A. Karakter Filsafat Hukum
Islam
Pengertian filsafat yang semula berarti
cinta kearifan teryata menjadi luas sekali. Dahulu, kata sophia tidak
hanya berarti kearifan saja, melainkan berarti pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebijakan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian
pengrajin dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Filsafat adalah berpikir, akan tetapi
tidaklah setiap berpikir itu berfilsafat. Filsafat adalah berpikir yang logis,
kritis, sistematik, radikal dan universal. Berfikir yang logis adalah berfikir
menurut aturan-aturan logika, setiap berfikir adalah penalaran atau penuturan
melalui prosedur yang konsisten dan koheren sesuai dengan kaidah-kaidah
penalaran. Berfikir kritis adalah berfikir yang selektif serta berpangkal pada
satu kebenaran yang telah diuji terlebih dahulu. Adapun berfikir yang
sistematik adalah mengikuti sistem-sistem tertentu yang di dalamnya terkadung
kaitan-kaitan antara masukan (input) proses, keluaran (out put)
dan umpan balik. Yang dimaksud dengan radikal dalam filsafat adalah berfikir
yang tuntas hingga sampai pada akar-akarnya.
Karakteristik berfikir filosofis di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Menyeluruh
Filsafat tidak sama dengan ilmu dalam
memadang objeknya, karena filsafat melihat atau memandang objeknya dari sudut
totalitas (keseluruhan). Filsafat ingin mencoba mengenali hakikat atau “apanya”
sesuatu. Filsafat tidak akan puas hanya mengenal objeknya dari sudut tertentu
secara khusus sebagimana dilakukan oleh ilmu-ilmu.
2. Mendasar
Filsafat dalam mengahdapi semua
persoalan tidak berhenti dengan percaya begitu saja secara dangkal. Filsafat hendak mencari
mengapa “mengapa” susuatu hal sampai ke akar-akarnya, artinya, secara radikal
filsafat terus bertanya ke dasar dari sesuatu alasan.
3. Spekulatif
Kegiatan spekluasi merupakan yang
pertama dari kegiatan-kegiatan utama yang telah dilakukan oleh para filsuf
selama berabad-abad, yakni membuat dugan-dugaan yang masuk akal mengenai
sesuatu hal. Filsafat berusaha menetapkan kriteria apa yang disebut benar
(logika), apa yang disebut baik (etika) dan apa yang disebut indah (estetika), dan
selanjutnya dapat diteruskan dan dimanfaatkan oleh ilmu-ilmu.
Sejarah “runtuhnya” peta intelektualitas
keislaman yang membuat Islam harus mengakui ketertinggalannya dari kereta
peradaban, telah membuat para pemikir muslim kontemporer bangkit dari tidur
panjangnya.
Kembangkitan pemikiran keislaman yang oleh Hasan Hanafi disinyalir sebagai
kebangkitan Islam gelombang ketiga telah dirintis sejak masa Rif’ah Thanthawi
(1801-1873), Jamal Al-Din Al Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1848-1905),
dan Rasyid Ridha (1865-1935), yang selanjutnya dikembangkan oleh para pemikir
muslim kontemporer berikutnya.
“Kambing hitam” pun dilontarkan kepada
mereka yang telah ikut andil dalam menciptakan “dosa besar” sejarah Islam itu.
Secara simultan mereka berasumsi bahwa stagnasi pemikiran keislaman disebabkan
oleh “matinya” gairah berfilsafat (berlogika) di Timur. Kondisi taqlid
yang terus menerus sebgai kemalasan berpikir inilah yang membuat ijtihad
baru tidak kunjung hadir untuk menjawab permasalahan dan memberi solusi kepada
masyarakat.
Melihat fenomena itu, demi mengejar ketertinggalannya, para
pemikir muslim kontemporer merasa tergugah untuk membangkitkan gairah
berfilsafat di Timur (Islam), dengan melihat Barat sebagai contoh untuk maju.
Metodologi yang diterapkan adalah metodologi
ala Barat. Karakteristiknya mudah ditebak, yaitu rasionalistis, kebebasan berfikir, dan kebebasan mengungkapkan
pendapat.
Salah satu isu yang paling sensitif,
bagi banyak umat Islam, yang diangkat oleh pendekatan kontekstual adalah bahwa
pendekatan ini dikhawatirkan mengubah berbagai pandangan hukum atau teologis
yang disusun oleh para sarjana Muslim pra-modern. Bagi banyak Muslim,
pendapat-pendapat itu dianggap setara dengan “dasar-dasar” atau
“prinsip-prinsip dasar agama” (ushul al-din) Islam dan tidak boleh
diubah. Sering berbagai argumen yang mendukung pendekatan kontekstual ditentang
dengan alasan bahwa pendekatan kontekstual bertentangan dengan prinsip-prinsip
dasar agama dan karena itu dianggap sebagai pendekatan penafsiran Al-Qur’an
yang tidak bisa diandalkan. Namum, dari sudut pandang kontekstual, pendekatan
ini memiliki dasar-dasar kuat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
dasar agama, dan kenyataannya, terdapat berbagai jaring pengaman dalam
pendekatan ni untuk terhindar dari relativisme.
Maka, filsafat yang sederhana kita
artikan sebagai berpikir kritis dan mendalam, tentu akan hadir dalam setiap
lini usaha memahami agama, baik untuk kondisi terkini yang terkait dengan
kondisi kontekstual maupun membaca ayat secara tradisional yang hanya merujuk
pada literatur makna teks ayat.
Abû Ya’qûb Al-Kindî menulis dalam Fî
Al-Falsafah Al-Ûlâ, filsafat adalah pengetahuan tentang realitas hal-hal
yang mungkin bagi manusia, karena tujuan puncak filosof dalam pengetahuan
praktis untuk berperilaku sesuai dengan kebenaran.
Al-Farabi, meskipun menerima definisi ini, menambahkan perbedaan antara filsafat
yang didasarkan pada kepastian atau keyakinan (al-yaqîniyyah)—yang
didasarkan pada demonstrasi (burhân)—dan filsafat yang didasarkan pada
opini atau dugaan (al-mazhnûnah)—yang
didasarkan pada dialektika dan sofistri—kemudian menegaskan bahwa filsafat
adalah induk ilmu-ilmu dan mengkaji segala yang ada.
Semua ilmu senantiasa digandengkan
dengan filsafat, seperti filsafat sejarah, filsafat ekonomi, filsafat politik,
filsafat hukum dan lainnya. Tidak ritnggalan, ada pula filsafat hukum Islam. Filsafat
hukum Islam adalah filsafat yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan
sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis
hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.
Ketika nama filsafat hukum Islam muncul,
pertanyaannya adalah bagaimana mengkaji dan memahami hukum Islam secara
kontemplatif. Apa yang hendak dicari dan ditemukan dalam hukum Islam, bagaimana
cara mencari dan menemukannya, untuk apa dicari dan ditemukan? Pemahaman
filosofis terhadap hukum Islam akan lebih sistematis dan logis sehingga
filsafat hukum Islam bukan materi filsafat, melainkan materi hukum Islam yang
dikaji secara filosofis.
Filsafat ini bertugas
membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian Falsafat
Syari’ah adalah:
1.
Asrar al-Ahkam
(Rahasia-Rahasia Hukum Islam)
2.
Khasha al- Ahkam
(Ciri-Ciri Khas Hukum Islam)
3.
Mahasin al-Ahkam
atau Majaya al-Ahkam (Keutamaan-Keutamaan Hukum Islam)
4.
Thawabi al-Ahkam
(Karakteristik Hukum Islam)
Muatan filosofis yang terkandung dalam
filsafat hukum Islam bertumpu pada empat tujuan mendasar, yaitu:
1.
Agar landasan filosofis hukum Islam yang berkaitan dengan aspek
ubudiyah, muamalah, siyasah, dan jinayat dapat dipahami secara mendalam;
2.
Semua aspek yang berkaitan dengan hukum Islam hakikatnya ditemukan
melalui pemahaman ontologis;
3.
Asal-muasal hukum Islam secara epistemologi dapat dilukisjelaskan
secara rasional, sistematis dan radikal; dan
4.
Fungsionalisasi hukum Islam secara pragmatis maupun realitas
merupakan bagian dari perlaku umat Islam yang menjalankan kaidah-kaidah
normatif dalam hukum Islam.
Objek kajian filsafat hukum Islam adalah
hukum Islam sendiri. Hukum Islam dibagi pada tiga macam masalah, yakni masalah
akidah, ibadah, muamalah. Masalah muamalah merupakan objek kajian paling
mendasar karena berkaitan dengan kehidupan sosial masyaralat, misalnya
berkaitan dengan perkawinan, pembagian waris, masalah jinayah (pidana
Islam), masalah politik, dan sebagainya.
Filsafat hukum Islam mengkaji asas-asas
pembinaan hukum Islam atau tolok ukur pembuatan fiqhiyah, salah satunya
mengkaji prinsip keadilan dan kemanusiaan yang menjadi prinsip hukum Islam.
Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji hukum Islam adalah pendekatan
filosofis yuridis, yaitu menganalisis secara mendalam semua yang berkaitan dengan
hukum Islam secara ontologis, epistemologis dan aksiologis.
B.
Metode Filsafat Hukum Islam
Metode adalah suatu tata cara yang
berupa langkah-langkah yang harus dijalankan agar tercapai sesuatu tujuan
tertentu. Metode, dengan lain kata adalah tata cara, tehnik atau jalan yang
telah dirancang dan dipakai dalam proses memperoleh jenis pengetahuan. Hal ini
menyangkut pengetahuan penginderaan/akal sehat, pengetahuan humanis atau
historis, pengetahuan ilmiah atau filsafat. Dewasa ini terdapat berbagai macam
metode yang digunakan baik dalam filsafat maupun dalam jenis ilmu pengetahuan
yang lain.
Metode-metode filsafat adalah sejumlah
langkah yang digunakan oleh masing-masing filsuf. Perlu dipahami bahwa metode
setiap filsuf itu berbeda satu dengan yang lain. Di antara metode dalam
berfilsafat ialah:
1.
Metode Ilmiah
Metode ilmiah adalah segenap metode yang
telah berhasil mendapatkan pengetahuan ilmiah. Metode ini terbagi menjadi
a.
Metode Deduktif
Metode Deduktif adalah suatu konsep
pemikiran yang berpokok pangkal pada pemikiran/idea dan dijelmakan dalam suatu
keadaan yang nyata. Ini berarti berasal dan kebenaran yang ada dalam pikiran
dan dicari pembuktiannya dengan keadaan pengalaman. Dengan demikian, bermula
dari suatu pengertian yang sifatnya umum dijelmakan pada peristiwa yang khusus.
b.
Metode Induktif
Metode induktif adalah kebalikan dari
metode deduktif. Induktif berula dari hal konkrik/individual ditarik dalam
suatu pengertia yang sifatnya umum. Dari suatu pengertian yang umum ditarik ke
dalam kesimpulan yang lebih umum.
2.
Metode Analisi Logis
Analisis logis adalah bentuk analisa
falsafati. Mengingat objek filsafat itu tidak faktawi yaitu berupa suatu
entitas pernyataan, maka analisis yang dimaksud adalah analisa struktur
pernyataan filsafati. Kattsoff menyatakan bahwa maksud pokok mengadakan
analisis adalah melakukan pemeriksaan secara konsepsional atas arti
istilah-istilah yang dipergunakan dari penyatuan yang dibuat. Pemeriksaan ini
mempunyai dua segi. Pertama, mungkin mencoba untuk memperoleh art baru yang
terkandung di dalam istilah-istilah yang bersangkutan. Atau kedua, mungkin
menguji istilah-istilah itu melalui penggunaannya atau dengan melakukan
pengamatan contoh-contohnya.
3.
Metode Analogi
Metode ini merupakan perbandingan
satuhal tertentu dengan hal lain yang serupa. Membandingkan objek tidak asal
dibandingkan, tetapi yang ada kemiripannya. Analogi menjadi penting setelah
timbulnya kesadaran akan terbatasnya akal manusia, sementara objek selalu
berubah disamping manusia sendiri bersifat dinamis.
4.
Metode Fenomenologi
Fenomenologi merupakan metode untuk
memahami realitas dengan pikiran yang rasional melalui sinar atau gejala.
Gejala itu selalu menunjuk kepada dua hal; ke arah yang ada di luar dan ke arah
kesadaran manusia. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah gejala yang
masuk ke dalam kesadaran. Untuk itu kesadaran manusia kemudian mengadakan
proses Reduksi Fenomenologi I. Proses ini adalah pembersihan atas gejala yang
nyata dan yang semu (tidak nyata). Dicari gejala yang berasal dari sumber
aslinya. Tingkat selanjutnya ialah proses Reduksi Fenomenilogi II, yaitu
kesadaran mengenali objek.
Kesadaran manusia, proses selanjutnya
mencari hakekat dari realitas (objek) tadi disebut Numata atau Numin.
Ini berarti mencari hal yang tetap dari objek tadi. Di sinilah kesadaran
menusia kemudian mengenal hakekat yang sebenarnya. Demikianlah fenomenologi
sebagai metode dipelopori oleh seorang filsuf Jerman, Edmund Husserl.
5.
Metode Refleksi
Refleksi hampir sama dengan introspeksi
tetapi kalau introspeksi itu hanya mengontrol diri sendiri sedang refleksi
sesudah mengontrol diri kemudian dipergunakan untuk menghadapi objek. Proses
terjadi kerena tersentuh oleh objek yang berada diluarnya. Jika dilukiskan
bentuknya seperti sistem yang terbuka. Ini berarti ada masukan olahan dan
proyeksi. Refleksi sangat penting bagi setiap ahli karena merupakan pemikiran
matang yang sebenarnya. Jadi dengan mencoba memeriksa diri sendiri,
mengevaluasi diri untuk dapat diterapkan kepada hal lain yang kemudian
menimbulkan kesadaran kesadaran akan kenyataan dan kebenaran.
6.
Metode Intuitif
Intuitif dalam hal ini dianggap sama
artinya dengan intuisi. Intuisi berasal dari kata intuitio dan ini dari intereri
yang artinya kurang lebih menimbang atau menilai. Pengetahuan intuitif berbeda
dengan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang
diperoleh secara langsung. Sebagai metode, filsuf Prancis, Henry Bergseon, yang
menganggap bahwa segenap pengetahuan itu bersifat terpisah-pisah. Ini berarti
realitas itu diterima manusia sepotong-potong.
Objek materiil yang diterima menusia
lewat panca indera maupun lewat akal tidak lengkap. Metode intuisif merupakan
suatu kegiatan penalaran (cognitia) langsung dengan seluruh aspeknya.
Jadi dalam hal ini merupakan kemampuan untuk memahami kebenaran secara total,
spontan tanpa melalui penalaran logis terlebih dahulu. Metode ini digunakan
untuk memahami realitas yang sifatnya kompleks. Metode ini menjadi penting
artinya karena timbulnya kesadaran akan kemampuan manusia yang tidak sempurna
dalam menghadapi sesuatu. Tingkat kebenaran pengetahuan ini terbukti dengan
sendirinya (self evident).
7.
Metode Analisis Bahasa
Metode analisis bahasa, dalam hal ini
titik berat pada segi pemakian bahasa. Ini berarti filsuf harus kritis dalam
menggunakan bahasa. Akan tetapi sering hal ini mementingkan segi bahasa atau
perincian kata yang justru sering tidak membahas masalahnya.
8.
Metode Kebidanan Socrates
Metode kebidanan Socrates, Socrates
mencoba memahami filsafat ini dengan cara seperti bidan akan menolong kelahiran
bayi. Ia mencoba melacak penggunaan bahasa dan mencoba menafsirkan suatu arti
terus-menerus hingga akhirnya akan menemukan hakiki yang dicarinya.
Jika metode berfilsafat diartikan sebagai
cara bagaimana berfilsafat, maka penulis mencoba menggali hal tersebut sehingga
menemukan metode berfilsafat yang sudah diarahkan dalam Al-Qur’an, yakni pada
QS An-Nahl (16): 11 hingga 15. Pada tiap akhir dari lima ayat tersebut, kita
dapat menggunakannya sebagai proses berfilsafat atau cara berpikir yang baik,
sesuai dengan apa yang telah Allah arahkan sebagai berikut:
Setelah memikirkan proses yang telah disampaikan di atas, maka penulis
merasa yakin bahwa ayat 11-15 Q.S. An-Nahl adalah metode yang dapat digunakan
dalam berfilsafat, baik filsafat keagamaan (filsafat Islam maupun filsafat
hukum Islam) maupun filsafat umum. Untuk itu,
pola pemikiran filsafat yang berarti berpikir secara mendalam dan komprehensif
dapat diaplikasikan ketika menelaah suatu dalil (nash atau hadis). Hal ini
disebabkan akal tak akan
enggan menerima pengetahuan wahyuni. Sebaliknya, wahyu pun tidak mungkin
membuka diri bilamana akal ditanggalkan, sebab keduanya merupakan bukti ilahi.
Khususnya tentang kebebasan akal dan
logika, filsafat hukum Islam menempatkannya secara proporsional. Di mana akal
dengan potensi luarbiasa dibebaskan untuk berkarya dan berpikir dalam
penderivasian hukum dengan naungan dan sinaran wahyu. Oleh karena itu, tidak
akan terjadi pengagungan akal, bahkan sampai menuhankannya, ataupun
mendiskreditkannya untuk di “kerangkeng” untuk tidak berinisiatif dan jumud. Kemajuan
dan tantangan zaman yang berkembang akan menuntut mobilisasi akal dalam
merespon dan memberi solusi atas berbagai tantangan tersebut dengan
ijtihad-ijtihad yang digariskan ushul fikih, tanpa harus menanggalkan kekuatan
iman.
Kemudian seorang imam madzhab fikih yang
dikenal dengan ahl al-ra’y (ahli logika), Abu Hanifah, meskipun dikenal
dengan kepiawaiannya dalam berlogika, tetapi ia bukan seorang yang
mengedepankan akal atas nash Al-Qur’an dan al-Sunnah.” Jelas
hal ini menunjukan bahwa imam Abu Hanifah mengikuti hirarki otoritas dalam
epistemologi Islam.
Dengan konsep dan sumber hukum Islam
yang khas, akan menafikan adanya penyimpangan dan kesalahan dalam memproduksi
hukum. Segala jenis ilmu dari berbagai sumber referensi ilmu, baik al-Sunnah,
pengalaman, akal, atau intuisi disesuaikan dengan standar Al-Qur’an. Oleh
karena Al-Qur’an tidak ada persinggungan sedikit pun di dalamnya, baik isi
lafaz atau pun maknanya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
xsùr& tbrã/ytFt
tb#uäöà)ø9$#
4
öqs9ur
tb%x.
ô`ÏB
ÏZÏã
Îöxî
«!$#
(#rßy`uqs9
ÏmÏù
$Zÿ»n=ÏF÷z$#
#ZÏW2
ÇÑËÈ
“Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al-Qur’an? kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” {Q.S. An-Nisa (4):82}
Maka dalam menyeleksi tafsir
ataupun istinbat (derivasi) hukum pun disesuaikan dengan Al-Qur’an.
Kemudian melihat bahwa
sesungguhnya filsafat ada dalam kehidupan sehari-hari tentu kita tidak dapat
mengabaikannya meskipun kita tak mengatakannya sebagai filsafat. Sebagaimana
telah disampaikan dalam karakteristik berfikir filosofik di atas, maka
sesungguhnya proses berijthad sesungguhnya adalah bagian dari berfilsafat itu.
Bagaimana dalam menetapkan suatu hukum yang baru, ulama memerlukan konsesnus
dari beberapa ahli sebagai masukan pertimbangan dalam penetapan hukum.
C.
Tujuan Filsafat Hukum Islam
Mulla Sadra mengkritisi pemikiran filsafat Islam ke dalam
pendekatan sintesis akhir berbagai pemikiran filsafat. Basis utama pemikirannya
yaitu bertumpu pada ajaran
Al-Qur’an dan al-Sunnah,
filsafat peripatetik, iluminatif,
kalam sunni dan
syi’i serta irfani (gnosis).
Mulla Sadra membuat sistesis
secara menyeluruh yang kemudian ia namakan al-hikmah al-muta’aliyah. Mulla Sadra
merasa yakin bahwa ada tiga jalan terbuka bagi manusia untuk memperoleh
pengetahuan; wahyu, akal dan intelektual
(‘Aql) dan visi
batin atau pencerahan
(kasyf).
Indra lahiriah semata tidak cukup untuk kehidupan bermasyarakat, maka dari itu
manusia dibekali dengan akal yang mengarahkannya ke jalan-jalan kehidupan,
melindunginya dari kekeliruan dan penyimpangan, serta mengoreksi baginya
kesalahan-kesalahan indrawi dan mencegahnya tergelincir dalam arus hawa nafsu.
Perhatian utama para filsuf adalah
bagaimana memahami permasalahan filsafat dan menemukan jawabannya, entah apa
pun manfaat praktisnya. Pada umumnya, para filsuf setuju bahwa upaya mencari
dan mencapai pengetahuan itu sendiri merupakan tujuan yang penting. Usaha itu
semata-mata menggambarkan suatu harsat untuk menyelidiki sauatu permasalahan
filsafat demi permasalahan itu sendiri.
Orang awam membuktikan sesuatu dengan
cara-cara retorik (emosional). Para teolog membuktikannya dengan cara-cara dialektik
(hipotetik). Sedangkann pada filsuf dengan cara argumentatif (aksiomatik).
Itulah tujuan yang ingin dicapai dalam berfisafat. Sehebat apa pun suatu
pemikiran, kalau berupa pemikiran semata, hanya akan memperkaya wacana-wacana
yang bersifat abstrak dan melangit, terkadang kabur tanpa meninggalkan bekas
sama sekali. Pemikiran memiliki pasangan atau sambungan yang keduanya harus
bergerak sinergis, yaitu aksi atau tindakan riil.
Realitas Al-Qur’an dan wahyu yang bisa
diakses oleh manusia, mestilah menduduki posisi sentral bagi seseorang yang
hendak berfilsafat di Dunia Islam. Hal ini kan mengarahkannya pada sejenis
filsafat yang menempatkan kitab wahyu bukan hanya sebagai sumber-tertinggi
pengetahuan bagi hukum-hukum keagamaan, melainkan juga bagi hakikat eksistensi
dan sumber segala eksistensi.
Sebab intisari filsafat Islam berada di seputar wacana bagaimana para filosof
Islam menafsirkan doktrin tauhid.
D.
Manfaat Filsafat Hukum Islam
Falsafah ialah ilmu istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah
yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah
termaksud berada di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Orang
yang berpikir ilmiah tidak akan terjebak atau terpengaruh oleh hal-hal yang
tidak masuk akal.
Studi filsafat hukum Islam berguna untuk menjadikan hukum Islam sebagai sumber
hukum yang tidak kering bagi perundang-undangan dunia.
Di antara manfaat mempelajari filsafat hukum Islam antara lain adalah:
1. Menjadi tahu
mengenai pengertian tentang filsafat hukum Islam dan objek kajiannya;
2. Menjadikan
filsafat sebagai pendekatan dalam menggali hakikat sumber dan tujuan hukum
Islam;
3.
Dapat membedakan kajian ushul fiqh dengan filsafat terhadap hukum
Islam;
4.
Mendudukkan filsafat hukum Islam sebagai salah satu bidang kajian
yag penting dalam memahami sumber hukum Islam yang berasal dari wahyu maupun
hasil ijtihad ulama;
5.
Menemukan rahasia-rahasia Al-Qur’an syariat di luar maksud
lahiriahnya;
6.
Memahami illat hukum sebagai bagian dari pendekatan analitis
tentang berbagai hal yang membutuhkan bawaban hukumnya sehingga pelaksanaan
hukum Islam merupakan jawaban terhadap situasi dan kondisi yang terus berubah
dinamis;
7.
Membantu mengenali unsur-unsur yang harus dipertahankan sebagai
kemapanan dan unsur-unsur yang menerima perubahan sesuai dengan tuntunan
situasional.
Dengan begitu, kehadiaran filsafat hukum
Islam diharapkan mampu memberi nuansa tersendiri agar pelaksanaan hukm Islam dalam tumbuh dan
berlajan di masyarakat. Sebab, masyarakat yang bahagia ialah masyarakat yang
didukung jalinan hubungan cinta kasih anatar sesama manusia, dalam semangat
cinta kasih Ilahi yang suci.
Untuk mendapat kesadaran sepert itu (hikmah) kita jangan melihat sesuatu secara
terpotong dan terpisah.
E.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sederhana yang di
atas, penulis ingin mengambil kesimpulan bahwa mempelajar dan mempraktikkan
filsafat hukum Islam adalah hal yang sangat penting dilakukan. Sebab, hal ini
terkait dengan aplikasi hukum Islam itu sendiri. Mengetahui hikmah tentang
suatu hukum dan mendalaminya tentu akan memberikan semangat tersendiri dalam
menjalankan hukum Islam yang tujuannya adalah mengatur kehidupan manusia dan
untuk kemaslahatan.
Wa Allah a’lam.