A. Masa Rasulullah (610-632)
Periode pembentukan dan perkembangan hukum islam
dimulai pada fase tasyri’
(perundang-undangan hukum islam) di masa kenabian yang dimulai ketika Allah
mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu yang berupa Al-Qur’an. Tasyri’ pada masa Nabi disebut masa
pembentukan tasyri’, karena pada masa
inilah terbentuknya hukum Islam.wewenang pembentukan hukum pada masa Rasulullah
sepenuhnya berada ditangan rasul serta Sumber pembentukan Hukum Islam pada masa
Rasulullah ada 2 yaitu wahyu ilahi dan ijtihad rasul.tasyri’ yang digunakan pada zaman Rasul ada tiga yaitu Al-Qur’an,
Hadis dan Ijtihad.  Apabila terjadi suatu
peristiwa yang menghendaki adanya hukum yang mungkin timbul karena adanya suatu
pertanyaan, perselisihan atau adanya permintaan kepada Rasul, maka Allah
mewahyukan kepada Rasul lewat wahyu-wahyu-Nya.  
Adapun prinsip-prinsip umum yang menjadi landasan pembentukan
Hukum secara garis besar ada 4 prinsip yaitu :
a.    Berangsur-angsur (Tadarruj), tadarruj memiliki hikmah diantaranya
memudahkan umat islam dalam mnegenal materi demi materi Undang-Undang yang
menganut kehidupannya, memahami masalah hukum,serta menjadi ilat atau obat
untuk memperbaiki jiwa-jiwa yang keras agar siao menerima taklif agama. 
b.  Menyedikitkan peraturan-peraturan, kelahiran hukum-hukum islam
syariat katrena adanya kebutuhan manusia dalam menjamin kemaslahatannya
c.     Mempermudah dan memeperingan (Taisir Dan Takhfif), dimana Allah SWT
berfirman QS.Al-Baqarah(2) :185 “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu”.
d.      Pembentukan hukum sejalan dengan kemaslahatan manusia.
B.     Pada Masa Sahabat (Khulafaur Rasyidin)
Pada masa ini merupakah masa kedua dalam
perkembangan hukum islam yaitu sejak wafatnya Rasullullah Saw. Hukum islam pada
masa sahabat mulai dilakukan dengan ijtihad, setelah Rasulullah Saw wafat maka
kepemimpinan berpindah kepada Khulafa Al-Rasidin. Dimulai dengan khalifah Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
1.             
Abu Bakar As-Shiddiq
Khalifa abu bakar memerintah dari tahun 11 H sampai
dengan 13 H atau 632 - 634 M setelah nabi wafat ia di angkat sebagai khalifah
pertama, abu bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Masa Abu Bakar
disebut dengan masa penetapan “tiang-tiang Hukum Islam”(da’a’in) para sahabat
telah mewarisi apa yang ada pada rasullulah . pada masa ini diperangi oleh
orang-orang murtad,munta Nabi, dan membangkang penyerahan zakat. Pada masa ini
pula dikumpulkan Al-Quran pada satu mushaf. Beliau memcahkan masalah hukum yang
timbul dimasyarakat, mula-mula pemecahan masalah dicarinya dari wahyu Allah.
Selanjutnya jika tidak ada didalam Al-Quran masa dicarinya didalam Hadist Nabi.
Jika penyelesaian masalah tersebut tidak ditemukan didalam hadist maka beliau
bertanya kepada para sahabat Nabi yang berkumpul didalam satu majelis dan
mengambil satu ijtihad bersama atau ijtihad kolektif sehingga muncullah
konsensus bersama yaitu ijma. 
2.  
    Umar Bin Khatab (13 H – 23 H
atau 634-644 M)
Setelah abu bakar meninggal dunia umar
menggantikan kedudukan nya sebagai khalifah kedua Pada masa kepemimpinan umar,
umar dikenal sebagai imam Al-Muztahidi pada masanya, beliau berijtihad antara
lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak ada illat untuk
memotongnya dan tidak memberikan zakat pada Al-Muallafatu Qulubuhum karna tiada
illat untuk memberikannya. Umar juga pernah memutuskan bahwa talak yang
dijatuhkan oleh suami tiga sekaligus berarti jatuh pada talak tiga, karena pada
waktu itu orang bermain-main dengan talak. Dan kasus-kasus yang sudah
dikemukakan nampak bahwa  dalam mengambil
keputusan Umar tidak hanya berpedoman pada lahiriah nas, tetapi pada jiwa yang
terkandung dalam nas wahyu.
Agama islam mulai mengalami pengaruh
asing yang membahayakan, umar merasakan keprluan untuk menghimpun Al-Quran
dalam satu buku yang tadinya dihafalkan atau tertulis. Watak umar terkenal
dengan keras dan kesederhanaan hidupnya, kasih sayang pada glongan yang
miskin(golongan konomi lemah) dan ketegasan tindakannya. Karna kesedehanan dan
tindakan yang tegas dalam politik membuat beliau memiliki musuh politik, hal
itu menyebabkan umar menjadi korban pembunuhan sewaktu menjadi imam sholat
subuh dimadinah sementara usaha beliau menghimpun Al-Quran belum tercapai.
3.       Utsman
Ibn Affan (23 H-35 H atau 644-656 M)
Utsman bin affan pada waktu menjadi
khalifah juga melakukan pembukuan/penulisan Al-Quran dengan satu huruf (satu
versi Al-Quran), membuang mushaf versi lain merupakan ijtihad Utsman menghadapi
keaneka ragaman bacaan Al-Quran yang mengarah pada keragaman pemahaman terhadap
Islam. Hal ini memungkinkan menimbulkan pertentangan di antara umat Islam dan
ijtihad ini disetujui oleh para sahabat. Dengan adanya mushaf yang seragam bagi
umat Islam diharapkan adanya keseragaman dalam membaca dan memahami ayat
Al-Quran sehingga tidak menimbulkan perpecahan dan konflik di antara umat Islam
sendiri. Hal ini jelas tidak diragukan oleh Utsman bin Affan. Oleh karena itu
dengan ijtihadnya beliau penulisan mushaf yang dikenal dengan mushaf Utsmani
sebagaimana yang kita baca sekarang. 
4.     Ali Bin Abi Thalib (35 H-41 H atau 656-661
M)
Pada
masa pemerintahannya, Ali Bin Abi Thalib tidak dapat sepenuhnya mengembangkan
Hukum Islam, hal ini disebabkan karena kondisi negara yang tidak stabil akibat
terjadi perpecahan yang serius pada tubuh umat islam yang pada akhirnya
bermuara pada perang saudara. Masalah ini kemudian menimbulkan
kelompok-kelompok yaitu ahlus sunnah wal jama’ah (sunni) yakni kelompok atau
jama’ah yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad syi’ah yang merupakan
pengikut Ali bin Abi Thalib.       
  
C. Masa Pembinaan, Pengembangan, dan Pembukuan Hukum
Islam(Abad 8-13M)
Pada periode ini
berlangsung lebihnkurang 250 tahun lamanya, yang dimulai pada abad ke-7 sampai
abad ke-10 M. Pembinaan dan pengembangan hukum islam dilakukan dimasa khalifah
Umayyah (662-750 M) dan Khalifah  Abasiah
(750-1258 M). Pada masa bani umayyah ini mulai timbul segi-segi kelemahan pada
kerajaan Arab yakni pada awal abad ke-11 H sebagai akibat perselisihan politik
yang tidak pernah padam, masih ada yang tetap menyembunyikan perselisihan dan
tipu daya terhadap muawiyyah dan keluarganya. Mereka itu dua golongan aliran
yaitu golongan Khawarij dan Syiah. Adapun faktor yang membuat kecendrungan
tersebut adalah :
1.     
Pengaruh dari
peristiwa lokal dan perebutan daerah kekuasaan 
2.     
Adanya
infiltrasi (penyusupan) alam pikiran asing.
3.     
Untuk menghadapi
tantangan hidup dan perkembangan masyarakat islam dan  masyarakat 
pedesaan yang sederha menuju masyarakat meteopolis yang kompleks. Pertengahan
abad ke-1 H  sampai pada abad ke-2.
Periode ini merupakan pembentukan fiqh islam.
4.     
Ahli tarjih yaitu
orang-orang yang dengan ilmu pemgetahuan yang ada padanya dapat
membanding-bandingkan  mana yang lebih
kuat pendapat pendapat yang ada serta memberi penjelasan atau komentar atas
pendapat yang berbeda yang dikemukakan oleh para mujtahid.
Banyak faktor yang memungkinkan
pembinaan dan pengembangan hukum islam pada periode ini, diantaranya :
1.     
Wilayah islam
sudah sangat luat.
2.     
Telah ada
karya-karya tulis tentang hukum yang dapat digunakan sebagai bahan dan landasan
untuk membangun  serta mengembangkan
hukum fiqh islam.
3.     
Telah tersedia
para ahli yang mampu berijtihad memecahkan masalah hukum dimasyarakat. 
A.   
Pada
Masa Tabiin
1.     
Kondisi Sosial Masyarakat pada Masa
Tabi’in
Masa Tabi’in merupakan masa
peralihan dari masa Sahabat kepada masa eksistensi para imam madzhab. Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa masa ini merupakan kelanjutan dari masa
Sahabat, yang di dalamnya ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh dengan sikap
yang relatif lebih mandiri dengan mengarah pada spesialisasi dalam bidang
keilmuan Islam. Secara historis, masa Tabi’in merupakan masa yang dipenuhi
dengan kompleksitas permasalahan. Dalam melakukan ijtihad, para ulama Tabi’in
mengikuti cara yang telah dirintis sebelumnya oleh para Sahabat. Mereka
menggunakan al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan utama. Selanjutnya mereka
mengikuti ijma’ Sahabat. Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman
kepada hasil ijtihad pribadi dari Sahabat yang dianggap kuat dalilnya. 
Di
antara faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan hukum Islam pada
masa ini, yaitu sebagai berikut:
a.      
Perpecahan di kalangan umat Islam
Pada
awal masa ini, umat Islam mengalami berbagai gejolak politik yang menyebabkan
munculnya faksi-faksi. Pemberontakan yang paling serius adalah pemberontakan
yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, dan kelompok Abdullah bin
Zubair. Persaingan dan pertikaian terus-menerus antar faksi yang saling
bertentangan tersebut dalam memperebutkan hegemoni politik mengakibatkan
kekacauan dalam pemahaman keagamaan. Dua faksi pertama, yaitu Khawarij dan
Syi’ah. Khawarij berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah
kafir, dalam hal ini para Sahabat yang terlibat dalam peristiwa Tahkim. Sementara
Syi’ah, dalam menetapkan hukum hanya berpegang pada hadits yang diriwayatkan
Ahlu al-Bait, keturunan Nabi Saw dari Fatimah, serta Hasan dan Husein, dan
mereka tidak menerima qiyas sebagai dalil hukum, dengan alasan bahwa qiyas
berdasarkan kepada pemikiran manusia.
 b.
Penyimpangan para khalifah Bani Umayyah
Para
khalifah Umayyah memperkenalkan sejumlah praktek yang lazim berlaku di
negeri-negeri non-Muslim pada waktu itu, seperti Byzantium, Persia dan India.
Banyak dari praktek-praktek tersebut jelas-jelas bertentangan dengan fiqh pada
periode sebelumnya. Sebagai contoh, bait al-mal digeser menjadi kepemilikan
pribadi para khalifah dan keluarganya, dan pajak yang tidak diperbolehkan Islam
diberlakukan untuk meningkatkan keuntungan mereka. Musik, gadis-gadis penari,
tukang sulap, para ahli nujum, secara resmi diperkenalkan sebagai bentuk hiburan
istana kekhalifahan. 
c.
Persebaran para ulama ke daerah-daerah luar
Banyak
dari para ulama pada masa ini yang melarikan diri dari pusat-pusat pemerintahan
Bani Umayyah untuk menghindari konflik, kekacauan, serta pertikaian dari
berbagai faksi. Hal ini mengakibatkan rusaknya prinsip ijma’. Seiring dengan
tersebarnya para ulama ke seluruh pelosok wilayah Muslim yang letaknya
berjauhan antara satu dengan yang lain, maka kesepakatan pandangan tentang
hukum menjadi mustahil untuk disatukan. Hal seperti ini pada akhirnya memicu
tumbuhnya ijtihad-ijtihad individual dari para ulama ketika mereka berhadapan
dengan keanekaragaman adat istiadat, cara hidup dan permasalahan baru di
wilayah mereka.
d. Maraknya
praktik pemalsuan hadist
Periwayatan
hadits-hadits meningkat ketika kebutuhan informasi juga meningkat. Karena
negara telah berhenti bersandar pada Sunnah Nabi Saw, para ulama dengan beragam
kapasitasnya bergerak mencari laporan-laporan individual tentang Sunnah yang
diriwayatkan oleh para Sahabat dan murid-muridnya untuk membuat ketentuan
hukum. Pada saat yang sama berkembang fenomena baru, yaitu untuk pertama
kalinya hadits-hadits palsu, baik yang berupa ucapan maupun tindakan
dinisbahkan kepada Nabi Saw. 
2.      Identifikasi
antara Kelompok Rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan Kelompok Tradisionalis (ahlu
al-hadits)
Sejak masa Sahabat, kegiatan ijtihad dapat
dikategorikan dalam dua aliran, yaitu aliran rasional (ahlu al-ra’yi) dan
tradisional (ahlu al-hadits). Akan tetapi secara institusional, kedua aliran
ini terbentuk pada masa Tabi’in, di mana aliran rasional (ahlu al-ra’yi)
berkembang di Irak, sedangkan aliran tradisional (ahlu al-hadits) berkembang di
Hijaz Makkah dan Madinah. Hijaz merupakan tempat tinggal
kenabian, di mana Nabi Saw menetap, menyampaikan seruannya, kemudian para
Sahabat beliau menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan
menerapkannya. 
Hijaz juga menjadi tempat tinggal kalangan para Sahabat yang
datang sampai Nabi Saw wafat. Selanjutnya, para Sahabat ini mewariskan apa saja
yang mereka ketahui kepada generasi berikutnya, yaitu kalangan Tabi’in. Sedangkan
Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem pemerintahannya, kompleksitas
kehidupannya, dan tidak mendapatkan bagian dari Sunnah kecuali melalui para
Sahabat dan Tabi’in yang pindah ke sana.  
3.      Metodologi  Hukum Islam antara Kelompok Rasionalis dan
Kelompok  Tradisionalis
Sebagaimana
telah dijelaskan di atas, kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) lebih
berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan mashlahatM dalam kehidupan manusia.
Sebagai pembahasan lebih jauh, metodologi hukum Islam Abu Hanifah dapat
dikatakan sebagai bentuk akhir yang mewakili kelompok rasionalis (ahlu
al-ra’yi), dengan identitas yang lebih maju, dan lebih mengarah pada
kepentingan sosiologis. Dalam hal ini, Abu Hanifah menggeser hadits-hadits ahad
dalam konteks penyelesaian masalah-masalah hukum untuk berbagai kejadian
aktual, dan menggantikannya dengan qiyas serta istihsan, melalui pengembangan
qiyas dengan mencari illat sebanyak-banyaknya sehingga leluasa baginya untuk
mengembalikan furu’ tersebut kepada berbagai hukum asal yang sesuai dengan
kemaslahatan masyarakatnya. 
Kemudian,
satu langkah berani yang dilakukan oleh Abu Hanifah adalah mengangkat ‘urf atau
adat serta tradisi masyarakat sebagai norma hukum Islam yang harus ditaati
sejauh tidak bertentangan dengan nash, dan sejalan dengan prinsip-prinsip
mashlahah. Sementara kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits), dalam
metodologinya lebih berorientasi untuk memahami kemauan-kemauan syara’ dengan
doktrin-doktrin syariahnya serta berusaha untuk mengaplikasikan doktrin
tersebut dalam kehidupan sosial. 
Dalam
melakukan ijtihadnya, kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) hanya bertumpu
kepada qiyas untuk ijtihad aqli-nya, dan beberapa kaidah dalam ijtihad lafdzi.
Secara tegas, mereka menyatakan bahwa ijtihad adalah qiyas, dengan alasan bahwa
Allah telah menentukan semua ketentuan hukum untuk perbuatan-perbuatan
mukallaf. Oleh karena itu, kalau ketentuan tersebut telah dinyatakan secara
jelas, maka harus segera diikuti dan ditaati, sementara kalau tidak, harus ditelaah
lewat ijtihad, yaitu qiyas. 
D.   
Masa Kelesuan Pemikiran (Abad XIII-XVII M)
Sejak
permulaan abad ke-4 H, abad ke 10-11 M, ilmu hukum islam mulai berhenti
berkembang ini terjadi di akhir pemerintahan Abasiyah yang menjadi ciri umum
pemikiran hukum da;am priode ini, adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan
usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat
dalam Al-Quran dan Sunnah nabi, tetapi pikirannya ditumpikkan kepada pemahaman
perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imam-imam saja. Di antara
faktor-faktor atau keadaan yang menyebabkan kemunduran atau kelesuhan pemikiran
hukum Islam sebagai berikut: 
1.     
Kesatuan
wilayah Islam yang luas telah retak dengan munculnya beberapa negara baru di
Eropa, Afrika Utara, di kawasan Timur Tengah maupun di Asia. Munculnya
Negara-negara baru itu menimbulkan ketidak setabilan politik, hal ini pula yang
memengaruhi kegiatan pemikiran dan pemantapan hukum.
2.     
Pecahnya
kesatuan pemerintahan menyebabkan merosatnya ke wibawaan pengadilan
perkembangan hukum.
3.     
Ketidaksetabilan
politik menyebabkan ketidakstabilan berpikir, artinya orang tidak bebas dalam
mengutarakan pendapatnya.
4.     
Timbullah
gejala kelesuan berpikir karna para ahli tidak mampu lagi menghadapi
perkembangan keadaan dengan menggunakan akal pikiran dan tanggung jawab.
Dengan
kata lain, yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para
ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau
ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad, tetapi
pikiran imamnya saja. Dengan kata lain masyarakat terus berkembang sedangkan
pemikiran hukum berhenti.
Priode ini ditandai dengan menurunnya semangat
ijtihad dikalanagan Ulama Fiqih, bahkan mereka cukup puas dengan Fiqih
yang telah disusun dalam bebagai mazhab. Ulama juga sudah merasa cukup
dengan mempelajari sebuah kitab fiqih dari kalangan mazhabnya, sehingga
penyusunan kitab fiqih pada priode ini pun hanya terbatas pada meringkas
dan mengomentari kitab fiqh tertentu.Di akhir ini pula pemikiran ilmiah
berubah menjadi hal yang langka, Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah
masuk ke dalam masalah-masalah fiqih. Pada akhir periode ini dimulai
upaya kondifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambil dari mazhab
resmi pemerintah Turki Usmani (kerajaan Ottoman:1300-1922), yaitu madzhab
Hanafi, yang di kenal dengan majalah al-ahkam al-‘adiyyah. Sejakl itu
pula upaya kodifikasi hukum Islam, dan munculnya pemikiran untuk memanfaatkan
berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman. 
 E.    
Hukum Islam di era modern (abad ke-19 sampai sekarang) 
Setelah
mengalami kelesuan,  kemunduran beberapa
abad lamanya pemikiran islam mengalami kebangkitan kembali pemikiran islam
timbul sebagai reaksi terhadap sikap taklid yang telah membawa kepada
kemunduran hukum islam. Muncul lah gerakan gerakan baru,  diantara gerakan ahli hukum yang menyarankan
kembali kepada Al-Quran dan sunah dinamakan gerakan salaf(salafiyah). Pada masa
lepas pertengahan abad ke -13 telah timbul seorang mujtahid besar yang
menghembuskan semangat baru dalam dunia pemikiran dan hukum islam, ia bernama
ibnu Taimiyah(1263-1328 M)  dan murid nya
Ibnu Qayim al-Jauziyah(129-1356M).  
Pola
pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17 oleh Muhammad ibn Abdul Wahab yang
dikenal dengan gerakan wahabi yang memiliki pengaruh pada gerakan padri di
minangkabau. Paham Ibnu Taimiyah membagi ruang lingkup agama islam ke dalam dua
bidang besar yakni ibadah dan muamalah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh Muhammad Abduh, beliau menyebutkan beberapa program pembaruan pemikiran
diantaranya :
1.     
Membersihkan
islam dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan islam
2.     
Mempertahankan
atau membela ajaran islam dari pengaruh barat
3.     
Merumuskan
dan menyatakan kembali ajaran islam menurut alam pikiran modern. 
4.     
Mengadakan
pembaruan islam dalam sistem pendidikan islam terutama tingkat perguruan
tinggi. 
5.     
Membebaskan
negeri-negeri yang penduduknya beragama islam dari belenggu penjajahan. 
Hukum
islam merupakan keseluruhan ketentuan perintah Allah yang wajib dituruti oleh
muslim yang bertujuan untuk membentuk manusia menjadi tertib, aman,  dan selamat. 
Dari sejatah pembentukan dan perkembangan hukum islam tersebut dapat
dipahami bahwa tidak semua permasalahan hukun islam terjawab secara eksplisit
didalam Al-quran dan sunnah.  Oleh karna
itu, pengkajian dan penetapan hukum yang muncul tetap dilakukan dengan ijtihad
hukum yang ijtihad tersebut haruslah tidak sejalan dengan nilai-nilai, maksud
dan tujuan syari' ketika menggali kendungan Al-Quran dan Hadist. 
KESIMPULAN
Periode
pembentukan dan perkembangan hukum islam dimulai pada fase tasyri’ (perundang-undangan hukum islam) di masa kenabian yang
dimulai ketika Allah mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu yang berupa
Al-Qur’an. Sumber pembentukan Hukum Islam pada masa Rasulullah ada 2 yaitu
wahyu ilahi dan ijtihad rasul.tasyri’
yang digunakan pada zaman Rasul ada tiga yaitu Al-Qur’an, Hadis dan
Ijtihad.  Adapun prinsip-prinsip umum yang menjadi
landasan pembentukan Hukum secara garis besar ada 4 prinsip yaitu berangsur-angsur
(Tadarruj), menyedikitkan peraturan-peraturan, mempermudah dan memeperingan
(Taisir Dan Takhfif), pembentukan hukum sejalan dengan kemaslahatan manusia. Sepeninggalnya
Rasulullah Saw kepemimpinan umat islam dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin.
Semakin berkembangnya wilayah islam. Sehingga memungkinkan munculnya
permasalahan baru yang mana pada jaman Rasul belum ada dan harus diselesaikan
dengan hukum islam. Maka pada umunya Khulafaur Rasyidin melakukan ijtihad dan
dalam memutuskan masalah tersebut mereka tidak sendirian namun mereka akan
mendiskusikannya dengan sahabat yang lain. Dan dilajutkan pada masa Tabi’in, masa
Tabi’in merupakan masa peralihan dari masa Sahabat kepada masa eksistensi para
imam madzhab. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa masa ini merupakan
kelanjutan dari masa Sahabat, yang di dalamnya ditandai dengan munculnya
tokoh-tokoh dengan sikap yang relatif lebih mandiri dengan mengarah pada
spesialisasi dalam bidang keilmuan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Izomiddin, Pemikiran Dan Filsafat Hukum Islam,
Jakarta:Prenada Media Group. 2018
Palmawati,Hukum Islam,Jakarta:Sinar
Grafika. 2018           
Warkum, Legislasi Hukum Islam Transformatif, Malang:Setara Press. 2015
 Warkum,
Legislasi Hukum Islam Transformatif,
(Malang: Setara Press, 2015), h.30