BATAS UMUR PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM
Pada dasarnya,
Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak
adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk
melangsungkan perkawinan diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk
mengaturnya. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan
perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu. Firman Allah SWT.
و انكحوا
الأيامى منكم و الصالحين من عبادكم و إمآئكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله و
الله واسع عليم
“Dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur : 32)
Kata (الصالحين) dipahami oleh banyak ulama
dalam arti “yang layak kawin” yakni yang mampu secara mental dan spiritual
untuk membina rumah tangga.[1]
Begitu pula dengan hadits Rasulullah SAW, yang menganjurkan kepada para pemuda
untuk melangsungkan perkawinan dengan syarat adanya kemampuan.
حدثنا عمر بن
حفص بن غياث حدثنا الأعمش قال حدثني عمارة عن عبد الرحمن بن يزيد قال دخلت مع
علقمة و الأسود على عبد الله فقال عبد الله كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم
شبابا لا نجد شيئا فقال لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم يا معشر الشباب من
استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر و أحسن للفرج و من لم يستطع فعليه
بالصيام فإنه له وجاء (رواه البخاري)
“Kami telah diceritakan dari
Umar bin Hafs bin Ghiyats, telah menceritakan kepada kami dari ayahku (Hafs bin
Ghiyats), telah menceritakan kepada kami dari al A’masy dia berkata : “Telah
menceritakan kepadaku dari ’Umarah dari Abdurrahman bin Yazid, dia berkata :
“Aku masuk bersama ’Alqamah dan al Aswad ke (rumah) Abdullah, dia berkata
: “Ketika aku bersama Nabi SAW dan para pemuda dan kami tidak menemukan yang
lain, Rasulullah SAW bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, barang
siapa di antara kamu telah mampu berumah tangga, maka kawinlah, karena kawin
dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa belum
mampu, maka hendaklah berpuasa, maka sesungguhnya yang demikian itu dapat
mengendalikan hawa nafsu.” (HR. Bukhari)[2]
Secara tidak
langsung, Al-Qur’an dan Hadits mengakui bahwa kedewasaan sangat penting dalam
perkawinan. Usia dewasa dalam fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat
jasmani yaitu tanda-tanda baligh secara umum antara lain, sempurnanya
umur 15 (lima belas) tahun bagi pria, ihtilam bagi pria dan haid
pada wanita minimal pada umur 9 (sembilan) tahun.[3]
Dengan
terpenuhinya kriteria baligh maka telah memungkinkan seseorang
melangsungkan perkawinan.[4]
Sehingga kedewasaan seseorang dalam Islam sering diidentikkan dengan baligh.[5]
Apabila terjadi
kelainan atau keterlambatan pada perkembangan jasmani (biologis)nya, sehingga
pada usia yang biasanya seseorang telah mengeluarkan air mani bagi pria atau
mengeluarkan darah haid bagi wanita tetapi orang tersebut belum mengeluarkan
tanda-tanda kedewasaan itu, maka mulai periode balighnya berdasarkan usia yang
lazim seseorang mengeluarkan tanda-tanda baligh. Mulainya usia baligh antara
seorang dengan orang lain dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan, geografis dan
sebagainya.[6]
Ukuran
kedewasaan yang diukur dengan kriteria baligh ini tidak bersifat kaku
(relatif).[7]
Artinya, jika secara kasuistik memang sangat mendesak kedua calon mempelai
harus segera dikawinkan, sebagai perwujudan metode sadd al-zari’ah untuk
menghindari kemungkinan timbulnya mudharat yang lebih besar.[8]
Para ulama
berbeda pendapat dalam menetapkan batasan umur bagi orang yang dianggap baligh.
Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa :
و قال
الشافعية و الحنابلة أن البلوغ بالسن يتحقق بخمس عشرة سنة في الغلام و الحارية
Anak laki-laki
dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15 tahun.[9]
Ulama
Hanafiyyah menetapkan usia seseorang dianggap baligh sebagai
berikut :
و قال
الحنفية ثمان عشرة في الغلام و سبع عشرة في الجارية
Anak laki-laki
dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan.[10]
Sedangkan ulama
dari golongan Imamiyyah menyatakan :
و قال
الإمامية خمس عشرة في الغلام و تسع في الجارية
Anak laki-laki
dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi anak perempuan.[11]
Terhadap anak
perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat dua pendapat. Pertama, Imam
Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa anak perempuan yang
berusia 9 tahun hukumnya sama seperti anak berusia 8 tahun sehingga dianggap
belum baligh. Kedua, ia dianggap telah baligh karena telah
memungkinkan untuk haid sehingga diperbolehkan melangsungkan perkawinan
meskipun tidak ada hak khiyar baginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa.[12]
Mengingat,
perkawinan merupakan akad/perjanjian yang sangat kuat (miitsaqan ghalizan) yang
menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan.[13]
Perkawinan
sebagai salah satu bentuk pembebanan hukum tidak cukup hanya dengan
mensyaratkan baligh (cukup umur) saja. Pembebanan hukum (taklif) didasarkan
pada akal (aqil, mumayyiz), baligh (cukup umur) dan pemahaman. Maksudnya
seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami
secara baik terhadap taklif yang ditujukan kepadanya.[14]
Jadi penulis lebih sepakat bahwa syarat calon mempelai adalah mukallaf.[15]
Terkait dengan
prinsip kedewasaan dalam perkawinan, para ulama cenderung tidak membahas
batasan usia perkawinan secara rinci namun lebih banyak membahas tentang hukum
mengawinkan anak yang masih kecil.
Perkawinan anak
yang masih kecil dalam fiqh disebut nikah ash shaghir/shaghirah atau az-zawaj
al mubakkir. Shaghir/shaghirah secara literal berarti kecil. Akan tetapi yang
dimaksud dengan shaghir/shaghirah adalah laki-laki/perempuan yang belum baligh.[16]
Perkawinan di
bawah umur tidak lepas dari hak ijbar yaitu hak wali (ayah/kakek) mengawinkan
anak perempuannya tanpa harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu
dari anak perempuan yang akan dikawinkan tersebut, asal saja ia bukan berstatus
janda.
Seorang ayah
bisa mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil dan perawan selama belum
baligh tanpa izinnya dan tidak ada hak khiyar bagi anak perempuan itu jika dia
telah baligh. Sebaliknya, ayah tidak boleh mengawinkan anak laki-lakinya
yang masih kecil.[17]
Meskipun
demikian, seorang anak perempuan tidak langsung dapat disenggamai oleh suaminya
jika masih terlalu kecil sehingga dia cukup dewasa untuk melakukan hubungan
layaknya suami isteri.
Ulama yang
membolehkan wali untuk mengawinkan anak perempuannya yang masih di bawah umur
ini pada umumnya berlandaskan pada riwayat bahwa Abu Bakar ra. mengawinkan Siti
‘Aisyah ra. dengan Rasulullah SAW.
حدثنا يحيى
بن يحيى و اسحق و ابراهيم و ابو بكر و ابو كريب قال يحيى و اسحق أخبرنا و قال
الآخران حدثنا ابو معاوية عن الأعمش عن الأسود عن عائشة قالت تزوجها رسول الله صلى
الله عليه و سلم و هي بنت ست و بنى بها و هي بنت تسع و مات عنها و هي بنت ثمان
عشرة (رواه مسلم)
“Telah menceritakan kepadaku
Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Karib.
Yahya dan Ishaq telah berkata : Telah menceritakan kepada kami dan berkata
al Akhrani : Telah menceritakan kepadaku Abu Mu’awiyah dari al A’masyi dari al
Aswad dari ‘Aisyah ra. berkata : Rasulullah SAW mengawiniku pada saat usiaku 6
tahun dan hidup bersama saya pada usiaku 9 tahun dan beliau wafat saat usiaku
18 tahun (HR. Muslim)[18]
Abu Bakar ra.
telah mengawinkan ‘Aisyah dengan Rasulullah SAW sewaktu masih anak-anak tanpa
persetujuannya lebih dahulu. Sebab pada umur demikian persetujuannya tidak
dapat dianggap sempurna. Namun, mengenai perkawinan ‘Aisyah ra. dengan
Nabi Muhammad SAW, sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan
perkecualian atau kekhususan bagi Rasulullah SAW sendiri sebagaimana Rasulullah
SAW dibolehkan beristeri lebih dari empat orang yang tidak boleh diikuti oleh
umatnya.[19]
Pendapat lain
menyatakan bahwa perkawinan Rasulullah SAW dengan ‘Aisyah lebih bermotif dakwah
dan memberikan kebebasan bagi Abu Bakar ra. memasuki rumah tangga Rasulullah
SAW.[20]
Walaupun demikian, hak ijbar ayah atau kakek tidak serta merta dapat
dilaksanakan dengan sekehendak sendiri. Ulama’ Syafi’iyyah mengatakan bahwa
untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya
kemashlahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk anak perempuan
diperlukan beberapa syarat antara lain:
1. Tidak
ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan dengan walinya yaitu ayahnya
atau kakeknya.
2. Tidak
ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dan calon suaminya.
3. Calon
suami harus kufu (sesuai/setara).
4. Calon
suami mampu memberikan maskawin yang pantas.
Ibn Syubrumah
memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas.
Beliau berpandangan bahwa anak laki-laki ataupun anak perempuan di bawah umur
tidak dianjurkan untuk dikawinkan. Mereka hanya boleh dikawinkan setelah
mencapai usia baligh dan melalui persetujuan yang berkepentingan secara
eksplisit.[21]
Firman Allah
SWT :
و ابتلوا
اليتامى حتى إذا بلغوا النكاح فإن أنستم منهم رشدا فادفعوا إليهم أموالهم
“Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya” (QS. An Nisa : 6)
Perkawinan di
bawah umur tidak dianjurkan mengingat mereka dianggap belum memiliki kemampuan
untuk mengelola harta (rusyd). Selain itu, mereka juga belum membutuhkan
perkawinan. Mereka dikhawatirkan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban yang
harus dipikul dalam kehidupan sebagai suami istri terutama dalam
pengelolaan keuangan rumah tangga.
Sedangkan bagi
anak perempuan kecil yang sudah janda (baik karena ditinggal mati suaminya atau
bercerai) maka walinya tidak boleh mengawinkannya kembali demikian pula bagi
orang lain (wali selain ayah) untuk mengawinkannya sampai ia baligh.[22]
Jadi, anak kecil yang sudah janda kedudukannya sama dengan janda yang telah
dewasa yaitu ia memberikan izin saat akan dikawinkan.
حدثنا قتيبة
بن سعيد حدثنا سفيان عن زياد بن سعد عن عبد الله ابن الفضل سمع نافع بن جبير عن
ابن عباس رضي الله عنهما ان النبي صلى الله عليه و سلم قال الثيب أحق بنفسها من
وليها و البكر تستأمر و إذنها سكوتها (رواه مسلم)
“Telah menceritakan kepada
kami Qutaibah bin Sa’id : Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin
Sa’ad dari Abdillah ibn Al Fadhli : Telah mendengar Nafi’ bin Jabir dengan
khabar dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwasanya Nabi SAW telah bersabda : Seorang janda
lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan perawan harus dengan izinnya dan
izinnya ialah diamnya” (HR. Muslim)[23]
Beberapa negara
muslim berbeda pula dalam menentukan batasan usia minimal perkawinan.[24]
Perbedaan penetapan batas usia ini tidak lepas dari pengaruh lingkungan,
geografis dan budaya pada masing-masing negara.
No
|
Negara
|
Batasan Umur
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
|
Aljazair
Bangladesh
Mesir
Indonesia
Iraq
Yordania
Lebanon
Libya
Malaysia
Maroko
Yaman Utara
Pakistan
Somalia
Yaman Selatan
Syria
Tunisia
Turki
|
21
21
18
19
18
16
18
18
18
18
15
18
18
18
18
19
17
|
18
18
16
16
18
15
17
16
16
15
15
16
18
16
17
17
15
|
Sumber : Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga
Islam di Dunia Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2004, hlm. 184 sebagaimana
dikutip dari Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries : History, Text
And Comparative Analysis, New Delhi : Academy of Law and Religion, 1987, hlm.
270.
Meskipun
masing-masing negara memiliki standar umur perkawinan yang berbeda, namun
intinya prinsip kematangan dan kedewasaan sangat diperhatikan. Dengan demikian
keabsahan perkawinan tidak semata-mata karena terpenuhinya rukun melainkan
berkembang pada pemenuhan syarat-syarat perkawinan.
Majelis Ulama’
Indonesia memberikan fatwa bahwa usia kelayakan perkawinan adalah usia
kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada’ dan ahliyyatul
wujub).[25]
Ahliyyatul Ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang
yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya
baik perbuatan yang bersifat positif maupun negatif.
Ahliyyatul
Wujub adalah sifat
kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya dan belum cakap
untuk dibebani seluruh kewajiban.[26]
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Vol. IX. Jakarta
: Lentera Hati, 2005, Cet. IV, hlm.335
[2] Abdullah
Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari, Juz V, Beirut : Dar al
Kitab al ‘Ilmiyyah, 1992. Hlm. 438.
[3] Salim bin
Samir al Hadhramy, Safinah an Najah, Surabaya : Dar al ‘Abidin, tt, hlm. 15-16
[4] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta : Prenada Media, 2008, Cet. III, hlm.
394
[5] Baligh adalah
cukup umur. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi III, Jakarta : Balai Pustaka, 2005, Cet. III, hlm. 96
[6] Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqh, Jilid II, Jakarta :
Departemen Agama, 1985, hlm. 3-4 25
[7] Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali Press, Cet. VI, 2003, hlm. 78
[8] Ahmad Rofiq,
loc. Cit
[9] Muhammad Jawad
Mughniyyah, al Ahwal al Syakhsiyyah, Beirut : Dar al 'Ilmi lil Malayain, tt.
hlm. 16
[12] Ibn Qudamah,
al Mughni, Beirut : Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, Juz VII, tt, hlm. 383-384
[13] Dedi Junaedi,
Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur’an Dan As
Sunnah), Jakarta : Akademika Pressindo, Cet. III, 2003, hlm. 1
[14] Ali Imron,
Kecakapan Bertindak dalam Hukum (Studi Komparatif Hukum Islam dengan Hukum
Positif di Indonesia), Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007
hlm. 3
[15] Mukallaf
adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum baik yang berhubungan
dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Mukallaf diindikasikan dengan cukup
umur (baligh), berakal dan memahami taklif yang dibebankan kepadanya. Lihat
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 1999, hlm. 334 dan
336
[16] Hussein
Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender),
Yogyakarta : LKiS, 2007, hlm. 90
[17] Abi Muhammad
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al Muhalla, Jilid VI, Beirut : Dar al Fikr,
Juz IX, tt, hlm. 458 dan 462. Lihat juga Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddiey,
Hukum-Hukum Fiqh Islam (Tinjauan Antar Madzhab), Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 2001, Cet. IV, hlm. 232
[18] Husain Muslim
bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I, Bandung : Dahlan, tt, hlm. 595
[19] Mahmud Yunus,
Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta : Hidakarya Agung, 1985, hlm. 69
[20] Amir
Syarifuddin, op. cit, hlm. 67
[21] Hussein
Muhammad, op.cit, hlm. 100
[22] Abi Muhammad
Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al Muhalla, Jilid VI, Beirut : Dar al Fikr,
Juz IX, tt. Lihat Zainuddin Abdul Aziz al Malibary, Fath al Mu’in,
Surabaya : Dar al ‘Abidin, tt. hlm. 103
[23] Husain Muslim
bin Hajjaj, op. cit, hlm 597
[24] Muhammad Amin
Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2004, hlm.184
[25] Majelis Ulama
Indonesia, Ijma’ Ulama (Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia
III Tahun 2009), Jakarta : Majelis Ulama Indonesia, 2009, hlm. 78
[26] Ali Imron,
op.cit, hlm. 18 dan 24