BAB I
PENDAHULAN
A.   
Latar Belakang
Manusia merupakan makluk Allah yang paling
sempuna dari makhluk-makhluk Allah lainnya yang diciptakan dari tanah dengan
bentuk yang paling indah, yang menjadikan pembeda manusia dengan makhluk allah
lainnya yaitu manusia diberi akal oleh Allah. Akal berfungsi sebagai alat untk
berpikir agar manusia senntiasa bisa berbuat dengan baik dan bijak dan dengan
akal kita bisa membedakan mana yang baik dan buruk dalam kehidupan kita. 
Manusia diciptakan oleh Allah tiada lain untuk beribadah
kepada Allah dan manusia dan sebagai khilafah dimuka bumi ini. Tidak ada
pembeda antara manusia satu dengan manusia yang lainnya semuanya dimata allah
sama tidak ada pembeda antara ras, bangsa, bahasa. Yang membedakan manuisa satu
dengan yang lain adalah ketaqwaannya kepada Allah SWT. Jadi, seharusnya kita
sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah tidak boleh memandang sesama manusia
dengan perbedaan yang kita miliki tidak ada kaum minoritas dan mayoritas dalam
dunia ini karena Allah tidak memandang itu semua.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Hak Kaum Minoritas Dan Mayoritas
        Diskiriminasi terhadap kaum minoritas di beberapa negara, tak
terkecuali di Indonesia, masih merupakan masalah aktual.Hal ini seharusnya
tidak terjadi lagi karena reformasi dibeberapa negara telah menghapus
diskriminasi apapun bentuknya.Menurut Theodorson & Theodorson, diskriminasi
adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap peerorangan, atau kelompok,
berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikan, atau atribut-atribut khas
seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas
sosial. Istilah-istilah biasanya dimaksudkan untuk melukisan suatu tindakan
dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang
lemah, sehinga dapat dikatakan, bahwa perilaku mereka itu tidak bermoral dan
tidak berdemokrasi.
        Sebagai contoh, pada
pembagian ini pembahasan tentang diskriminasi difokuskan pada diskrimiasi
terhadap kelompok-keompok minoritas yang ada direpublik Indonesia.kelompok
minorits tersebut dapat berupa suku bangsa (etnis), kelompok agama, dan
kelompok (gender) seperti kaum
perempuan dan kaum homoseksual (baik gay ataupun lesbian). Berdasarkan
kenyataan bahwa walaupun bangsa Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945,
serta telah memilii UUD 45 yang Bab X tentang “Warga Negara” Pasal 27 ayat 1,
yang menganggap semua WNI mempunyai persamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan  pemerintaha itu tidak ada kecualian. Namun
sedihnya, dalam riwayat hidup bangsa kita telah diselewengkan oleh para
pemimpin-pemimpin dikemudian hari yang sudah mulai berlaku sejak zaman ORLA dan
terutama mencapai puncaknya pada zaman ORBA.
Sebagai contoh misalnya, orang Tionghoa di Indonesia bersama-sama
dengan orang arab, india, pada masa kolonial Belanda digolongkan sebagai orang
Timur Asing, kemudian pada masa-masa kemerdekaan ada ketentuan bagi warga
keturunan bangsa lain yang menjadi warga Indonesia dalam UUD 45 yang Bab X
tentang “Warga Negara” Pasal 26 ayat 1. Namun perlakuan terhadap mereka ada
perbedaan. Bagi keturunan arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk suku
bangsa mayoritas Indonesia, maka diangap “pri” (pribumi) atau bahkan “asli”,
sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya adalah tri dharma (sam kao),
budis, nasrani, dan lain-lain. Keturunan India yang beragama Hindu dan Belanda
yang beragama Nasrani dianggap “nonpri”.Dengan stigma itu kedudukan mereka yang
bukan “pribumi”, terutama keturunan Tionghoa yang terasa sekali
pendiskriminasiannya.
Sepanjang sejarah islam, hak minoritas merupakan salah satu masalah
pelik yang dihadapi kaum Muslimin dalam konteks kekinian. Padahal, hak
minoritas sudah diatur dalam Al-Qur’an dan dipraktikan Nabi Muhammad SAW ketika
memimpin negara Madinah dan dikukuhkan dalam the constitution of medina, serta para sahabat-sahabatnya dalam
pemerintahan Islam dengan baik dan komperhensif. Bahkan, non-Muslim
diperlakukan lebih dan menguasai sektor ilmu pengetahuan. Sehingga perlakuan
tersebut terkadang justru membuat timbulnya kecembuan sosial dikalangan umat
muslim. Maka, sebuah argumentasi yang tidak bertanggung jawab jika ada yang
menyatakan bahwa islam tidak mengenal hak-hak minoritas. 
Salah satu persoalan fiqih yang sampai saat ini masih ramai
diperdebatkan adalah soal minoritas. Bahkan kalangan orientalis menganggap
islam tidak mengenal konsep hak-hak minoritas didalam kehidupan. Hak minoritas,
menurut mereka, hanya ada pada negara-negara sekuler, bukan islam. Dilihat dari
sisi historis, permasalahan tentang hak-hak minoritas dalam islam telah lama
diperdebatkan oleh generasi pertama umat islam. Zaid bin Ali dalam karya al-Maj
mu’fi al-Fiqih sudah membahas masalah itu, dan dilanjutkan oleh generasi
berikutnya.  
Hak minoritas berasal dari kata hak dan
minoritas. Hak sendiri dimaknai sebagai kepunyaan sah atau tetap dan
wajib.Adapun minoritas adalah golongan kecil (lawan mayoritas).Jadi, hak
minoritas dapat dipahami sebagai kepunyaan sah yang wajib diberikan kepada
golongan atau kelompok kecil yang ada dalam suatu Negara. Robert spencer mrnyatakan, bahwa karena
dunia islam tersebar begitu cepat ketika tentara-tentara menguasai komunitas-
komunitas Kristen kuno di timur tengah, islam harus menghadapi problem
minoritas keagamaan sejak masa-masa awal. Sehingga islam mengembangkan
perundang-undangan yang komprehensif dan spesifik dalam rangka bagaimana
memperlakukan kaum minoritas ini.
Islam telah membagi warga Negara non-muslim
dalam sebuah Negara islam kedalam tiga kategori:
Ke-1 Mereka yang menjadi warga Negara islam
di bawah perjanjian/persetujuan.
Ke-2Mereka yang menjadi warga Negara telah
dikalahkan umat islam dalam suatu peperangan.
Ke-3 Mereka yang berada dalam Negara islam
melalui hal lain. Dan kelompok ketiga ini adalah kelompok yang menjadi warga
Negara islam bukan karena perjanjian maupun kalah perang.
Abul A’la Al- Maududi menambahkan, bahwa
islam memberikan jaminan atas hak-hak non muslim secara jelas, dan islam
melarang mereka ikut campur dalam masalah-masalah parlemen. Namun demikian,
islam tetap membuka pintu bagi mereka untuk masuk dalam pemerintahan apabila
mereka rela dan menerima islam sebagai dasar Negara. Oleh karenanya, tidak ada
sedikitpun wewenang bagi Negara islam untuk menyerobot hak-hak non muslim yang
telah ditetapkan agama, dan tidak ada seorang pun yang berani merampas atau
mengurangi hak mereka. Bahkan, islam dituntut utuk memberikan tambahan kepada
mereka selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar Negara yang ada.
Hak tambahan tersebut terlihat pada
pemberian hak khusus ke pada warga non-muslim, diantaranya; pertama, mereka
mempunyai hak untuk memeluk dan mendakwakan agama mereka, dan juga mendapatkan
hak yang sama untuk dapat mengkritik islam sebagaimana islam mempunyai hak
untuk mengkritik agama mereka. kedua,mereka bebas untuk memutuskan
persoalan-persoalan mereka sesuai dengan hukum persoalan mereka sendiri.
Ketiga, mereka harus mengikuti hukum umat islam sepanjang dalam masalah hukum
kriminal dan sipil karena hukum islam merupakan hukum Negara dalam
urusan-urusan ini. Pengecualian dalam peratuaran hukum ini hanyalah dalam kasus
minum anggur di mana warga non-muslim dibebaskan dari hukuman.Keempat, orang
dzimmi mendapat hak untuk mendirikan lembaga pendidikan mereka untuk menanamkan
pendidikan agama kepada generasi muda mereka. Kelima, mereka tidak dapat
dipaksa untuk mengikuti tugas wajib militer setiap warga muslim, tetapi mereka
yang mampu memanggul senjata dikenakan jizyah.
Pada saat islam muncul, dunia menganut
prinsip ejus region, cujus religio, artinya, setiap kerajaan memiliki
agama sendiri-sendiri. Maka.Agama rakyat adalah agama penguasa.di barat prinsip
tersebut masih berlaku sampai paruk kedua abad ke-18 ketika pecah revolusi
amerika dan prancis, namun, sejak abad ke-6. Islam datang dengan prinsip ajaran
yang memberi hak hidup, termasuk tradisi dan keyakinan lama, kepada
bangsa-bangsa yang didudukunya.siasat ini membuat bangsa-bangsa arab saat itu
masuk islam dengan damai atau tetap hudup dalam kelompok –kelompok agama
mereka. Mereka adalah saksi sejarah akan tingginya nilai kemanusiaan yang
dibawa oleh agama islam dengan memberikan hak-hak individu atau kelompok,
bahkan hak sebagai warga Negara secara penuh.
Selama satu abad kementrian keuangan pada pemerintahan bani ummayah
dipegang oleh keluaga kristen secara turun temurun. Begitu juga dengan khalifah
pertama bani fatimiyah dimaghrib, abu ubaidilah al mahdi meminta nasihat kepada
seorang tokoh kristen untuk mencari lokasi yang tepat untuk ibu kota negara.
Hubungan mesra tersebut dapat dilihat dalam sektor keilmuan.
Dari sejarah diatas dapat dipahami bahwa penguasa islam sangat
memperhatikan hak hak minoritas dalam pemerintahan islam. Sangking perhatian
mereka tentang hak minoritas kadang kala menimbulkan kecemburuan sosial. Karena
adanya statement menyatakan islam tidak mengenal hak minoritas dan tidak ada
hak minoritas dalam islam karena hal tersebut bertentangan dengan norma dan
asas yang terkandung didalam ajaran islam surah Al-Mumtahanah (60):8-9:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya allah menyukai orang orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan
mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang orang dzalim.
Nabi
muhammad saw adalah utama sekaligus pemimpin pertama yang berhasil menerapkan
konsep hak hak minoritas dalam sebuah negara. Sehingga adanya piagam madinah
dan diterima oleh semua komunitas menjadi acuan bagi nabi untuk mempersatukan
seluruh penduduk madinah dan mengatur kehidupan sosial politik bersama kaum
muslimin dan kaum non muslimin. Isi piagam madinah mengatakan bahwa disamping
orang orang muslim-mukmin sebagai satu umat juga dikatakan kaum yahudi dan
sekutunya adalah umat yang satu bersama orang orang muslim mukmin. Piagam
madinah menegaskan pentingnya persaudaraan dan persatuan diwujudkan dalam
kehidpan antar golongan dengan menjalin kerja sama untuk mencapai tujuan umum
bersama dalam kehidupan sosial. Piagam madinah menetapkan adanya persamaan
diantara anggota masyarakat, yakni persamaan dari segi kemanusiaan yang
mencakup persamaan hak hidup, hak keamanan diri, hak membela diri, hak memilih
agama dan tanggung jawab dalam mewujudkan perdamaian.
Karena
itu masyarakat madinah harus menghormati hak hak dasra komunitas lain.
Kehidupan tetangga yang harmonis akan terwujud apabila saling bekerja sama dan
tolong menolong. Prinsip tolong menolong menjadi ketetapan piagam madinah yang
menyatakan bahwa penduduk madinah membutuhkan bantuan serta mewujudkan keamanan
dan pertahanan bersama.Piagam madinah juga menetapkan prinsip musyawarah dalam
kehidupan sosial untuk membicarakan berbagai masalah.Musyawarah penting
ditegakkan karena menjadi sarana untuk menghormati hak bicara dan berpendapat
setiap kelompok dalam upaya menciptakan masyarakat yang terbuka, berbudaya, dan
menghindari tirani suatu kelompok lainnya. Implementasi keadilan dalam
pandangan ajaran islam mengandung dua sisi yaitu: sisi religius dan sisi
kemanusiaan.
Piagam madinah menetapkan prinsip pertahanan dan
perdamaian.Prinsip pertahanan menegaskan adanya kewajiban umum bagi penduduk
madinah untuk mewujudkan keamanan bersama dan mempertahankan kedaulatan negara
dari serangan musuh.Pada teks lain dinyatakan bahwa orang orang mukmin mengajak
pihak musuh berdamai, orang orang mukmin wajib menerimanya dan melaksanakan nya
kecuali terhadap musuh yang memerangi agama. Nabi muhammad saw dalam memilih seseorang untuk menduduki suatu
jabatan menerapkan prinsip afdal dan amanah yaitu orang yang mempunyai keahlian
yang sesuai dengan bidang jabatan itu dan dapat diercaya. 
Prinsip maslahah (kepentingan, kebaikan, efekktifitas)
dalam memimpin berkaitan dengan motif dan tujuan seseorang pemimpin dalam
menetapkan orang orang dalam berbagai jabatan dan maslahah nya bagi masyarakat
dengan memberikan jabatan itu kepada seseorang.Adapun mengenai musyawarah dalam
kepemimpinan rasulullah saw, sebagai suri tauladan yang baik bagi umat manusia.
Ia dikenal senang bermusyawarah dan
membudayakan musyawarah dikalangan para sahabat dan kaum yahudi dalam soal soal
kemasyarakatan dan urusan kenegaraan. Diantar musyawarah yang tekah dilakukan
rasulullah yaitu msalah perang uhud, perang ahzab, nabi juga mengajak para
sahabatnya untuk bermusyawarah tentang perjanjian hudaibiyah yang diantara lain
menyatakan bahwa nabi dan para pengikutnya tidak jadi masuk mekah pada tahun
ini, tetapi orang quraisy berjanji akan mengizinkan orang orang islam datang
kemekah pada tahun tahun berikutnya dan tinggal disana selama 3 hari tanpa
senjata selain pedang yang tetap berada dalam sarungnya, isi perjanjian
tersebut membuat para sahabat nabi jengkel dan menahan marah. Namun dalam
proses perumusan nabi mengambil kebijaksanaan atau sikap dengan mengabaikan
pendapat dan keberatan dari banyak sahabat.
Dari
uraian piagam madinah terlihat jelas nabi muhammad sangat memperhatikan hak hak
kaum minoritas bahwa, hak minoritas dalam islam sangat dijunjung tinggi bahkan
negara islam tidak mengenal mayoritas dan minoritas dalam kontek hak dan
kewajiban,semua diperlakukan sama. Islam telah membagi warga non muslim dalam
sebuah negara islam kedalam tiga kategori yakni:
1.  
Mereka
yang menjadi warga negara suatu negara islam dibawah perjanjian persetujuan.
2.  
Mereka
yang menjadi warga negara setelah dikalahkan umat islam dalam suatu peperangan.
3.  
Dan
mereka yang berada dalam negara islam melalui hal lain.
Mereka ini
dalam islam harus membayar jizyah sebagai bagian dari kompensasi yang diberikan
islam terhadap mereka. Islam juga tidak mengenal solidaritas berdasarkan
hubungan nash dalam mengonstruksi hak asasi dan jaminan kepastian hokum. Menurut M.Alikettani agama kristen adalah versi eropanya merupakan
penganiayaan utama terhadap minoritas muslim karena disebabkan perbedaan sikap
antara kristen dan islam terhadapan proselytisme, islam ingin orang sadar dalam
menganut kebebasan kehendaknya. Andalusia dan sicilia adalah dua orang yang
dapat menjadi saksi. Saat itu umat islam tidak memiliki pilihan kecuali
pembunuhan, kristenisasi, atau evkuasi. Tiga pilihan tersebut membuat api islam
redup dan andalusia hanya tinggal kenangan sebagai surga yang hilang.
Hukum islam
telah ada telah ada dan berkembang seiring dengan keberadaan islam itu sendiri.
Jadi, hukum islam mulai ada sejak islam ada. Keberadaan hukum islam di berbagai
Negara juga ditentukan kapan islam masuk dan berkembang di negeri-negeri
tersebut. Begitu juga, perkembangan hukum islam sangat ditentukan oleh
keberadaan umat islam. Hingga sekarang hukum islam sudah menyebar hampir di
semua Negara di belahan dunia seiring dengan keberadaan umat islam disana. Pada
perkembangan selanjutnya hukum islam menjadi salah satu bidang kajian ilmiah,
diantara bidang-bidang kajian dalam islam. Sebagai kajian ilmiah, hukum islam
telah dipelajari secara ilmiah tidak hanya oleh umat islam, tetapi juga orang
non-Muslim atau yang lebih dikenal dengan sebutan kaum orientalis. Tentu saja,
tujuan yang ingin dicapai dalam mempelajari hukum islam akan berbeda bagi
kalangan umat islam dan bagi kalangan non-Muslim.
Bagi umat islam
merupakan keharusan untuk mempelajari hukum islam untuk mendasari semua
aktivitas mereka yang berkaitan dengan hukum, disamping untuk meninngkatkan
kualitas pemahaman mereka tentang hukum islam pada khususnya dan studi islam
umumnya. Begitu
pentingnya posisi hukum islam ini, sehingga yang berkepentingan untuk
mengkajinya tidak terbatas pada umat islam sendiri, tetapi juga orang-orang
diluar islam. Bagi umat islam, hukum islam tidak terpisahkan dari agama yang
dipeluknya (islam). Keduanya ibarat arus-arus yang mengalir dari saluran yang
sama dan kedua nya tidak dapat dipisahkan. Dalam kenyataan hukum islam ini ada
dua bentuk. Keduanya memiliki hubungan yang erat dan merupakan satu kesatuan
yang sulit dipisahkan.Kedua bentuk itu adalah syari’ah dan fikih.Syari’ah
mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, meliputi segala aspek kehidupan
manusia, sedangkan ruang lingkup fikih lebih sempit menyangkut hal-hal yang
pada umumnya dipahami sebagai aturan-aturan hukum.Arah tujuan syari’ah
ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya, sedangkan materi yang tercantum dalam
fikih dihasilkan oleh umat manusia.
Sebagai contoh
dapat dilihat pada kewajjiban shalat, puasa, zakat, dan haji dalam bidang
ibadah. serta penghalalan jual-beli dan pengharaman riba, perintah jual-beli
dan larangan riba serta menegakkan hukum hudud
untuk melindungi masyarakat dalam bidang muamalah. dari contoh-contoh diatas
jelaslah, bahwa hukum islam didalam mewajibkan perintah dan mengharamkan
larangan tidak hanya bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat secara
umum inilah watak dan kecenderungan hukum islam yang hakiki sebagaimana yang
kita jumpai dalam  Al-Qur’an, Sunnah, dan
putusan-putusan para ulama melalui ijtihad.
Dengan
demikian, tujuan hukum islam, dapat ditarik suatu peristiwa yang sudah adas nash-nya secara tepat dan benar dan
selanjutnya dapat diterapkan hukum peristiwa yang tidak ada nash-nya. Senada dengan pendapat diatas,
Al-syatibi, seorang pakar hukum dari kalangan mazhab Maliki, mengembangkan
doktrin muqashid al syariah (tujuan
hukum islam) dengan penjelasan bahwa tujuan akhir hukum islam yaitu
kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan umat islam. Pendapat al-satibi didasarkan pada prinsip, bahwa tuhan
melambangkan syari’ah (hukum islam) demi kemaslahatan manusia, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Doktrin maqqashid
al syariah al syatibi merupakan suatu usaha menegakkan maslahah sebagai
unsur esensial bagi tujuan-tujuan hukum.
Secara
etimologis, maqasih al syariah
berarti maksud-maksud atau tujuan disyariahkan hukum islam. Karena itu, yang
menjadi pembahasan utama dalam maqashid
al syariah adalah hikmah dan ‘illah ditetapkannya suatu hukum.dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli
ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima
unsur pokok itu adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.lima kebutuhan
ini masih dibagi menjadi tiga peringkat, yaitu dlaluriyyat (kebutuhan primer), hajjiyat
(kebutuhan sekunder), dan tahsiniyyat
(kebutuhan tersier).
Khusus di
negeri islam, para penganut agama selain islam (non-muslim) biasa disebut
dengan ahlidz dzimmah. Kata dzimmah berarti perjanjian, jaminan Allah dan
Rasulnya serta semua kaum muslim untuk hidup dengan aman dan tenteram dibawah
perlindungan islam dan dalam masyarakat islam. Akad dzimmah berlaku untuk
selamanya dan mengandung ketentuan membiarkan orang-orang non muslim tetap
dalam agama mereka di samping hak menikmati perlindungan dan perhatian jema’ah
kaum muslim, dengan syarat mereka membayar jizyah
serta berpegang pada hukum islam dalam hal-hal yang berhubungan langsung
dengan masalah-masalah agama. Adanya akad dzimmah menumbuhkan hak-hak yang
bersama berlaku berlaku diantara kedua belah pihak, yakni kaum muslim dan
non-muslim (akhlul dzimmah) disamping kewajiban-kewajiban mereka. Hak yang
diperoleh oleh kaum non-muslim (kaum minoritas).seperti yang juga diperoleh
kaum muslim. Adalah perlindungan dan jaminan dalam berbagai hal. Dianatara
perlindungan yang akan diberikan kepada mereka sebagai berikut :
1)  
Perlindungan terhadap pelanggaran dari luar, sudah merupakan kewajiban
seorang imam atau penguasa dari Negara islam untuk melakukan penyelenggaran
perlindungan seperti ini dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh
syari’ah (hukum islam) serta kekuasaan militer yang berada dibawah wewenang
nya. Seorang imam wajib menjaga keselamatan kaum minoritas dan mencegah siapa
saja yang menganggu mereka, melepaskan merekan dari tindak penawanan, dan
menolak kejahatan siapa saja yang mengarah kepada mereka, Imam Qaraffi  apabila orang-orang kafir datang ke negeri
Islam karena hendak menganggu orang-orang yang berada dalam perlindungan akad
dzimma, maka wajib bagi umat islam menghadang dan menerangi mereka dengan
segala kekuatan dan senjata, bahkan umat islam harus siap mati untuk itu demi
menjaga keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah SWT dan dzimmah
Rasulullah SAW. Menyerahkan
kepada mereka tanpa upaya-upaya tersebut dianggap menyia-nyiakan akad dzimmah.
2)  
Perlindungan
terhadap kezaliman di dalam negeri, perlindungan terhadap kezaliman yang
berasal dari dalam negeri adalah suatu yang diwajibkan oleh islam, Bahkan
sangat diwajibkan. Islam memperingatkan kaum muslimin agar jangan sekali-sekali
menganggu dan melanggar hak ahludz
dzimmah, dengan tindakan maupun ucapan. Allah tidak menyukai orang-orang
zalim dan tidak pula memberi mereka petunjuk. Sebaliknya Allah akan
menyegerakan azab bagi mereka atau menangguhkan hukuman atas mereka di akhirat
dengan berlipat ganda. Dalam perjanjian Nabi Muhammad SAW dengan penduduk
Najran (yang beragama nasrani) disebutkan antara lain: “Tidak diperkenankan
menghukum seseorang  dari mereka karena
kesalahan seorang lainnya. para fukaha (ahli-ahli hukum islam) dari seluruh
mazhab menegaskan, bahwa kaum muslimin wajib mencegah kezaliman apapun yang
menimpa ahludz dzimmah.
3)  
Perlindungan
nyawa, badan, harta, dan kehormatan. Hak perlindungan yang ditetapkan bagi ahludz
dzimmahmencakup perlindungan keselamatan darah (nyawa) dan badan mereka
sebagaimana mencakup pula harta dan kehormatan mereka. Menurut pendapat para
ulama, membunuh mereka haram hukumnya. Nabi SAW bersabda: “Barang siapa
membunuh seorang mu’ahad (yakni yang terikat perjanjian keselamatan dengan kaum
Muslim) tidak akan mencium bau harum surga, sedangkan harumnya dapat tercium
dari jarak perjalanan empat puluh tahun” (HR. Ahmad dan al-Bukhari).
Dalam hal
perlindungan harta benda, para ulama dari semua mazhab bersepakat untuk
melindungi harta benda kaum minoritas non-Muslim (ahludz dzimmah).
Terkait dengan hal ini Umar bin Khatab berpesan kepada Abu Ubaidah: “Cegahlah
kaum Muslim dari bertindak zalim terhadap mereka (yakni Ahludz Dzimmah),
menggangu ataupun memakan harta merek kecuali dengan cara-cara yang
menghalalkannya” (Qardhawi, 1994: 35). Siapa pun yang mencuri harta milik
orang dzimmi akan dipotong tangannya, siapa yang merampasnya akan dihukum dan
harta itu pun akan dikembalikan kepada pemiiknya. Perlindungan yang sama yang
diberikan kepada ahludz dzimmah juga terjadi dalam kehormatan. Islam juga
memberikan perlindungan kepada ahludz dzimmah sama seperti yang diberikan
kepada kaum Muslim.Itulah beberapa yang diberikan oeh islam kepada kaum
minoritas non-Muslim yang berada dalam naungan kekuasaan islam. Adapun
jainan-jaminan yang diberikan kepada mereka diantaranya akan dibahas pada
paragraf dibawah ini.
Pertama, jaminan hari tua dan kemiskinan.Islam memberikan jaminan
kehidupan yang layak bagi orang-orang non-Muslim berdiam didaerah kekuasaan
kaum Muslim serta keluarga yang menjadi tanggungan mereka. Bagi mereka yang sudah
berusia tua an sudah tidak lagi mampu bekerja atau sakit sehingga tidak lagi
dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka, maka mereka dibebaskan dari kewajiban jizyah,
dan bahkan mereka beserta keluarganya kemudian menjadi tanggungan baitul
mal (kas negara). Demikianlah yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dalam
memperlakukan kaum minoritas.
Kedua, jaminan atas kebebasan beragama.Kebebasan
beragama dan beribadah dijamin dalam Islam, baik bagi kaum Muslim maupun
non-Muslim.Tidak diperbolehkan melakukan tekanan dan ancaman agar mereka
memeluk agama Islam (QS. Al-Baqarah [2]: 256 dan QS, Yunus [10]: 99). Dalam
sejarah tidak pernah dikenal suatu bangsa Muslim memaksa ahludz dzimmah(bob-Muslim)
untuk mmemeluk agama islam. Hingga
sekarang pun tidak dijumpai negara-negara islam yang memaksakan kepada
penduduknya non-muslim islam. Malah yang terjadi justru sebaliknya, banyak kaum
Muslim dinegara – negara yang mayoritas pendudunnya non-Muslim mendapat tekanan
dan ketidakadilan sehingga kaum Muslim tidak dapat menjalankan agamanya dengan
leluasa.
Ketiga, jaminan atas kebebasan bekerja dan berusaha. Kaum minoritas
non-Muslim memiliki kebebasan untuk bekerja dan berusaha, memilih
pekerjaan-pekerjaan bebas yang mereka inginkan, da mengelola berbagai macam
kegiatan ekonomi sama seperti kebebasan yang dimiliki oleh kaum Muslim. Selain
hal ini, mereka juga dapat menikmati kebebasan penuh dalam perdagangan,
industri, dan keterampilan.
Keempat, jaminan jabatan dalam pemerintahan ahludz
adimmah juga memiliki hak untuk menduduki jabatan-jabatan dalam
pemerintahan seperti halnya kaum Muslim, kecuali jabatan-jabatan keagamaan,
seperti imam, pemimpin tinggi negara, panglima tentara, hakim untuk kaum
Muslim, penanggung jawab urusan zakat dan sedekah, dan yang sejenisnya. Jabatan-jabatan seperti ini sangat terkait dengan agama islam dan
ajaran-ajaran yang ada didalamnya yang benar-benar dijaga dan dipelihara oleh
kaum Muslim (Qardhawi, 1992:53). Tigas-tugas diluar bidang keagamaan itu boleh
diserahkan kepada ahludz dzimmahbila mereka memiliki persyaratan khusus,
seperti kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan kepada negara, hal ini menunjukkan
betapa tingginya toleransi Islam terhadap penganut agama lain. Namun toleransi
ini tidak sampai melewati batas yang dapat membahayakan akidah kaum Muslim
serta kelangsungan dan kejayaan pemerintahan Islam.
Di berbagai
belahan dunia saat ini, dibeberapa negara yang mengklaim diri sebagai pelindung
hak-hak asasi manusia, misalnya Amerika serikat; di negara ini hak-hak individu
memiliki perlindugan yang setara dan seimbang karena ham adalah bebas dari
identitas ras, suku, dan agama namun apa yang terjadi pada korban badai katrina
2005 lalu, yang notabene warga kulit hitam, pemerintahannya tentara sangat
deskriminatif (Al-wa’ie, Maret 2006). Sementara
Perancis telah melarang minoritas Muslim untuk mengenakan hijab, yang merupakan
identitas muslimah, masjid-masjid dimonitor, jaringan telepon  disetiap dan selembarang yang disebarkan umat
islam diawasi (K-Mag. No 7, April 2006). Dan masih banyak kasus lainnya.
Kenyataan
diatas sangat kontras dengan apa yang disebut sebagai instrumen internasional
yang menjamin kaum minoritas. Salah satu instrumen itu yakni deklarasi hak
orang-orang yang termasuk bangsa atau suku bangsa, agama, dan bahasa minoritas
yang ditetapkan oleh revolusi majelis ulama 47/135 PBB tahun 1992.misalnya,
pada pasal 2 butir 1 menyatakan, “orang-orang yang termasuk bangsa atau suku
bangsa, agama, dan bahasa minoritas (selanjutnya disebut sebagai orang-orang
yang termasuk kaum minoritas) mempunyai hak untuk menikmati kebudayaan mereka,
untuk memeluk dan menjalankan agama mereka sendiri, dan untuk menggunakan
bahasa mereka sendiri, dalam lingkungan sendiri, dan umum dengan bebas tanpa
gangguan atau tanpa segala bentuk diskriminatif.
                                                                                                                    
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.  
Hak minoritas berasal dari kata hak dan minoritas. Hak sendiri
dimaknai sebagai kepunyaan sah atau tetap dan wajib.Adapun minoritas adalah
golongan kecil (lawan mayoritas).Jadi, hak minoritas dapat dipahami sebagai
kepunyaan sah yang wajib diberikan kepada golongan atau kelompok kecil yang ada
dalam suatu Negara.
2.  
Diskiriminasi
terhadap kaum minoritas di beberapa negara, tak terkecuali di Indonesia, masih
merupakan masalah aktual.Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi karena reformasi
dibeberapa negara telah menghapus diskriminasi apapun bentuknya.Menurut
Theodorson & Theodorson, diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang
terhadap peerorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat
kategorikan, atau atribut-atribut khas seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan,
agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah-istilah biasanya
dimaksudkan untuk melukisan suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan
dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehinga dapat dikatakan, bahwa
perilaku mereka itu tidak bermoral dan tidak berdemokrasi.
3.  
Sebagai
contoh, pada pembagian ini pembahasan tentang diskriminasi difokuskan pada
diskrimiasi terhadap kelompok-keompok minoritas yang ada direpublik
Indonesia.kelompok minorits tersebut dapat berupa suku bangsa (etnis), kelompok
agama, dan kelompok (gender) seperti
kaum perempuan dan kaum homoseksual (baik gay ataupun lesbian). Berdasarkan
kenyataan bahwa walaupun bangsa Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945,
serta telah memilii UUD 45 yang Bab X tentang “Warga Negara” Pasal 27 ayat 1,
yang menganggap semua WNI mempunyai persamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan  pemerintaha itu tidak ada kecualian. Namun
sedihnya, dalam riwayat hidup bangsa kita telah diselewengkan oleh para pemimpin-pemimpin
dikemudian hari yang sudah mulai berlaku sejak zaman ORLA dan terutama mencapai
puncaknya pada zaman ORBA.