BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Negara harus berusaha mempertahankan hukum ketertiban dan keamanan
dengan wewenang dan kekuasaan untuk menjatuhkan hukum pidana yang memengaruhi
kehidupan, kebebasan, dan pemilikan individu. Penerapan hukum pidana tidak
hanya menyebabkan hilangnya jiwa, kebebasan dan milik individu, tetapi juga
cacat sosial, keperihan, dan penderitaan psikologis.
Berkenaan dengan
kategori jarimah (tindak pidana), tidak ada perbedaan mendasar antara pendapat
al-na’im dengan kategori yang sudah dikenal dalam hukum pidana islam, yaitu :
huddud, jinayat, dan ta’zir. Dalam hal jinayah, jinayah meliputi pembunuhan dan
melukai anggota badan yang dapat dikenai
hukuman qisas (balasan setimpal) atau diyat (denda uang).
Hukum pidana
sangat berpotensi menimbulkan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM,
khususnya untuk jarimah hudud. Namun, karena tidak ada ayat yang dapat
dijadikan landasan untuk menentang ayat-ayat yang sangat eksplisit dan tegass
dalam menetapkan hudud, maka tidak ada cara yang sah untuk menghapus dan
membatalkan hukuman tersebut kecuali hanya membatasi saja.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Persoalan Administrasi Hukum ?
2.
Bagaimana Identifikasi, Definisi dan Ruang Lingkup Hudud ?
3.
Bagaimana Rasionalisasi Keagamaan Hudud dalam Standar Hukum
Internasional ?
4.
Bagaimana Persoalan Diskriminasi di Depan Hukum ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui bagaimana persoalan administrasi hukum.
2.
Untuk mengetahui bagaimana identifikasi, definisi dan ruang lingkup
hudud.
3.
Untuk mengetahui bagaimana rasionalisasi keagamaan hudud dalam
standar hukum internasional.
4.
Untuk mengetahui bagaimana persoalan diskriminasi di depan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Persoalan Adminnitrasi Hukum
Masalah adminitrasi hukum kini hadir
sebagai isu paling menonjol dan kontroversial dalam perdebatan tentang
penerapan syari’ah. Masalah tersebut harus dipecahkan baik pada level teori
maupun praktik sebelum hukum pidana islam diterapkan. Melakukan survei perinci
tentang adminitrasi peradilan pidana yang terjadi dalam sejarah islam terasa
sulit dilakukan, karena tidak tersedianya informasi historis yang andal. Akan
tetapi, dapat diasumsikan, bahwa banyak kebijakan adminiratif dilakukan dalam
adminitrasi peradilan pidana dalam berbagai tahapan sejarah kaum muslimin.
Penerapan hukum pidana syari’ah yang
semakin surut, menurut pandangan al-Na’im, tidak semata-mata disebabkan oleh
dominasi Barat atas seluruh dunia muslim, tetapi juga disebabkan oleh keeadaran
hukum kaum muslimin sendiridan konsep-konsep syari’ah yang ada kurang memadai.
Syari’ah historis hanya sedikit membicarakan masalah-masalah pelaksanaan hukum
praktis yang penting. Ini membuka jalan bagi forumalasi modern dipandang dari
sudut pertimbangan-pertimbangan kebijakan islam. Para ulama dan ahli hukum
Muslim awal tidak membedakan aspek perundungan, etika, dan agama dalam
syari’ah, apalagi memilih bidang-bidang hukum tertentu secara terpisah.
Negara-negara islam diwajibkan menghormati standar-standar yang ada dalam
dokumen-dokumen hukum internasional, khususnya yang berhubungan dengan
adminitrasi hukum pidana karena mereka harus melindungi hak-hak warga negara
asing yang berada di dalam batas-batas geografis mereka.
Dengan demikian, implikasi dari perspektif
pelaksanaan hukum pidana syari’ah dalam suatu masyarakat yang multi-agama
terlihat dengan jelas. Standar-standar konstitusional dan internasional yang
disebut al-Na’im sebagai konsensus masyarakat internasional yang mempunyai
otoritas politik dan moral (jika bukan legal) tinggi, di antaranya Deklarasi
Universal hak-hak asasi manusia tahun 1948.
Pada umumnya, dianggap tidak adil
bagi suatu negara yang menghukum orang yang tunduk pada yuridiksi hukum
pidananya tanpa seseorang itu mengetahui legalitas materi-materi hukum pidana
tersebut. Dalam konteks hukum pidana islam, para penulis modern telah
mengidentifikasi tiga kategori pokok pelanggran, yakni: hudud, jiayat, dan ta’zir.
Dilihat dari perspektif risalah awal fiqh Islam yang mewakili watak nondiskriminatif,
maka perlakuan khusus dalam hal ini prosedur pembuktian, maka perlakuan khusus
dalam hal prosedur pembuktian memang diperdebatkan.
Ketidaksepakatan mengenai perincian
yang pasti tentang prinsip pemisahan kekuasaan dalam legislasi pidana oleh lembaga
legislatif dan eksekutif yang independen dan secara teknis berkompeten dapat
saja terjadi. Problem-problem diatas, mengambarkan perlunya membicarakan
masalah-masalah tersebut sebelum menerapkan hukum pidana Islam. Dengan
Institusionalisasi adminitrasi peradilan pidana yang sesuai, termasuk komponen
hukum adat, tidak heran jika proklamasi kemerdekaan politik pada bulan januari
1956 tidak membawa perubahan signifikan dalam lapangan ini.
Keberatan konstitusional atas
undang-undang yang diskriminatif berdasarkan agama dan gender dapat muncul dari
undang-undang pembuktian negara sudan 1983 yang mencerminkan diskriminasi
seperti ditentukan syari’ah. Lebih lanjut, untuk menjamin penyesuaian yang
tuntas terhadap aturan-aturan syari’ah menyangkut kasus-kasus tertentu. Pasal
81 undang-undang itu menyatakan tidak ada ketetapan undang-undang tersebut yang
dapat ditafsirkan dengan cara tidak sesuai dengan syari’ah. Dengan demikian,
kompetensi kesaksian dalam undang-undang ditetapkan sesuai dengan syaria’ah,
meskipun term-term yang digunakan dalam pasal 27 undang-undang itu bersifat
netral.
Selain itu, meskipun mayoritas
penduduk sudan muslim, tetapi tingkah laku sehari-hari mereka hampir tidak
mempertahankan ketentuan islam. Banyak muslim sudan minum minuman yang
memabukkan tak peduli larangan syri’ah atas perbuatan tersebut. Beberapa
tindakan pemerintah mantan Presiden Numeyry pada akhir tahun 1970-an dan awal
tahun 1980-an dilihat oleh orang sudan selatan sebagai bukti niat jelek dan
hasrat untuk mencabut kesepakatan tahun 1972.
Walaupun para pengamat berbeda dalam
menilai sebab-sebab sosial ekonomi, politik konflik utara-selatan di sudan,
namun mereka sepakat bahwa pemberlakuan syari’ah adalah salah satu penyebab
utama. Dalam kasus apapun, pertunjukan pemotongan tangan dan hukuman kejam
lainnya yang dikenakan pada non-muslim, bersama dengan bukti diskriminasi yang
jelas atas dasar agama, memperkuat motivasi nonmuslim sudan untuk melanjutkan
perang saudara. Prinsip-prinsip hukum pidana Barat telah mengganti hukum pidana
syari’ah disebagian besar negara muslim, ada perdebatan sengit tentang masa
depan sistem perundang-undangan meraka, khususnya aspek-aspek hukum pidana yang
mengikuti dua model.
Implementasi standar hukum publik
syari’ah yang adil, dalam pandangan an-Na’im, adalah dengan membangun hubungan
yang sangat erat dengan persepsi masyarakat mengenai legitimasi standar-standar
hukum publik yang baru, sebab kemungkinan menerima dan melaksanakan standar
hukum publik yang baru lebih mudah apabila umat islam menerima norma dan nilai
yang sah dari sudut pandang kulturnya sendiri.
Menurut Al-Na’im, sebagai ajaran
suci, syariah haruslah dilaksanakan setiap muslim secara sukarela. Karena itu,
penerapan oleh negara secara formal dalam bentuk formalisasi syariah akan
membuat ia kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya.
B.
Identifikasi, Defini dan Ruang Lingkup Hudud
Hudud merupakan hukuman yang sudah ditetapkan baaik itu dalam
al-quran maupun sunnah terhadap perilaku perilaku yang dipandang menyimpang
oleh syariat. Jenis hudud ada enam yaitu:
a.
Sariqah (pencurian)
b.
Harabah (pemberontakan atau perampokan besar dijalan)
c.
Zina
d.
Qadzf (menuduh zina)
e.
Sukr (mabuk)
f.
Riddah (keluar dari islam)
Dalam bagian ini akan dibahas relevasi pembenaran penologis yang
berkaitan dengan pelanggaran hudud dengan memberikan beberapa contoh
problem-problem yang dikemukakan na’im dan melakukan repleksi terhadap masalah
tersebut yaitu :
Pertama masalah
fudemental dalam menentukan jumlah hudud dan mendifinisikannya adalah darimana
menjabarkanya. Jenis hudud ada 6 yaitu: Sariqah (Pencurian). Harabah
(Pemberontakan atau perampokan besar di jalan). Zina, Qadzaf (Menuduh Zina).
Sukr (Mabuk), Riddah Keluar dari Islam.
Kedua, Sebagian
Risalah Fiqih Islam Menyebutkan Had Ketujuh yang disebut Al-Baghy, yakni
pemberontakan bersenjata menentang Negara islam. Akan tetapi karena ayat
al-quran biasanya dinyatakan sebagai sumber hadd al-baghy ini tidak menetapkan
hukuman individu, maka keberadaan hadd al-baghy yang independen diragukan.
Ketiga. Ketetapan Hudud sukr ( mabuk) dan riddah (Murtad) juga
diragukan oleh na’im. Al-na’im juga menggugat hukum islam yakni hukuman dengan
sunnah sebagai sumber hudud. Al-quran menentukan seratus cambukan untuk zina
tanpa mengaitkan status perkawinan pelaku. Adapin sunnah menetapkan hukuman
pelemparan dengan batu sampai mati jika pelaku sudah menikah.
Keempat.
Masalah Fudemental. Lainya adalah dalam menetukan jumlah hudud dan definisinya
masing-masing darimana menjabarkanya. Apakah hudud itu hanya terbatas pada
pelanggaran yang hukumannya secara tegas ditetapkan dalam al-quran atau
termasuk pelanggaran-pelanggaran yang hukumannya disebut dalam sunah saja.
Kelima. Terkait
dengean pengertian pemberontakan al,naim mempertanyakaan definisi pelanggaran
itu sendiri dan unsure-unsurnya.
Dalam membahas
persoalam-persoalan atau keberatan-keberatan yang telah dikemukakan diatas
na’im mengemukakan bahwa legilasi harus mendefinisikan prinsip-prinsip umum
untuk tindak pidana yang tidak memenuhi syarat-syaat tanggung jawab pidana.
Pendapat na’im ini dapat
dipahami maksudnya agar setiap aspek yang terkait dengan hudud teridentifikasi
dengan baik sehingga pertanggung jawaban hukumnya menjadi jelas baik mengenai
subtansi-subtansi pelanggaran maupun pelakunya.dalam yurisprudensi islam historis
hanya membedakan hudud atau jinayat dengan tazir dalam pendekatan dan
pengategorian secara terpisah pisah, kekuasaan tazirpun tidak digunakan secara
kolektif melalui pembuat hokum.
Pada Prinsipnya tidak ada wewenang keagamaan islam untuk menghapus Hadd
terhadap suatu pelanggaran, walaupun disana mungkin terdapat celah untuk
mempertimbangkan kondisi umum dan khusus
bagi pelanggaran-pelanggaran tertentu di dalam batasan umum al.,quran dan
sunah. Suatu pendekatan radikal guna mempebaharui aspek-aspek hukum public
syariah telah disarankan dalam bagian studi ini. Jika hal ini menjadi criteria
maka hudud hendaknya dibatasi pada empat pelanggaran pertama yakni sariqah,
haraba,zina dan qafzh karena hanya pelanggaran itu yang hanya terdapat dalam
teks al qur’an.
Selain itu pandangan yang
terbatas tentang sumber-sumber hudud direkomendasikan oleh peoblem-problem
tertentu terkiat dengan dua hudud yang lain yakni sukr dan riddah. Dikalangan
para ahli hukum islam atas banyak aspek pelenggaran yang memasukan jumlah
cambukan tertentu untuk dikenakan
sebagai hukuman.
Dapat di jelaskan , bahwa
kasus yang diperintahkan untuk dihukum, lebih merupakan contoh khusus bagi
penggunaan ta’zir (hukuman berdasarkan kebijaksanaan ). Daripada penjelasan hukuman tertentu dan pasti yang membuat pelangaran suatu had. Dalam
persoalan Riddah menurut na’im walaupun ridah keluar dari islam namun
alquran mengkecam namun alquran tidak
menetapkan hukuman apa pun untuk riddah.
Keseluruhan pendapat al-Na’im tentang hukuman terhadap riddah menunjukan bahwa hukuman
dimaksud tidak seharusnya ada dalam hukum public syariah karna bertentangan
dengan hati nurani manusia dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kebebasan
beragama adalah hak manusia sebagai kebutuhan dasar, karena setiap manusia
sejatinya memiliki hak dasar tersebut.
Penegasan mutlak meniscayakan untuk tidak melakukan hal-hal yang
bukan sekedar pelarangan petlakuan terhadap pemaksaan tersebut. Kaidah
pelarangan dalam nafyu jinsi adalah lebih kuat dan lebih mendalam pelarangannya.
Bahwa prinsip kebebasan beragama ini selalu di kaitkan dengan kewajiban
berjihad dalam islam.
Menurut pandangan Al-an’naim kebijakan modern yang masuk akal
tersebut menyatakan ruang lingkup hudud yang terbatas ketimbang ruang
lingkup yang lebih luas. Penafsiran yang luas dan opensif itu tidak dapat
dinafikan oleh suatu keputusan kebijakan yang pasti dan mendukung penafsiran
yang lebih sempit. Di sampimg itu upaya pembaruan Al-an’im menjadi gagal karena
hukum pidana syariah itu sendiri merupakan aturan yang berpeluang besar untuk
menimbulkn kejahatan kemanusiaan dan melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu
mengekang kebebasan berfikit dan agama
C.
Rasionalisasi Keagamaan Hudud dalam Standar Hukum Internasional
Kebenaran logika keyakinan agama mungkin berlaku bagi orang yang
beriman, namun permasalahannya ia tidak memilki validitas bagi orang yang tidak
beriman. Kecuali jika hudud bisa dibenarkan atas dasar rasional. Sebab hukum
tersebut secara rasional tidak bisa diberlakukan terhadap non-Muslim.
Persoalan pendekatan terhadap hukuman pidana itu mungkin juga
ditentang karena dianggap sebagai diskriminasi. Seorang warga muslim mungkin
keberatan menjadi objek hukum yang tidak bisa diterapkan pada warga non-Muslim.
Pembebasan non-Muslim dari penerapan hudud dapat menimbulkan berbagai problem
yang serius termasuk masalah menentukan afiliasi agama pelaku. Jika hudud
diterapkan hanya kepada umat islam dan riddah tidak bisa dikenai hukuman mati,
seorang pelaku pelanggaran mungkin berusaha menghindari hukuman hadd dengan
menolak beriman pada islam. Dengan demikian diperlukan keputusan otoritatif
terhadap isu-isu pelanggaran pidana.
Abdullahi Ahmad an-Na’im, ketika mengomentari hukum islam yang
berhubungan dengan urusan publik seperti hukum huddud, qishas, dan lain
sebagainya mengatakan, hukum publik yang terkandung dalam syariah adalah
sepenuhnya dapat dijadikan landasan dan konsisten dengan konteks historisnya.
Berbagai aspek dalam hukum publik syariah konteks politik negara bangsa dan
tatanan internasional tidak lagi akurat. Menurut logika syariah sebagai hukum
keagamaan, sekali Al-Quran dan Sunnah berbicara jelas dan pasti, maka orang
beriman tidak memiliki pilihan lain kecuali patuh. Pembenaran rasional mungkin
membantu orang beriman memahami kebebasan dan alasan aturan tersebut, tetapi
gagal menemukan kebenaran yang objektif dan memadai yang tidak membebaskannya
dari memenuhi kewajiban tersebut.
Dengan cara ini, sejauh umat menyangkut islam, pertimbangan-pertimbangan
sosiologis dan penologis tidak dapat memengaruhi prinsip huddud. Dengan kata
lain, keberadaan huddud sebagai bagian dari hukum pidana suatu negara islam
adalah tidak lepas dari keberadaan atau kuatnya pembenaran sosiologis maupun
penologis. Literature penologi kontemporer berusaha menentukan kebijakan pidana
dalam mempertimbangkan ganti rugi (retribution), penangkalan (deterrence), dan
perbaikan (reform) pelaku pelanggaran.
Ustadz Mahmoud menjelaskan bahwa jika yang menerima ganti rugi
berada pada posisi yang sama dengan posisi korbannya dan matanya dicabut
seperti yang terjadi pada korban tersebutm, maka dua tujuan telah terpenuhi
dalam waktu yang sama. Ia membenarkan hukuman hudud dengan cara yang sama.
Dengan mengambil contoh hukuman hadd zina, ia mengatakan bahwa pelaku zina mencari
kesenangan dengan mudah tanpa menghiraukan syariah (hukum), maka mereka dibuat
menderita agar memperoleh kembali perasaannya. Penalaran ini bisa jadi
meyakinkan dan tidak bisa jadi tidak meyakinkan bagi non-Muslim.
Bagaimanapun juga harus ditekankan, bahwa keyakinan umat islam
terhadap huddud untuk kemaslahatan non-muslim dan umat islam tidak relevan dari
sudut pandang non-Muslim yang tidak terlibat dalam keyakinan tersebut. Namun
ada otoritas tinggi dalam syariah untuk memberlakukan hukuman had tertentu
terhadap non-Muslim. Misalnya, pemahaman bahwa pelemparan batu hingga mati bagi
para pezina yang terikat perkawinan merupakan bagian dari hukum Yahudi.
Al-Na’im menyatakan bahwa rasionalisasi keagamaan huddud adalah
pembenaran yang tidak memadai untuk memasukan pelanggaran-pelanggaran tersebut
dan hukuman-hukumannya kedalam hukum pidana negara bangsa modern karena tidak
ada upaya yang pernah dibuat untuk menjustifikasi hudud dalam tren-tren
sosiologis dan penologis lintas-kultural dan lintas agama. Dari
sudut pandang islam, na’im memberi argumentasi bahwa prinsip-prinsip islam yang
fundamental tentang kebebasan beragama dan keadilan dalam pemerintah dengan
jelas memberi indikasi bahwa undang-undang pidana islam tidak harus
diberlakukan terhadap non-muslim yang tidak menghendakinya. Terlalu banyak
peluang untuk penyalahgunaan huddud jika ia diberlakukan terhadap warga negara
di negara syariah mutakhir. Umat islam secara umum lebih tidak terikat oleh
ajaran iman mereka yang fundamental untuk memidanakan tindakan tertentu atau
membebankan suatu bentuk hukuman yang ada daripada dalam kasus-kasus hudud dan
jinayat.
Semua aspek hukum pidana modern telah dihubungkan dan
dirasionalisasi, dengan mengacu pada kebijakan pidana dan teori tanggung jawab
pidana yang komprehensif dan konsisten, sesuai dengan standar konstitusional
dan internasional. Sifat hukum pidana syariah dengan berbagai kekurangan dan
ketidaksesuaiannya yang serius dengan standar-standar modern, memungkinkan
terjadinya manipulasi politik, bahkan dapat dikatakan menjadi suatu
keniscayaan. Di satu pihak, umat islam yang taat beragama menganggap hukum
pidana syariah adalah sah dan mengikat karna otoritas keagamaannya, dan
mengbaikan pembenaran penologis yang mendukungnya. Di lain pihak, karena faktor
agama islam tidak sesuai dengan non-muslim dan tidak diambil sebagai kewajiban
oleh kaum muslim sekular, maka hukum pidan syariah harus disesuaikan dengan
segmen-segmen penduduk yang non-muslim.
D.
Persoalan Diskriminasi di Depan Hukum
Pembunuhan dan melukai anggota badan disebut didalam jumlah text
al-Qur'an dan Sunnah. Sehubung dengan sifat yuridis dan pelanggaran-pelanggaran
itu kita hanya mempunyai kutipan Al-Qur'an 2:178 dan 5:45 untuk
mengilustrasikan problem-problem tertentu.
Unsur kebijakan yang diberikan kepada korban atau sanak keluarganya
dalam kedua ayat itu, mengeluarkan jinayat dari kategori hudud yang tegas,
menurut al-Na'im karena ada kebijaksanaan yang tidak sama. Al-Na'im
menduga, bahwa kebijaksanaan dalam jinayat ini secara jelas ditafsirkan dengan
sudut pandang dan kebiasaan suku yang berlaku ada masyarakat muslim awal. Baik
orang yang diberi wewenang untuk menggunakan kebijaksaan tersebut maupun
kompensasi (diyat)yang tepat ditentukan oleh praktik kebiasaan suku Arab abad
ketujuh. Sunnah dan praktik Muslim awal memberikan masukan terperinci Prinsip
jinayat ini.
Pertimbangan ini memerlukan jaminan tersendiri untuk diperkenalkan
dalam urusan peradilan modern. Secara umum dapat dinyatakan, bahwa semua
jinayat digolongkan sebagai tindakan pidana dilihat dari sifat tindakan
tersebut serta serta konsekuensi-konsekuensi serius bagi terdakwa.
Kebijaksanaan pribadi dapat memberikan pilihan menuntut atau
menerima diyat dalam kasus-kasus tertentu. Pengadilan harus menentukan jumlah
diyat dari sudut pandang prinsip-prinsip yang telah mapan untuk menilai
kerusakan, tanpa terpaku pada aturan-aturan konstitusional dalam konteks
negara-negara modern.
Para ahli hukum awal tidak perlu membicarakan isu-isu tersebut
karena mereka tidak dapat memikirkan waktu itu. memang benar secara prinsip
bahwa tindakan pidana dapat menarik kesimpulan ada kompensasi uang juga
pemberlakuan hukuman terhadap pelakunya. Namun, an-Na'im beranggapan penting
untuk menentukan sifat dasar tindakan tersebut dengan sudut pandang
perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam aturan-aturan pembuktian dan prosedur
yang dapat diterapkan terhadap masing-masing tipe tindakan. Sebagai masalah
kebijakan penting untuk mempertahankan perbedaan-perbedaan tersebut dan
penerapannya dalam praktik hukum sehari-hari pada tahap praperadilan,
peradilan, maupun pascaperadilan terhadap tindakan tersebut.
Akhir dari uraian bab ini, sama halnya dengan ide-ide tentang
konstitusionalisme,dalam hukum hal pidana, buah pikiran al-Naim yang memandang
penting uandang-undang hukum pidana islam dinegara-negara Muslim. Dan perlunya
kejelasan jenis-jenis pelanggaran hudud, juga perlunya rasionalisasi ulang
konsep teknik pelaksanaan hudud disebabkan konsep yang lama tidak tidak bisa
diterapkan lagi dalam kehidupan masyarakat modern karena norma dan nilai-nilai
telah berubah,begitu pula ide tentang penghapusan berbagai diskriminasi didepan
hukum, semua ide ini juga berguna bagi diterimanya hukum publim syari'ah dalam
hukum internasional.
Tujuan dan legilasi hukum yang terkandung dalam pemikiran al-na’im
berada pada tingkat hajiyyat dan tahsiniyyat. Pada tingkat hajiyyat karena
pemikiran al-na’im itu diperlukan untuk menghilangkan kesempitan dan
menghindarkan seseorang dari penerapan sanksi hukum yang sangat memberatkan,
yang bisa menimbulkan ketidakadilan.
Jelaslah, pemikiran al-Na'im yang tidak mempermudah penerapan hudud
yang dapat dipandang sejalan konsep maqashid al-syari'ah yang bertujuan
memelihara hak hidup nyaman setiap orang secara universal, baik terhadap muslim
maupun non muslim agar senantiasa terwujud keadilan. Bertapa tidak, sekiranya
hukuman hudud dipaksakan untuk diterapkan dibumi pertiwi, sebagai rencana
penerapan qanun syari'ah islam di Aceh, yang hanya akan diberlakukan bagi umat
islam Aceh, maka yang akan kena hukuman hanya lah umat islam,sementara
non-muslim tidak terkena hukuman bukankah ini tidak adil. Begitu juga penerapan
hudud dengan mudah terhadap orang-orang yang tidak sepaham juga berarti dengan
mudahnya merampas martabat kemanusiaan.