A. LATAR BELAKANG MASALAH
Zaman modern telah menempatkan manusia menjadi bagian dan perkembangan yan penuh dengan tantangan dan persaingan yang menyebabkan munculnya nilai dan kebutuhan baru bagi mereka yang tidak  lagi sekedar sederhana. Eksisitensi syariat islam yang konsisten pada prinsip tidaklah harus statis, tetapi harus fleksibel dan dapat meredukasi perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia. Hal ini merupakan kegiatan aktualisasi kembali agama islam, diman secara garis besarnya adalah menekankan pada pengejawantahan islam dengan meninterpretasi kembali sumber hukum islam dengan menggunakan kebutuhan, situasi, dan kondisi dewasa ini sebagai paradigmanya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka orang islam dituntut untuk dapat melakukan rekontruksi  khazanah hukum islam secara inovatif melalui media ijtihad. Sebab kajian soal ijtihad akan selalu aktual, mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad tisak bisa dipisahkan dengan produk-produk fiqh yang senantiasa fleksibel dan perkembangannya berbanding lurus dengan kehidupan dan kebutuhan manusia.
Namun dengan adanya fleksibilitas dalam syariat islam dan tuntutan  bahwa hukum islam harus senantiasa uptudate dan dapat meredukasi perkembangan kehidupan umat bukan berarti ajaran islam, terutama fiqhnya tidak konsisten dan bebas meninterpretasikan Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan kehidapan manuia sehingga aktualisasi hukum islam memlalui pintu ijtihad dalam praktiknya dapat menggeser kepastian Al-Qur’an dan Sunnah hanya untuk memberikan legitimasi kepentingan manusia, baik politik, ekonomi, sosial, hukum dan lain sebagainya dengn dlaih tuntutan humanisme.
Hal tersebut yang mendorong prinsip-prinsip hukum islam dibentuk sebagai upaya untuk membentengi syariat islam. Dari pemaparan diatas, maka penulis mengangkat judul mengenai
“PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM”.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
 Apa Yang Dimaksud Dengan Prinsip Tauhid?
2.
 Apa Yang Dimaksud Dengan Keadilan (Al-‘adl)?
3.
 Apa Yang Dimaksud Dengan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar?
4.
 Apa Yang Dimaksud Dengan Kebebasan/Kemerdekaan (al-Hurriyah)?
5.
 Apa Yang Dimaksud Dengan
6.
 Apa Yang Dimaksud Dengan
7.
 Apa Yang Dimaksud Dengan Prinsip Toleransi (Tasamuh)?
C.
 TUJUAN MAKALAH
1.
 Untuk Mengetahui Prinsip Tauhid
2.
 Untuk Mengetahui Prinsip Keadilan (Al-‘adl)
3.
 Untuk Mengetahui Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
4.
 Untuk Mengetahui Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan (al-Hurriyah)
5.
 Untuk Mengetahui Prinsip
6.
 Untuk Mengetahui Prinsip
7.
 Untuk Mengetahui Prinsip Toleransi (Tasamuh)
PEMBAHASAN
Implementasi hukum islam mengikuti eksistensi, prinsip dan asas syariat islam. Era mekanisasi dan modernisasi telah menempatkan manusia menjadi bagian dan perkembangan yang penuh dengan kontroversi, tantangan dan persaingan yang menyebabkan muncul nya nilai dan kebutuhan baru bagi mereka yang tidak lagi sekedar sederhana. Syariat islam yang selalu konsisten pada prinsip dan asasnya, ketidakstatisan, dan fleksibilitas akan mampu menjawab perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia. Hasan Bisri, yang selalu menekankan reaktualisasi islam,mengemukakan pentingnya pengejawatahan islam dengan menginterpretasi sumber hukum islam dengan memperhatikan kebutuhan, situasi, dan kondisi dewasa sebagai paradigma (wahbah zuhaili).
Ilmuwan hukum islam dituntut untuk dapat melalukam rekonstruksi terhadap khazanah hukum islam secara inovatif melalui media ijtihad. Sebab, kajian soal ijtihad akan selalu actual, mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi islam tidak bisa dipisahkan dengan produk fiqh dan yang namanya fiqh itu senantiasa fleksibel dan perkembangannya berbanding lurus dengan kehidupan dan kebutuhan manusia.
Berdasarkan fenomena tersebut, pendekatan filsafat terhadap hukum islam adalah sebuah jawaban dalam upaya memahami prinsip-prinsip hukum islam secara mendasar dan radikal guna mewujudkan roh-roh syariat islam sehingga hukum islam, disatu sisi dapat fungsional dan menjawab berbagai persolan kehidupan, dan disisi lain, pemahan yang dilakukan terhadap pada substansi ajarannya. Mengatur hubungan manusia dengan tuhannya dan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam semesta akan tetap terjaga karena syariat islam tidak lain merupakan seperangkat aturan pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginannya.
Abu zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukalaf baik berupa iqtida(tuntutan perintah atau larangan), takyir (pilihan), maupun berupa wadh’I (sebab akibat). Ketettapan Allah dimaksudkan telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf (abu Zahrah, 1994:26). Hasbi ash shiddiqie mendefinisikan hukum secara lughawi adalah menetapkan sesuatu asas (ash shiddieqy, 1958: 209). Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum islam memiliki prinsip-prinsip sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokoknya (ash shiddieqy, 1993:73).
Secara etimologi (tata bahasa), prinsip adalah dasar, permulaan dan aturan pokok (suryadi, 1980:190). Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut : permulaan, tempat pemberangkatan, titik tolak, atau al-mabda (juhaya s. Praja, 1995:69). Prinsip hukum islam meliputi prinsip umum dan prinsip khusus adapun secara terminology prinsip adalah kebenaran universal yang didalam hukum islam dan menjadi titik tolak pembinaannya yaitu prinsip yang membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip umum adalah keseluruhan hukum islam yang bersifat universal. Adapun peinsip prinsip khusus yakni prinsip-prinsip setiap cabang hukum islam (juhaya, s. praja, 1995:69).
Berikut uraian mengenai prinsip-prinsip hukum islam menurut Juhaya S.Praja :
A. Prinsip Tauhid
Secara etimologis, Tauhid berarti mengesakan, yaitu mengesakan Allah, Tauhid adalah prinsip umum hukum islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran (3):64. Berdasarkan pada prinsip Tauhid ini, maka pelaksanaan hukum islam merupakan ibadah. Dalam arti penghambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai bukti kesyukuran kepadanya. Dengan demikian, tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesame manusia dan sesame makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada seluruh kehendaknya. Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memosisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al Quran dan As-sunnah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah maka orang tersebut dapat dikategorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, zalim, dan fasik (QS. Al-maidah: 44,45 dan 47).
Pada prinsip umum tauhid, maka lahirlah prinsip hukum yang merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid. Umpamanya yang berlaku dalam fiqh ibadah sebagai berikut : prinsip pertama, berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara. Artinya, bahwa tak seorangpun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib disembah. Prinsip kedua, beban hukum (taklif) ditunjukan kepada memelihara akidah dan iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs), dan pembentukan pribadi yang luhur. Artinya, hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat Allah.
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan asas hukum ibadah, yaitu asas kemudahan/meniadakan kesulitan. Dari asas ini hukum tersebut terumuskan kaidah-kaidah hukum sebagai berikut :
1.
 Al-ashlu fii al-abadati tuqifu wal ittiba’, yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasulnya.
2.
 Al- Masaqqah tajlibu at-taysiir, yaitu kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan mendtangkan kemudahan.
Pembentukan kepribadian takwa berkaitan sangat erat dengan tauhid. Penanaman tauhid yang baik dan benar kepada anak akan sangat menentukan terwujudnya kepribadian takwa. Pertama, tauhid merupakan pondasi yang diatasnya berdiri bangunan-bangunan kehidupan manusia, termasuk kepribadiannya, dengan makin kuat dan kukuhnya tauhid, maka baik dan sempurna kepribadian takwa seorang. Kedua, tauhid merupakan aspek batin yang memberikan motivasi dan arah bagi perkembangan kepribadian manusia.
B. Prinsip Keadilan (Al-‘adl)
Keadilan dalam bahasa arab, salaf adalah sinonim al-mizan (keseimbangan/moderasi). Kata keadilan dalam Al-quran kadang disamakan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan didalam Al-quran terdapat dalam QS. Al-syura’ (42):17 dan al-hadiid (57):25.  Pada umumnya, keadilan adalah keadaan dimana setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan kita bersama (F.M.Suseno,1986:44). Term keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kewajiban raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip modernisasi, menurut az-zuhaili, bahwa perintah Allah ditunjukan bukan karena esensinya, sebab Allah tidak mendapatkan keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadatan dari perbuatan maksiat manusia. Namun, ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas perilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
Penggunaan term adil/keadilan da;am Al-Qur’an di antanya yaitu :
1.
 QS. Al-an’aam (6):152. Perintah kepada manusia agar berlaku adil dlam segala hal terutama kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan dalam bermuamalah/berdagang.
2.
 QS. Al-maidah (5):8. Manusia yang memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsu, adanya kecintaan dan kebencian memungkinkan manusia tidak bertindak adil dan mendahulukan kebatilan daripada kebenaran (dalam beraksi).
3.
 QS. Al-hujuraat (49):9. Yaitu keadilan sesame muslim
4.
 QS. An-nisa (4):52. Yaitu kemestian berlaku adil kepada sesame istri
5.
 QS. Al-an’aam (6):. Keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi manusia (mukalaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban tersebut.
Dari prnsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum islam dalam praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni dustu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjtan drai prinsip keadilan, artinya perkara-perkara dalam hukum islam apabila telah mwnywmpit makan menjadi luas, apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
Teori keadilan teologi mu’tazilah melahirkan dua teori turunan, yaitu : al-sala’h wa al-ashlah dan Al-husna wa al-qubh. Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :
1.
 pernyataan pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan, perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia.
2.
 pernyataan kedua : segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektik sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik. Demikian halnya dalam perbuatan burul, sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.
C. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Mungkar 
Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar merupakan turunan dari dua prinsip pertama, tauhid dan keadilan. Amar ma’ruf  merupakan arti hukum digerakkan untuk dan merekayasa umat masnusia menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan diridhai Allah. Adapun nahi mungkar berarti larangan untuk mencegah kemungkaran. Atas dasar prinsip ini, dikenal dengan hukum islam dengan perintah dan larangan, wajib dan haram, pilihan antara melakukan dan tidak melakukan sesuatu (perbuatan).dalam filsafat hukum barat, amar ma’ruf disebut social engineering (rekayasa sosia)l hukum. Adapun nahi mungkar disebut fungsi control (kontrol rekayasa). Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar didasarkan kepada QS. al-Imran [3]: 110, pengategorian amar ma’ruf nahi mungkardinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.
D. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan (al-Hurriyah)
Kemerdekaan dan kebebasan menurut islam syek ahmad khdrawaih dan menegaskan kesmepurnaan dalam pengabdian, diperoleh pada kebebasan (kemerdekaan) dan kesempurnaan kebebasan itu tercapai dalam pengabdian, firman Allah SWT yang disebut dalam ayat 34 surah an-Naml [27] yang artinya: “Dia berkata: Sesungguhnya raja-rajaapabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian yang akan mereka
Prinsip kebebasan dalam hukum islam menghendaki agar agama hukum Islam disiarkantidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demonstrasi dan argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum islam adalah kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan  individu maupun kebebasan kelompok. Keberagaman dalam islam dijamin dalam bersarkan prinsip dan  tidak ada paksaan dalam beragama (QS. al-Baqarah [2]; 256, dan al-Kaafiruun [109]: 5). Islam memberikan kebebasan kepada setia orang untuk melaksanakan tugas (amar ma’ruf nahi mungkar) tersebut dan menetapkan setiap individu dengan masyarakat untuk bekerja sama dan tidak menghendaki adanya perselisihan (A. Rahman, Vol. I 1995.8). Menurut Rahman kebebasan individu bukannya mutlak dan tanpa alasan, melainkan dibatasi oleh dua hal yaitu pertama, individu bebas bergerak di bidang ekonomi dengan syarat tidak melanggar dan memperkosa hak-hak orang lain atau mebahayakan kepentingan umum (masyarakat). Kedua, dia harus mengambil cara halal dan tidak mengamalkan cara haram untuk mengamalkan cara haram untuk mencari penghidupan dan tidak mengambil benda-benda haram (A.Rahman. Vol. I 1995: 94). Demikian itu, tidak seorang pun berhak memenjarakan kebebasan manusi, kebebasan ini mempunyai batasan yang jelas dalam syariah, yaitu kebebasan yang diikat dengan tanggung jawab sosial berlandaskan nilai utama Tauhid.
E. Prinsip Persamaan/Egaliter
Prinsip persamaan mengandung arti, bahwa tidak ada perbedaan antara sesama, tetapi bukan berarti hukum islam menghendaki masyarakat tanpa kelas alas komunisme, kemuliaan manusia bukanlah karena ras dan warna kulit.  Kemuliaan manusia yakni karena zat manusia itu sendiri (Juhaya S. Praja, 1995: 76-77). Islam memiliki kecenderungan pada persamaan, tetapi tidak menghendaki penyamarataan. Kelebihan seseorang terhadap orang lain dalam persaudaraan yang besar tidak tergantung pada kebangsaannya, tetapi dalam hal menjalankan kewajiban dan kemulian haknya (A. Rahman, Vol. 1 1995: 49 dan 123).
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam konstitusi Madinah (al-shahifah), yakni prinsip islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaa dan pengembangan hukum islam dalam menggerakan dan mengkontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.
F. Prinsip Ta’awun (tolong-menolong)
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antarsesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip Tauhid, terutama dalam peningkatan  kebaikan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Prinsip ini menghendaki kaum muslimin berada Saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (Qs. al-maaidah [5]:2). Kelanjutan prinsip Ta’awun, dikenal prinsip khusus asas taba’dulul manafi, yang berarti segala bentuk kegiatan muamalah harus memberikan keuntungan dan manfaat bersama bagi pihak-pihak yang terlibat. Asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antara individu atau pihak-pihak dalam masyarakat dalam rangka saling memenuhi keperluannya masing-masing dalam kesejahteraan bersama.
Asas tab’adulul manafi juga merupakan kelanjutan dari prinsip hukum islam yang menyatakan, bahwa segala sesuatu yang di langit dan di bumi pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia sama sekali bukan pemilik yang berhak sepenuhnya atas harta yang ada di bumi, melinkan hanya sebagai pemilik hak memanfaatkannya (Juhaya S. Praja, 1995:113). Oleh karena itu, manusia selain mempunyai hak memanfaatkan segala yang ada di bumi, pada saat bersamaan harus menghargai hak orang-orang lain dan lingkungannya. Kemanfaatan harus diraih oleh berbagai pihak dengan cara saling tolong-menolong, tidak boleh ada eksploitasi, penipuan dan berbagai bentuk kecurangan.
G.
 Prinsip Toleransi (Tasa’muh)
Toleransi menurut Syeikh Salim bin Hilal memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.
 Kerelaan hatu karena kemuliaan dan kedermawanan.
2.
 Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan.
3.
 Mudah dalam berhubungan sosial (muamalah) tanpa penipuan dan kelalaian.
4.
 Muka yang ceria karena kegembiraan.
5.
 Rendah diri di hadaoan manusia atau kaum muslim bukan karena kehinaan.
6.
 Kelemahlembutan karena kemudahan.
7.
 Menggampangkan dalam berdakwah ke jalan allah tanpa basa basi.
8.
 Terikat dan tertunduk kepada agama allah swt tanpa ada rasa keberatan.
Selanjutnya, menurut Salim al-Hilal, karakteristik itu merupakan inti Islam, seutama iman, dan puncak tertinggi budi pekerti (akhlak). Dalam konteks ini, Rasulullah SAW bersabda,yang artinya: Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur,ditanyakam: apa hati yang mahmum itu ? Jawabannya “ adalah hati yang bertaqwa , bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampaui batas dan itu tidak ada rasa dengki.  Ditanyakan: Siapa ;agi (yang lebih baik)setelah itu ? Jawabnya orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat. Ditanyakan : Siapa lagi setelah itu ? Jawabannya : Seorang mukmim yang berbudi pekerti luhur. Prinsip ini sebagai kelanjutan dari prinsip –prinsip yang telah diuraikan di atas. Toleransi dimaksud yakni toleransi yang menjamin tidak tidak terlanggarnya hak-hak islam dan umatnya. Toleransi dapat diterima dan terselenggara selagi tidak merugikan agama islam (Juhaya S. Praja, 1995:77). Prinsip toleransi yang dikehendaki islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak islam dan umatnya,tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama.
Wahab az-Zuhaili memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentutan al-quran dan hadis yang menghindari kesempitan dan kesulitan ,sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meningalkan syariat islam. Dalam lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja tetapi mencangkup seluruhnya ketentuan hukum islam, baik muamalah sipil, hukum pidana,maupun ketetapan peradilan.
Berdasarkan pembahasan mengenai prinsip-prinsip islam diatas, yang menjadi inti pemahaman prinsip-prinsip islam dapat diketahui atau diarahkan pada tujuan penyariatan syariat islam itu sendiri dsn apa yang akan dibawa hukum islam untuk mencapai tujuannya. Hal tersebuy sebagai berikut:
1.
 Islam telah meletakan dalam undang-undang dasarnya, beberapa prinsip yang mantap dan kekal seperti prinsip menghindari kesempitan dan menolak mudarat, wajib berlaku adil dan bermusyawarah dan memelihara hak,menyampaikan amanah, dan kembali kepada ulama yang ahli untuk menjelaskan pendapat yang benar dalam menghadapi peristiwa dan kasus-kasus baru, berupa dasar dasar umum yang merupakan tujuan diturunkannya agama-agama langit, dan dijaga pula oleh hukum-hukum positif dalam upaya untuk sampai kepada pengwujudan teladan tertinggi dan prinsip-prinsip akhlak yang telah ditetapkan oleh agama-agama. Namun hukum-hukum masih tetap menghadapi krisis keterbelakangan dari undang-undang atau hukum yang dibawa oleh agama-agama langit.
2.
 Dalam dasar-dasar ajarannya , Islam berpegngan dengan konsisten pada prinsip mementingkan pembinaan mental individual khususnya, sehingga sumber kebaikan bagi masyarakat, karena apabila individu telah menjadi baik maka masyarakat dengan sendirinya akan baik pula.
3.
 Syariat islam , dalam prinsip atau berbagai ketentuan hukumnya, berpegangan konsisten pada prinsip memelihara kemasalahatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat.