1. Latar Belakang Masalah
Hukum keluarga Islam sebagai tawaran untuk menyelesaikan beberapa
permasalahan, sebab hukum keluarga dianggap
sebagai inti syari’ah. Pada
hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar kelak
dalam berumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat
solutif, artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan
permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang
telah ada belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga
berakibat kepada anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam
menyelesaikan perkara perdata keluarga Islam.
Secara historis, berbagai regulasi
hukum keluarga di Indonesia dijabarkan secara personal oleh para ulama atas
dasar pembacaan dan pembelajaran mereka dari guru-guru mereka. Pada sisi inilah
maka progresivitas hukum menjadi terhambat karena penjelasan dari para ulama
dianggap sakral dan tidak boleh dipertentangkan apalagi dievaluasi dan
direvisi. Tidak bisa dipungkiri bahwa era stagnasi (jumud) ilmu pernah
terjadi pada masa lalu akibat sakralisasi masyarakat terhadap ulama, baik
pribadinya maupun pemikirannya.
DiIndonesia, upaya konkret
pembaruan hukum keluarga Islam dimulai sekitar tahun 1960-an yang kemudian
berujung lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum
hukum perkawinan diatur, urusan perkawinan diatur melalui beragam hukum, antara
lain hukum adat, hukum Islam tradisional, ordonasi perkawinan Kristen, hukum
perkawinan campuran dan sebagainya sesuai dengan agama dan adat istiadat
masing-masing penduduk.Dan upaya pembaruan hukum berikutnya terjadi pada masa
Menteri Agama Munawir Syadzali. Upaya ini ditandai dengan lahirnya Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan
perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang diperuntukkan untuk umat Islam.
Saat ini umat Islam di Indonesia
merasa nyaman dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam dan berimplikasi pada
sakralitas baru sehingga KHI seolah-olah tidak lagi dapat dievaluasi apalagi
direvisi. Padahal, sejarah banyak mencatat dan menggambarkan tentang evolusi
hukum termasuk dalam hal hukum keluarga. Oleh karena itu, melalui pendekatan
historis, makalah ini akan menggambarkan secara holistik sejarah evolusi hukum
keluarga Islam di Indonesia seputar konsep, metode danmodel pembaharuannya
serta aspek pembaharuanyang dilakukan.
2. Permasalahan
Dalam makalah singkat ini yang
menjadi pokok masalahnya adalah bagaimana sejarah pembentukan dan perkembangan di
bidang hukum keluarga Islam; konsep, metode dan model pembaharuannya serta
aspek pembaharuan yang dilakukan di Negara Indonesia.
B. Pembahasan
1. Periodesasi Pembentukan Hukum
Keluarga di Indonesia
Hukum Islam sebagai suatu sistem
hukum di dunia ini banyak yang hilang dari peredaran, kecuali hukum keluarga.
Dewasa ini hukum Islam bidang keluarga di Indonesia yang mempunyai daya tahan
dari hempasan arus westernisasi yang dilaksanakan melalui sekularisme di segala
bidang kehidupan, telah diperbaharui, dikembangkan selaras dengan perkembangan
zaman, tempat, dan dikodifikasikan, baik secara parsial, maupun total, yang
telah dimulai secara sadar sejak awal abad XX setahap demi setahap.
Perkembangan hukum Islam bidang keluarga di Indonesia cukup terbuka disebabkan
antara lain oleh Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan ungkapan lain bahwa konstitusi
sendiri memang mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan hukum
keluarga, agar kehidupan keluarga yang menjadi sendi dasar kehidupan
masyarakat, utamanya kehidupan wanita, isteri, ibu dan anak-anak di dalamnya,
dapat terlindungi dengan ada kepastian hukumnya.
Sepanjang sejarahnya,
bahwa hukum keluarga di Indonesia telah mengalami pasang surut seirama dengan
pasang surut sampai perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia pada zaman
penjajahan Barat dahulu. Pada masa Kerajaan Islam di Pulau Jawa (berlangsung
sekitar tahun1613-1882), al-ahwal al-syakhsyiyyah (hukum keluarga),
menunjukan lahirnya realitas baru, yakni diterimanya norma-norma sosial
Islam secara damai oleh sebagian besar penduduk Nusantara. Hukum keluarga Islam
sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup
dalam masyarakat Indonesia,karena kerajaan-kerajaan Islam yang berdiridi
Indonesia telah melaksanakannya dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan
Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.Kemudian
pada abad ke 15 dan 16 M di pantaiutara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti
Kerajaan Demak, Jepara, Tuban,Gresik dan Ngampel. Fungsi
memelihara agama ditugaskan kepada penghuludengan para pegawainya yang bertugas
melayani kebutuhan masyarakat dalam
bidang peribadatan dansegala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga /
perkawinan.Hal ini sesuai dengan konteks
Indonesia, sebuah negara yang telah melakukan pembaruan dalam hukum keluarga
Islam.
Secara historis, pembaruan hukum perkawinan Islam di Indonesia dapat dibagi
dalam tiga periode yaitu:
(1) pra penjajajahan; (2) masa penjajahan; dan (3) masa kemerdekaan (masa Orde Lama,
Orde Baru, dan masa reformasi). Dalam masing-masing periode ini, hukum keluarga
Islam mengalami perubahan dan pembaruan. Secara historis, hukum Islam sudah
lama menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia. Diantara hukum Islam yang
menjadi hukum positif di Indonesia adalah bidang hukum keluarga. Sejak zaman
penjajahan sampai sekarang hukum keluarga yang besumber dari hukum Islam sudah
diikuti dan hidup di tengah-tengah mayoritas rakyat Indonesia.
2. Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam
di Indonesia
Pembaruan pemikiran hukum Islam
pada masa kontemporer, umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang
berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang digunakan lebih cendrung
menekankan wahyu dari sisi konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dengan
perubahan sosial tidak hanya disusun dan dipahami melalui interpretasi literal
tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal yang dikandung oleh teks
wahyu.Ada dua konsep dalam pemabruan, yakni; (1) konsep konvensional, dan (2)
konsep kontemporer yang muncul dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam
kontemporer dalam bentuk kodifikasi.
Penerapan metode konvensional,
para ulama terlihat dalam berijtihad dan menerapkan pandanagn hukumnya dengan
mencatat ayat al-Qur’an dan Sunnah. Para ahli menetapkan, ada beberapa cirihas
atau karasteristik metode penetapan hukum Islam (fiqh) yaitu; menggunakan
pendekatan parsial (global), kurang memberikan perhatian terhadap sejarah,
terlalu menekankanpada kajian teks/harfiah, metodologi fihq seolah-olah terpisah
dengan metodologi tafsir, terlalu banyak dipengaruhi budaya-budaya dan
tradisi-tradisi setempat, dan dalam beberapa kasus didalamnya meresap
praktek-praktek bid’ah dan kufarat, khususnya yang berkaitan dengan ibadah.
Masuknya unsur politik di dalamnya atau pengaruh kepentingan penguasa dalam
menerapkan teori-teori fiqh.
Sedangkan metode kontemporer pada
prinsipnya metode pembaruan yang digunakan dalam melakukan kodifikasi hukum
keluarga Islam kontemporer di Indonesia yaitu:
1)
Takhayyur yaitu memilih pandangan salah satu ulama fiqh, termasuk
ulama di luar madzhab, takhayyur secara substansial disebut tarjih.
2)
Talfiq, yaitu mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama (dua
atau lebih)dalam menetapkan hukum satu masalah.
3)
Takhshish al-qadla, yaitu hak negara menbatasi kewenangan
peradilan baik dari segi orang, wilayah, yuridiksi dan hukum acara yang
ditetapkan.
4)
Siyasah syar’iyah yaitu kebijakan penguasa menerapkan
peraturan yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari’ah,
reinterpretasi nash terhadap nash (al Qur’an dan sunnah).
Adapun sifat dan
metode reformasi yang digunakan dinegara-negara muslim modern (termasuk
Indonesia) dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu:
1) Intra doctrinal reform tetap merujuk pada konsepfiqh
konfensional dengan cara;tahyir(memilih pandangan salah satu ulama fiqh,
termasuk ulama diluar madzhab), dapat pula disebut tarjih,
dan talfiq, (mengkombinasikan sejumlah pendapat).
2) Extra doctrinal reform pada prinsipnya tidak lagi
merujuk pada konsep fiqh konvensional tapi merujuk pada nash al Quran dan
sunnah dengan melakukan penafsitran ulang terhadap nash (reinterpretasi).
3. Konsepsi Pembaharuan Hukum Keluarga
Islam di Indonesia
Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting
dalam Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Hal ini
berkaitan dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum keluarga sebagai pintu
gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam agama Islam. Pada dasarnya sesuatu itu
tidak akan terbentuk karena tidak adanya sesuatu hal yang mendasarinya, seperti
halnya hukum keluarga Islam tidak akan pernah ada tanpa adanya sesuatu yang
melatar belakanginya. Pembahasan ini penting dilakukan karena tidak semua
masyarakat Indonesia beragama Islam sehingga sejarah, peristiwa dan sebab
lahirnya hukum keluarga Islam dianggap sangat kontroversial.
Hukum keluarga Islam sangat penting
kehadirannya di tengah-tengah masyarakat muslim karena permasalahan tentang
keluarga dan lain sebagainya yang tidak bisa disamakan dengan yang beragama non
muslim, sehingga masyarakat menginginkan adanya hukum keluarga Islam yang berlaku
khusus, apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin berkembang pula sehingga
dibutuhkan metode-metode untuk pembaruan hukum. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah jawaban
dari keresahan, ketidakpastian dan tuntutan masyarakat muslim untuk menjadi
pedoman, dan rujukan dalam mengatasi permasalahan seputar hukum keluarga.
Pada zaman modern, khususnya abad ke20,
bentuk-bentuk literatur hukum Islam telah bertambah menjadi dua macam, selain
fatwa, keputusan pengadilan agama, dan kitab fiqh. Adapun yang pertama
ialah undang-undang yang berlaku di negara-negara muslim khususnya mengenai
hukum keluarga. Sedangkan yang kedua adalah kompilasi hukum Islam yang
sebenarnya merupakan inovasi Indonesia. Kompilasi bukan kodifikasi, tetapi juga
bukan kitab fiqh.
Sikap para ulama terhadap diundangkannya materi-materi hukum keluarga di
negara-negara muslim telah menimbulkan pandangan pro dan kontra. Diantara para
ulama ada yang tetap ingin mempertahankan ketentuan-ketentuan hukum lama dengan
kalangan pembaharu baik yang menyangkut metodologi maupun substansi hukumnya.Diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, umat Islam Indonesia telah memiliki peraturan
perundang-undangan yang memadai untuk mengatur masalah-masalah keluarga (perkawinan,
perceraian dan warisan serta masalah wakaf).
Sementara itu ada sebagaian ulama tradisional
Indonesia masih ada yang belum sepenuh hati dalam memahami atau menyetujui
berbagai aturan dalam kedua undang-undang tersebut karena dianggap tidak
selamanya sesuai dengan apa yang termuat dalam kitab-kitab fiqh. Akan
tetapi sebagian ulama lain justru merasa bangga dengan lahirnya kedua
undang-undang itu karena dianggap sebagai kemajuan besar dalam perkembangan
pemikiran hukum Islam di Indonesia. Apalagi dengan disepakatinya hasil
Kompilasi Hukum Islam oleh para ulama Indonesia pada tahun 1988 yang kemudian
diikuti oleh Instruksi Presiden Nomor 1 tanggal 10 Juni 1991 untuk
menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan isi kompilasi tersebut, hal ini
telah menandai lembaran baru dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia
khususnya dalam bidang hukum keluarga.
4. Hukum Keluarga Islam di Indonesia Antara
Syariah dan Hukum Sekuler
Jumlah umat Islam di dunia mencapai hampir
seperempat jumlah manusia seluruhnya.Mereka
tinggal menyebar di beberapa negara, baik sebagai kelompok mayoritas maupun
minoritas. Sebagai mayoritas, umat Islam berada di 44 negara seperti di
negara-negara Timur Tengah dan beberapa negara di Asia. Empat negara yang
penduduknya paling banyak beragama Islam adalah Indonesia, Pakistan,
Bangladesh, dan India.Indonesia
merupakan negara yang jumlah mayoritas penduduknya beragama Islam, namun
konstitusi negaranya tidak menyatakan diri sebagai negara Islam melainkan
sebagai negara yang mengakui otoritas agama dalam membangun karakter bangsa.
Indonesiamengakomodir hukum-hukum agama sebagai sumber legislasi nasional,
selain hukum adat dan hukum barat. Kondisi demikian menyebabkan hukum Islam
sebagai salah satu sistem hukum di dunia ini seperti lenyap di permukaan
kecuali hukum keluarga.
Dalam pembaharuan hukum keluarga Islam,
Indonesia cendrung menempuh jalan kompromi antara syariah dan hukum
sekuler. Hukum keluarga di Indonesia dalam upaya perumusannya selain mengacu
pada kitab-kitab fiqh klasik, fiqh modern, himpunan fatwa, keputusan pengadilan
agama (yurisprudensi), juga ditempuh wawancara kepada seluruh ulama Indonesia.
Pengambilan terhadap hukum barat sekuler memang tidak secara langsung dapat
dibuktikan, tetapi karena di Indonesia berjalan cukup lama hukum perdata (Burgelijk
Wetbook) yang diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
hukum acara perdata (Reglemen Indonesia yang diperbarui) warisan Belanda, dan
hukum-hukum lain, berdasarkan asas konkordansi, adanya pengaruh hukum Barat
yang tidak bisa dinaifkan begitu saja. Seperti halnya bidang pencatatan dalam
perkawinan, kewarisan, perwakafan, wasiat dan sebagainya. Upaya akomodasi
ataupun rekonsiliasi hukum keluarga Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman
demi menciptakan ketertiban masyarakat menjadi salah satu bukti dari keunikan
tersebut.
Pembangunan yang hanya menekankan hukum
normatif semata memang bisa dianggap tidak cukup untuk mengatasi kompleksitas
permasalahan keluarga di abad modern. Dalam hal ini diperlukan pendekatan atau
aspek lain yang dapat dipadukan dengan hukum keluarga Islam sehingga
menimbulkan kesatuan yang untuk yang lebih komprehensif mencapai tujuan dibentuknya
hukum keluarga. Sejalan dengantulisanKhoiruddin Nasution “Arah Pembangunan
Hukum Keluarga Islam di Indonesia Pendekatan Intgratif dan Interkonektif dalam
Membangun Keluarga Sakinah”, merupakan salah satu rujukan penting dalam
menemukan konsep arah membangun keluarga untuk masa mendatang.Diperlukan
adanya berbagai pendekatan dan aspek yang melingkupi hukum keluarga yang selama
ini masih belum banyak dikaji.Satu wujud dari kajian pembangunan hukum keluarga
dari perspektif hukum keluarga antara syariah dan berbau sekuler dikaitkan dengan
hukum keluarga di Indonesia, dalam rekonstruksi pembangunan hukum keluarga
Islam.
Dalam hal ini, hukum keluarga dapat dikatakan
sebagai kebijakan publik dalam progam-progam sosial yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan dapat mengantisipasi kegagalan progam
adminitrasi. Selain itu kebijakan yang dibentuk hendaknya memiliki dampak yang
bagus dalam kehidupan keluarga di masa mendatang.Dengan
demikian, sangat penting adanya sebuah kontruksi hukum keluarga di Indonesia
dengan berbagai pendekatan, salah satunya adalah pendekatan hukum modern
(barat).
Pembangunan hukum keluarga dengan pendekatan interdispliner
merupakan bentuk pengembangan kebutuhan kompetensi hukum keluarga yang lebih
komprehensif. Selain itu, dapat menambah khazanah keilmuan untuk memperluas
jangkauan hukum keluarga yang selama ini lebih dekat dengan aspek normatif
semata (fiqh). Selanjutnya, pendekatan interdispliner dalam hukum keluarga
diharapkan dapat membantu menangani berbagai kasus keluarga yang tidak bisa
diselesaikan dengan pendekatan yang lain, sehingga dapat memberikan arahan dan
rekonstruksi hukum keluarga baik yang formil maupun materiil.Selanjutnya,
kontruksi hukum keluarga di Indonesia akan bisa bersifat adaptif dalam
perubahan keluarga dengan berbagai aspek dan segala konsekuensinya.
5. Kilas Balik
Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Secara historis, hukum keluarga
Islam mencuat kepermukaan bermula dari diakuinya peradilan agama secara resmi
sebagai salah satu pelaksana “judicial power” dalam negara hukum melalui
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 terakhir dirubah dengan Undanh-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Lebih
lanjut, kedudukan, kewenangan atau yurisdiksi dan organisatorisnya telah diatur
dan dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang mempunyai kewenangan
mengadili perkara tertentu: (1) perkawinan, (2) waris, (3) wasiat, (4) hibah,
(5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah, (8) zakat dan (9) ekonomi syari‟ah, bagi
penduduk yang beragama Islam.
Kenyataan eksisten pengadilan
agama belum disertai dengan perangkat atau sarana hukum positif yang
menyeluruh, serta berlaku secara unifikasi sebagai rujukan. Meskipun
hukum materiil yang menjadi yurisdiksi pegadilan agama sudah dikodifikasi dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo aturan pelaksanaannya
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, namun pada dasarnya hal-hal
yang diatur didalamnya baru merupakan pokok-pokok saja. Akibatnya, para hakim
yang seharusnya mengacu pada undang-undang, kemudian kembali merujuk kepada
doktrin-doktrin yang tertuang dalam kitab fiqh klasik. Sehingga tidak
heranterdapat perbedaan putusan hukum antar PA tentang persoalan yang sama
adalah suatu hal yang dapat dimaklumi, sebagaimana ungkapan different judge
different sentence.
Dari realitas di atas, Pemerintah kemudian berinisiatif melengkapi pengadilan
agama dengan prasarana hukum yang unifikatif lewat jalan pintasberupa Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
Meskipun dari catatan sejarah di
Indonesia, isu pembaharuan hukum keluarga Islam telah muncul sejak lama adanya,
bahkan sebelum kemerdekaan diraih. Ketika momentum Konggres Perempuan 1928, isu
ini muncul karena banyaknya kasus yang menimpa kaum perempuan selama dalam kehidupan
perkawinan. Seperti, terjadinya perkawinan di bawah umur, kawin paksa,
poligami, talak yang sewenang-wenang dan mengabaikan hak-hak perempuan dan
sebagainya.Pada tahun 1937, pemerintah kolonial Belanda pernah menyusun
rancangan undang-undang perkawinan modern yang disebut ordonansi pencatatan
perkawinan. Langkah ini diambil atas desakan kuat dari organisasi-organisasi
perempuan yang ada saat itu. Ordonansi pencatatan perkawinan ini berlaku bagi
penduduk pribumi, Arab dan Asia bukan Tionghoa, yang ada di Indonesia. Hebatnya
ordonansi ini menetapkan aturan monogami serta memberi hak cerai yang sama pada
perempuan dan laki-laki. Meski begitu, ordonansi ini hanya diberlakukan bagi
mereka yang memilih aturan pencatatan atas pernikahannya.
Selanjutnya pada tahun 1950, hukum
perkawinan yang mengakomodir semua kepentingan lintas agama maupun ras yang ada
di Indonesia, belum dimiliki negeri ini. Ordonansi perkawinan yang berazaskan
monogami itu ditolak Pemerintah Republik Indonesia. Sebelumnya memang ada perundang-undangan
pemerintah Republik Indonesia Tahun 1946, yang menetapkan pendaftaran
perkawinan, menyarankan ketidaksetujuan pada perkawinan anak-anak dan
perkawinan paksa, menyarankan agar pejabat perkawinan menasehati pasangan nikah
tentang hak mereka, serta berusaha mencegah terjadinya talak dengan meneliti
masalah dari kedua belah pihak yang berselisih (suami-isteri). Tapi sayang,
dalam praktik baik perkawinan anak-anak maupun paksa tetap banyak terjadi.
Barangkali karena aturan tersebut hanya bersifat anjuran belaka. Akibatnya
desakan adanya undang-undang perkawinan yang memberikan jaminan hak yang sama
bagi semua warganegara, terus bergulir hingga terbentuknya komisi perkawinan
pada tahun 1950.Komisi perkawinan terdiri dari para ahli agama yang tentu saja
mayoritas laki-laki, serta para tokoh perempuan dari berbagai kalangan,
termasuk kalangan umat Katholik dan juga Islam. Dalam prosesnya, komisi ini
berhasil merancang undang-undang perkawinan umum yang bisa digunakan semua
warga negara Indonesia. Tetapi di dalam rancangannya perkawinan didasarkan pada
rasa suka sama kedua pasangan, dan poligami diizinkan dengan persyaratan yang
ketat.
Upaya pembaharuan hukum keluarga
itu terus bergulir hingga tahun 1974. Oleh sejumlah tokoh dalam sebuah public
hearing dengan Dewan Perwakilan Rakyat saat itu, diajukan tuntutan segera
dibentuknya undang-undang yang mengatur tentang perkawinan. Dengan tuntutan
tersebut, akhirnya aturan yang dikehendaki itu ditetapkan melalui Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Meski ada tuntutan agar diadakan
amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kembali
marak. Tidak saja di Indonesia, di berbagai negara muslim lain pun dihadapkan
pada tuntutan yang sama, mengingat hukum keluarga yang berlaku di negara mereka
dirasa masih bias gender dan belum memenuhi hasrat keadilan bersama.Tidak
heran, upaya reformasi hukum keluarga akan selalu jadi isu kontroversi di
negara-negara muslim modern. Sebagai konskuensinya, upaya pembaharuan hukum
keluarga selalu menghadapi perlawanan kuat, khususnya dari kelompok pemilik
otoritas agama, sebab mengubah hukum keluarga dianggap mengubah esensi agama
itu sendiri. Upaya pembaharuan hukum keluarga bisa-bisa dimaknai sebagai
pembangkangan terhadap syariatIslam. Akibatnya, belum semua negara berpenduduk
muslim melakukan pembaharuan terhadap hukum keluarganya.
6. Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di
Indonesia
Indonesia meski tidak tergolong
negara Islam, melainkan mayoritas berpenduduk muslim, adanya suatu upaya
pembaharuan hukum keluarga ini tidak terlepas dari munculnya pemikir-pemikir
reformis muslim, baik dari tokoh luar negeri maupun dalam negeri. Dari luar
negeri bisa disebutkan antara lain Rifa’ah al-Tahtawi (1801-1874), Muhammad Abduh
(1849-1905), Qasim Amin (1863-1908), dan Fazlur Rahman (1919-1988). Sedang
tokoh dari reformis muslim nasional antara lain ada sejumlah tokoh-tokoh
pembaharu yang ada di Indonesia, seperti, Hasbi Ash-Shiddiqi dengan “Fiqh
Indonesia”, Hazairin dengan “Fiqh Mazhab nasional”, Munawir Syadzali dengan
“Reaktualisasi Ajaran Islam”, Abdurrahman Wahid dengan “Pribumisasi Islam”,
Sahal Mahfudz dengan “Fiqh Sosial” dan Masdar F. Mas’udi dengan “Agama
Keadilan”. Pembaruan hukum Islam sebagai upaya mencari relevansi hukum Islam
dengan perkembangan kekinian bukanlah upaya yang berdiri sendiri, tapi ada
faktor yang mendorongnya.
Jika dilihat dari tujuannya,
pembaharuan hukum keluarga secara garis besar bertujuan meningkatkan
statusperempuan dalam segala aspek kehidupan dan hukum keluarga termasuk hukum
waris. Meski tujuan ini tidak disebutkan secara eksplisit, materi hukum yang
dirumuskan bahwa undang-undang seputar hukum keluarga yang dibuat umumnya
merespon sejumlah tuntutan status dan kedudukan perempuan yang lebih adil dan
setara. Undang-undang perkawinan khususnya yang dimiliki Mesir dan Indonesia
jelas menggulirkan tujuan tersebut.Tujuan lain yang dimiliki negara-negara Muslim
dalam memperbaharui hukum keluarga adalah unifikasi hukum. Usaha unifikasi
hukum ini dilakukan karena masyarakatnya menganut bermacam-macam mazhab atau
bahkan pemahaman agama yang berbeda-beda. Di Tunisia misalnya, upaya unifikasi
hukum perkawinan ditujukan untuk semua warga negara tanpa memandang perbedaan
agama. Selain tujuan-tujuan tersebut, ada lagi tujuan lain dari upaya
pembaharuan hukum keluarga yaitu untuk merespon tuntutan zaman. Dimana tuntutan
zaman dan dinamika perkembangan masyarakat tersebut adalah akibat dari pengaruh
global yang mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia.Dalam reformasi
hukum keluarga tersebut, umumnya upaya terfokus pada masalah status personal,
yang masih diatur oleh hukum Islam yang telah mapan di beberapa negara muslim.
Untuk mengurangi keberatan kaum konservatif, pembaharuan ini sering dilakukan
secara tak langsung melalui jalur prosedural.
Dengan memperhatikan uraian diatas
dapat diketahui bahwa pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia telah
terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi
serta sesuai dengan tuntutan zaman yang telah dilalui. Hal ini disebabkan
karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh tidak cocok atau sudah
tidak mampu lagi memberi solusi atau jawaban terhadap masalah-masalah baru yang
terjadi khususnya dalam bidang hukum keluarga. Perlu diketahui secara
sederhana, fiqih memiliki dua wilayah, ada wilayah prinsip, dan ada wilayah
fleksibel. Demikian juga dengan hokum keluarga tentu ada wilayah prinsip, dan
ada wilayah fleksibel. Wilayah prinsip serupa dengan hukum alam tidak bisa dan
tidak mungkin diubah seperti rukun nikah dan wilayah kedua adalah wilayah
fleksibel, atau lebih tepat disebut sebagai wilayah perbedaan, aspek iniyang
mentoleransi adanya perbedaan dalam penetapan hukumnya, seperti pembatasan
syarat polygamy yang diperketat.
7. Faktor-faktor Penyebab Pembaruan Hukum
Keluarga di Indonesia
Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia,
pembaharuan hukum Islam yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor,
termasuk di dalamnya hukum keluarga.
1)
Untuk
mengantisipasi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam
kitab-kitab fiqih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat
terhadap hukum terkait masalah yang baru terjadi sangat mendesak untuk
diterapkan;
2)
Pengaruh
globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya,
terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya;
3)
Pengaruh
reformasi berbagai bidang yang memberikan peluang terhadap hukum Islam untuk
bahan acuan dalam membuat hukum nasional;
4)
Pengaruh
pembaharuan pemikiran hukum Islam yang di laksanakan oleh para mujtahid baik
tingkat internasional ataupun nasional.
Pembaharuan hukum keluarga Islam di
Indonesia disebabkan karena adanya perubahan kondisi, situasi tempat dan waktu
sebagai akibat dari faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas. Perubahan ini
adalah sejalan dengan teori qaul qadim dan qaul jadid yang
dikemukakkan oleh Imam Syafi’i, bahwa hukum dapat juga berubah karena
berubahnya dalil hukum yang diterapkan pada peristiwa tertentu dalam
melaksanakan maqâsyid syari’ah.Dengan memperhatikan uraian diatas dapat
diketahui bahwa pembaharuan hukum keluarga Islam telah terjadi dalam kurun
waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta sesuai dengan
tuntutan zaman. Hal ini disebabkan karena norma-norma yang terkandung dalam
kitab-kitab fiq sudah tidak mampu lagi memberi solusi terhadap masalah
baru yang terjadi.
8. Konflik Hukum Islam, Sipil, dan Adat Bidang
Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Di Indonesia, terjadi konflik antara hukum
Islam, hukum Sipil (Barat), dan hukum Adat. Konflik antara ketiga sistem hukum
ini berawal sejak masuknya penjajahan Belanda di Indonesia, dan terus berlanjut
hingga saat ini. Sebenarnya setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945, bangsa Indonesia berupaya untuk mengatasi konflik tersebut, namun hingga
sekarang belum kunjung selesai. Realita sejarah menunjukkan bahwa konflik
antara ketiga sistem hukum itu bukanlah terjadi secara alamiah, melainkan ada
unsur kesengajaan, yakni ditimbulkan oleh sistem koloniailisme waktu itu dan
rekayasa dari pihak-pihak yang tidak menghendaki perkembangan hukum Islam di
Indonesia pada masa lalu dan saat ini. Konflik hukum mengandung arti konflik
nilai-nilai sosial dan budaya yang timbul secara wajar. Jika ada pertemuan
antara dua atau lebih sistem nilai yang asing bagi suatu masyarakat, biasanya
akan selesai dengan sewajarnya, karena setiap masyarakat memiliki daya serap dan
daya adaptasi terhadap sistem nilai asing, namun jika konflik sistem nilai itu
ditimbulkan dengan sengaja dan kadang-kadang secara artificial sesuai dengan
kebutuhan politik, maka sulitlah menghapuskan konflik itu secara tuntas.
Islam yang masuk ke Indonesia pada abad-abad
pertama hijriyah telah membawa sistem nilai baru berupa akidah, syari’ah dan
akhlak. Ketika itu kondisi masyarakat Indonesia telah memiliki secara memadai
sistem nilai yang berlaku lama berupa peraturan-peraturan adat di setiap masyarakat
yang beragam. Selaras dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai hukum Islam
itu diresapi dan diamalkan dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan
nilai-nilai adat setempat yang telah sesuai atau tidak bertentangan dengan
nilainilai aqidah, syari’ah dan akhlak Islam. Pergumulan kedua sistem nilai itu
berlaku secara wajar, tanpa adanya konflik antara kedua sistem nilai tersebut.
Karena itu, L.W.C. Van den Berg, seorang sarjana Belanda, berkesimpulan bahwa
pada awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang Indonesia yang beragama
Islam berlaku motto receptio in complexu yang berarti orang-orang Islam
di Indonesia menerima dan memperlakukan syari’at Islam secara keseluruhan.
Pada masa itu (sampai dengan 1 April 1937), Pengadilan Agama mempunyai kompetensi
yang luas, yakni seluruh hukum sipil (perdata) bagi perkara-perkara yang
diajukan, diputus menurut hukum Islam.
Khusus hukum keluarga, konflik antara hukum
Islam, hukum Adat, dan hukum Sipil di Indonesia dapat dijelaskan dengan bahwa Islam
sangat memperhatikan pembinaan pribadi dan keluarga. Akhlak yang baik pada
pribadi dan keluarga akan menciptakan masyarakat yang baik dan harmonis, oleh
karena itu pula, hukum keluarga menempati posisi penting dalam hukum Islam.
Hukum keluarga dirasakan sangat erat kaitannya dengan keimanan seseorang,karena
seorang muslim akan selalu berpedoman kepada ketentuan dan peraturan syariat
dalam setiap aktivitas pribadi dan dalam hubungan dengan keluarga. Kendatipun
dalam ilmu fiqh hukum keluarga digolngkan mu’amalah, akan tetapi unsur
ibadatnya lebih terasa, karena itu selalulah hukum kelarga berkaitan erat
dengan agama Islam. Di sinilah konflikkonflik timbul, yaitu manakala ada sistem
hukum lain (hukum Sipil dan Adat) yang akan menukarnya,terlebih lagi karena
sejarah penjajahan atas negeri–negeri Islam mencatat, kehendak yang berkuasa
untuk memberlakukan hukum Sipil itu diwarnai oleh politik kekuasaan.
Hukum Sipil pun, terutama bidang hukum
keluarga, erat sekali kaitannya dengan moral dan kesusilaan masyarakat Barat tempat
hukum Sipil bermula dan berkembang, moral dan kesusilaan mana tentunya berakar
pada agama Kristen. Sementara itu hukum
Adat juga erat pertaliannya dengan moral dan susila masyarakat tertentu, yang
niscaya berakar pada agama dan kepercayaan terutama pada zaman bahariyang
berkembang pada masing-masing masyarakat adat.
9. Al-Ahwal al-Syakhsiyah Sebagiai Komponen Fiqh
Dalam dunia Ilmu Fiqh dikenal adanya bidang al
Ahwal al Syakhsiyah atau hukum keluarga, yaitu fiqh yang mengatur hubungan
antara suami-isteri, anak, dan keluaganya. Pokok kajiannya meliputi; 1).
munakahat, 2). mawaris, 3) wasiat, dan 4). wakaf. Mengenai wakaf, memang ada
kemungkinan masuk ke dalam bidang ibadah apabila dilihat dari maksud orang
mewakafkan hartanya (untuk kemaslahatan umum), namun dapat dikategorikan dalam
bidang al-ahwal al-syakhsiyah apabila wakaf itu waqf dzurri,
yakni wakaf untuk keluarga.Munakahat atau pernikahan merupakan akad yang
menghalalkan pergaulan antara seorang pria dan seorang wanita serta menetapkan
hak-hak dan kewajiban diantara keduanya.
Pembahasan fiqh munakahat menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 74 tentangg
Perkawinan, perkara yang ada dalam bidang perkawinan sejumlah 22 macam.
Diantaranya mencakup topik-topik tentang peminangan, akad-nikah, wali nikah,
saksi nikah, mahar, mahram, rada’ah, hadanah, hal-hal yang berkaitan dengan
putusnya perkawinan, ’iddah, ruju’, ila’, dzihar, li’an, nafkah, dan lain-lain.
Mawaris atau kewarisan mengandung pengertian
tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa
saja yang berhak terhadap harta warisan, bagaimana cara pembagiannya untuk
masing-masing ahli waris. Fiqh mawaris disebut juga fara’id, karena mengatur
tentang bagian-bagian tertentu yang menjadi hak para ahli waris. Pembahasan
fiqh mawaris mencakup masalah tajhiz (perawatan jenazah), pembayaran
hutang dan wasiat, kemudian tentang pembagian harta warisannya. Di samping itu
dibahas pula mengenai penghalang untuk mendapatkan warisan, juga dibicarakan
tentang zawil arham, hak anak dalam kandungan, hak ahli waris yang hilang, hak
anak hasil perzinahan, serta masalah-masalah khusus.
Wasiat adalah pesan seseorang terhadap
sebagian hartanya yang diberikan kepada orang lain atau lembaga tertentu yang
pelaksanaannya ditangguhkan setelah ia meninggal dunia. Pembahasannya meliputi
orang yang berwasiat dan syaratnya, orang yang diberi wasiat dan syaratnya,
hukum bagi penerima wasiat yang membunuh pemberinya, tentang harta yang
diwasiatkan dan syaratnya, hubungan antara wasiat dengan warisan, tentang lafaz
dan tata cara berwasiat, tentang penarikan wasiat, dan lain-lain.
Wakaf adalah penyisihan sebagian harta benda
yang bersifat kekal zatnya dan mungkin diambil manfaatnya untuk maksud/tujuan
kebaikan. Di dalam kitab-kitab fiqh dikenal adanya istilah wakaf dzurri
(keluarga) dan wakaf khairi (untuk kepentingan umum). Pembahasan
mengenai wakaf meliputi syarat-syarat bagi orang yang mewakafkan, syarat-
syarat bagi barang yang diwakafkan, syarat-syarat bagi orang yang menerima
wakaf, shighat/ucapan dalam pewakafan, mengenai macam dan siapa yang mengatur
barang wakaf beserta hak dan kewajibannya, tentang penggunaan barang wakaf, dan
lain sebagainya.
C. Analisis Pembaruan Hukum Keluarga
dalam Kompilasi Hukum Islam
Terbentuknya hukum Islam (hukum
keluarga) yang tertulis, sebenarnya sudah lama menjadi kebutuhan dan keinginan
masyarakat muslim. Sejak terbentuknya Peradilan Agama yang mempunyai kewenangan
untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum keluarga, rasanya sangat diperlukan
adanya hukum kekeluargaan Islam tertulis. Maka munculah gagasan penyusunan
Kompilasi Hukum Islam sebagai upaya dalam rangka mencari pola fiqh yang
bersifat khas Indonesia atau fiqh yang bersifat kontekstual. Kemunculan KHI di
Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam.
Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan
ditemukan lagi pluralisme putusan hakimpengadilan agama, karena kitab yang
dijadikan rujukan hakim adalah sama. Selain itu fiqh yang selama ini tidak
positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan
mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan
akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena digali dari tradisi-tradisi
bangsa Indonesia. Dalam rangka pemberlakuan KHI maka keluarlah IntruksiPresiden
Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan KHI yang
terdiri dari tiga buku, yaituBuku I tentang perkawinan, terdiri
dari 9 bab dan 170 pasal (pasal 1 s/d pasal 170), Buku II tentang kewarisan,
terdiri dari 6 bab dan 43 pasal (pasal 171 s/d pasal 214)danBuku III
tentang perwakafan, terdiri dari 5 bab dan 12 pasal (pasal 215
s/d pasal 228).
1) Bidang Perkawinan
Peraturan yang ada dalam KHI untuk
bidang hukum perkawinan tidak lagi hanya terbatas pada hukum subtantif saja
yang memang seharusnya menjadi porsi dari kompilasi, akan tetapi sudah cukup
banyak memberikan peraturan tentang masalah prosedural yang seharusnya termasuk
dalam porsi undang-undang perkawinan. Walaupun pada dasarnya, ada beberapa
pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki
kesamaan yang termuat dalam KHI. Adapun perbedaan (hal-hal baru) yang termuat
dalam KHI merupakan sebagai kemajuan dari pengembangan hukum keluarga di
Indonesia.
Sebagai pengembangan dari hukum
perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan, maka KHI tidak boleh
lepas dari misi yang diemban oleh undang-undang tersebut, kendatipun cakupannya
hanya terbatas bagi kepentingan umat Islam, antara lain, kompilasi mutlak harus
mampu memberikan landasan hukum perkawinan yang dapat dipegangi oleh umat
Islam.
a. Pencatatan perkawinan.
Pasal 5 KHI menyebutkan “agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus
dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
Jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Jika kita melihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia, maka kata harus yang tercantum dalam pasal 5 tersebut bermakna wajib
begitu juga dalam hukum Islam. Dengan demikian menurut KHI, perkawinan yang
tidak dicatat dan dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum. Pasal 5 tersebut dikuatkan pasal 7, yang menyatakan
bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga dapat dikatakan bahwa, pencatatan perkawinan
merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam yang melangsungkan perkawinan.
Pencatatan perkawinan yang
dimaksudkan dalam KHI harusnya berkaitan dengan sah tidaknya suatu perkawinan
yang dilaksanakan, karena pencatatan perkawinan tersebut berkaitan dengan
hubungan keperdataan, yakni perkawinan yang tidak dicatat oleh pegawai pencatat
nikah tidak memiliki kekuatan hukum menurut hukum yang berlaku di Indonesia,
sehingga tidak sah perkawinan tersebut menurut hukum Islam. Hal itu dilakukan
agar setiap orang yang berkaitan dengan terjadinya perkawinan tersebut dapat
dijamin hak-haknya menurut peraturan perundangan-undangan di Indonesia.
b. Menikahkan wanita hamil karena
zina.
KHI juga menganut pembaruan dengan
lintas mazhab (intra-doctrinal reform). Pembaruan model ini dapat
diperhatikan pada ketentuan bolehnya menikahkan wanita hamil karena zina dengan
pria yang menghamilinya (Pasal 53 ayat (1) KHI) dan anak yang dilahirkannya
menjadi anak yang sah. Akibatnya, anak tersebut memiliki hubungan nasab pada
keduanya tanpa harus melihat terlebih dahulu apakah anak zina yang dikandungnya
itu lahir setelah atau sebelum enam bulan dari hari pernikahannya (Pasal 99
huruf a KHI). Konsekuensi hukumnya, anak yang lahir tersebut mendapatkan
kewarisan dari keduanya dan dari keluarga keduanya tanpa memperhitungkan apakah
ia lahir setelah enam bulan atau sebelumnya terhitung dari hari pernikahannya.
Ketentuan tentang status hukum
anak zina tanpa mempertimbangkan kapan kelahirannya yang tertuang dalam Pasal
99 huruf a KHI ini bersumber dari mazhab Hanafi, sedangkan umat Islam Indonesia
pada umumnya menganut mazhab Syafi’i. Hal ini menunjukkan adanya pembaruan
dengan lintas mazhab. Meskipun ketentuan pasal ini menganut mazhab Hanafi, para
penyusun Kompilasi Hukum Islam tetap memasukkan dalam pasal KHI. Alasan mereka
adalah bahwa dalam hal ini, pendapat mazhab Hanafi lebih memberikan
kemaslahatan hukum bagi masyarakat muslim Indonesia. Bagi mereka, berpindah
mazhab boleh dilakukan asalkan dalam satu rangkaian hukum.
c. Persetujuan untuk dilangsungkannya
pernikahan.
Pembaruan model lintas mazhab (intra-doctrinal
reform) juga terjadi pada ketentuan mengenai keharusan adanya persetujuan
untuk dilangsungkannya pernikahan. Jika ternyata perkawinan itu tidak
didasarkan atas persetujuan kedua mempelai, maka dapat dibatalkan (Pasal 71
huruf a dan f KHI). Ketentuan dalam pasal ini tidak membedakan antara wanita
yang masih perawan dan wanita yang sudah janda bagi calon mempelai wanita.
Keduanya dianggap sama dalam aspek hukumnya.
Para ulama fiqh sepakat bahwa
calon mempelai pria tidak dapat dipaksa untuk menikah dan pernikahannya
didasarkan atas kehendak dan persetujuannya. Akan tetapi, para ulama fiqh
membedakan status hukum bagi calon mempelai wanita antara yang masih perawan
dan yang sudah janda. Bagi mazhab Hanafi, persetujuan calon mempelai wanita
baik yang masih perawan maupun yang sudah janda menjadi syarat untuk dapat
dilangsungkannya pernikahan. Bagi mazhab ini, wali tidak menjadi rukun nikah.
Dengan demikian, wali tidak berhak memaksa terhadap calon mempelai wanita untuk
dinikahkan. Mazhab Maliki dan Syafi’i membedakan calon mempelai wanita dewasa
antara yang masih perawan dan yang sudah janda. Bagi kedua mazhab ini,
persetujuan dari calon mempelai wanita dewasa yang sudah janda menjadi syarat
untuk dapat dilangsungkan pernikahannya. Sedangkan calon mempelai wanita dewasa
yang masih perawan tidak perlu dimintai persetujuannya terlebih dahulu. Walinya
dapat saja memaksanya untuk menikahkan dengan pria yang sebanding (kafā'ah)
dengannya. Ketentuan dalam Pasal 71 huruf d dan f KHI ini sejalan dengan
pandangan mazhab Hanafi dan pasal ini meninggalkan pandangan mazhab utama yang
dianut oleh masyarakat Indonesia yaitu mazhab Syafi’i.
d. Usia minimal yang diperbolehkan
kawin.
Pembaruan selanjutnya yang
terdapat dalam KHI dapat dilihat pada ketentuan usia minimal yang diperbolehkan
kawin, yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita
(Pasal 15 ayat (1) KHI)serta kedua calon mempelai yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua masingmasing karena dianggap
belum mandiri secara hukum (Pasal 15 ayat (2) KHI). Para ulama fiqh tidak
menentukan batas usia minimal bagi sah dan dapat dilangsungkannya perkawinan.
Mereka juga tidak mensyaratkan dewasa (baligh) sebagai syarat sah dan dapat
dilangsungkannya perkawinan. Bahkan, mereka memandang bahwa nikahnya anak
perempuan yang masih kecil dengan anak laki-laki yang masih kecil adalah sah.
Pembatasan umur pernikahan dalam
KHI dimaksudkan agar tujuan dari pernikahan dapat tercapai. Selain itu, hal
yang belum dibahas dalam kitab fiqh klasik adalah ketentuan mengenai status
anak yang lahir dari rahim istrinya, tetapi hasil dari pembuahan di luar rahim
melalui proses inseminasi buatan. (Pasal 99 huruf b KHI).
e. Talak dan lian
Pembaruan juga dapat dilihat dalam
ketentuan mengenai talak dan li'ān yang dapat diakui jika dinyatakan di depan
sidang Pengadilan Agama (Pasal II7 dan 128 KHI). Sebagai konsekuensinya talak
jatuh terhitung sejak dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal 123
KHI). Dengan begitu iddah talak raj'ī terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 153 ayat (4)
KHI).
2) Bidang Kewarisan
Hukum kewarisan yang termuat dalam
KHI terdiri atas VI bab dan 44 pasal (pasal 171-214), dari segi yuridis
formalnya, perkara kewarisan belum pernah dibahas dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, baru dalam KHI aturan tersebut diberlakukan,
selama ini para hakim peradilan agama menetapkan hukum kewarisan berdasarkan
sumber hukum, yaitu al Quran dan hadis, dan kitab-kitab
fiqh.
a. Sistem kewarisan bilateral.
KHI membawa perubahan yang cukup
penting tentang sistem kewarisan yang selama ini dianut oleh masyarakat
beragama Islam di Indonesia pada umumnya menggunakan kitab-kitab yang bersumber
dari mazhab sunnī yang menganut sistem kewarisan patrilinier. Sedang sistem
kewarisan yang dianut KHI adalah sebagaimana tercantum dalam Q.S. an-Nisā (4):
7 dan 11, yaitu sistem kewarisan bilateral. Menurut sistem ini, anak lakilaki atau
cucu dari anak perempuan (zawī al-arḥām) adalah samasama sebagai ahli
waris ‘āṣābah/zawī al-furūḍ, maka tidak berhak mewarisi (terhijab
hirmān). Dalam KHI, apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda. Dalam pasal ini kata anak
disebut secara mutlak tanpa keterangan laki-laki/perempuan. Ini berarti kalau
ada anak, tanpa dibedakan apakah anak laki-laki atau anak perempuan, maka
menghijab hirmānterhadap saudara-saudara kandung atau paman pewaris. Sedangkan
menurut fiqhsunnī, kalau anak tersebut perempuan maka hanya dapat menghijab nuqṣān
atau mengurangi bagian ahli waris ‘āṣābah.
b. Percobaan pembunuhan penghalang
mewarisi.
Seorang terhalang menjadi ahli
waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dihukum karena: (a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
atau menganiaya berat para pewaris; (b) dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Pembaruan dalam
pasal ini memberikan tambahan ketentuan halhal yang dapat menghalangi hak
seseorang untuk mewarisi. Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan di atas bahwa
di samping faktor membunuh, faktor percobaan pembunuhan dan menganiaya berat
juga menjadi penyebab terhalangnya hak seseorang untuk dapat mewarisi (Pasal
173 KHI).
Dalam kitab-kitab fiqh, ulama
bersepakat bahwa hal-hal yang dapat menghalangi hak mewarisi ada tiga, yaitu
karena menjadi hamba sahaya, berbeda agama dan membunuh pewaris. Faktor
membunuh menjadi penghalang mewarisi jika memang benar-benar telah melakukan
pembunuhan terhadap pewaris. Ulama fiqh tidak menetapkan apakah orang yang
melakukan percobaan pembunuhan dan penganiayaan berat terhadap pewaris juga
menghalangi hak kewarisan seseorang.
Ketentuan melakukan percobaan pembunuhan dan menganiaya berat sebagai
penghalang hak mewarisi merupakan hasil ijtihad para ahli hukum Islam
Indonesia.
c. Ahli waris pengganti.
Pembaruan hukum kewarisan
berikutnya dapat diperhatikan dalam ketentuan Pasal 185 ayat (1) KHI yang
menyatkan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris,
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya. Bagian untuk ahli waris
penggantinya tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang
digantikannya (Pasal 185 ayat (2) KHI). Ketentuan dalam pasal ini sering
disebut dengan ketentuan mengenai ahli waris pengganti (mawāli). Ketentuan
mengenai ahli waris pengganti ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh. Pada
umumnya, ulama fiqh menetapkan kedudukan seseorang sebagai ahli waris tidak
dapat digantikan oleh anaknya jika ia lebih dahulu meninggal daripada pewaris,
sehingga dalam kita fiqh tidak dikenal adanya ahli waris pengganti.
d. Batas usia syarat seseorang yang
hendak mewasiatkan hartanya.
Pembaruan selanjutnya terjadi
dalam ketentuan mengenai syarat seseorang yang hendak mewasiatkan hartanya
harus memenuhi umur sekurang-kurangnya 21 tahun (Pasal 194 ayat (1) KHI).
Ketentuan ini berkaitan erat dengan batasan seseorang yang dapat dianggap
dewasa. Jika seseorang belum mencapai batasan umur ini maka masih belum
dianggap dewasa dan belum patut melakukan perbuatan hukum seperti mewasiatkan
hartanya. Ketentuan batas usia minimal ini tidak ditemukan dalam kitabkitab fiqh.
Ulama fiqh dari mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i hanya mensyaratkan bahwa
pewasiat harus sudah baligh (dewasa), sedangkan ulama dari mazhab Maliki dan
Hanbali hanya mensyaratkan bahwa pewasiat harus sudah mumayyiz (cukup
dewasa).
e. Wasiat harus di hadapan 2 orang
saksi.
Pembaruan berikutnya terjadi dalam
ketentuan Pasal 195 ayat (2) KHI yang menyatakan bahwa wasiat harus dilakukan
di hadapan dua orang saksi atau notaris baik secara lisan atau tertulis.
Ketentuan ini pun tidak dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Ulama fiqh tidak
memasukkan ketentuan adanya dua orang saksi bagi sahnya wasiat. Mereka
menetapkan bahwa wasiat mempunyai empat rukun, yaitu pewasiat (mūṣī), penerima
wasiat (mūṣā lahu), benda yang diwasiatkan (mūṣā bihi) dan sighat ijab dan
qabul
Ulama fiqh tidak memasukkan dua orang saksi (syahīdāni), apalagi notaris ke
dalam rukum wasiat.
f.
Penghalang penerima wasiat.
Pembaruan berikutnya terjadi dalam
ketentuan Pasal 197 ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa penerima wasiat
terhalang jika; pertama, membunuh, mencoba membunuh atau menganiaya berat
terhadap pewasiat; kedua, menfitnah pewasiat bahwa pewasiat telah melakukan
kejahatan dengan hukuman lima tahun atau lebih; ketiga, dengan kekerasan dan
ancaman, mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat
untuk kepentingan penerima wasiat.
g. Wasiat tidak boleh kepada pelayan
perawatan.
Pembaruan ini juga dapat
diperhatikan pada ketentuan Pasal 207 KHI yang menyatakan bahwa wasiat tidak
diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan dan orang yang
memberikan tuntunan kerohanian kepada pewasiat hingga ia meninggal, kecuali
jika ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya, dan juga dalam
ketentuan dalam Pasal 208 KHI yang menyatakan bahwa wasiat tidak berlaku bagi
notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut.
h. Wasiat wajibah.
Selain pembagian harta
peninggalan, dalam kewarisan Islam juga diatur tentang peralihan harta
peninggalan oleh karena peristiwa kematian pewaris. Tata cara peralihan harta
peninggalan pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan dengan cara wasiat.
Pembaruan ini juga dapat
diperhatikan pada 209 ayat (1) dan (2) KHI yang menyatakan bahwa orang tua
angkat yang tidak mendapat wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan anak angkatnya. Ada juga anak angkat yang tidak mendapat
wasiat diberi wasiat wājibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari warisan orang tua
angkatnya. Ketentuan memberi wasiat wajibah kepada orang tua angkat dan anak
angkat tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh empat mazhab dan bahkan dari
mazhab Daud Zahiri sekali pun. Istilah wasiat wājibah sendiri tidak dikenal
dalam kitab-kitab fiqh empat mazhab.
3) Bidang Wakaf
Pembaruan fiqh juga terjadi dalam
pasal-pasal mengenai hukum perwakafan. Pembaruan yang terdapat dalam
pasal-pasal ini dilakukan dengan metode extra-doctrinal reform dan regulatory
reform.
a. Ikrar wakaf di hadapan PPAIW
Pembaruan dengan metode extra
doctrinal reform ini dapat diperhatikan pada ketentuan mengenai ikrar wakaf
kepada penerima wakaf yang harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan dua orang saksi (pasal218).
b. Penerima wakaf WNI.
Pembaruan model di atas
selanjutnya dapat diperhatikan pada ketentuan pasal 219 ayat (1) yang
menyatakan bahwa penerima wakaf harus warga negara Indonesia (WNI), muslim, dan
bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang diwakafkan. Ketentuan ini
tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh. Para ulama fiqh tidak mensyaratkan
penerima wakaf harus muslim apalagi warga negara yang sama dengan pewakaf dan
bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang diwakafkan. Ketentuan penerima
wakaf harus muslim ini lebih merupakan upaya memelihara harta umat Islam agar
dipergunakan untuk kepentingan mereka. Sedangkan ketentuan penerima wakaf harus
warga negara Indonesia dan bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang
diwakafkan ini merupakan aturan-aturan yang memiliki motif politis dan
kemudahan administrasi perwakafan.
c. Penerima wakaf harus bersumpah di
hadapan kepala KUA.
Pembaruan selanjutnya terdapat
dalam ketentuan mengenai penerima wakaf harus bersumpah di hadapan kepala
Kantor Urusan Agama (KUA) dengan di hadiri dua orang saksi (pasal 2I9 ayat 3
KHI). Ketentuan di atas juga tidak dijumpai dalam kitab-kitab fiqh dan bahkan
dalam perundang-undangan Islam di negara-negara berpenduduk muslim. Ketentuan
dalam pasal ini merupakan hasil ijtihad dari para perumus KHI.
d. Jabatan nazīr diberhentikan oleh
kepala KUA.
Pembaruan selanjutnya terdapat
dalam pasal 221KHI yang menyatakan bahwa jabatan nazīr diberhentikan oleh
kepala KUA karena mati, atas permohonan sendiri, tidak dapat melakukan
kewajibannya sebagai nazīr dan melakukan kejahatan sehingga dipidana. Ketentuan
hanya kepala Kantor Urusan Agama (KUA) yang berhak mengangkat dan
memberhentikan jabatan nazir karena alasan-alasan seperti yang terdapat dalam
pasal di atas, tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh. Dalam kitab-kitab fiqh,
para ulama tidak membatasi pada hakim (qāḍi) saja yang memiliki hak
untuk mengangkat dan memberhentikan jabatan nazir. Nazir dapat saja berhenti
menjadi pengelola wakaf dengan menyerahkannya pada siapa saja yang layak
menjadi pemegang amanat wakaf tanpa harus ada campur tangan qādī.
Sejak ditetapkan KHI pada tahun
1991, belum pernah sekalipun mengalami evaluasi dan revisi terhadap isi KHI,
karena tidak menutup kemungkinan beberapa pasal dalam KHI tidak lagi dapat
diterapkan melihat semakin kompleksnya permasalahan hukum keluargaIslam yang
muncul saat ini sehingga senantiasa dapat menjadi sumber dalam menyeleseaikan
permasalahan-permasalahan yang muncul di era modern ini.
D. Kesimpulan
Hukum Islam di bidang keluarga
menempati posisi sangat penting dalam hukum Islam, hal ini berkaitan dengan
kontribusinya yang amat signifikan di dalam upaya menciptakan kehidupan
masyarakat yang tertib dan harmonis. Itulah sebabnya di banyak negara Islam
atau yang mayoritas warganya beragama Islam, utamanya Indonesia, bidang hukum
ini senantiasa mendapatkan apresiasi tinggi yang dimanifestasikan dalam bentuk
upaya berkelanjutan untuk melegalkan/legislasi hukum Islam menjadi hukum positf
ke dalam berbagai produk peraturan perundang-udangan RI.
Pembaharuan hukum keluarga Islam
di Indonesia, adalah suatu keniscayaan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan
perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan, pengaruh globalisasi ekonomi,
pengaruh reformasi dalam berbagai bidang hukum, dan juga pengaruh pembaruan
pemikiran Islam yang mengharuskan pintu ijtihad selalu terbuka untuk
menemukan hukum baru terhadap persoalan baru khusus hokum keluarga.
Tujuan pembaruan hukum keluarga
Islam yang dilakukan di Indonesia merupakan upaya untuk menjawab tantangan
modernitas dalam bidang hukum keluarga, karena pemahaman konvensional yang
mapan tentang berbagai ayat alQuran, Hadits dan kitab-kitab fiqh dianggap tidak
mampu menjawab tantangan problem hukum keluarga yang muncul pada era modern.
Daftar Pustaka
Ali, M. Daud, Hukum Islam dan
Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Arifin, Bustanul, Pelembagaan
Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta:
Gema Isani Press, 1996.
Ahmad, Amrullah SF dkk, Dimensi
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: GemaInsani Press,
1996.
Alimuddin, Kompilasi Hukum
Islam Sebagai Hukum Terapan Bagi Hakim Pengadilan Agama, Makassar: Alauddin
University Press, 2011.
Al-Ẓāhir, Ibnu Ḥazm, al-Muḥalla,
Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Badra, Abūal-‘Ain, Ahkām al-Waṣāyāwa
al-Hibah, Iskandariyah: Mu’assasah Shabbab al-Jāmiah, t.t.
Bisri, Cik Hasan, Kompilasi
Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Logos, 1999.
Brown, L. Carl, Religion and
State: The Muslim Approach to Politics, New York: Colombia University
Press, 2000.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Donohue, John, Islam dan
Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah, Jakarta: Rajawali Press,
1995.
Djazuli, A., Ilmu Fiqh
Penggalian, Perkembangan, dan Penerapannya, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Fanani, Ahmad Zaenal, Pmbaharuan Hukum Sengketa Hak Asuh
Anak di Indonesia (Prspektf Keadilan Jender), Yogyakarta: UII Press, 2015.
Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid
II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Manan, Abdul, Reformasi Hukum
Islam, Cet. I; Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006.
Mudzhar, M., Dampak Gender Terhadap
Perkembangan Hukum Islam, Jurnal Studi Islam, 1, 1999.
Muhyiddin, dan Abdul Hamid,
Muhammad, Ahkām al-Mawārith fi Sharā'at al-Islāmīyah ala Maẓāhib al-Arba'ah,
t.tp: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.
Miller, David H. Olson dan Brent
C. (ed.), Family Studies: Review Yearbook; A General Framework for Family
Impact Analysis, London/ Beverly Hills/ New Delhi: Sage Publiction, 1983.
Nasution, Khoiruddin, Hukum
Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Islam, Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009.
---------------------------, Arah
Pembangunan Hukum Keluarga: Pendekatan Integratif dan Interkonektif dalam
Pembangunan Keluarga Sakinah, dalam As-Syir’ah: Jurnall Ilmu Syari’ah dan
Hukum, Vol. 46 No. I, Januari-Juni 2012.
Noer, Deliar, Islam dan
Politik; Mayoritas dan Minoritas?, Jakarta: Prima, 1998.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di
Indonesia, Cet. VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Rasito, dan Saiful Ibad, Respon
KIAI Pesantren Terhadap Materi KHI di Indonesia (Studi Kasus di Kota Jambi),
Kontekstualiata, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 21 No. 1 Juni 2006.
Saeed, Abdullah, Pemikiran
Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Baitul Hikmah, 2014.
Summa, Muhammad Amin, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo, 2005.
Salah Sultan, Metodological
Regulation for the fiqh of Muslim Minorities, dalam www. Salahsoltan.
Com/main/index. Php?id.
Sayuti Thalib, Receptio A
Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Wahid, dan Moh. Muhibbin, Abdul, Hukum
Kewarisan Islam: Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafita, 1994.
Zahrah, Abu, al-Ahwal
al-Syakhsiyah, Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi, 1957.