BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
sistem hukum apapun dan di manapun di dunia ini, hukum mengalami perubahan,
pembaruan. Bagi hukum tanpa kitab suci atau hukum wadh’i, perubahan atau pembaruan
hukum itu dilakukan untuk menyesuaikan hukum dengan perkembangan sosial dan
kebutuhan masyarakat. Ini tentu terkait dengan sifat dasar dan ruang lingkup
hukum (wadh’i) itu sendiri, yaitu aturan yang dibuat oleh manusia untuk
mengatur hubungan hidup antara manusia dengan manusia serta penguasa dalam
masyarakat. Ketika hukum Islam berinteraksi dengan kehidupan sosial maka
masyarakat senantiasa dihadapkan pada masalah baik yang bersifat internal
maupun eksternal. Pembaruan hukum karenanya merupakan keharusan sejarah karena
fenomena sosial kemasyarakatan tidaklah statis atau tetap, melainkan selalu
berubah.
Jadi,
selain bersifat permanen, hukum juga berubah. Hukum selain bersifat statis dan
tetap, pada saat yang sama juga berubah dan diperbaharui agar sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Hukum Islam baik dilihat sebagai produk
ilmu maupun sebagai ilmu, serta dari perspektif tajdid niscaya memerlukan
perubahan dan pembaharuan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian dari Pembaruan Hukum Islam ?
2. Apa
tujuan dari Pembaruan Hukum Islam ?
3. Apa
saja objek dan sasarn dari Pembaruan Hukum Islam ?
4. Metode
apa yang digunakan dalam Pembaruan Hukum Islam ?
5. Apa
saja sebab-sebab dari pentingnya Pembaruan Hukum Islam ?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui pengertian dari Pembaruan Hukum Islam
2. Untuk
mengetahui tujuan dari Pembaruan Hukum Islam
3. Untuk
mengetahui objek dan sasarn dari Pembaruan Hukum Islam
4. Untuk
mengetahui metode yang digunakan dalam Pembaruan Hukum Islam
5. Untuk
mengetahui sebab-sebab pentingnya Pembaruan Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pembaruan Hukum Islam
Pembaruan
hukum Islam berarti gerakan ijtihad untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu
menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru
untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan
dan kemaslahatan manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan ketentuan hukum di
sini adalah ketentuan hukum Islam kategori fiqh yang merupakan hasil ijtihad
para ulama, bukan ketentuan hukum Islam kategori syariat. Pembaruan juga dapat
dilakukan dengan usaha-usaha pentahqiqan. Dengan usaha pentahqiqan ini, akan
terlihat keaslian dan kemurnian ajaran Islam. Cara ini lebih mudah,
dibandingkan dengan ijtihad. Meskipun cara ini, barangkali termasuk dalam
wilayah ijtihad. Dikatakan lebih mudah, karena hanya mengoreksi sebuah
pendapat. Akan lebih mudah lagi bila kita memiliki fasilitas di atas.
Gerakan
menghidupkan kembali ijtihad untuk mengembangkan hukum Islam disebut gerakan
pembaruan hukum Islam, sebab gerakan itu muncul untuk menetapkan ketentuan
hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Menetapkan ketentuan hukum
yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru itu mengandung dua
unsur, yaitu :
1. Pertama,
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya,
seperti masalah bayi tabung.
2. Kedua,
menetapkan atau mencari ketentuan hukum baru bagi sesuatu masalah yang sudah
ada ketentuan hukumnya tetapi tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan
manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan “tidak sesuai dengan keadaan dan
kemaslahatan manusia masa sekarang” adalah ketentuan hukum lama itu yang
merupakan hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak mampu lagi merealisasi
kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat masa kini. Untuk itu perlu ditetapkan
ketentuan hukum baru yang lebih mampu merealisasi kemaslahatan umat yang
merupakan tujuan shariat dengan mempertimbangkan pengetahuan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan teknologi modern. Contonya ketentuan
hukum Islam mengenai pemimpin wanita. Ijtihad ulama sekarang ini telah
membolehkan wanita menjadi pemimpin atau kepala negara, padahal ijtihad lama
menetapkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin atau kepala negara.
Dalam
konteks pembaruan hukum Islam di Indonesia meliputi empat kategori, yaitu:
1.
Fiqh
Fiqh
sebagai produk pemikiran hukum Islam, baru berkembang pada masa sahabat
sepeninggal Rasulullah. Hal itu disebabkan oleh karena pada masa kenabian
karena setiap persoalan yang ada dengan mudah dapat diselesaikan oleh Nabi
sendiri melalui wahyu dan sabda-sabdanya. Muncul dan berkembangnya
kajian-kajian fikih disebabkan oleh munculnya persoalan-persoalan akibat
semakin meluasnya wilayah Islam dan semakin besarnya jumlah umat Islam dengan
latar belakang etnis dan kultur yang berbeda.
Oleh karena masalah-masalah yang muncul itu belum pernah dialami oleh
Rasululah dan tidak terdapat nash secara jelas dan tegas tentang hal itu, maka
para sahabat dan generasi berikutnya dituntut untuk berpikir dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang ada.
2.
Fatwa
Di
Indonesia, pembaruan hukum Islam dalam kategori fatwa dilakukan oleh
organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, dan persis.
Masing-masing organisasi mempunyai lembaga khusus yang melakukan pembaruan
hukum Islam dalam bentuk fatwa. Dalam lingkungan NU adalah dilakukan oleh
Majels Syuriah dan Majelis Ahlu al-Hall wa al-‘Aqdi, di lingkungan MUI
oleh Komisi fatwa, di Muhammadiyah oleh majelis Tarjih dan persis oleh Dewan
Hisbah. Pembaruan hukum Islam melalui organisasi ini memiliki kegunaan praktis
terutama bagi yang membutuhkannya, baik oleh pemerintah maupun oleh para
pemimpin dan anggota masyarakat, pada gilirannya fatwa dapat menjadi acuan
dalam penerapan hukum Islam.
3.
Putusan Hakim (Yurisprudensi)
Pembaruan
produk pemikiran hukum Islam melalui yurisprudensi dipandang perlu dan baik.
Dikatakan demikian karena yuriprudensi disamping menggambarkan keadilan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, juga selaras dengan kesadaran hukum
masyarakat muslim Indonesia, dengan catatan bahaw hakim Pengadilan Agama yang
membuat yurisprudensi itu, selain paham benar tentang hukum Islam, juga
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum pada umumnya yang
terdapat dalam masyarakat. Dalam
konteks lain, yurisprudensi sebagai produk pemikiran hukum Islam dapat
dikatakan dinamis karena merupakan respon terhadap perkara-perkara nyata yang
dihadapi masyarakat. Yurisprudensi memang tidak meliputi semua aspek pemikiran
hukum Islam sebagaimana halnya dengan fiqh, akan tetapi dari segi kekuatan ia
lebih mengikat terutama bagi pihak-pihak yang berperkara.
4.
Perundang-Undangan
Unsur-unsur
yang terlibat dalam dalam perumusan perundang-undangan tidak terbatas pada
golongan ulama (fuqaha) saja, akan tetapi juga melibatkan unsur-unsur lain
dalam masyarakat seperti cendikiawan, politisi, dan lain-lain. Masa berlakunya
suatu UU berlangsung sampai adanya peraturan Perundang-undangan yang baru yang
menggantikannya.
B.
Tujuan Pembaruan Hukum
Islam
Pembaruan
hukum Islam merupakan suatu keharusan, kewajiban yang mutlak. Pembaruan atau
modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunatullah yang
hak. Sunatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, maka untuk
menjadi modern manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam
alam itu. Manusia, karena keterbatasan kemampuannya, tidak sekaligus mengerti
sunatullah itu, melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu. Oleh karena
itu hukum Islam pun harus terus menerus mengalami pembaruan seirama dengan
penemuan dan perkembangan pengetahuan manusia terhadap hukum alam agar hukum
Islam sesuai dengan kenyataan yang ada dalam hukum alam.
Pembaruan hukum Islam dimaksudkan agar ajaran Islam tetap ada
dan diterima oleh masyarakat modern. Untuk mengembalikan aktualitas hukum Islam
atau untuk menjembatani ajaran teoretis dalam kitab-kitab fiqh hasil pemikiran
mujtahid dengan kebutuhan masa kini. Itu semua dapat ditempuh dengan beberapa
cara :
1. Memberikan kebijakan administrasi
Hal ini sudah
dilakukan di Mesir menjelang kehadiran Undang-Undang perkawinan. Dalam kitab
fiqh yang belaku disemua madzhab tidak ditemukan pencatatan perkawinan. Pada
masa mujtahid menghasilkan fiqhnya, hal tersebut dirasakan tidak perlu dan
tidak bermanfaat. Pada masa kini pencatatan perkawinan sangat dibutuhkan untuk
mengamankan perkawinan itu sendiri.
2. Membuat aturan tambahan
Tanpa
mengubah dan mengurangi materi fiqh yang sudah ada, dibuat aturan lain yang
dapat mengatasi masalah sosial, seperti wasiyyah wajibah yaitu wasiat-wasiat
yang diberikan kepada cucu yang tidak menerima waris karena bapaknya telah
meninggal lebih dahulu, sedangkan saudara bapaknya masih ada.
3. Talfiq (Meramu)
Hasil ijtihad
tertentu diramu menjadi suatu bentuk baru, seperti Undang-Undang perkawinan
Turki yang menggabungkan madzhab Hanafi yang mayoritas dengan madzhab Maliki
yang minoritas. Undang-Undang ini hanya bertahan menjelang diberlakukanya
Undang-Undang perkawinan Swiss yang hingga sekarang masih berlaku di Turki.
4. Reinterpretasi dan Reformulasi
Dalil fiqh
yang tidak aktual lagi dikaji ulang, terutama yang menyangkut hubungan dalil
dengan rumusan hukum. Dalil yang pernah diiterpretasikan oleh mujtahid dahulu
diinterpretasikan sesuai dengan jiwa hukum dan tuntutan masyakat pada saat itu.
Formulasi baru berdasarkan interpretasi baru baru itu ada yang dituangkan dalam
Undang-Undang dan ada pula yang berbentuk fatwa. Hal ini pada fiqh munakahat
dapat dilihat dalam masalah monogami, bigami, poligami yang dulunya mudah dan
tidak bertanggung jawab, mulai dibatasi dan dipersulit, bahkan ditentukan untuk
dilakukan dipengadilan.
C. Objek dan Sasaran Pembaruan Hukum Islam
Sasaran hukum Islam dapat
digolongkan ke dalam dua kategori lebar yaitu spesifik dan umum. Sasaran umum
hukum Islam mengarahkan kepada kesejahteraan manusia pada umumnya, baik dalam
dunia dan di alam baka. Tujuannya adalah mereka yang memiliki tujuan mewujudkan
kesejahteraan umum manusia, baik di dunia ini dan di akhirat. Sedangkan
sasaran spesifik hukum Islam yaitu untuk merealisir aktivitas manusia lebih
dangkal, seperti ekonomi, kehidupan berkeluarga, dan politik. Tujuan spesifik
hukum Islam adalah hukum Islam yang berusaha untuk mewujudkan dalam ranah
sempit aktivitas manusia, seperti ekonomi, kehidupan keluarga, atau tatanan
politik.
D. Metode
Dalam Pembaruan Hukum Islam
1.
Pemahaman
Baru Terhadap Kitabullah
Untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam,hal ini dilakukan dengan
direkonstruksi dengan jalan mengartikan al-qur’an dalam konteks dan jiwanya. Pemahaman
melalui konteks ini berarti
mengetahui asbab an-nusul. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti
memperhatikan makna atau substansi ayat tersebut.
2. Pemahaman Baru Terhadap Sunnah
Dilakukan
dengan cara mengklasifikasikan sunnah, mana yang dilakukan Rasulullah dalam
rangkka Tasyri’ Al-Ahkam (penetapan hukum) dan mana pula yang dilakukannya
selaku manusia biasa sebagai sifat basyariyyah (kemanusiaan). Sunnah baru dapat
dijadikan pegangan wajib apabila dilakukan dalam rangkaTasyri’ Al- Ahkam. Sedangkan
yang dilakukannya sebagai manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaaan
Rosulullah SAW kepada makanan yang manis, pakaian yang berwarna hijau dan
sebagainnya. Disamping itu sebagaimana Al-Qur’an, Sunnah juga harus dipahami
dari segi jiwa dan semangat atau substansi yang terkandung didalamnya.
3. Pendekatan Ta’aqquli (Rasional)
Ulama’
terdahulu memahami rukun Islam dilakukan dengan Taabbudi yaitu menerima apa adanya
tanpa komentar, sehingga kualitas illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyak
tidak terungkap. Oleh karena itu pendekatan ta’aquli harus ditekankan dalam
rangka pembaruan hukum Islam (ta’abadi dan ta’aqquli). Dengan pendekatan ini
illat hukum hikmahat-tashih dapat dicerna umat Islam terutama dalam masalah
kemasyarakatan.
4. Penekanan Zawajir (Zawajir dan Jawabir) dalam Pidana
Dalam masalah
hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Jawabir berarti dengan hukum itu
dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni oleh Allah. Dengan
memperhatikan jawabir ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan nash,
seperti pencuri yang dihukum dengan potong tangan, pezina muhsan yang dirajam,
dan pezina ghoiru muhsan didera. Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan
untuk membuat jera pelaku pidana sehingga tidak mengulanginya lagi. Dalam pembaruan
hukum Islam mengenai pidana, yang harus ditekakankan adalah zawajir dengan
demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang tertera dalam nash.
5. Masalah Ijma
Pemahaman
yang terlalu luas atas ijmak dan keterikatan kepada ijama harus dirubah dengan
menerima ijma sarih,yang terjadi dikalangan sahabat (ijma sahabat) saja,
sebagaimana yang dikemukakan oleh asy-syafi’i.kemungkinan terjadinya ijma
sahabat sangat sulit, sedangkan ijma sukuti (ijma diam) masih diperselisihkan.
Disamping itu,ijma yang dipedomi haruslah mempunyai sandaran qat’i yang pada
hakikatnya kekuatan hukumnya bukan kepada ijma itu sendiri, tetapi pada dalil
yang menjadi sandarannya. Sedangkan ijma yang mempunyai sandaran dalil zanni
sangat sulit terjadi.
6. Masalik al-‘Illat (Sara Penetapan Illat)
Kaidah-kaidah
yang dirumuskan untuk mendeteksi illat hukum yang biasanya dibicarakan dalam
kaitan dengan qiyas. Dalam kaidah pokok dikatakan bahwa “hukum beredar sesuai
dengan ilatnya”. Ini fitempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta
menguji alit yang benar-benar baru.
7. Masalih Mursalah
Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT
adalah ungkapan popular dikalangan ulama. Dalam hal ini masalih mursalah
dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini dapat ditetapkan hukum bagi banyak
masalah baru yang tidak disinggung oleh Al Qur’an dan Sunnah.
8. Sadd az-Zari’ah
Sadd
az-zari’ah berarti sarana yang membawa ke hal yang haram. Pada dasarnya sarana
itu hukumnya mubah, akan tetapi karena dapat membawa kepada yang maksiat atau
haram,maka sarana itu diharamkan. Dalam rangka pembaharuan hukum Islam sarana
ini digalakkan.
9. Irtijab Akhalf ad-Dararain
Dalam
pembaharuan hukum Islam kaidah ini sangan tepat dan efektif untuk pemecahan
masalah baru. Misalnya perang di bulan muharram hukumnya haram, tetapi karena
pihak musuh menyerang, maka boleh dibalas dengan berdasarkan kaidah tersebut, karena
serangan musuh dapat menggangu eksistensi agama Islam.
10. Keputusan Waliyy al-Amr
Atau disebut
juga ulil amri yaitu semua pemerintah atau penguasa, mulai dari tingkat yang
rendah sampai yang paling tinggi. Segala peraturan Undang-Undangan wajib
ditaati selama tidak bertentangan dengan agama. Hukum yang tidak dilarang dan
tidak diperintahkan hukumnya mubah. Contohnya pemerintah atas dasar masalih
mursalah menetapkan bahwa penjualan hasil pertanian harus melalui koperasi
dengan tujuan agar petani terhindar dari tipu muslihat lintah darat.
11. Memfiqhkan Hukum Qat’
Kebenaran
qat’i bersifat absolut sedangkan kebenaran fiqh relative. Menurut para fukaha,
tidak ada ijtihad terhadap nas qat’i (nas yang tidak dapat diganggu gugat).
Tetapi kalau demikian halnya, maka hukum Islam menjadi kaku. Sedangkan kita
berpegang pada moto: al-Islam salih li kulli zaman wa makan dan tagayyur
al-ahkam bi tagayyur al-amkinah wa al-zaman.
Untuk menghadapi masalah ini qat’i diklasifikasikan menjadi: Qat’I fi
jami’ al-ahwal dan Qot’i fi ba’d al-ahwal. Pada qot’I fi al-ahwal tidak berlaku
ijtihad,sedangkan pada qot’I fi ba’d al-ahwal ijtihad dapat diberlakukan.tidak semua hukum qat’I dari segi
penerapanya (tatbiq) berlaku pada semua zaman.
E.
Tahap-tahap Dalam Gerakan Pembaruan Hukum Islam
a. Tahap Pertama, adalah
tahap gerakan yang disebut dengan revivalisme pramodernis atau disebut juga
revivalis awal. Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya
moralitas kaum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan
pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak
revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan saksama
untuk melakukan transformasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral
masyarakat Islam.
b. Tahap Kedua, dikenal
dengan istilah moderisma klasik. Di sini pembaruan hukum Islam
termanifestasikan dalam pembaruan lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan juga
merupakan media untuk “mencetak” generasi baru yang berwawasan luas dan
rasional dalam memahami agama, sehingga mampu menghadapi tantangan zaman Barat
yang melanda hamper seluruh dunia Islam. Meskipun demikian, bukan berarti
pembaruan mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk seruan yang makin senter
untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
c. Tahap Ketiga, gerakan
pembaruan Islam disebut revivalisme pascamodernis, atau disebut juga
neorevivalist. Pada tahap ini kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan
Barat masih dicobakan. Gerakan social dan politik yang merupakan eksistensi
utama dari tahap ini mulai dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih
terorganisasi.
d. Tahap Keempat, yang
disebut neomodernisme. Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian
bentuknya. Menurut Fazhur Rahman, gerakan-gerakan terdahulu hanya mengatasi
tantangan Barat secara ad hoc. Karena mengambil begitu saja istilah Barat dan
kemudian mengemasnya dengan symbol-simbol Islam. Dengan sikap kritis, baik
terhadap Barat maupun warisan Islam tersendiri, maka kaum Muslim akan menemukan
solusi bagi masa depannya.
F.
Sebab-sebab
Pentingnya Pembaruan Hukum Islam
Sebab-sebab pentingnya pembaharuan hukum
Islam dilandasi dari beberapa faktor berikut:
1. Untuk mengisi
kekosongan hukum karena norma-norma didalam kitab fiqh klasik tidak begitu
jelas mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum dan masalah
yang terjadi sangat mendesak untuk diterapkan.
2. Pengaruh globalisasi
ekonomi dan IPTEK yang terus mengalami kemajuan sehingga perlu adanya hukum
yang mengaturnya.
3. Pengaruh reformasi
dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk
dijadikan sebagai referensi hukum dalam membuat hukum nasional.
4. Pengaruh para pembaru
pemikiran hukum Islam baik nasional maupun internasional, terutama yang
menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ilmu dan teknologi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembaruan hukum Islam adalah sebuah
upaya untuk mengaktualkan hukum Islam yang ijtihadi, yakni hasil ijtihad ulama
yang sudah kehilangan daya aktualnya dalam konteks kekinian dengan upaya kaji
ulang oleh pihak yang kompeten dan ijtihad terhadap masalah baru yang belum
pernah dibicarakan oleh ulama mujtahid terdahulu. Hal ini sangat penting
dilakukan supaya hukum Islam itu menjadi hukum yang hidup. Meskipun demikian,
pembaruan tersebut dihadapkan dengan dua kendala besar yang menyebabkan umat
Islam, baik kalangan awam atau terpelajar belum bisa menerimanya. Oleh sebab
itu, perlu upaya konkret secara akademis dan terorganisir untuk menanggulangi
segala hal yang merupakan kendala tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Izzomiddin, 2018, Pemikiran dan Filsafat Hukum
Islam, Jakarta, Prenamedia Group
A.Intan Cahyani,
2016, Skripsi PEMBAHARUAN HUKUM DALAM KOMPILASI HUKUM
ISLAM, Makassar,
Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Vol. 5/No.2
A.Intan Cahyani, Skripsi PEMBAHARUAN HUKUM DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM,
Makassar, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Vol. 5/No.2, 2016, hlm. 307