MENYINGKAP ASAL
MULA RAMADHAN
Dr. H. Khoirul Abror,
MH
(Dosen Tetap Fakultas Syari’ah UIN
Raden Intan dan
Anggota MUI Provinsi Lampung)
Kini kita berada dalam suasana di gerbang pertapaan dan pelatihan disipin rohani di bulan
Ramadhan; Hampir tidak ada perbedaan yang menyolok dari Ramadhon tahun sebelumnya,
meskipun ramadhan tahun ini, kita memasuki dalam suasana yang penuh dengan
keperihatinan; Perihatin karena begitu banyak tumpukan dosa yang kita lakukan,
baik sebagai pribadi maupun sebagai
makhluk sosial.
Masih banyak rentetan dosa yang perlu dipertanyakan dalam diri pribadi yang
muncul dalam pikiran kita, namun jawabannya akan kita temukan setelah kita
merenung ulang sikap dan perbuatan kita sebelumnya (Q.S. Ar-Rum (30): 41) dan Ayat yang termaktub dalam Q.S Al-Baqarah (2):
183, jelas dan tegas ditujukan kepada orang-orang
yang “beriman” bukan hanya
sekedar orang Islam.
Antara Islam dan Iman merupakan satu kesatuan
yang saling mengisi, Iman tidak ada artinya tanpa amal saleh, dan amal saleh
akan sia-sia jika tidak dilandasi iman.
Berkaitan dengan Puasa, yang secara
terminologis ialah: Suatu ibadah yang diperintahkan Allah, dilaksanakan dengan
cara menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa termasuk menahan diri
dari perkataan sia-sia, perkataan porno (yang merangsang) dari terbit fajar
sampai terbenam matahari, menurut cara yang telah ditentukan syara’ dengan
disertai niat, sebagaimana dimaksud dan digambarkan dalam Q.S. Al-Baqarah (2):
187
Mengambil makna puasa dalam arti menahan diri
dari sgala yang membatalkan dan merusak nilai puasa; Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin, membaginya kepada tiga tingkatan; yaitu: (a) Puasa umum, (b) Puasa
Khusus dan (c) Puasa Khushus al-Khawash. Puasa dengan ragam
bentuk dan tujuannya dapat dihimpun oleh suatu esensi, yaitu “pengendalian diri”; Nabi menjelaskan, bahwa “rasa lapar dan dahaga bukan merupakan tujuan puasa”
Asal usul puasa ramadhan, berawl
dari Rasulullah tiba di Madinah (Tahun ke 2 hijrah), ia bersama sahabatnya
melaksanakan puasa tiga hari dalam setiap bulannya selama 17 bulan, yang
dimulai bulan rabi’ul awal, hingga rabi’ulawal dan sampai ramadahan;
Menurut riwayat Abu Daud dari Abdurrahman dari Mu’az:
“Puasa telah melalui tiga keadaan” Pertama; pada mulanya setelah Nabi
tiba di Madinah, sedang penduduk Madinah belum pernah berpuasa, Nabi dan para
Sahabat berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, (13-14-15) dan berpuasa pada
hari A’syura, hingga turunlah ayat tentang shiyảm: “Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu
bertakwa” (Q.S. Al-Baqarah (2): 183); …Dan bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika ia tidak berpuasa) hendaklah ia memberi makan seorang miskin
(fidyah), (Q.S. Al-Baqarah (2): 184) Pada masa ini, masih diharamkan orang
yang berpuasa untuk makan, minum dan bersetubuh setelah tidur pada malam hari,
atau sesudah shalat isya’. Dia tidak dibolehkan lagi makan apa-apa, Kemudian
ketetapan ini dimansukhkan, (yakni dibolehkan makan minum dan sebagainya hingga
terbit fajar).
Kedua; Setelah turun permulaan ayat shiyam
itu, para sahabat ada yang merasa keberatan; karenanya, ada yang puasa dan
ada diantara mereka yang memberi makanan kepada orang miskin (fidyah)
bagi yang tidak mengerjakan puasa, yaitu orang-orang yang berat mengerjakan
puasa, lalu
turunlah ayat: “berpuasa lebih baik bagi kamu”;
Ketiga; setelah turunnya ayat “berpuasa lebih baik bagi kamu”,
maka semuanya disuruh berpuasa saja “yang memansukhkan hukum yang telah
lalu” .
Sebelum masuk pada keadaan ketiga,
turunlah ayat “dihalakan bagimu pada malam bulan ramadhan bercampur dengan
isteri-isterimu”. Pertanyaan yang menggelitik hati, mengapa ayat itu
diturunkan?; perlu ditegaskan bahwa sebelum turun ayat ini, para Muslimin hanya
dibolehkan makan dan minum dan bersetubuh dimalam hari sesudah mereka berbuka
hingga mereka tidur, kalau sudah tidur walaupun masih diawal malam,
tidak boleh makan dan minum sesuatu apapun lagi;
Historis: Ketika Qais ibn Sirmah berpuasa, saat tiba
waktu berbuka dia kembali kerumahnya dari bekerja, dan meminta makanan kepada
isterinya. Ironisnya, oleh karena hari itu persediaan tidak ada, maka isterinya
minta izin untuk mencarinya. Oleh karena pada hari itu Qais habis bekerja
berat, tertidurlah Ia. Dan ketika isterinya pulang, suaminya didapatkan
berbaring/tertidur (karena lelahnya), berujarlah isterinya: “Kasihan engkau wahai suamiku”? lalu, pada pertengahan
hari berikutnya (esok harinya), Qais
jatuh pingsan. Oleh isterinya diterangkanlah kepada Nabi, lalu turunlah
ayat: ”dibolehkan bagi kamu mencampuri isterimu dimalam hari bulan ramadhan,
mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.
Dengan turunnya ayat itu sangat
bergembiralah para sahabat, seiring dengan itu pula turunlah ayat: “Makanlah dan minumlah
hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (Q.S. Al-Baqarah (2):
187). Dan Rasulullah hanya berpuasa 9 x ramadhan, karena perintah berpuasa
turun pada bulan Sya’ban tahun ke 2 H, sedangkan Rasulullah wafat pad bulan
Rabi’ul awal tahun ke-11. H; Sejak itulah sampai saat ini kita dibolehkan makan
dan minum dimalam hari pada bulan ramadhan.
Akhirnya dalam rangka perujudan mengisi
amaliah ramadhan ditengah hiruk pikuknya Indonesia yang ingin perubahan ini,
tidak salahnya momen ramadhan kali ini kita jadikan pintu menuju perubahan
dalam arti sesungguhnya, dan dikala ramadhan tengah memayungi jiwa dan hati
kita, ketika itu pula kita berupaya mengubur keserakahan, mengubur nafsu jahat
yang selam ini bersemayam sampai lubuk hati yang paling dalam, jika diwaktu
Ramahdan kita mampu membunuh nafsu lawwamah, mengapa diluar bulan
Ramadhan kita tidak berdaya, dan selalu diperdaya oleh budak nafsu.
Karenanya
mari kita isi amaliah ramadhan ini dengan melatih disiplin diri, melatih
pengendalian diri, disamping menjaga ucapan dan pembicaraan; Karena berbicara
yang benar dan baik merupakan salah satu dari bukti kebenaran iman seseorang.
Dan keharusan berbicara yang benar menurut Al-Qur’an diistilakan oleh Allah
dalam sebutan:
Qaulan Syadîdả, berbicara yang benar, jujur tidak berbohong
dan tidak berbelit-belit (QS. An-Nisa’ (4): 9); Qaulan Balîghả, berbicara yang dapat membekas dihati orang
lain (Q.S.An-Nisa’ (4): 63); Qaulan Maisứrả, merupakan
ucapan yang pantas sesuai dengan persoalan yang dibicarakan (Q.S. Al-Isra’
(17): 28); Qaulan Karîmả, merupakan
perkataan yang mulia, terutama terhadap yang lebih tua (Q.S. Al-Isra’ (17):
23); Qaulan laiyinả, perkataan
yang lemah lembut, tidak terbawa egois dan tidak terbawa nafsu (Q.S. Aṭ-Ṭảhả (20): 44); Qaulan Ma’rứfả, merupakan
kata yang baik, tepat, tajam dan mudah dipahami orang yang diajak bicara (Q.S.
An-Nisa’ (4): 5). Wallảhua’lam