BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR
BELAKANG
Tujuan
penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah Maqashid al-syari'ah
merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam. Karena begitu
pentingnya maqashid al-syari'ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan
maqashid al-syari'ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang
melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori maqashid al-syari'ah adalah untuk
mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan
menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari maqashid al-syari'ah
tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara
kepada maslahat. Perlu diketahui bahwa Allah SWT sebagai syari' (yang
menetapkan syari'at) tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja. Akan
tetapi hukum dan aturan itu diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu. Ibnu
Qayyim al-Jauziyah, meneurut Khairul Umam , menyatakan bahwa tujuan syari'at
adalah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syari'at semuanya adil,
semuanya berisi rahmat, dan semuanya mengandung hikmah. Setiap masalah yang
menyimpang dari keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah pasti bukan ketentuan
syari'at. Sementara itu, perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat Islam di
era modern telah menimbulkan sejumlah masalah serius berkaitan dengan hukum
Islam.
B.     RUMUSAN
MASALAH
1.      Apa
Pengertian Maqashid Al –Syariah?
2.      Apa
Tujuan Hukum Islam?
C.     TUJUAN
1.      Untuk
Mengetahui Pengertian Maqashid Al-Syariah
2.      Untuk
Mengetahui Tujuan Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Maqashid Al-Syari'ah 
Maqashid
al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata maqashid
merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan
syari'ah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah..Yang ditetapkan untuk manusia
agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.
Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah berarti kandungan nilai yang menjadi
tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah adalah
tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum (Asafri Jaya,
1996:5). Izzuddin ibn Abd al-Salam, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam
(2001:125), mengatakan bahwa segala taklif hukum selalu bertujuan untuk
kemaslahatan hamba (manusia) dalam kehidupan dunia dan akhirat. Allah tidak
membutuhkan ibadah seseorang, karena ketaatan dan maksiat hamba tidak
memberikan pengaruh apa-apa terhadap kemulian Allah. Jadi, sasaran manfaat
hukum tidak lain adalah kepentingan manusia. Menurut Satria Efendi (1998:14),
maqashid al-syari'ah mengandung pengertian umum dan pengertian khusus.
Pengertian yang bersifat umum mengacu pada apa yang dimaksud oleh ayat-ayat
hukum atau hadits-hadits hukum, baik yang ditunjukkan oleh pengertian
kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di dalamnya. Pengertian yang bersifat
umum itu identik dengan pengertian istilah maqashid al-syari' (maksud Allah
dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud Rasulullah dalam mengeluarkan hadits
hukum). Sedangkan pengertian yang bersifat khusus adalah substansi atau tujuan
yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum. Sementara itu Wahbah al-Zuhaili
(1986:1017) mendefinisikan maqashid syari'ah dengan makna-makna dan
tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara' dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar
hukumnya, atau tujuan akhir dari syari'at dan rahasia-rahasia yang diletakkan
oleh syara' pada setiap hukumnya.
Islam sebagai agama wahyu dari Allah SWT yang berdimensi rahmatan lill
a’lamin memberi pedoman hidup kepada manusia secara menyeluruh, menuju
tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan jasmani serta untuk mengatur tata
kehidupan manusia baik sebagai individu maupun masyarakat 
Secara umum tujuan terciptanya dan penetapan hukum oleh Alloh SWT yakni
untuk kepentingan , kemaslahatan  dan
kebahagiaan manusia seluruhnya, baik di dunia maupun di akhirat. Ungkapan
tersebut dalam al-qur’an surah al-baqarah [2] :201-202, alih bahasannya:
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan
kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan pelihara kami
dari siksa neraka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagiaan dari apa
yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungannya”.
Tujuan Al-Qur’an, menurut Abu Zahra, yaitu pensucian jiwa, penegakan
keadilan, dan perwujudan kemaslahatan . Pensucian jiwa dimaksudkan agar setiap
muslim dalam setiap aktifitas dapat menjadi sumber kebaikan bagi bermasyarakat
di lingkungannya.
Pendekatan dengan banyak melakukan ibadah yang disyariatkan, karena dengan
ibadah tersebut dapat membersihkan jiwa dan dapat memperkukuh hubungan
kesetiakawanan social (ukhuwah islamiyah, ukhuwah insaniyah, dan ukhuwah
wathaniyah). Penegakan keadilan diharapkan dapat terwujud dalam kehidupan
masyarakat Muslim, yaitu keadilan yang bertalian dengan sesame umat islam
maupun dalam berhubungan dengan umat yang berbeda keimanannya. Pendekatannya
dapat dilakukan di antarannya melalui  pandangan
bahwa setiap manusia mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan peradilan
serta tidak ada perbedaan yang di dasarkan atas sertifikasi sosia.  
Selain  itu, upaya menjunjung
tinggi hak asasi manusia harus di kedepankan karena islam mengharamkan tindakan
kekerasan, penyiksaan, dan penganiayaan. Perwujudan kemaslahatan adalah
kemaslahatan hakiki yang bertali dengan kepentingan umum, bukan kemaslahatan
dipengaruhu kepentingan pribadi maupun golongan apalagi yang di pengaruhi oleh
hawa nafsu.  
Sejalan dengan Abu Zahra, AL-Ghazali, kepentingan hidup itu terbagi
tiga, yaitu kepentingan pokok, sekunder dan kepentingan perlengkap Kepentingan
pokok, yaitu kepentingan yang mutlak dibutuhkan oleh setiap manusia dalam upaya
mewujudkan kemaslahatan hidup (AL-Ghazali, t,t.: 286).
Konsep maslahat dalam pandangan Asy-Syatibi mencakup seluruh aspek hukum
islam dan bukan semata pada aspek yang telah di atur oleh nash,
melainkan mencakup  tujuan Allah SWT
menurunkan hukum islam untuk mewujudkan kemaslahatan, yaitu terpeliharanya lima
aspek pokok bagaimana yang dikemukakan Al-Ghozali seperti yang dikutip oleh
Asy-Syatibi, yaitu: 1) Memelihara agama 2) Memelihara jiwa 3) Memelihara akal
4) Memelihara harta benda 5) Memelihara keturunan (Syatibi, 385).
Uraian di atas menunjukan, bahwa Al-Ghazali dan Asy-Syatibi sependapat
bahwa prinsip dasar dari tujuan hukum islam adalah terwujudnya
kemaslahatan  yang berpangkal kepada
terpeliharanya lima aspek pokok dalam konsep Al-Maqosid AS-Syariah, yaitu
kepentingan sekunder adalah kepentingan yang diperlukan dalam kehidupan manusia
agar tidak mengalami kesulitan.
Apabila terpenuhi tiga kepentingan di atas, maka memberikan kesempurnaan
dalam hidup manusia. Ketika manusia sanggup memenuhi kebutuhan primer,
sekunder, maka dalam konsep falsafah hukum Islam kehidupan manusia tidak akan
mengalami kebinasaan, kehancuran, dan kepunahan. Dan, dengan hukum islam
dimaksudkan agar kebaikan mereka semua dapat terwujud, dalam lapangan ibadah
misalnya, shalat puasa zakat dan haji. Hal ini dimaksudkan untuk membersihkan
jiwa dan mempertemukannya dengan Tuhan, kesehatan jasmani, dan kebaikan
individu, maupun masyarakat bersama-sama dengan berbagai aspeknya.
Kalau kita pelajari saksama, ketetapan Allah dan ketentuan Rosul –Nya
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab hadist yang sahih, kita
mengetahui tujuan hukum islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di
akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah dan
menolak yang mudhorot, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.
Dengan kata lain tujuan hukum islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik
rohani maupun jasmani, individual dan social. Kemaslahatan itu tidak hanya
untuk kehidupan di dunia saja tetapi juga kehidupan yang kekal di akhirat (H.
Muhammad Daud Ali, 1993, hal. 53)   
B.    
Tujuan Hukum Islam 
Tujuan hokum islam dimaksud, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek
pembuatan hukum islam adalah Allah dan Nabi Muhammad SAW serta aspek manusia
sebagai pelaku dan pelaksana hukum islam itu. Hal itu akan diuraikan sebagai
berikut: 
1.     
Kalau dilihat dari aspek pembuatan hukum islam, maka
tujuan hukum islam adalah untuk memenuhi keperluan hidup manusia bersifat
primer, sekunder, dan tersier, dan untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia
dalam kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami
hukum islam melalui metodologi pembentukannya (ushul al fiqh).
2.     
Dilihat dari aspek pelaku hukum yakni manusia, maka
tujuan hukum adalah, untuk mencapai kehidupan yang bahagia. Caranya yaitu
mengambil yang bermanfaat dan menolak yang tidak berguna bagi kehidupan.
Singkat kata adalah untuk mencapai keridhaan Allah dalam kehidupan manusia,
baik di dunia maupun di akhirat (Muhammad daud ali, 1991: 62) .
Kepentingan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tersier
adalah kebutuhan hudup manusia dalam melaksanakan eksistensinya sebagai
khilafah di bumi. Oleh karena itu perlu dijelaskan kebutuhan-kebutuhan
dimaksud: 1) Agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan sebaik-baiknya oleh hokum
islam agar kemaslahatan hidup manusia itu benar-benar terwujud; 2) kebutuhan
sekunder adalah kebutuhan yang di perlukan manusia untuk mencapai kebutuhan
primer, misalnya pelaksanaan hak asasi manusia; 3) Kebutuhan tersier adalah
kebutuhan manusia yang menunjang kebutuhaan primer dan sekunder.
Selain hal diatas, perlu diungkapkan bahwa tujuan hokum islam dalam
penerapannya dalam kajian ushul fiqh,yaitu tujuan hokum islam yang di tentukan Allah SWT. Tujuan hukum islam dimaksud
menjadi landasan bagi seorang ahli hukum islam, baik dalam usahanya
mengembangkan untuk menjawab persoalan baru yang tidak didapati hukumnya secara
harfiah dalam wahyu, dan dalam kepentingan untung mengetahui apakah terhadap
suatu kasus masih  dapat diterapakan
suatu ketentuan hukum atau tidak dapat diterapkan. Sebab, ada pergeseran nilain
yang di timbulkan oleh perubahan struktur kehidupan sosial. Karena pengetahuan Maqasyid
asyariah merupakan kunci bagi keberhasilan bagi mujtahid dalm menentukan
hasil ijtihanya. Ijtihad dimaksud, dilaksankan oleh seorang mujtahid karena ada
pengetahuan yang bersumber salah satunya dari Maqasyid asyariah. 
Pengetahuan bidang ini mulai mendapat perhatian setelah nabi Muhammad SAW
wafat, disaat para sahabat menghadapi berbagai persoalan baru sebagai akibat
perubahan sosial yang belum ada di masa rosulullah SAW. Untuk itu, teks wahyu
yang amat terbatas itu perlu diinterpretasi dan dikembangkan. Dalam situasi dan
kondisi yang demikian, para sahabat mulai menelusuri tujuan hukum islam untuk
dijadikan pedoman dalam usaha menyelesaikan masalah-masalah baru dari adanya
perubahan sosial di maksud.  Dan bagi
orang yang menjalankan hukum Islam atau aturan Islam biasanya akan bijaksana,
sedangkan orang-orang yang bijaksana biasanya merupakan cerminan bagi orang
yang beragama, yaitu beragama agama Islam. 
Adapun tujuan hukum
Islam dapat dilihat dari dua aspek:  
1. Aspek pembuat atau
yang membuat hukum Islam itu sendiri yang dimaksud atau yang membuat, yaitu
Allah SWT dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kalau dilihat dari aspek
pembuat hukum Islam itu sendiri menurut pendapat saya adalah memenuhi keperluan
hidup manusia bersifat primer, sekunder, dan tersier. Selain itu, juga hukum
Islam harus ditaati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan dapat
meringankan beban manusia. 
2. Dari aspek manusia
atau pelakunya, maka tujuannya adalah untuk menuju hidup yang bahagia dengan
cara mengambil yang berguna atau bermanfaat dan meninggalkan atau menolak yang
tidak berguna. 
Dari sisi etimologis, maqoshid
al-syari'ah terdiridari dua unsur kata, yaitu maqhosid( مقاصد) dan
al-syari'ah. Kata maqhosid adalah jamak, dan kata tunggalnya
adalah ( مقاصد) yang berarti tujuan atau
maksud. Adapun kata al-syari'ah الشريعة
berasal dari kata شَرَعَ yang berarti
peraturan atau undang-undang. Dengan demikian, kalimat maqoshid al-syari'ah dapat
diartikan sebagai tujuan penetapan hukum syara'. 
Adapundarisudut
terminologis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-syatibi, bahwa
yang dimaksud dengan maqasid al-syariah adalah ketentuan-ketentuan hukum
yang disyaratkan Allah untuk kemaslahatan manusia. Tujuan umum pembuatan
syariat/hukum adalah merealisasikan maslahat bagi manusia dalam kehidupan ini,
baik dengan mendapatkan manfaat bagi mereka, dengan menolak bahaya bagi diri
mereka. 
Sehingga
yang dimaksud maqashid al-syari'ah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan
yang ditekankan dalam syariat pada seluruh hukum-hukumnya atau sebagian
besarnya. Dan, bisa juga diartikan, tujuan dari pembuat syariat dalam setiap
hukum dari hukum-hukumnya. 
Imam
Abu Ishaq Al-syatibi menyebutkan, bahwa tujuan Allah menciptakan dan
mensyaratkan hukum yakni untuk kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun
di akhirat nanti. Kemaslahatan disini adalah menyangkut kemaslahatan yang
dihajatkan oleh manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Maqashid
al-syari'ah tidak hanya mewujudkan maslahat di suatu pihak, tetapi juga
tidak membuat mafsadat pada pihak yang lain. Menurut Abu Wahab khalaf: 
1.
Kata maslahat mengandung arti yaitu mencari kebaikan. 
2.
Adapun kata mafsadat mengadung arti kerusakan dan keburukan yang membawa
kerugian bagi kehidupan umat manusia. Mafsadat juga sering disebut
mudarat. 
Adapun
menurut Abdul Karim Zaidan, maslahat yakni meraih manfaat dan menolak kerusakan
atau kemudharatan. Abdul Karim Zaidan menjelaskan bahwa esensi maslahat dan mafsadat
dapat dilihat dari dua sisi:  
1)
dapat dilihat dari sisi kemestian adanya maslahat, yaitu keharusan terwujudnya
manfaat yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia;
2)
bila dilihat dari sisi peniadaan kerusakan, maka ia menghilangkan dan
menghindarkan kerusakan yang menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia 
Dalam
perkembangan selanjutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat
hukum Islam, sehingga dapat akhirnya istilah maqashid syari'ah  identik dengan filsafat hukum Islam. Tujuan
hukum Islam harus diketahui oleh mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) dalam
rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab
persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara
eksplisit oleh Al-Qur'an dan Sunnah. Semua ketentuan hukum Islam (syariah) baik
yang berupa perintah maupun laranga, sebagaimana tertera dalam Al-Qur'an dan
Sunnah, mencapai tujuan tertentu. Tidak ada satu ketentuan pun dalam syariah
yang tidak mempunyai tujuan. Hukum Islam datang ke dunia membawa misi yang
sangat mulia, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia di muka bumi dalam (
QS. Yunus [10]: 57) dan QS. al-Anbiyaa' [21]: 107) 
Pembuat
syari'ah Allah dan Rasul-Nya menetapkan syari'ah bertujuan untuk merealisasikan
kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatn, dan menghindarkan kemafsadatan bagi
umat manusia. Terkait dengan ini, Abu Zahrah mengatakan bahwa setiap hukum
Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu kemaslahatan. Tidak ada perintah dalam
Al-Quran dan Sunnah yang tidak memiliki kemaslahatan itu tidak tampak dengan
jelas. Kemaslahatan disini adalah kemaslahatan hakiki yang bersifat umum dan
tidak didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu (Zahrah, 1958: 366). Dengan
diketahuinya tujuan hukum Islam, dapat ditarik suatu peristiwa yang sudah ada
nash-nya secara tepat dan benar dan selanjutnya dapat ditetapkan hukum
peristiwa yang tidak ada nash-nya. Senada dengan pendapat diatas, al-Syathibi,
seorang pakar hukum Islam dari kalangan Mazhab Maliki, mengembangkan doktrin maqashid
al-syari'ah dengan menjelaskan, bahwa tujuan akhir hukum Islam adalah satu,
yaitu kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. 
Pendapat al-sayithibi didasarkan pada prinsip,bahwa
tuhan melembagakan syariah (hukum islam) demi kemaslahatan manusia, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Dalam rangka mewujudkan kemaslaatan di dunia dan
akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur
pokok yang harus di pelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok itu adalah
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. 
a.     
Memelihara Agama
            Pemeliharan agama merupakan tujuan
pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup
manusia, dan didalam Agama Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan
sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariat yang merupakan sikap hidup
seorang muslim baik dalam berrhubungan dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan
dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam
wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan
setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya.
b. Memelihara
jiwa
            Untuk tujuan ini, Islam melarang
pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas
(pembalasan yang setimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang
sebelum melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang dibunuh
itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunuh itu
tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera.
c. Memelihara
akal
            Manusia adalah makhluk Allah Swt.
Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Pertama, Allah Swt
telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik, di bandingkan dengan
bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai makhluk lain
d. Memelihara
Keturunan
            Untuk ini islam mengatur pernikahan
dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini,
bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus
dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua
manusia yang belainan jenis itu tidak dianggap sah dan menjadi keturunan sah
dari ayahnya. Malahan tidak melarang itu saja, tetapi juga melarang hal-hal
yang dapat membawa kepada zina.
e. Memilihara
Harta Benda dan Kehormatan
            Meskipun pada hakekatnya semua harta
benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang.
Oleh karena manusia itu manusia snagt tamak kepada harta benda, sehingga mau
mengusahakannya dengan jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai
terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini Islam mensyariatkan
peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai
menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada
orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh
anak-anak yang dibawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang
peliharaannya sekalipun.
            Seseorang yang dapat memelihara hal
tersebut akan memperoleh kemaslahatan, sedang yang tidak dapat memeliharanya
akan mendapatkan kerusakan. Al-sayithibi memerinci panjang lebar doktrin maqasid
al-syariah yang didasarkan pada al-kulliyyat al-khams (lima
kebutuhan pokok) seperti diatas. Lima kebutuhan pokok ini masih dibagi menjadi
tiga tingkat, yaitu :
a. Kebutuhan Dharuriyat/Primer
            Kebutuhan
primer adalah sesuatu yang harus ada untuk kemaslahatan manusia. Jika kebutuhan
ini tidak terpenuhi kehidupan manusia akan menjadi kacau balau, kemaslahatan
tidak akan tercapai dan kebahagiaan ukhrawi tidak dapat diraih.
b. Kebutuhan Hajjiyyat/Sekunder
            kebutuhan
sekunder merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan manusia bukan untuk
memelihara salah satu dari kebutuhan pokok yang lima, melainkan untuk
menghilangkan kesulitan-kesulitan  dan
kesempitan atau kekhawatiran dalamm menjaga kelima kebutuhan pokok . jika
kebutuhan ini tidak ada, tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia manusia
akan beratakan atau kacau, tetapi hanya membawa kesulitan. Oleh karena itu ,
prinsip utama kebutuhan sekunder ini adalah untuk menghilangkan kesulitan
meringankan beban taklif dan memudahkan manusia dalam melakukan muamalah dan
tukar menukar manfaat.
c. Kebutuhan Tahsiniyat/Tersier
Kebutuhan tahsiniyat ialah  tingkat 
kebutuhan yang apabila  tidak
terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan
kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan  pelengkap, seperti dikemukakan  al-Syatibi, hal-hal yang merupakan
kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan
hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan
yang sesuai dengan tuntutan moral dan akhlak.
KESIMPULAN
Maqashid
al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata maqashid
merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan
syari'ah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah..Yang ditetapkan untuk manusia
agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.
Tujuan
hukum islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu 
1.      Dilihat
dari aspek pembuatan hukum islam maka tujuan hokum islam adalah untuk memenuhi
kebutuhan manusia bersifat primer, sekunder, dan tersier.
2.      Dilihat
dari aspek pelaku hokum yakni manusia maka tujuan hokum islam untuk mencapai
kehidupan yang bahagia
Bedasarkan
penelitian para ahli ushul fiqh ada lima unsur pokok yang harus di pelihara dan
diwujudkan yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan,dan memelihara harta. 
   
Daftar Pustaka
Izzomiddin,
Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam,
Palembang : Prenadamedia Group, 2018