BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Persoalan kedudukan wanita merupakan salah
satu persoalan yang mengundang kontroversi di kalangan umat terdahulu sebelum
nabi muhammad SAW diutus. Ajaran islam memberikan kedudukan dan penghormatan
yag tinggi kepada wanita dalam hukum dan masyarakat. Apabila kedudukan wanita
tidak seperti yang di ajarkan ajaran islam, maka ia akan menimbulkan suatu
persoalan, sebab adat, kebiasaan dan budaya masyarakat memberikan pengaruh yang
signifikan. Islam bukanlah agama khayalan atau semboyan belaka melainkan
mendakwahkan diri sebagai kenyataan. Ada perbedaan-perbedaan tertentu dalam
kejadian pria dan wanita yang dengan mengabaikannya orang tidak dapat
mengemukakan persamaan kedua jenis kelamin walaupun di ciptakan dengan berbeda.
Tidaklah mungkin orang mengabaikan perbedaan-perbedaan dasar dan alami antara
kaum pria dan wanita ini. Oleh karena itu, wanita dan pria tidaklah mungkin di
samakan. 
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Sejarah Munculnya Poligami ?
2.    Apa Pengertian Poligami ?
3.    Apa dasar hukum dan hikmah poligami?
4.    Bagaimana Kedudukan Wanita dalam Poligami ?
C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui Sejarah Munculnya Poligami.
2.    Untuk mengetahui Pengertian Poligami.
3.    Untuk mengetahuidasar hukum dan hikmah poligami.
4.    Untuk mengetahuiKedudukan Wanita dalam Poligami.
BAB II 
PEMBAHASAN
A.  Sejarah Munculnya Poligami
Poligami atau menikah lebih dari
seorang istri bukanlah merupakan masalah baru. Poligami sudah ada sejak dulu
kala, pada kehidupan manusia di berbagai kelompok masyarakat seluruh penjuru
dunia.
Bangsa Arab telah berpoligami bahkan jauh sebelum kedatangan Islam, demikian
pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia selama masa itu.
Kitab-Kitab Suci agama-agama Samawi dan buku-buku sejarah menyebutkan bahwa
dikalangan para pemimpin maupun orang-orang awam disetiap bangsa, bahkan
diantara para Nabi sekalipun, poligami bukan merupakan hal yang asing ataupun
tidak disukai. Dalam kitab suci agama Yahudi dan Nasrani, poligami telah
merupakan jalan hidup yang diterima. Semua Nabi yang disebutkan dalam Talmud,
perjanjian lama, dan Al-Qur‟an, beristri lebih dari seorang, kecuali Yesus/Nabi
Isa as. Bahkan di Arab sebelum Islam telah dipraktekkan poligami tanpa batas.Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Sebagai Nabi terakhir di
negara Arab, telah melarang perzinaan dan bentuk-bentuk lain yang menganggap
perempuan bagaikan barang dan hewan yang dimiliki. Islam tidak mengharamkan
poligami secara mutlak, tetapi diberi batasan dan bersyarat. Dengan adanya
batasan jumlah perempuan yang akan dijadikan istri agar terjadi kemaslahatan
keturunan, pranata sosial dan kesiapan kaum lelaki. Seorang lelaki hanya boleh
menikahi maksimal empat orang perempuan. Tentu saja dengan bersyarata mampu
memberi nafkah dan bisa berlaku adil. 
Praktik kedudukan wanita dalam
rentang sejarah memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, pada masa jahiliyah
umumnya wanita tertindas dan terkungkung khususnya di lingkungan bangsa arab. Bentuk
penindasan ini di mulai sejak kelahiran sang bayi, aib besar bagi sang ayah
bila memiliki anak perempuan. Sebagian mereka tega menguburnya hidup-hidup dan
ada yang membiarkan hidup tetapi dalam keadaanrendah dan hina bahkan di jadikan
sebagai harta warisan dan bukan termasuk ahli waris. Allah berfirman QS.
An-Nahl [16]:58-59:
”Dan apabila seorang dari
mereka di beri kabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya
dan dia sangat marah. Ia menyembunyika dirinya dari orang banyak di sebabkan
buruknya berita yang di sampaikan kepadanya. Apakah dia memelihara dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)?ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.
B.  Pengertian Poligami
Kata poligami terdiri dari dua
kata poli dan gami. Secara
etimologi, poli artinya banyak dan gami artinya istri. Jadi poligami itu
artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki
mempunyai lebih dari satu istri. Atau, seorang laki-laki beristri lebih dari
seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang. Kata poligami berasal dari
bahasa Yunani , polus  yang artinya
banyak,dan gamein yang artinya kawin.
Jadi, poligami artinya kawin banyak atau suami beristri banyak pada saat yang
sama. Dalam bahasa arab poligami disebut dengan ta’did
al-zawjah (berbilangnya pasangan). Dalam bahasa indonesia
disebut permaduan.
Poligami adalah perkawinan yang
dilakukan laki-laki kepada perempuan lebih dari seorang, dan seorang perempuan
memiliki suami lebih dari seorang. Adapun konsep perkawinan yang dilakukan
seorang laki-laki kepada perempuan lebih dari seorang disebut poligini. Apabila
perempuan bersuami lebih dari seorang disebut poliandri. Menurut ajaran islam,
yang kemudian disebut dengan syariat islam (hukum islam), poligami ditetapkan
sebagai perbuatan yang dibolehkan atau mubah. Dengan demikian, meskipun dalam
surat An Nisa’ ayat 3 ada kalimat fankihu kalimat amr tersebut berfaedah kepada mubah bukan wajib,
dapat direlevansikan dengan kaedah ushul fiqh yang berbunyi, al-ash fi al-amr al-ibahah hatta yadula dalilu ‘ala al-tahrim (asal
dari sesuatu itu boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Dalam hukum islam, poligami
dipandang sebagai proses kepemimpinan laki-laki atau suami dalam rumah
tangganya. Apabila seorang suami yang poligami tidak mampu melaksanakanprinsip
keadilan dalam rumah tangga, ia tidak mungkin dapat melaksanakan keadilan jika
menjadi pemimpin pada masyarakat. Sebagaimana jika seorang suami
sewenang-wenang kepada istri-istrinya, sebagai pemimpin akan berbuat kezaliman
kepada rakyatnya.
Muhammad Abduh mengatakan
dalam Tafsir Al-Manar yang ditulis oleh Muhammad Rasyid
Ridha, “Meskipun agama islam membuka jalan bagi poligami, tetapi jalan itu
sangat disempitkan, sehingga poligami hanya dapat dibenarkan untuk dikerjakan
dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, poligami hanya diperbolehkan bagi
orang-orang yang terpaksa serta meyakini bahwa dia sanggup berlaku adil.”
Perkawinan asalnya adalah seorang suami untuk seorang istri, sedangkan poligami
bukan asal dan bukan pokok, tetapi keluarbiasaan atau ketidakwajaran yang dapat
dilakukan karena kondisi darurat. Maksud dari darurat adalah adanya
alasan-alasan logis yang secara normatif dapat dibenarkan. Dalam syariat islam
poligami disebabkan oleh beberapa hal yang wajar, yaitu:
1.   
Terhalangnya reproduksi
generatif, misalnya kemandulan
2.   
Istri tidak berfungsi sebagai
istri
3.   
Suami yang hiperseksual sehingga
membutuhkan penyaluran yang lebih dari seorang istri
4.   
Jumlah perempuan yang melebihi
laki-laki
5.   
Istri yang menyuruh kepada
suaminya untuk poligami.
Poligami bukan dimulai oleh adanya islam yang datang ke bumi. Sebelum islam
datang, poligami telah dilakukan oleh manusia. Jauh sebelum islam lahir,
poligami telah dilakukan oleh semua bangsa, seperti bangsa Asia, Eropa, Afrika
dan Amerika. Di Jazirah Arab, terkenal tidak suka melihat anak perempuan yang
masih kecil sehingga berusaha membunuhnya, mereka berlomba-lomba mendapatkan
perempuan dewasa dengan berbagai cara, melalui harta atau kekuasaan. Menurut
Rahmat Hakim, poligami telah dijalankan oleh bangsa-bangsa semenjak zaman
primitif, bahkan hingga sekarang. Bangsa Romawi menerapkan peraturan ketat
kepada rakyatnya untuk tidak beristri lebih dari seoang, kaum raja dan
bangsawan banyak memelihara gundik yang tidak terbatas jumlahnya.
Bangsa Romawi adalah bangsa yang telah mencapai puncak kejayaan dan
kemuliaan setelah bangsa Yunani. Diantara ungkapan mereka yang berkaitan
tentang wanita adalah: “sesungguhnya belenggu belum tercabut dan benangnya
belum lepas”. Yakni didalam masyarakat mereka, suami mempunyai hak yang penuh
terhadap istrinya, sebagaimana hak-hak raja atas rakyatnya. Sehingga ia
mengatur istrinya sesuai hawa nafsunya. Bahkan disebabkan kekuasaan yang
teramat besar ini, ia dibolehkan melakukan apa saja sampai dibolehkan melakukan
pembunuhan terhadap istrinya pada sebagian keadaan. 
Menurut Khazin Nasuha, yang dimaksud dengan keadilan dalam poligami adalah
“adil dalam soal materi, adil dalam membagi waktu, adil membagi nafkah yang
berkaitan dengan nafkah sandang, pangan, dan papn, dan adil dalam memperlakukan
kebutuhan batiniah istri-istrinya. Dalam hal keadilan batiniah, menurut Khazin
Nasuha tidak dituntut oleh syariat islam, karena masalahnya berada diluar
kemampuan manusia. Rasulullah sangat cenderung cintanya kepada Aisyah
dibandingkan kepada istri lainnya.”Suami harus dapat berlaku adil dalam hal
makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan dalam hal giliran. Ia tidak boleh
sewenang-wenang atau berbuat zhalim karena sesungguhnya Allah melarang yang
demikian. Adil bukan berarti semuanya harus sama, sebab tidak mungkin ada
manusia yang mampu adildalam masalah cinta dan bersetubuh. Rasulullah SAW
bersabda “Barangsiapa memiliki dua istri, kemudian ia lebih condong kepada
salah satu dari keduanya. Maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan
pundaknya miring sebelah.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad, an-Nasa-i) 
Menurut Sayyid Sabiq poligami
adalah ”salah satu ajaran islam yang sesuai dengan fitrah kaum laki-laki,
laki-laki adalah makhluk Allah yang memiliki kecenderungan seksual lebih besar
dibandingkan dengan kaum perempuan. Secara genetik, laki-laki dapat memberikan
benih kepada setiap wanita karena kodrat wanita adalah hamil dan melahirkan
setelah masa pembuahan. Jika perempuan melakukan poliandri, tidak hanya
bertentangan dengan kodratnya, tetapi sangat naif dan irrasional. Dari sisi
genetik akan kesulitan mencari dari benih siapa yang dibuahkan oleh perempuan
yang hamil tersebut. Dengan demikian, syariat islam tentang poligami tidak
bertentangan dengan hukum alam dan kemanusiaan, bahkan relevan dengan fitrah
dan kodratkaum laki-laki. ”
Untuk mengangkat harkat dan
martabat kaum wanita, Allah mewajibkan kepada semua kaum laki-laki yang
berpoligami untuk berlaku adil, terutama dalam hal melakukan pembagian nafkah
lahir dan batin. Tidak dibenarkan menzalimi istri lain dengan hanya cenderung
kepada salah satu istrinya. Hal demikian oleh Sayyid Sabiq dikatakan karena hak
perempuan yang sesungguhnya adalah tidak dimadu. Akan tetapi, poligami adalah
untuk menghindarkan kaum laki-laki melakukan perzinaan. Selain itu, melatih
menjadi pemimpin yang adil dalam kehidupan dan pengelolaan keluarga dan rumah
tangganya. Keadilan terhadap istri-istri adalah barometer pertama pemimpin yang
akan berlaku adil atas rakyat yang dipimpinnya.
C.  Dasar Hukum Poligami
Kaitannya dengan dasar hukum
poligami, maka untuk poligami dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
1.   
An-Nisa ayat 3:
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا
تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً
أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Ayat tersebut menurut Khazim
Nasuha merupakan ayat yang memberikan pilihan kepada kaum laki-laki bahwa
menikahi anak yatim dengan rasa takut tidak berlaku adil karena keyatimannya
atau menikahi perempuan yang disenangi hingga jumlahnya empat. Akan tetapi,
jika semuanya dihantui rasa takut tidak berlaku adil, lebih baik menikah dengan
seorang perempuan atau hamba sahaya, karena hal itu menjauhkan diri dari
berbuat aniaya. 
2.   
An-Nisa ayat 129:
وَلَن تَسۡتَطِيعُوٓاْ أَن
تَعۡدِلُواْ بَيۡنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ فَلَا تَمِيلُواْ كُلَّ
ٱلۡمَيۡلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ وَإِن تُصۡلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ
ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ١٢٩
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat tersebut menegaskan bahwa
keadilan tidak mungkin dapat dicapai jika berkaitan dengan perasaan atau hati
dan emosi cinta. Keadilan yang harus dicapai adalah keadilan materiel, sehingga
seorang suami yang poligami harus menjamin kesejahteraan istri-istrinya dan
mengatur waktu secara adil. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa Surat An-Nisa ayat
129 isinya meniadakan kesanggupan berlaku adil kepada sesama istri, sedangkan
ayat sebelumnya (An-Nisa: 3) memerintahkan berlaku adil, seolah-olah ayat
tersebut bertentangan satu sama lainnya. Padahal, tidak terdapat pertentangan
dengan ayat yang dimaksud. Kedua ayat tersebut menyuruh berlaku adil dalam hal
pengaturan nafkah keluarga, pengaturan kebutuhan sandang, pangan, dan papn.
Suami yang poligami tidak perlu memaksakan diri untuk berlaku adil dalam soal
perasaan, cinta dan kasih sayang, karena semua ittu diluar kemampuan manusia. 
“Dari Abdullah bin Mas’ud r.a ia berkata,
‘Rasulullah SAW. Bersabda kepada kami, ‘hai kaum pemuda! Apabila diantara
kalian mampu untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk
menjaga mata dan kemaluan. Barang siapa yang tidak mampu, hendaklah ia
berpuasa, sebab puasa itu menjadi penjaga baginya’.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hadis diatas adalah perintah
kepada para pemuda untuk menikah apabila telah mampu secara biologis dan
materi, karena pernikahan adalah solusi yang terbaik dari perbuatan maksiat dan
perzinaan. Apabila belum mampu untuk menikah, lakukanlah puasa karena puasa
dapat menjadi benteng yang menghalangi perbuatan maksiat dan nafsu birahi yang
datang dari godaan setan yang terkutuk. 
“Dari Ibnu Umarr.a., bahwa Ghailan bin
Umayah As-Saqafi telah masuk islam. Ketika masih jahiliah ia memiliki sepuluh
istri, istri-istrinya masuk islam beserta dia, lalu dia disuruh oleh Rasulullah
SAW. Memilih empat istri diantara nereka (yang enam diceraikan).”(HR. Imam Tirmidzi)
“Rasulullah SAW. Selalu membagi giliran
sesama istrinya dengan adil. Dan beliau pernah berdoa, ‘Ya Allah! Ini bagianku
yang dapat aku kerjakan. Oleh karena itu, janganlah Engkau mencelaku tentang
apa yang Engkau kuasai, sedangkan aku tidak menguasainya.’ Abu Dawud berkata,
‘yang dimaksud dengan Engkau kuasai, tetapi aku tidak menguasainya adalah hati
’.” (HR. Abu Dawud dari Siti Aisyah)
Hadis-hadis yang telah
dikemukakan tersebut merupakan dasar hukum poligami. Beristri lebih dari
seorang dilakukan oleh para sahabat dan Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah
digambarkan dalam hadis tersebut tentang tata cara mempraktikkan keadilan dalam
poligami. Rasulullah membagi nafkah lahiriah keluarganya menurut kemampuannya.
Sementara keadilan dalam ha;l “hati” beliau menyatakan tidak mempunyai
kemampuan untuk menguasainya. Rasulullah hanya mampu melaksanakan keadilan
dalam pemberian nafkah lahir dan batin, tetapi untuk hal cinta dan kasih sayang
beliau menyatakan tidak mampu.
Adapun Mengenai hikmah diizinkan
berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain
adalah sebagai berikut:
1.   
Untuk mendapatkan keturunan bagi
suami yang subur dan istri mandul.
2.   
Untuk menjaga keutuhan keluarga
tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai
istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan.
3.   
Untuk menyelamatkan suami dari
yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak
lainnya.
4.   
Untuk menyelamatkan kaum wanita
dari krisis akhlak yang tinggal di negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh
lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama.
Tentang hikmah diizinkannya Nabi
SAW beristri lebih dai seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan
bagi umatnya adalah sebagai berikut:
1.   
Untuk kepentingan pendidikan dan
pengajaran agama. Istri Nabi sebanyak 9 orang itu bisa menjadi sumber informasi
bagi umat islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dalam berkeluarga dan
bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan/kerumahtanggaan.
2.   
Untuk kepentingan politik
mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama islam.
Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri Al-Harits (kepala suku Bani
Musthaliq). Demikian pula perkawinan Nabi dengan Shafiyah (seorang tokoh dari
Bani Quraizhah dan Bani Nazhir).
3.   
Untuk kepentingan sosial dan
kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan islam yang
telah lanjut usianya, seperti Saudah binti Zum’ah (suami meninggal setelah
kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar),
Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami
gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya,
serta penanggung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 
D.  Kedudukan Wanita dalam Poligami
Dienuel islam sebagai rahmatmatal lil’alamin,menghapus
seluruh bentuk kezaliman-kezaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat
derajat sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemuliaan dari ketinggian
martabat disisi Allah SWT adalah takwa, sebagaimana
terkandung dalam QS. Al-Hujaraat (49):13
ا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”
Lebih dari itu Alla menegaskan
dalam firman-Nya yang lain dalam surat An-Nahl (16): 97
مَنْ عَمِلَ
صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Dari penjelasan di atas, bahwa tuntutan isla sebenarnya
tidak memiliki suatu berbedaan yang signifikan antara kedudukan antara
laki-laki dan perempuan. Dalam sebagai aspek kehidupan, secara garis besar,
posisi islam mengenai aplikasi kedudukan wanita dalam masyarakat adalah denga
menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dalam bebagai aspek, seperti aspek spiritual,
social, ekonomi, dan politik.
Dalam perkawinan, kedudukan wanita dalam posisi
terbingkai dengan adanya adat-istiadat dan hukum syariat. Hal ini diperlukan
perhatian khusus dalam membina dan melangsungkan kehidupan. Misalnya ada yang
berpandangan bahwa kedudukan wanita dalam perkawinan rendah karena dia di
pandang sebagai objek. Pandangan tersebut muncul tidak hanya di kalangan awam,
tetapi disebagian kalangan fuquha yang mendefinisikan perkawinan sebagai, “akad
yang diatur oleh agama yang dengannya menjadi agama yang dengannya menjadi halal
hubunga seksual antara pria dan wanita, danmenjadikan seluruhtubuh wanitauntukpenikmatansebagaitujuan
primer” (Hosen, 1971:65-66). Dengan adanya definisi ini,
berarti secara tidak langsung menggambarkan pandangan bahwa kedudukan wanita
terletak hanya pada alat vital yang demikiannya. Artinya condong pada tataran
kebutuhan biologis. Oleh karena itu perlu diluruskan pandangan yang
mencerminkan kekeliruan dalam masyarakat sebab pandangan tersebut tidak
bersesuaian dengan firman Allah dalam surat Ar-Ruum (30):21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.
Ayat ini menjelaskan makna perkawinan dengan maksud
sebagai ikatan suami dan istri yang didasari oleh kasih saying.
Hal ini tidak dating dengan begitu saja, tetapi dengan mulalui proses
kana-mengenal dan ini dibolehkan syariat berdasarkan hadist Nabi SAW ketika
beliau menyuruh seorang sahabat ansharum untuk melihat terlebih dahulu wanita
yang akan dipinangnya itu. Dengan deklarasi yang apik maka terlihat jelas bahwa
islam mengangkat derajat kaum wanita dari sekedar objek menjadi pada tingkatan
yang sama dengan pria, yakni menjadi subjek dalam perkawinan. Oleh sebab itu,
sangat di tantang pilihan dalam sepihak yaitu dari pihak pria saja dalam
masalah perkawinan denaga harus di berikan kesempatan untuk memilih jodohnya
dan memiliki hak tersendiri dalam hal hak cerai.
Penghargaan islam kepada wanita
dalam sebuah pernikahan adalah bahwasanya islam memerintahkan kepada suami agar
memberikan nafkah, mempergaulinya dengan baik, menghindari perbuatan zalim dan
tindaka menyakiti fisikal atau perasaannya. Bahkan, termasuk dari pada
keindahan islam bahwasanya islam membolehkan bagi suami-istri untuk berpisah
(bercerai) apabila tidak kesepakatan dan tidak dapat hidup bahagia
bersama-sama. Maka, suami boleh menceraikannya setelah gagal melakukan berbagai
upaya ishlah (damai), dan pada ketika
kehidupan keduanya menjadi bagaikan api neraka tidak dapat dipertahankan.
Kemudian islam
membolehkan istri meninggalkan suaminya jika suami melakukan penganiayaan
terhadap dirinya, memperlakukannya dengan buruk. Maka, dalam keadaan seperti
itu istri boleh meninggalkannya dengan syarat membayar ganti rugi yang disepakati
bersana, atau melakukan kesepakatan bersama tertentu untuk kemudian istri dapat
meninggalkannya. 
BAB III
KESIMPULAN
Bangsa Arab telah berpoligami bahkan jauh sebelum
kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia selama
masa itu.Ketika Allah
mengutus Nabi Muhammad saw. Sebagai Nabi terakhir di negara Arab, telah
melarang perzinaan dan bentuk-bentuk lain yang menganggap perempuan bagaikan
barang dan hewan yang dimiliki. Islam tidak mengharamkan poligami secara mutlak,
tetapi diberi batasan dan bersyarat.
Kata poligami terdiri dari dua kata poli dan gami. Secara etimologi, poli artinya banyak dan
gami artinya istri. Jadi poligami itu artinya beristri banyak. Secara
terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri.
Atau, seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling
banyak empat orang. 
Adapun Kaitannya dengan dasar
hukum poligami, maka untuk poligami dasar hukumnya adalah sebagai berikut An-Nisa ayat 3 dan An-Nisa ayat 129. Adapun Mengenai hikmah
diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara
lain adalah untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul,
untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak
dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau
penyakit yang tak dapat disembuhkan dan lain sebagainya.
Dalam
perkawinan kedudukan wanita dalam posisi terbingkai dengan adanya adat-istiadat
dan hukum syariat. Hal ini Dalam perkawinan, kedudukan
wanita dalam posisi terbingkai dengan adanya adat-istiadat dan hukum syariat.
Hal ini diperlukan perhatian khusus dalam membina dan melangsungkan kehidupan.
Misalnya ada yang berpandangan bahwa kedudukan wanita dalam perkawinan rendah
karena dia di pandang sebagai objek. Pandangan tersebut muncul tidak hanya di
kalangan awam, tetapi disebagian kalangan fuquha yang mendefinisikan perkawinan
sebagai, “akad yang diatur oleh agama yang dengannya menjadi agama yang dengannya menjadi halal
hubunga seksual antara pria dan wanita, dan menjadikan seluruh tubuh wanita untuk penikmatan sebagai tujuan primer”
DAFTAR PUSTAKA
Izomiddin, 2018, Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam,
(Jakarta: Prenadamedia Group).
Abdurrahman I Doi, 1996, Karakteristik Hukum Islam dan
Perkawinan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada).
NurEla Aini, 2016,  Pengertian, Dasar Hukum, Hikmah Dan Prosedur
Poligami, Metro: (Jurusan Tarbiyah/Pai/A/IV  STAIN Jurai Siwo Metro).
Ela Nur Aini, Pengertian, Dasar Hukum, Hikmah Dan
Prosedur Poligami, Metro: (Jurusan Tarbiyah/Pai/A/IV  STAIN Jurai Siwo Metro 2016), hal. 12.