masalah ini kemudian menimbulkan kelompok-kelompok di antaranya yaitu ahlus sunnah wal jamaah, yakni kelompok yang berpegang pada sunnah Rasulullah dan syiah yang merupakan pengikut Ali bin Abi Thalib. Perpecahan antara kelompok ini memunculkan perbedaan pendapat mengenai masalah politik, yakni tentang siapa yang berhak menjadi khalifah, kemudian ditambah dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, system hukum, dan kekurangan. Golongan syiah kini banyak terdapat di Lebanon, Irak, India, Pakistan, dan Afrika bagian timur. Bekas pengaruhnya juga terdapat di tanjung priok, Indonesia.
C. Masa Pembinaan, Pengembangan, dan Pembukuan Hukum Islam (Abad 8-13 M) 
Pada priode ini berkurang setidaknya 250 tahun lamanya yang dimulai pada bagian kedua abad ke 7 sampai abad ke 10 M. dilihat dari kurun waktu ini, pengembangan dan pembinaan hukum islam dilakukan pada masa Khalfiah Umayyah (662-750 M) dan Khalifah Abasiyah (750-1258 M) (Hazairin, 1995, th). Pada masa bani umayyah ini mulai timbul segi-segi kelemahan pada kerajaan arab yakni pada awal abad ke-11 H sebagai akibat perselisihan politik yang tidak pernah padam. Masih ada yang tetap menyembunyikan tipu daya terhadap muawiyyah dan 
keluarganya.
Mereka itu dua golongan aliran yaitu dua golongan khawarij dan syiah. Adapun factor yang membuat kecenderungan tersebut adalah:
1. Pengaruh dari perbuatan local dan perbuatan daerah kekuasaan
2. Adapun infiltrasi (penyusupan)alam pikiran asing, khususnya filsafah yunani, yang menimbulkan beberapa aliran termasuk tasawuf zuhud dan tasawuf falsafah serta tasawuf india.
3. Untuk menghadapi tantangan hidup dan perkembangan m asyarakat islam dan masyarakat pedesaan yang sederhana menuju masyarakat yang metropolis yang kompleks, dari politik regional kepolitik internasional (M.al-bakiy.1987: 2-3) masa ini adalah masa pembentukan hukum islam yang sudah menjurus pada furusyar’iyal. Huykumnya diambil dari dalil-dalil yang terperinci dan sekaligus peletakan peraturan dasar yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci dan sekaligus peletakkan peraturan dasar yang diambil dari keempat sumber yang sudah ada (Abuddin Nata 2003: 12). 
 
Pertengahan abad ke-1 H sampai pada abad ke-2. Priode ini merupakan pembentukan fiqh islam. Sejak zaman utsman bin affan (576-656) khalifah ketiga para sahabat sudah banyak bertebaran di berbagai daerah yanhg di taklukan islam masing-masing sahabat menegerjakan Al-Quran dan Hadist Rosulullah kepada penduduk bsetempat. Diirak sebagai pengembang hukum islam adalah Abdullah bin Mas’ud (ibnu masud) Zaiud bin Tsabit (11SH/665 SM) dan Abdullah  bin umar (ibnu umar) dimadinah dan ibnu abbas di mekkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda,sesuai dengan keadaan setempat (Abudin Nata, 2003: 12).
Dari perbedaan metode yang digunakan para sahabat ini kemudian munculah dalam fiqh islam madrasah al-hadist (madrasah=aliran)dan madrasah ar-ra’yu madrasah al-hadist kemudian dikenal dengan sebutan madrsah al-hijaz dan madrasah al-madinah.
 Adapun madrsah al-iraq dengan menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad. Hal ini mereka lakukan dengan hadis-hadis rosullulah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baiuk secara kualitas maupun kuantitas,dibandingkan dengan masalah yang dihadapi dengan al-hijaz. Ulkama hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen.
Sedangkan ulama irak berhadapan dengan masyarakat yang relative majemuk. Oleh karena itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad. 
 Pada bani abbas yang memerintah, kurang lebih 500 tahun dimulai pada permualaan abvad kedua hijriah (VII M), bersamaan dengan pengakatan Abdullah al-saffah sebagai khalifah pertama abbasiyah dan berakhir pada pertengahan babada keepat hijriyah, muncul era baru perkembangan peradaban islam,termasuk perkembangan hukum islam, periode ini disebut sebagai periode gemilang dalam sejarah binaan hukum islam, betapa tidak, karna fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang.
Orang yang melakukan usaha yang demikian itu disebut mujtahid, yakni orang yang melakukan ijtihad, menurut kualitas dan hasil karyanya mujtahid itu dapat diklasifikasikan kepada:
1. Mujtahid mutlak yaitu para ulama pertama kali mengusahakan terbentuknya hukum fiqh islam. Berdasarkan ijtihad mereka tentang ayat-ayat huukum dan sunnah nabi. Para mujtahid ini seperti abu hanifah, malik bin anas,asy-syafi’I, ahmad bin hambal yang dengan pengetahuannya yang sangat luas mampu menetapkan garis-garis hukum menurut ijtihadnya.
2. Mujtahid mazhab yakni orang yang yang meneruskan dasar-dasar ajaran yang telah diberikan oleh mujtahid-mujtahid mutlak. Dengan usaha mujtahid usaha garis-garis hukum menjadi lebih jelas untuk diterapkan pada masalah tertentu, walaupun belum dapat memecahkan setiap persoalan yang tumbuh dalam masyarakat, diantara mujtahid contoh mujtahid mazhab ini adalah al-ghazali.
 3. Mujtahid fatwa yaitu orang yang melenjutkan pekerjaan mujtahid mazhab untuk menentukan hukum suatu masalah melalui fatwa atau nasehat.
4. Ahli tarjih yaitu orang-orang yang dengan ilmu pengetahuan yang ada padanya dapat membandin-bandingkan mana yang lebih kuat pendapat-pendapat yang ada serta memberi penjelas atau komentar atas pendapat yang berbeda yang dikemukakan oleh paqra mujtahid.
Banyak faktor yang memungkinkan pembinaan dan pengembangan hukum islam pada periode ini, diantaranya:
1. Wilayah islam sudah sangat luas, terbentang dari perbatasan india-tiongkok ditimur sampai ke spanyol (Eropa) disebelah barat.
2. Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat digunakan sebagai bahan dan landasan untuk membangun serta mengembangkan hukum fiqh islam.
3. Telah tersedia para ahli yang mampu berijtihad memecahkan masalah hukum yang terjadi di masyarakat.
 Dalam periode ini timbul para mujtahid atau imam yang masing mempunyai pengfikut yaitu:
1. Abu Hanifah (al-lukman ibn tsabit 700-767 M)
Abu hanifah banyak menggunakan pikiran atau ra’yu dalam memecahkan permasalahan hukum.
2. Malik bin Anas (713-795). Malik bin anas menegembangkan pahamnya di madinah. Malik banyak menggunakan sunnah dalam memecahkan permasalahan hukum. Malik sendiri banyak menggunakan sunnah nabi, ia menyusunnya dalam kitab hadist yang terkenal dengan kitab jazair.
3. Muhammad idris as-Syafi’I (767-820 M)
Ia disebut sebagai arsitek agung sumber hukum fiqh islam karna dia  merupakan ahli islam pertama yang menyusun ilmu ushul fiqh, yakni ilmu yang tentang sumber hukum islam dalam bukunya yang terkenal yakni ar-isalah..
4. Ahmad bin Hambal (781-855 M)
Ia belajar hukum dari beberapa ahli termasuk dengan syafi’I pendapat Ahmad bin Hambal menjadi pendapat resmi Negara di Saudi Arabia. Dibandingkan dengan mazhab lainnya, mazhab hambali lebih sedikit  pengikutnya.
Pada periode abbasiyah ini pertentanga antara madrsah al-hadits dengan madrsah ar-ra’yu semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peran ra’yu dalam berijtihad. Seperti yang dikatakan oleh imam Muhammad abu zahrah, guru besar fiqh di Universita Al-azhar, mesir bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama. Karna ternyata masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain.
Kitab-kitab fiqh pun kemudian mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi Negara, sepertib dalam masa pemerintahan daulah abbasiyah yang menjadfikan fiqh mazhab hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Disamping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh alam bebrbagi mazhab, dalam periode ini juga disusun  kitab-kitab ushul fiqh, seperti kitab ar-risalah yang disusun oleh imam syafi’i. sebagaiman pada periode ketiga, pada periode ini fiqh iftiraadi semakin berkembang karna pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan actual dikala itu, tetapi mulai bergeser pada pe3ndekatan teoretis.
Oleh sebab itu, hukum untuk permasalah yang mungkin akan terjadi pun sudah dapat dipastikan. Pertentangan-pertentangan dalam materi ushul fiqh merupakan sebab kesibukan ulama untuk menyusun ilmu yang bmereka namakan ushul fiqh yaitu kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap mujtahid dalam istinat (Hudhari Bik, 1980:341).
 D. Masa Kelusuan (Abad XII-XVIIII M) 
 Sejak permulaan abad ke-4 H, abad ke 10-11 M ilmu hukum Islam mulai berhenti berkembang hal ini terjadi di akhir pemerintahan Abasiyah yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini,para ahli hukum tidak lagi memusatkan untuk memahami prinsip-prinsip dan ayat ayat hukum yang terdapt dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. 
Adapun Faktor-faktor atau keadaan yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan pemikiran hukum islam sebagai berikut.
1. Kesatuan wilayah islam telah retak karna munculnya beberapa Negara seperti Eropa,Afrika Utara,di kawasan Timur Tengah maupun di Asia. Hal ini membawa ketidaksetabilan Politik.
2. Pecahnya kesatuan pemerintah menyebabkan merosotnya ke wibawaan pengadilan perkembangan hukum.
3. Ketidakstabilnya politik menyebabkan ketidakstabilannya berpikir, artinya orang tidak bebas dalam mengutarakannya pendapatnya.
4. Timbullah gejala kelesuan berpikir karena kelesuan berpikir para ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan menggunakan akal piker dan tanggung jawab (A. Hanafi,1970:174-175).
Pada abad ke 14 H sampai pertengahan abad ke-7 H/ke-10-11 M. pada periode ini para ulama semangat berijtihad  di dalam kalangan ulama fiqh,bahkan mereka sangat puas terhadap fiqh yang disusun dalam berbagai mazhab.
Para ahli hukum tidak lagi berusaha untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad,tetapi pemikirannya ditumpuhkan pada pemahaman perkataan,pikiran,hukum para imam saja. Adapun faktor-faktornya,diantar lain sebagai berikut:
1. Kesatuan wilayah islam yang luas,telah retak dengan munculnya beberapa Negara baru, baik Eropa (Spanyol), Afrika Utara, atau di kawasan Timur Tengah, di Asia.
 2. Ketidakstabilan politik menyebabkan ketidakstabilan kebebasan berpikir, Artinya orang tidak biasa mengeluarkan pendapatnya
3. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan itu menyebabkan merosotnya pula kewibawaan pengadilan perkembangan hukum islam
4. Timbulnya gejala kelesuan berpikir dimana-mana. Karna kelesuan beripikir itu,para ahli tidak mampu lagi perkembangan keadaan dengan menggunakan akal pikiran yang merdeka dan bertanggung jawab.
 Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakn beberapa beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu pada periode ini.
1. Munculnya sikap ta’assub madzhab yaitu ulama pada waktu itu lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad.
2. Para hakim yang hanya bertaklid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang di terapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnnya.
 3. Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab.
Pada periode ini penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah Rosullah SAW serta pertimbangan tujuan syara’ dalam menetapklan hukum, tetapi berahli pada sikap mempertahakan pendapat mazhab secara jumud (Konservasi), upaya mentkhrij.
 Al-Imam Ibnul Qayyim mengeluhkan kemujudan para fukaha pada masanya, yaitu Abad ke-8 H.sehingga mereka memaksa para pejabat yang berkuasa untuk menetapkan uud Politik sendiri,terlepas dari hukum syariat. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu,keinginan penguasa pun sudah kedalam masalah-masalah fiqh.pada akhir periode ini dimulai upaya kondifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluiruhnya di ambil dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajan Ottoman:1300-1922) yaitu mazhab Hanafi,yang dikenal dengan majalah Al-Ahkam al-adliyyah, sejak periode ini.Kemudian semakin berkembangnya upaya kondifikasi hukum islam,dan munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
E. Hukum Islam di Era Modern (Abad ke-19 Sampai Sekarang)
Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya pemikiran Islam mengalami kebangkitan kembali pada abad ke-19. kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taklid yang telah membawa kepada kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru, di antaranya gerakan ahli hukum yang menyerahkan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dinamakan gerakan salaf (salafiyah). pada masa lepas pertengahan abad ke-13 telah timbul seorang mujtahid besar yang mengembuskan semangat baru dalam dunia pemikiran dan hukum Islam, ia bernama Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) dan muridnya Ibnu Qayim al Jauziyah (129-1356 M). pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke-17 oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab (1730-1787 M). yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang memiliki pengaruh pada gerakan padri di Minangkabau (Indonesia). Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh JamaluddinAal-Afghani (1839-1897 M) terutama di lapangan politik (HM. Rasjidi, 1976: 20). 
 Paham Ibnu Taimiyah membagi ruang lingkup agama Islam ke dalam dua bidang besar yakni ibadah dan muamalah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Muhammad Abduh, beliau menyebutkan beberapa program pembaharuan pemikiran diantaranya:
1. Membersihkan Islam dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan Islam.
2. Mempertahankan atau membela ajaran Islam dari pengaruh Barat.
3. Merumuskan dan menyatakan kembali ajaran Islam menurut alam pikiran modern.
4. mengadakan pembaruan Islam dalam sistem pendidikan Islam terutama tingkat perguruan tinggi.
5. Membebaskan negeri-negeri yang penduduknya beragama Islam dari belenggu penjajah. 
   
 Adapun dalam bidang hukum beliau tidak terikat pada suatu paham atau mazhab tertentu. iya berani mengambil keputusan hukum secara bebas dari pendapat yang ada dengan penuh tanggung jawab.
hukum Islam merupakan keseluruhan ketentuan perintah Allah yang wajib dituruti oleh seorang muslim yang bertujuan untuk membentuk manusia menjadi tertib, aman, dan selamat. Dari sejarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam tersebut dapat dipahami bahwa tidak semua permasalahan hukum Islam terjawab secara eksplisit di dalam Alquran dan Sunnah. Oleh karena itu, pengkajian dan penetapan hukum yang muncul belakangan bahkan hingga saat ini yang tetap dilakukan dengan ijtihad hukum ijtihad tersebut haruslah tidak sejalan dengan nilai-nilai, maksud, dan tujuan Syar’i ketika menggali kandungan Al-Qur’an dan Hadis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
 Pembentukan Hukum Islam pada Masa Rasullah SAW (610-632) memiliki dua fase yaitu Fase pertama, belum ada arahan pembentukan hukum amaliya dan penyusunan undang-undang perdata, perdagangan, keluarga, dan sebagainya. Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada masa itu sebagian besar berbicara tentang akidah, akhlak, suritauladan, dan sejarah perjalanan orang-orang terdahulu. Fase kedua, islam benar-benar tegak dengan kuantitas pengikut yang besar dan memiliki pemerintahan sendiri. Kebutuhan pembentukan hukum dan penyusunan undang-undanng yang menjadi sebuah keniscayaan untuk mengatur hubungan internal, eksternal, baik dalam keadaan perang maupun damai.
 Pembentukan Hukum Islam pada Masa al-Khulafa, al-Rasiyidi, Pada pemerintahan Usman mulai dilakukan pembukuan al-Qur’an dengan membentuk panitia yang dipimpin oleh zid bin Tsabit yang kemudian disimpan oleh Hafsah. Pada masa pemerintahannya Ali tidak dapat sepenuhnya mengembangkan hukum Islam, Perpecahan antara kelompok ini memunculkan perbedaan pendapat mengenai masalah politik, yakni tentang siapa yang berhak menjadi khalifah, kemudian ditambah dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, system hukum, dan kekurangan. Golongan syiah kini banyak terdapat di Lebanon, Irak, India, Pakistan, dan Afrika bagian timur. Bekas pengaruhnya juga terdapat di tanjung priok, Indonesia.
 Masa Pembinaan, Pengembangan, dan Pembukuan Hukum Islam (Abad 8-13 M) Pada masa bani umayyah ini mulai timbul segi-segi kelemahan pada kerajaan arab yakni pada awal abad ke-11 H sebagai akibat perselisihan politik yang tidak pernah padam. Masih ada yang tetap menyembunyikan tipu daya terhadap muawiyyah dan keluarganya.
 Masa Kelusuan (Abad XII-XVIIII M) pada masa ini hukum Islam mulai berhenti berkembang hal ini terjadi di akhir pemerintahan Abasiyah yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini,para ahli hukum tidak lagi memusatkan untuk memahami prinsip-prinsip dan ayat ayat hukum yang terdapt dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
 Hukum Islam di Era Modern (Abad ke-19 Sampai Sekarang, Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya pemikiran Islam mengalami kebangkitan kembali pada abad ke-19. Kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taklid yang telah membawa kepada kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru, di antaranya gerakan ahli hukum yang menyerahkan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dinamakan gerakan salaf (salafiyah). Pada masa lepas pertengahan abad ke-13 telah timbul seorang mujtahid besar yang mengembuskan semangat baru dalam dunia pemikiran dan hukum Islam, ia bernama Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) dan muridnya Ibnu Qayim al Jauziyah (129-1356 M).
B. Saran 
 Demikian lah proses perkembangan pembentukan Hukum Islam pada masa Rasullah hingga masa modern sekarang, lama nya perkembangan dan pembentukan Hukum Islam yang mengalami kemuduran hingga bangkit kembali.
Saran dari penulis semoga Hukum Islam yang tetap menjadi pedoman hidup bagi umat Islam dan tidak lupa menjadikan Al-Qura’an dan Al-Hadits sebagai sumber Hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Izzomiddin, Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Prenadamedia Group, 2018.