TARAWIH ADALAH AJANG BERLOMBA
Dr. Agus Hermanto, M.H.I
Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa
mendirikan ibadah shalat pada bulan Ramadhan karena iman dan rasa berharap
(ridha Allah), maka niscaya diampuni oleh Allah swt., dosa-dosa yang telah
lalu” (HR. Bukhari Muslim). Shalat tarawih merupakan salah satu ibadah
sunah di malam hari bulan ramadhan, hal ini merupakan bagian dari mengharap
ridha Allah swt., agar mendapatkan
barakah bulan Ramadhan.
Tarawih adalah jama’ dari tarwih, yang berarti jalsah, disebut demikian, karena di
setiap empat rakaat biasanya duduk untuk beristirahat. Untuk menambah
semaraknya shalat tarawih, biasanya dipandu dengan bilal yang setiap dua rakaat
atau empat rakaat memandu jalannya shalat tarawih, dengan diiringi shalawat dan
mebaca nama-nama shahabat yang empat, yaitu Abu Bakar al-Siddiq, Umat bin
Khattab, Utsman bi Affan, Ali bin Abi Thalib, hal ini (panduan bilal) bukanlah
syari’ah yang diajarkan Rsul, melainkan hanya memandu jalannya serta khitmatnya
shalat, itu semua adalah bagian dari pelajaran bagi kita.
Hal ini tentunya berawal dari niat
yang tulus, karena segala sesuatu perkara tergantung pada niatnya sebagaimana
diterangkan dalam salah satu qaidah “al-umuuru bi maqashidiha”, yang
dipertegas dengan hadits Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya amalan itu tergantung
kepada niatnya”. Begitu juga dengan ibadah shalat tarawih, yang kita jalani
di malam bulan Ramadhan, apakah jumlah rakaat kita delapan atau dua puluh,
bahwa semua itu tidak menjadi masalah, asalkan niatnya lurus, tulus, ikhlas
mengharap ridha Allah swt.
Secara praktik di masyarakat kita, ada yang menjalankannya dengan
delapan rakaat, ada juga yang dua puluh rakaat. Adapun yang menjalankan delapan
rakaat adalah berdalil pada riwayat Aisyah ra.,
Rasulullah menjalankan shalat tarawih dengan empat rakaat dan dua kali
salam, dan disetiap empar rakaat beliau duduk sebagaimana diriwayatkan Aisyah ra., “Adalah Rasulullah melakukan shalat pada waktu setelah selesainya shalat
isya, hingga waktu fajar selama 11
rakaat mengucapkan salam pada setiap dua rakaat dan melakukan witir
dengan satu rakaat”. Idalam riwayat lain, Aisyah ra., ditanya “bagaimana sahalat Rasulullah saw., pada
bulan Ramadhan? Dia menjawab; “Beliau
tidak pernah menambah di rakaat atau di luarnya lebih dari 11 rakaat, maka
jangan ditanya btentang bagusnya dan lamanya, kemudian beliau shalat 3 rakaat” (HR.
Bukhari).
Adapun yang berpendapat 20 rakaat adalah sebagaimana telah diceritakan
kepada kami Ali, bahwa Ibnu Abi Dzi’ib dari yazid bin Khosifah dari as-Saib bin
Yazid, ia berkata: “ Mereka melaksanakan
qiyam lail di masa Umar di bulan Ramadhan sebanyak 20 Rakaat ketika itu mereka
membaca 200 ayat al-Quir’an” (HR. Ali bin al-Dza’id dalam Musnadnya).
Sebenarnya Rasulullah saw., melaksanakan
shalat malam tersebut sendiri, dengan mengajari dan memberikan contoh kepada
para shahabat, baru kemudian shalat tarawih tersebut dilakukan berjama’ah pada
masa Umat bih Khatab ra., atas
usulnya, karena beliau beranggapan bahwa shalat berjamaah lebih mulia daripada
harus dilaksanakan sendiri, adapun Rasulullah melaksanakan shalat tarawih
sendiri, karena beliau tidak mau menganggap bahwa shalat tarawih wajib
hukumnya.
Yang perlu dievaluasi bukan jumlah delapan atau dua puluh rakaatnya,
karena telah jelas bahwa keduanya memiliki landasan yang kuat, tapi yang lebih
memprihatinkan adalah perjalanan shalat tarawih di masjid-masjid selalu pasang
surut seperti turnamen sepak bola, 10 hari pertama sebagai babak penyisihan,
pesertanya banyak, bahkan sampai membludak, sepuluh hari kedua bulan ramadhan
seperti semi final, jamaah mulai mengurang dan bahkan pada 10 ketiga adalah
final, jumlah jamaah tinggal bertahan satu atau dua baris. Maka daripada itu,
marilah kita tingkatkan keistiqamahan kita dan keikhlasan kita demi ridha
Ilahi, sehingga mampu menjalankan dan menghidupkan malam bulan Ramadhan
khususnya shalat tarawih, karena berlomba dalam beribadah itu diharuskan, “fastabuqul khairat”, demikianlah
firman-Nya. Wallahu A’lam.