Akad-akad Syariah dalam Perspektif
Fikih dan Praktiknya di Pasar Modal Indonesia
Eka Nuraini Rachmawati
Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru
Jl. Kaharuddin Nasution No.113 Pekanbaru Riau
E-mail: ekanura212@yahoo.co.id
Abstract: Akad-akad Syariah dalam Perspektif
Fikih dan Praktiknya di Pasar Modal Indonesia. Determination of the Islamic financial contract is a very important issue,
particularly in sukuk issuance in Capital Markets for its implementation must
be in accordance with Sharia principles. For that we need a clear discussion of
the concept of contract in the perspective of jurisprudence and how the
implementation of the contract in issuing sukuk election, especially with
regard to transfer ownership of sukuk issuer to the investor if the transfer of
ownership of assets, debt or ownership benefits of ownership of an asset. This article describes
the concept of contract in fiqh perspective
applied in Islamic
Capital Market used especially
contract corporate sukuk issuance as well as the
sale and purchase agreement contract
bay wafa' and bay istighlal
as the cornerstone of the sukuk issuance (SBSN). Then, it discusses the bay
Muzayyadah contract
as the cornerstone of the implementation
of the sale and purchase transactions of sukuk in Indonesia
Capital Market from the perspective of
jurisprudence. Furthermore, describes the types of sukuk,
the legal basis and mechanism of corporate sukuk issuance. The practice
of corporate sukuk issuance in Indonesia is currently only using two types of
contract, namely Ijarah and Mudharabah. Although same
of contract its
structure is different, because it depends on the type of venture issuers, the
intended use of funds from the
issuance of sukuk as well as the
option contract is the most likely to be
applied at the time of publication.
Currently the Mudaraba Sukuk issuance has been
used seven structures
and Sukuk
Ijarah using twelve
structures. In the future issuance of corporate sukuk should be structured so that the standard
contract that is
more uniform and still meet compliance aspects
of sharia.
Keywords: Contract, Sukuk, Capital Market
Abstrak: Akad-akad Syariah dalam Perspektif
Fikih dan Praktiknya di Pasar Modal Indonesia. Penetapan akad dalam keuangan
syariah merupakan masalah yang sangat penting, khususnya dalam penerbitan sukuk
di Pasar Modal karena pelaksanaannya harus sesuai dengan prinsip Syariah. Untuk
itu perlu pembahasan yang jelas mengenai konsep akad dalam perspektif fikih dan
bagaimana implementasi pemilihan akad dalam menerbitkan sukuk, terutama
berkaitan dengan pemidahan kepemilikan dari 
penerbit sukuk kepada investor, apakah terjadi pemindahan kepemilikan
aset, kepemilikan hutang atau kepemilikan manfaat atas suatu aset. Artikel ini
memaparkan konsep akad dalam perspektif fikih yang diterapkan di Pasar Modal
Syariah khususnya akad yang digunakan penerbitan sukuk korporasi serta akad
jual beli yakni akad bay wafa’ dan bay istighlal sebagai landasan penerbitan sukuk
negara (SBSN). Kemudian membahas akad bay Muzayadah sebagai landasan
pelaksanaan transaksi jual beli sukuk di Pasar Modal Indonesia dari perspektif
fikih. Selanjutnya, menjelaskan jenis-jenis sukuk, landasan hukum dan mekanisme
penerbitan sukuk korporasi. Praktik penerbitan sukuk korporasi di Indonesia saat
ini baru  menggunakan dua jenis akad,
yakni akad Ijarah dan Mudharabah. Walaupun akadnya sama, tetapi strukturnya berbeda,
karena tergantung pada jenis usaha emiten, tujuan penggunaan dana dari
penerbitan sukuk tersebut serta pilihan akad yang paling memungkinkan untuk
diterapkan pada saat penerbitan. Saat ini penerbitan sukuk korporasi dengan
akad Mudharabah telah menggunakan tujuh  struktur dan akad Ijarah menggunakan dua belas
struktur. Di masa yang akan datang penerbitan sukuk korporasi
mestinya memiliki struktur akad yang standard sehingga lebih seragam dan tetap
memenuhi aspek kepatuhan syariahnya.
Keywords: Akad, Sukuk, Pasar Modal
Pendahuluan
Dalam dunia bisnis, akad memiliki peranan sangat penting
karena keberlangsungan kegiatan bisnis ke depan akan tergantung seberapa baik
dan rinci akad yang dibuat untuk menjaga dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah
pihak yang melakukan akad. Akad merupakan perjanjian yang mengikat hubungan
kedua pihak itu sekarang dan yang akan datang. Pemilihan akad akan mencerminkan
seberapa besar risiko dan keuntungan bagi kedua pihak, terutama bagi pihak
pemodal maupun pihak yang mengelola bisnis atau antara pembeli dengan penjual. 
Ilmu fikih menawarkan berbagai rincian dan penetapan
dasar-dasar perjanjian bisnis  sehingga
dapat merealisasikan tujuan dan kepentingan yang berakad. Selain itu ilmu fiqih
khususnya ilmu fikih muamalah akan memjawab persoalan serta membuat aturan untuk
menjalankan aktivitas bisnis yang sesuai dengan prinsip syariah serta melahirkan
kaidah-kaidah dan pandangan yang digunakan untuk transaksi bisnis yang baru
muncul dan semakin beragam di era modern. Semakin jelas, cermat serta rinci dalam
membuat akad maka semakin kecil kemungkinan terjadi konflik antar kedua belah
pihak yang berakad dimasa yang akan datang karena masing-masing pihak memahami
hak dan kewajibannya.
Pengertian Akad
Istilah akad berasal dari bahasa Arab yakni al-‘Aqd. Secara
bahasa kata al-‘Aqd, bentuk masdarnya adalah ‘Aqada dan jamaknya
adalah al-‘Uqud yang berarti perjanjian (yang tercatat) atau kontrak.
Di dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, al-‘aqd yang memiliki arti
perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Dalam kaidah fikih, akad didefinisikan sebagai pertalian
ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan)
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan sehingga
terjadi perpindahan pemilikan dari satu pihak kepada pihak yang lain.  
Adapun pengertian akad menurut
istilah, disini ada beberapa pendapat diantaranya adalah Wahbah Zuhaili
dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin
Djuwaini bahwa akad adalah hubungan/keterkaitan antara ijab dan qabul
atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’
dan memiliki implikasi hukum tertentu. Sedangkan menurut Hasbi
Ash-Shiddieqy bahwa akad adalah perikatan antara ijab dengan qabul yang
dibenarkan syara’ yang menetapkan
keridlaan kedua belah pihak.  
Berdasarkan definisi di atas,
maka dapat dipahami bahwa akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh
dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing pihak yang melakukan
akad dan memiliki akibat hukum baru bagi mereka yang berakad.
            Landasan akad
mengacu kepada Firman Allah Swt. dalam Alquran, Q.s. al-Mâidah [5]:1 dan Q.s. al-Nisâ [4]: 29:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ...... ÇËÒÈ   
Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu...... (Q.s.  al-Mâidah [5]: 1).
                                                          
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 ......
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu...(Q.s. al-Nisâ [4]:29).
Dari dua ayat tersebut diatas menegaskan bahwa
setiap mu’min berkewajiban untuk menunaikan apa yang telah dijanjikan dan
diakadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan. Pelaksanaan akad dalam
transaksi perdagangan diharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang
diistilahkan ‘antaradhin minkum’. Walaupun kerelaan tersebut merupakan
sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya
dapat terlihat. Ijab dan qabul atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan
di masyarakat sebagai serah terima merupakan bentuk-bentuk yang digunakan hukum
untuk menunjukkan kerelaan. 
Akad atau kontrak berkaitan
dengan barang/harta benda (maal), hak pemanfaatan harta benda, dan
transfer kepemilikan  atas barang/hak
atas pemanfaatan harta benda dari satu pihak ke pihak lain.
Maal atau harta benda dalam fikih muamalah dibagi dua,
yakni: yang dapat dipindahkan dan yang tidak dapat dipindahkan, dapat diganti
dan tidak dapat diganti, yang pasti ‘ayn dan yang tidak pasti (dayn). ‘Ayn
berupa aset riil sedangkan dayn berupa aset keuangan, seperti uang,
emas, valuta asing, saham, sukuk.  
Kepemilikan harta dapat
dibedakan tiga, yaitu: kepemilikan aset (milk
al ‘ayn) , kepemilikan utang (milk al dayn) serta kepemilikan hak
pemanfaatan atas barang (milk al manfa’at). Apabila seseorang
mendapatkan kepemilikan atas ‘ayn
(aset riil), maka ia juga mendapat kepemilikan atas manfa’at. Milk al’ayn
bersifat pasti dan tidak terkait waktu, yang berarti jika seseorang mendapat
kepemilikan atas aset melalui pembelian, asetnya tersebut tunduk pada
kebijaksanaannya. 
Kepemilikan tidak dapat
diakhiri atau dihilangkan, tetapi dapat dialihkan atas keinginannya dan sesuai
dengan kontrak (akad) sah yang sesuai dengan peraturan hukum yang relevan.  
Penetapan akad dalam keuangan
syariah sangat penting, khususnya dalam penerbitan sukuk di Pasar Modal karena
pelaksanaannya harus sesuai dengan prinsip Syariah. 
Oleh sebab itu konsep akad
dalam perspektif fikih dan bagaimana implementasi penggunaan akad dalam
menerbitkan sukuk harus jelas terutama berkaitan dengan pemidahan kepemilikan
antara penerbit sukuk dengan investor apakah terjadi pemindahan kepemilikan
aset, kepemilikan hutang atau kepemilikan manfaat atas suatu barang.  Dalam konsep fikih terdapat banyak jenis akad
yang dapat digunakan dalam keuangan syariah baik pada pasar uang syariah maupun
pada pasar modal syariah.
Namun tidak semua akad syariah
dapat diterapkan pada Pasar Modal Syariah karena produk yang ditawarkan lebih
sedikit, berbeda penerapan pada Perbankan Syariah dengan produk yang lebih
banyak dan bervariasi jenisnya.
Jenis Akad dalam Pasar Modal Syariah
Pada bulan Mei 2003, Accounting
and Auditing Organization for Islamic Institutions (AAOIFI) ditetapkan 14
sukuk yang dapat diterbitkan sesuai dengan standar syariah.  Sukuk yang sesuai dengan standar AAOIFI
adalah Sukuk Mudharabah, Sukuk Musyarakah, Sukuk Ijarah, Sukuk Murabahah, Sukuk
Salam, dan Sukuk Istishna. Selain enam akad tersebut, terdapat dua akad
penerbitan sukuk yang di praktikkan pada penerbitan sukuk di Malaysia, yakni
akad bay al- inah dan akad bay-al dayn.  
Penjelasan kedelapan akad tersebut ditinjau dari
perspektif fikih sebagai berikut:
1.                  
Akad 
Murabahah
Murabahah berasal dari kata Ribh, yang berarti
perolehan, keuntungan, atau tambahan.
Pelaksanaan jual beli dengan akad murabahah, penjual harus mengungkapkan
biayanya pada saat akad terjadi serta penetapan marjin keuntungan yang
disetujui. Bay’ al-Murabahah adalah menjual barang dengan harga yang
ditetapkan dipasaran dengan tambahan keuntungan yang diketahui. 
Jual beli murabahah dipraktikkan pada zaman sebelum Islam
yang terdapat dalam Al- Mu’atah kitab pertama Imam Malik yang mencatat
berbagai hadis Nabi Muhammad saw. Menurut Imam Malik, Murabahah dilakukan dan
diselesaikan dengan pertukaran barang dengan harga, termasuk marjin keuntungan
yang telah disetujui bersama pada saat itu dan pada tempat itu. Jadi jual beli
tidak dilakukan secara kredit. Namun Imam Syafii dalam Kitab al-Umm
memperluas konsep pelaksanaan murabahah secara kredit.
Al-Marghinani, fuqaha Hanafi, mendifinisikan Murabahah
sebagai penjualan barang apa pun pada harga pembelian yang ditambah dengan
jumlah yang tetap sebagai keuntungan.
 
Ibn Qudamah, fuqaha Hanbali, mendifinisikan bay’
murabahah sebagai penjualan pada biaya modal ditambah dengan keuntungan
yang diketahui, pengetahuan biaya modal adalah persyaratan atasnya. 
Berdasarkan beberapa difinisi, maka akad  Murabahah merupakan akad jual beli yang pada harga
asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Akadnya menjadi sah apabila
pembeli mengetahui harga awal, biaya tambahan jika ada, dan jumlah
keuntungannya.
 
Oleh sebab itu, murabahah adalah kontrak yang
berdasarkan kepercayaan atau kontrak buyu’ al-amanah.
Dinamakan jual-beli amanah, karena ia bergantung kepada kepercayaan penjual
kepada harga barang yang dijual di pasar yang diberitahu oleh pembeli. 
Jika pembayaran dilakukan secara tangguh yang harganya
dibayar secara angsuran dalam tempo waktu yang disepakati, jual beli ini  disebut bay’ bithaman al-ajil (BBA)
atau bay’ mu’ajjal. Ajil memiliki makna jangka waktu yang
ditetapkan untuk melunasi hutang.
 Angsuran di dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah al-taQ.s. it yaitu pembagian hutang
kepada beberapa bagian tertentu, yang dilunasi pada masa-masa tertentu.
Oleh sebab itu bay' bithaman al ajil disebut juga sebagai bay’ al- taQ.s.
it. 
  Dalam kontrak jual beli bay' bithaman ajil,
jika harga naik, pembeli mendapatkan keuntungan karena membeli barang tersebut
berbasiskan pembayaran ditunda dengan harga yang lebih murah, jika harga turun,
penjual mendapatkan keuntungan karena berhasil menjual barang yang dibelinya
dengan berbasiskan pembayaran tangguh dengan harga yang lebih tinggi. Jadi
dalam kontrak bay' bithaman ajil, sesuai dengan konsep al-ghunm bil al-ghurm, yakni keuntungan
beriringan dengan risiko. Dengan syarat jual-beli harus diselesaikan pada satu
harga sehingga kewajiban diketahui oleh semua pihak.  
2. Akad  Istishna’
Secara bahasa Istisna’  berasal dari akar kata sana’a  ( صنع) ditambah alif, sin, dan ta’ menjadi Istisna’  (استصناع)  yang dapat diartikan talab  al sun’ah
( طلب الصنعة ) meminta dibuatkan barang
atau “meminta untuk dibuatkan sesuatu” 
Pengertian Istisna’ menurut istilah, didefinisikan
sebagai akad meminta seseorang untuk membuat sebuah barang tertentu dalam
bentuk tertentu.
 
Pengertian Istisna’ merupakan akad yang dilakukan
dengan seseorang untuk membuat barang tertentu dalam tanggungan dan akad
tersebut merupakan akad membeli sesuatu yang akan dibuat oleh seseorang.
Menurut ahli fikih, pengertian Istisna’ adalah
suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu
yang materinya (bahan bakunya) dari pihak pembuat (tukang). 
Menurut jumhur ulama, hukum transaksi istisna’
hukumnya boleh, begitu pula pendapat ahli fikih Hanafiyah, jual beli istisna’
diperbolehkan karena telah lama menjadi kebiasaan (‘urf) yang mengandung
unsur kebaikan (istihsan). Jadi hikmah dibolehkannya jual beli istisna’
karena keberadaannya telah menjadi keperluan manusia.
 
3. Akad 
Salam
Akad salam disyaratkan berdasarkan dalil dari Alquran,
sunnah dan ijma ulama. Akad salam atau salaf adalah penjualan
sesuatu dimasa yang akan datang dengan imbalan sesuatu yang sekarang, atau
menjual sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan. Para ulama Shafi’iyyah
dan Hanabilah mendefinisikan akad salam sebagai akad atas sesuatu yang
disebutkan dalam sifatnya dalam perjanjian dengan penyerahan tempo dengan
imbalan harga yang diserahkan dalam majelis akad. 
Pengertian salaf
atau istalafa sama dengan iqtarada yang artinya “berutang”.
Menurut istilah, mazhab hanafi mendifinisikan salam sebagai jual beli tempo
dengan tunai. Menurut Mazhab Maliki, salam adalah akad jual beli dimana
modal (harga) dibayar di muka, sedangkan barang diserahkan di belakang. Jadi salam
adalah salah satu bentuk jual beli dimana uang harga barang dibayarkan
secara tunai, sedangkan barang yang dibeli belum ada, hanya sifat-sifat, jenis,
dan ukurannya sudah disebutkan pada waktu perjanjian dibuat. 
4. Akad  Bay al Inah
Kata ‘al-‘inah” berasal dari bahasa Arab yang berarti
“tunai” atau “segera”. Tetapi, yang dimaksud dengan bay-‘inah adalah
menjual harta dengan bayaran angsuran, kemudian segera membelinya kembali
dengan bayaran tunai. Menurut Al-Bahuty, bay’ al-‘inah adalah penjualan
barang kepada seseorang dengan harga kredit dan barang diserahkan kepada
pembeli, kemudian dibeli kembali oleh penjual sebelum mengambil bayarannya
dengan uang tunai lebih kecil dari harga asalnya.
 
Menurut al-Jauhari kata “inah” bermakna pinjaman
dan utang. Dia mengatakan bahwa ‘inah’ adalah jika ada seorang pedagang
menjual barang secara kredit, kemudian dia membelinya kembali dengan harga yang
lebih rendah. Jual beli secara ‘inah berarti seseorang menjual barang
kepada orang lain dengan pembayaran diangsur, lalu barang itu diserahkan kepada
pembeli, kemudian penjual itu, membeli kembali barangnya sebelum uangnya lunas
dengan harga lebih rendah dari harga pertama. 
Pendapat ulama berbeda tentang bay’ al-‘inah, Abu
Hanifah mengatakan hukum nya fasid, sedangkan Imam Malik dan Hanbali mengatakan
akadnya batal. Abu Yusuf berpendapat bahwa bay’ al-‘inah hukumnya
makruh, sedangkan pandangan para sahabat seperti Aisyah dan Ibn Abbas dan dari
tabi’in Ibn Sirin, al-sha’bi dan pandangan jumhur ulama hukum bay’al-‘inah
haram. Mayoritas ulama fikih selain Imam Syafi’i menyatakan bahwa jual beli ini
adalah rusak (fasid) dan tidak sah. Karena, jual beli ini menjadi sarana
munculnya riba dan menyebabkan terjadinya sesuatu yang dilarang oleh Allah
sehingga jual beli ini tidak sah. 
 Namun mazhab Imam
Syafi’i membolehkan penggunaan kontrak bay’ al-‘inah karena akad jual
beli yang dilakukan telah memenuhi rukun yaitu  ijab dan qobul, tanpa memandang kepada niat
pelaku. 
 5. Akad Bay’ al Dayn 
Bay’ al- Dayn adalah
suatu akad jual beli dengan objek jual belinya adalah piutang atau tagihan (dayn).  Bay’ al-dayn  adalah seseorang yang mempunyai hak mengutip
hutang yang akan dibayar pada masa yang akan datang dan dia dapat menjual
haknya kepada orang lain dengan harga yang disetujui bersama. 
Konsep bay’al-dayn sebenarnya merujuk kepada
pembiayaan hutang yaitu peruntukkan sumber keuangan yang diperlukan oleh
unit-unit pembiayaan, perdagangan dan jasa  dengan cara menjual atau membeli kertas-kertas
dan dokumen-dokumen perdagangan. 
Bentuk jual beli hutang diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:
a.                   
Bentuk jual beli utang oleh pihak kreditur kepada pihak
pengutang (debitur) lebih dekat pada kontrak hiwalah. Jual beli utang
seperti ini dibenarkan oleh  ulama
Hanafi, karena tidak termasuk ke dalam jual beli gharar. Mazhab Maliki memiliki
pendapat yang sama bahwa jual beli utang kepada pihak debitur dibolehkan.
b.                  
Bentuk jual beli utang oleh pihak kreditur kepada pihak
ketiga dengan harga tunai. Penjualan utang semacam ini tidak dibenarkan oleh Mazhab
Hanafi dan Hanbali, karena penjual utang tidak berkemampuan untuk menyerahkan
utang tersebut pada waktunya. Mazhab Maliki membenarkan jual beli hutang kepada
pihak ketiga dengan persyaratan tertentu.
c.                   
Penjualan utang kepada pihak pengutang atau pihak ketiga
tetapi dengan cara pembayaran tertangguh. Menurut Ibn Taimiyah jual beli utang
seperti ini tidak dibenarkan dan golongan ulama terdahulu menamakan bay’
al-kali bi al-kali yakni akad jual beli hutang dengan hutang. 
6. Akad  Musharakah
Pengertian shirkah (musharakah) secara
harfiah berarti percampuran. Menurut bahasa, shirkah adalah bercampurnya suatu
harta dengan harta yang lain sehingga keduanya tidak dapat dibedakan. Menurut
ulama Shafi’iyyah, shirkah adalah tetapnya hak kepemilikan bagi dua atau
lebih sehingga tidak terbedakan antara hak pihak yang satu dengan hak pihak
yang lain dan menurut ulama Hanafiyah, shirkah adalah transaksi antara
dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan. 
Pengertian musharakah menurut bahasa ialah
pencampuran harta di antara dua orang atau lebih. Menurut
Saad Abdul Sattar Al-Harran, musharakah (shirkah) sebagai bentuk
perkongsian dimana dua orang atau lebih bergabung baik dalam bentuk modal atau
tenaga kerja atau keduanya dalam kadar tertentu bagi masing-masing dengan
pembagian keuntungan, kerugian, dan tanggung jawab masing-masing.  
Hukum shirkah dibolehkan oleh syariat, berdasarkan
Alquran,
sunnah dan Ijma’. Dalil dari Alquran, firman Allah:
* ö.... bÎ*sù (#þqçR%2 usYò2r& `ÏB y7Ï9ºs ôMßgsù âä!%2uà° Îû Ï]è=W9$# 4 …. ÇÊËÈ   
  ..maka mereka bersekutu dalam bagian yang
sepertiga itu (Q.s. al-Nisa’[4]:12)
  
( ¨bÎ)ur #ZÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd ÇËÍÈ   
 ...dan
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini ( Q.s. Shaad[38]:24)
Adapun dalil dari sunnah, hadis qudsi yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah secara marfu’ dari Rasullulah bahwa beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman ,”Aku adalah pihak ketiga dari dua
orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati yang
lain, maka Aku keluar dari persekutuan tersebut.( HR. Abu Dawud serta Hakim)
Shirkah dikelompokkan menjadi dua, iaitu shirkah amlak
(kongsi harta) dan syirkah uqud (kongsi transaksi). Shirkah amlak atau shirkah
milk merupakan bentuk persekutuan diantara dua orang atau lebih dalam
kepemilikan harta yang diperoleh tanpa disertai akad.  Shirkah amlak dikelompokkan menjadi
dua, iaitu syirkah ikhtiyar (sukarela), yaitu shirkah yang lahir
atas kehendak dua pihak yang bersekutu. 
Kedua, shirkah jabar (paksa), yaitu persekutuan
yang terjadi diantara dua orang atau lebih tanpa kehendak mereka. Hukum kedua
jenis syirkah ini bagaikan pihak asing atas sekutunya yang lain. Sehingga,
salah satu pihak tidak berhak melakukan tindakan apapun terhadap harta tersebut
tanpa izin dari yang lain, karena masing-masing sekutu tidak memiliki kekuasaan
atas bagian saudaranya.  Shirkah ‘uqud adalah bentuk
persekutuan diantara dua pihak atau lebih untuk menjalankan suatu usaha
berdasarkan prinsip bagi hasil. 
7. Akad Mudharabah 
Mudharabah
dari segi bahasa berasal dari kata dasar 
al-darb :   ضرب يضرب    ضربا  yang berarti bergerak,
menjalankan, memukul, kemudian mendapat tambahan huruf sehingga menjadi     ضارب  يضارب  مضاربyang
berarti saling bergerak, saling pergi, atau saling menjalankan atau saling
memukul. Dalam arti lain, ضارب berarti
berdagang atau memperdagangkan. 
Di dalam Alquran kata daraba digunakan dalam
rangkaian kata ayat  “darb fi al- ardi”,  yang memberi maksud keluar mengembara untuk menjalankan
perniagaan  atau melakukan
perjalanan untuk berniaga.   
            Penggunaan makna ini adalah
bersesuaian dengan Firman Allah dalam al-Quran Surah al - Muzammil (73): 20 , 
zΠ tbrãyz#uäur tbqç/ÎôØt Îû ÇÚöF{$# tbqäótGö6t `ÏB È@ôÒsù «!$#
 
  ... dan orang-orang yang berjalan di muka
bumi mencari sebagian karunia Allah...(Q.S. . Al – Muzammil[73]: 20)
Istilah Mudarabah dengan pengertian berpergian untuk
berdagang digunakan oleh penduduk Irak. Sedangkan penduduk Hijaz menggunakan
istilah qirad, yang diambil dari kata qard  (  قرض) yang artinya; al-qat’u  ( القطع ) yakni memotong. Dinamakan demikian,
karena pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan oleh ’amil
dan memperoleh keuntungannya. 
Praktik seperti ini dikenal
sebagai  ”al-muqaradah” yang berarti
sama rata karena masing-masing berkongsi modal dan akan turut sama mendapatkan
keuntungan dari sesuatu perniagaan yang dijalankan.” 
Mudharabah adalah akad yang
berlaku antara dua pihak dengan syarat salah seorang dari keduanya menyerahkan
sejumlah uang kepada pihak yang lain untuk didagangkan dan keuntungan yang
diperoleh dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. 
Hadis yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Abbas.RA dari bapaknya Al- Abbas Mutalib RA:
Hadits-hadits Rasul yang dapat
dijadikan rujukan dasar akad transaksi mudharabah adalah:
روى ابن عباس رضي الله عنهما انه قال: كان سيدنا العباس بن عبد المطلب اذا دفع
المال مضربة اشترط على صاحبه ان لايسلك به بحرا ولاينزل به واديا ولايشترى به دابة
ذات كبد رطبة فان فعل ذلك ضمن فبلغ شرطة رسول الله صلى الله عليه وسلم فاجازه
 “Diriwayatkan oleh ibnu
Abbas bahwasannya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana ke mitra usahanya
secara Mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan,
menuruni lembah yang berbahaya, atau mebeli ternak yang berparu-paru basah,
jika menyalahi peraturan maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana
tersebut. Disampaikannyalah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw. Dan Rasulullah
pun membolehkannya.” ((Riwayat al-
Baihaqi,6:111))
Dari Suhaib RA bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda:  
عن صالح بن صهيب عن ابيه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث فيهن البيع
الى اجل والمقارضة واخلاط البر بااشعير للبيت لاللبيع
Dari Shahih bin Shuhaib r.a.
bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan:
jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah:2289)
        Praktik
akad Mudharabah dalam transaksi keuangan Islam menggunakan landasan hukum atas
dasar Firman Allah SWT dalam Alquran, Q.S.
. Al -Muzammil [73]: 20) dan (Q.S.
. Al-Jumu’ah [62]:10)
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي
الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
.. dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian  karunia Allah....(Q.S. . Al -Muzammil [73]: 
20)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا
مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Apabila
shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah
karunia  Allah”.(Q.S. . Al-Jumu’ah [62]:10)
        
Dalil Mudharabah dalam hadis Rasulullah SAW, 
أَنَّ النَّبيَّ صلى
الله عليه و سلم قال :َثلَا ثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَ كْةُ : اَلْبَيْعُ اِلَى أَجَلٍ وَ
الْمُقَا رَضَةُ وَ خَلطُ اْلَبُرَّ بِا  لشَّعِيْرِ
لِلْبيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ ٍ
“Tiga
hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli tangguh, muqaradah (mudarabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan bukan untuk keperluan rumah, bukan untuk
dijual”. (HR.Ibnu Majah) .
Menurut Wahbah Zuhaili, mudharabah didefinisikan sebagai
akad yang didalamnya pemilik modal memberikan (harta) pada ‘amil
(pengelola) untuk mengelolanya, dan keuntungannya menjadi milik bersama sesuai
dengan apa yang mereka kesepakatan, sedangkan kerugiannya hanya menjadi
tanggungan pemilik modal saja. 
Sayid Sabiq, memberikan definisi mudharabah adalah suatu
akad antara dua pihak dimana salah satu pihak memberikan uang (modal) kepada
pihak lain untuk  diperdagangkan dengan
ketentuan bahwa keuntungan dibagi diantara mereka berdua sesuai dengan
kesepakatan mereka. 
Jadi  mudharabah
merupakan akad yang dilakukan antara dua pihak yakni pihak pemilik modal dan
pengelola untuk melakukan kerjasama aktivitas bisnis dimana keuntungan yang
diperoleh akan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.
8.      
Akad 
Ijarah 
Sewa-menyewa dalam bahasa Arab
dikenal dengan istilah Ijarah. Ijarah berasal dari kata “a ja ro (اجر) dan memiliki beberapa sinonim, dapat diartikan: menyewakan,
memberinya upah dan memberinya pahala. Menurut bahasa Ijarah artinya, sewa
menyewa atau jual beli manfaat. 
Sayid Sabiq mengemukakan, bahwa
Al-ijarah berasal dari kata  ‘al-ajru’ ( الاجر ) yang berarti ‘al-‘iwadh’ (sewa atau imbalan, ganjaran
atau pahala). Jadi Ijarah menurut bahasa dan secara syara’ memiliki makna jual
beli manfaat.  
       Dalam pengertian istilah, terdapat
perbedaan pendapat tentang Ijarah dikalangan ulama Hanafiah, Malikiyah,
Syafi’iyyah dan Hanabilah. 
Ulama Hanafiah, mendefinisikan ijarah
sebagai akad atas manfaat disertai imbalan berupa harta. Namun ulama Malikiyah
dan Hanabilah memberi pengertian bahwa ijarah adalah suatu akad yang memberikan
hak kepemilikan manfaat sesuatu yang mubah untuk masa tertentu disertai
imbalan.   
Adapun menurut ulama Syafi’iyyah,
akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang mengandung maksud yang tertentu,
mubah, dan dapat didermakan serta dibolehkan dengan imbalan tertentu. Menurut
istilah fuqaha, Ijarah ialah kontrak untuk mendapatkan  manfaat (jasa) tertentu yang boleh dibayar dan
dihalalkan dengan barang tertentu. Kontrak ini dilaksanakan dengan memindahkan
hak milik jasa (manfaat)  tersebut. 
Akad ijarah (sewa) akad untuk
memperoleh manfaat dengan disertai bayaran. Dengan kata lain,  ijarah merupakan bentuk jual beli manfaat,
untuk mendapatkan imbalan. 
Praktik akad Ijarah dalam
transasaksi keuangan Islam menggunakan landasan hukum sama ada dari Alquran dan
Hadith Nabi. Hal ini merujuk kepada pendapat mayoritas ulama memperbolehkan
akad Ijarah dengan dalil Alquran, Sunnah, dan Ijma sebagai berikut. Kemudian
akad ijarah tersebut, digunakan dalam penerbitan Sukuk Ijarah di Pasar Modal
Indonesia, berdasarkan:
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada hari Kamis,
tanggal 8 Muharram 1412 H/13 April 2000
Landasan hukum akad ijarah berdasarkan Alquran:
4 $uZ÷èsùuur öNåk|Õ÷èt/
s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy xÏGuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/
$wÌ÷ß 3   
...dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain...(Q.S. . Al-Zukhruf[43]: 32) 
÷bÎ)ur  öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/  
... dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. . Al-Baqarah[2]:233)                                         
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»t
çnöÉfø«tGó$#
( cÎ)
uöyz Ç`tB
|Nöyfø«tGó$#
Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ   
                                              
Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (Q.S. .Al-Qasas[28]: 26)
                                                                                       
4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör&
ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ….(   
...dan
jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,  maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu
Maka berikanlah kepada mereka upahnya (Q.S. .
Al-Talaq [65]: 6) 
Selain itu, landasan hukum akad Ijarah yang tercantum dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional No. 72 /MUI/VI/2008 tentang 
SBSN Ijarah Sale and Lease Back 
Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu
Sa’id al-Khudri, Nabi SAW. bersabda:
..........مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ. 
Artinya:
Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya. (H.R. Abd
ar-Razzaq)
أُعُطُو اْالأَجِيْرَأَجْرَهُ
قَبْلَ اَنْ يَجِفُ عُرُقُهُ
Artinyan: Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum
keringatnya kering. (H.R.  Ibnu Majah)
كُنَّا نُكْرِي
اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِيْ مِنَ الزَّرْعِ وَمَاسَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا،
فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا
أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.
Artinya: “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran)
hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan
memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”(H.R. Ahmad
dan Abu Daud)
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم واعطى
الحجام أجره, ولو علمه خبيثا لم يعطه. (رواه البخاري وابو داود) 
Artinya: Dari Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan
memberikan upah tukang bekam itu, dan sekiranya upah profesi bekam itu buruk
maka niscaya beliau tidak akan memberikannya. (H.R.
Bukhari dan Abu Daud)
أَنَ رَسُوْلُ
للهِ صَلىَ لله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ اِحْتَجِمْ وَاَعْطِ الحُجَامَ أَجْرَهُ (رواه البخارى
ومسلم)
Artinya: Bahwa  Rasululah SAW bersabda:
“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
عن ابي سعيد
رضي الله عنه قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن استعجار الأ جير حتى يبين له
أجره, وعن النجش واللمس, وألقاء الحجر". رواه ابن أحمد.
Artinya: Dari Abu Sa’id  radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk mengangkat
seorang pekerja sampai upahnya dijelaskan terlebih dahulu, beliau juga melarang
jual beli dengan cara an-Najasy, al-Lams, dan dengan cara melempar batu.
(H.R. Ibnu Majah)
 Kaidah fikih:
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة
حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
 “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” 
Ijarah menurut istilah bahasa
Arab merujuk kepada upah yang diberikan kepada orang yang melakukan suatu pekerjaan
sebagai ganjaran kepada apa yang dilakukannya. Ganjaran tersebut disebut
sebagai  ajr atau ujrah. 
Kata ‘ajjarahu’ atau ‘aajarahu’
bermakna memberi upah karena kerja yang dilakukan. Perkataan ini hanya
digunakan bagi merujuk kepada sesuatu yang memberikan keuntungan dan tidak
digunakan untuk sesuatu yang merugikan. Ajr biasanya digunakan untuk
merujuk ganjaran akhirat, sementara ujrah pula merujuk kepada ganjaran dunia.   
Rukun ijarah menurut Hanafiyah
adalah ijab dan qobul, yaitu dengan lafadz Ijarah. Sedangkan rukun Ijarah
menurut mayoritas ulama ada empat, yaitu dua pelaku akad (pemilik sewa dan
penyewa), sighah (ijab dan qabul), upah, dan manfaat barang.
Objek Ijarah terbagi empat:  
·                    
Ijarah terhadap manfaat dari
barang, disebut juga ijarah ‘ala al-manafi atau ijarah al-a’yan.
Contohnya seperti menyewakan gedung, rumah, kapal, mobil dan lainnya.
·                    
Ijarah terhadap manfaat dari
pekerjaan manusia (ijarah ‘ala al-a’mal). Seperti mengupah seorang manajer
untuk mengelola perusahaan, dan tukang angkat untuk memindahkan barang.
·                    
Ijarah terhadap perpaduan
manfaat manusia dan barang (Ijarah ‘ala al-manafi wa al-a’mal). Seperti
mengupah seorang atau lembaga membangun rumah sedang alat-alat berasal dari
pekerja atau lembaga tersebut; atau mengendarai angkutan umum dimana upah
diberikan untuk sopir dan mobil atau kendaraan beratnya.
·                    
Bila dimasukkan pendapat Ibnu
Qayim, maka terdapat obyek Ijarah keempat, yaitu : ijarah bukan tehadap
manfaat, tapi terhadap “barang”-‘ain, yaitu hasil berkelanjutan dari
suatu barang asal, namun zat barang tersebut tetap ada, seperti buah sebagai
hasil dari penyewaan pohon.
Dari beberapa pendapat tersebut,
maka ijarah merupakan akad sewa menyewa atau jual beli manfaat antara dua pihak
yaitu antara penyewa dan yang menyewakan barang, yang memberikan hak
kepemilikan manfaat dari barang, manfaat dari pekerjaan manusia, perpaduan
manfaat dari barang dan dari pekerjaan manusia untuk jangka waktu tertentu dan
menerima imbalan.
Akad Jual
Beli (bay’) Sebagai Landasan Penerbitan Sukuk Negara
Akad jual beli selain diterapkan sebagai landasan
penerbitan sukuk korporasi seperti akad 
Salam, Istishna dan Murabahah  juga diterapkan sebagai landasan penerbitan
sukuk negara, yang dikenal dengan sebutan Sertifikat Berharga Syariah Negara
(SBSN). Sukuk Negara  diterbitkan dengan
menggunakan akad bay’ wafa’ dikombinasi dengan akad ijarah yang dikenal
dengan istilah bay’ istighlal.
   
   1. 
Bay Wafa’
Menurut bahasa Arab, al-bay’ berarti jual beli,
dan al-wafa’ dapat diartikan membayar hutang, pelunasan hutang, menepati
janji, setia serta tak menyalahi janji.   
Nama lain dari bay’ al-wafa’ adalah bay ita’ah
(Syiria), bay al-Amanah (Mesir). Ulama Syafiiyyah menyebutnya  bay ‘uhdah dan bay ma’ad,
ulama. Hanabilah menyebutnya bay 
amanah dan ulama Hanafiyah di kenal istilah bay jaiz . 
 Bay’ al- wafa’
adalah salah satu bentuk transaksi (akad) yang muncul di Asia Tengah (Bukhara
dan Balkh) pada pertengahan abad ke 5 Hijriyah dan merambat ke Timur Tengah, dengan
tujuan menghindari terjadinya riba dalam pinjam meminjam. 
Pada masa itu banyak diantara orang kaya tidak mau
meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara banyak juga
para peminjam uang tidak mampu melunasi uangnya akibat imbalan yang harus
mereka bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka pinjam. Menurut para
fuqaha imbalan yang diberikan atas dasar pinjam meminjam uang ini termasuk
riba. 
Menurut para ulama fikih, bay’ al-wafa’ dapat
didefinisikan sebagai:” jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang diikuti
dengan syarat bahawa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual,
apabila tenggang waktu yang telah ditentukan telah tiba. 
Akad bay’ al-wafa’ adalah akad jual beli, maka
pembeli dapat dengan bebas memanfaat barang yang dibeli tersebut. Hanya saja
pembeli tidak boleh menjual barang tersebut kepada orang lain selain kepada
penjual. Menurut ulama jual beli ini dibolehkan, karena tujuannyan untuk
menghindari riba.
Definisi lain, bay’ wafa’ adalah jual beli yang meletakkan syarat bahwa
apabila penjual membayar kembali harga barang yang dijual maka pembeli akan
mengembalikan  barang yang dijual kepada
penjual. 
Menurut Ibnul ‘Abidin, adalah suatu akad dimana seorang
yang memerlukan uang menjual barang kepada seseorang yang memiliki uang kas.
Barang yang dijual tersebut tidak dapat dipindah-pindah dengan kesepakatan,
jika ia dapat mengembalikan harga barang tersebut maka ia dapat meminta kembali
barang itu.
 
Mustafa Ahmad Zarqa mendifinisikan, bay’ wafa’ ialah dua
jual beli yang dilakukan oleh dua pihak yang diikuti  dengan syarat bahwa barang yang dijual itu
dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah
tiba. Tenggang waktu pembelian kembali dapat terjadi satu tahun atau dua tahun.
Sayyid Sabiq mendifinisikan bay’ al-wafa’
merupakan jual beli pelunasan yakni seseorang yang memerlukan uang tunai
menjual barang, namun jika pembayaran tersebut telah dilunasi  dan dibayar kembali kepada pemiliknya, maka
barang yang dijualnya hendaklah dikembalikan lagi kepada pemilik asal. Hukum
jual beli seperti ini sama seperti gadai menurut pendapat yang paling kuat.
 
Bay al-wafa’ ini sangat populer dikalangan mayoritas mazhab Hanafi.
Pada hakikatnya akad ini merupakan perpaduan antara akad jual beli (bay)
dengan akad gadai (rahn). Mazhab Hanafi membolehkan hukum jual beli al-wafa’
dan beberapa negara telah mengakui dan memasukkannya dalam
perundang-undangan perdata, seperti Turki Usmani dan Lebanon, namun para ulama
Syafi’iyyah, Malikiyah dan Hanabilah tidak setuju dengan kebolehan bay wafa’.
Musthafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa barang yang diperjual
belikan dalam bay’ al-wafa, adalah barang tidak bergerak, seperti tanah
perkebunan, rumah, tanah perumahan, dan sawah. 
 Ulama Hanafiyah menganggap bay’ al-wafa’ adalah sah dan tidak termasuk ke dalam
larangan Rasulullah SAW yang melarang jual beli yang diikuti syarat, karena,
sekalipun disyaratkan bahwa harta itu harus dikembalikan kepada pemilik awal,
namun pengembalian itu pun harus melalui akad jual beli. 
  Mekanisme akad bay’ al-wafa’   terdiri atas tiga tahapan, iaitu: 
Pertama, ketika dilakukan
transaksi, akad ini merupakan jual beli, karena didalam akad dijelaskan bahawa
transaksi itu adalah jual beli, melalui ucapan penjual “saya menjual sawah saya
kepada engkau seharga Rm 1000 selama dua tahun”.
Kedua, setelah transaksi
dilaksanakan dan harta beralih ke tangan pembeli, transaksi ini berbentuk
ijarah (pinjam meminjam/sewa menyewa), karena barang yang dijual itu harus
dikembalikan kepada penjual, sekalipun pemegang harta itu berhak memanfaatkan
dan menikmati hasil barang itu selama waktu yang disepakati.
Ketiga, diakhir akad, ketika
waktu yang disepakati berakhir, bay’
al-wafa’ ini sama dengan ar-rahn, karena dengan jatuh tempo yang telah
disepakati kedua pihak, penjual harus mengembalikan barang yang dibeli itu
kepada penjual secara utuh.
Jadi bay’ al-wafa’ merupakan gabungan antara akad
jual beli dengan akad gadai yang pada awalnya dipraktikkan untuk menghindari
riba dan sebagaian besar ulama membolehkannya dengan syarat barang yang dijual
berupa harta tidak bergerak seperti tanah, bangunan, rumah dan lainnya. 
  2. Bay Istighlal
Bay’ istighlal
sebenarnya hampir sama dengan jual beli al-wafa’, namun pada jual beli istighlal
benda yang dijual tersebut disewa kembali oleh penjual sehingga akad bay’
wafa’ berubah menjadi bay’ istighlal. Bay’ istighlal
merupakan jual beli wafa’ dengan syarat bahwa si penjual menyewa kembali
barang yang dijualnya dari pembeli.
Bay’ istighlal ini telah dicantumkan pada kitab Undang Undang Perdata
Turki (Majallah al-Ahkam al-‘adiyah, pasal 119). 
Bay’ Istighlal didefinisikan sebagai berikut:
و هو أن تباع العين بيع الوفاء علي أن تستأجر البائع المبيع أي أن المشتري ينتفع
من المبيع باجارته للبائع نفسه
Yaitu barang dijual secara bay’
wafa, selanjutnya penjual menyewa kembali barang tersebut. Artinya, pembeli
mengambil manfaat dari barang tersebut dengan menyewakannya kepada penjual
sendiri (Kitab Fiqh Riba, Abdul Azhim Jalaluddin Abu Zaid, Beirut Muassah
ar-Risalah, 2004, hlm 540). ”This transaction of sale and leaseback is similar
to Bay’ al-wafa’ contract or bay’ al-istighlal which can be
considered as a form of Bay’ al-wafa’ contract, allowed by some fuqaha’,
but not by Majma’ al-Fiqh al-Islami in Jeddah in 1412AH (1992). 
Definisi bay’ istighlal adalah barang yang dijual
secara wafa’, selanjutnya penjual menyewa kembali barang tersebut.
Artinya, pembeli mengambil manfaat dari barang tersebut dengan menyewakan
kepada penjual sendiri.   
Berdasarkan konsep akad bay’
istighlal, penerbitan sukuk ijarah yang dikembangkan saat ini tidak lain
adalah bay’ Istighlal, yaitu akad bay’ wafa’ yang
disertai akad ijarah di dalamnya.
Contoh pelaksanaan akad bay’ istighlal ini digunakan
dalam penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang dikenal dengan SBSN
Ijarah Sale and Lease Back.
Adapun mekanisme penerbitan sukuk Ijarah Negara sebagai
berikut: 
·        
Pemerintah menjual aset kepada investor dengan janji akan
dibeli kembali 10 tahun mendatang.
·        
Dana investor masuk ke pemerintah
·        
Pemerintah sebagai “issuer” (penerbit sukuk)
menyerahkan sukuk kepada investor.
·        
Sekarang aset menjadi milik investor secara syirkah.
Dalam sepuluh tahun, pemerintah menyewa (ijarah) aset tersebut kepada
investor yang dibayar setiap tiga bulan sekali.
·        
Setelah sepuluh tahun, pemerintah membeli kembali aset
tersebut.
Para ahli ekonomi saat ini menyebut SBSN diterbitkan
dengan menggunakan akad Ijarah namun menurut konsep fikih muamalah namanya bay’
istighlal.
3.       Bay Muzayadah (Jual beli Lelang)
Transaksi jual beli sekuritas di pasar modal seperti
saham dan sukuk digunakan mekanisme lelang (auction), makanya sering
disebut sebagai auction market. Akad jual beli selain digunakan pada
penerbitan sukuk juga digunakan dalam transaksi sukuk. Adapun mekanisme
transaksi jual beli sukuk melalui cara jual beli lelang (auction) atau dalam konsep fikih disebut dengan bay’ muzayadah
Lelang dalam literatur fiqih, dikenal dengan istilah muzayadah
(مزايدة). Secara bahasa, kata muzayadah (مزايدة) berasal dari kata zada-yazidu-ziyadah (زاد - يزيد - زيادة) yang artinya bertambah, maka muzayadah
berarti saling menambahi. Maksudnya, orang-orang saling
menambahi harga tawar atas suatu barang.  Lelang (al-muzayyadah) dapat diartikan sebagai
berlomba-lomba menambah harga pada produk yang dipamerkan untuk dijual.  
Di dalam kamus bahasa
Arab, Al-Mu'jam Al-Wasith, kata muzayadah diartikan sebagai : 
التَّنَافُسُ فِي زِيَادَةِ ثَمَنِ السِّلْعَةِ
الْمَعْرُوضَةِ لِلْبَيْعِ 
Persaingan
dalam menambahi harga suatu barang yang ditawarkan untuk dijual. 
Di dalam kitab
Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, secara istilah definisi dari muzayadah adalah :
 
أَنْ يُنَادَى عَلَى
السِّلْعَةِ وَيَزِيدُ النَّاسُ فِيهَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ حَتَّى تَقِفَ عَلَى
آخِرِ زَائِدٍ فِيهَا فَيَأْخُذَهَا 
Mengajak
orang membeli suatu barang, dimana para calon pembelinya saling menambahi nilai
tawar harga, hingga berhenti pada penawar tertinggi. Dan sebagaimana kita tahu,
dalam prakteknya dalam sebuah penjualan lelang, penjual menawarkan barang di
kepada beberapa calon pembeli. 
Kemudian
para calon pembeli itu saling mengajukan harga yang mereka inginkan. Sehingga
terjadilah semacam saling tawar dengan suatu harga. Penjual nanti akan
menentukan siapa yang menawarkan harga paling tinggi, maka dialah yang berhak menjadi
pembeli. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual. 
Hukum
jual beli dengan cara lelang menurut pendapat para ulama, iaitu menurut Al
Kasni dan Ibnu Human, ulama dari Mazhab Hanafi mengatakan jual beli lelang (al-muzayyadah)
tidak dilarang karena Rasulullah SAW secara pribadi memperaktikkan hal
tersebut. Ada pendapat ulama yang membolehkan hukum lelang, tapi ada juga yang
memakruhkannya karena terdapat sumber hukumnya yang berbeda. Jumhur (mayoritas
ulama) membolehkan lelang, dasarnya adalah apa yang dilakukan langsung oleh
Rasulullah SAW di masa beliau hidup. Hadis yang membolehkannya antara lain :
عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ قَالَ بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ
بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ قَالَ ائْتِنِي بِهِمَا
قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ
قَالَ مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا
بِدِرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الْأَنْصَارِيَّ
Dari
Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw
dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya,”Apakah di
rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua potong kain, yang
satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum
air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.”
Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang
ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga
satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga
lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah
seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.”
Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua
dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut…
(HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) 
Hadits ini menjadi
dasar hukum dibolehkannya lelang dalam syariah Islam. Lantaran Nabi SAW sendiri
mempraktekkannya. Ibnu Juzaiy, ulama dari Mazhab Maliki  memperbolehkan prinsip ini karena tidak ada
elemen ketidaktransparan dalam memilih barang.
Ibn Qudamah, ulama dari mazhab Hanbali memperbolehkan hal ini mengacu pada
ijma’ berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sehingga tidak ada
alasan untuk mengharamkannya. Kebolehan transaksi lelang ini dikomentari oleh
Ibnu Qudamah sebagai sesuatu yang sudah sampai ke level ijma` (tanpa ada yang
menentang) di kalangan ulama.  
Praktik perdagangan saham dan sukuk pada pasar modal
dilakukan dengan mekanisme al-muzayyadah (lelang). Kontrak muzayadah adalah
penawaran sekuritas untuk dijual dengan harga terbaik, kemudian kontrak
dilakukan atas salah satu harga yang ditawarkan yakni harga tertinggi.      
 Proses jual beli
lelang dilakukan dengan tawar menawar oleh para peserta lelang. Jika belum ada
kesepakatan antar peserta yang melakukan penawaran, maka dimungkinkan seorang
lain mengajukan tawaran dan memberi tambahan atas harga pertama.
 Hal itu sesuai
dengan hadis yang diriwiyatkan dari Anas: “ Sesungguhnya Nabi saw, pernah
menawarkan anak panah dan pelana kepada beberapa shabatnya. Lalu seorang
laki-laki berkata, “ Keduanya bagiku dengan harga satu dirham”. Kemudian orang
yang lain berkata, “ Keduanya bagiku dengan dua dirham”.  (HR.Bukhari dan Muslim). 
Hukum jual beli secara muzayadah adalah dibolehkan
karena dalam jual beli atau sewa seseorang individu terhadap harta miliknya
sendiri dan sunah di dalam jual beli atau sewa sesorang yang
dipertanggungjawabkan menjaga harta seseorang yang lain.
Argumen pembolehan bay’ muzayyadah 
seperti yang tercantum dalam hadis tersebut. 
Jenis Akad Sukuk di Pasar Modal
Sukuk (صُكُوْك) adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan
bentuk jamak (plural) dari kata ‘Sakk’ (صَكَّ), yang berarti
dokumen atau sertifikat. Pada
abad pertengahan abad 20, sukuk lazim digunakan oleh para pedagang muslim
sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari
perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. 
Berdasarkan Standar Syariah The Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) No. 17 tentang Investment
Sukuk (Sukuk Investasi), Sukuk didefinisikan sebagai
sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti atas bagian kepemilikan yang tak
terbagi terhadap suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa, atau atas kepemilikan
suatu proyek atau kegiatan investasi tertentu.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI) No.
32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah, Sukuk (Obligasi Syariah)
didefinisikan sebagai surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah
yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan Emiten
untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee
serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Ada pula yang menyebut sukuk dengan istilah obligasi syariah.
Menurut para pakar, obligasi syariah adalah suatu kontrak perjanjian tertulis
yang bersifat jangka panjang untuk membayar kembali pada waktu tertentu seluruh
kewajiban yang timbul akibat pembiayaan untuk kegiatan tertentu menurut syarat
dan ketentuan tertentu serta membayar sejumlah manfaat secara periodik menurut
akad.
Berdasarkan keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan (Bapepam–LK) Nomor KEP-181/BL/2009, Sukuk didefinisikan
sebagai Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai
sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi
atas :
a.      Kepemilikan
aset berwujud tertentu
b.      Nilai manfaat
dan jasa atas asset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu
     c.     
Kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu
Dari empat belas jenis akad sukuk
yang disetujui AAOIFI, terdapat enam jenis akad 
yang sering digunakan dalam penerbitan sukuk, yakni : 
1.   Sukuk
Ijarah
Sukuk ijarah adalah
pembiyaan yang menggunakan akad ijarah.
Sukuk ijarah  dapat  juga  
diartikan  sebagai  surat 
berharga  yang  berisi 
akad pembiayaan berdasarkan
pada prinsip syariah yang dikeluarkan oleh perusahaan (emiten), pemerintah pusat/daerah atau institusi lainnya yang
mewajibkan pihak yang mengeluarkannya untuk membayar pendapatan kepada pemegang
sukuk berupa fee dari hasil pembayaran menyewakan aset serta dibayar kembali
dana pokok sukuk pada saat jatuh
tempo.  Sukuk Ijarah diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad
ijarah, dimana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menyewakan
hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode
yang disepakati, tanpa diikuti perpindahan kepemilikan aset itu sendiri. 
2.   Sukuk Mudharabah 
Sukuk
Mudharabah adalah surat berharga yang berisi akad
pembiayaan yang menggunakan sisten akad
mudharabah. Sukuk Mudharabah dapat juga didefinisikan sebagai surat
berharga berisi akad pembiyaan berdasarkan pada prinsip syariah yang
dikeluarkan oleh perusahaan (emiten),
pemerintah atau institusi lainnya yang mewajibkan pihak yang menerbitkannya untuk membayar
pendapatan kepada pemegang sukuk berupa
bagi hasil dari hasil pengelolahan dana yang telah disetorkan oleh pemilik dana
serta dibayar kembali dana pokok sukuk pada
saat jatuh tempo.Sukuk Mudharabah diterbitkan
berdasarkan perjanjian atau akad mudharabah, dimana satu pihak menyediakan
modal (rab-al-maal/shahibul maal) dan pihak lain menydiakan tenaga dan keahlian
(mudharib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan proporsi
perbandingan (nisbah) yang disepakati sebelumnya. Kerugian
yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia modal, sepanjang
kerugian tersebut tidak ada unsur moral hazard.  
3.    Sukuk
Musyarakah
Sukuk Musyarakah adalah surat berharga yang berisi akad pembiayaan yang
menggunakan akad musyarakah. Sukuk
Musyarakah dapat juga didefinisikan sebagai surat berharga yang berisi akad
pembiayaan berdasarkan prinsip yang dikeluarkan oleh perusahaan (emiten) pemerintahan atau institusi
lainnya yang mewajibkan pihak yang mengeluarkannya untuk membayar pendapatan
kepada pemegang sukuk berupa bagi
hasil dari hasil pengelolaan dana kontribusi dari pihak – pihak yang berakad
serta dibayar kembali dana pokok pada saat jatuh tempo.Sukuk Musyarakah diterbitkan berdasarkan perjanjian atau
akad musyarakah, dimana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal
untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang sudah ada, atau membiayai
kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul
ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak. 
4. Sukuk Istishna’
Sukuk Istishna’ adalah surat berharga yang berisi akad pembiyaan yang
menggunakan akad istishna’. Sukuk
istishna’ dapat juga diartikan sebagai surat berharga yang berisi akad
pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah yang dikeluarkan oleh perusahaan (emiten) pemerintahan atau institusi
lainnya yang mewajibkan pihak yang mengeluarkannya untuk membayar pendapatan
kepada pemegang sukuk berupa bagi
hasil dari marjin keuntungan serta dibayar kembali dana pokok sukuk pada saat jatuh tempo. 
                        Definisi
sukuk istishna’ juga hampir sama
dengan definisi sukuk salam. Pada
dasarnya, kedua akad tersebut hampir sama juga. Hanya cara penyerahan
pembiayaannya yang membedakannya. Pada akad
salam pemnyerahan pembiayaannya terjadi pada awal akad. Namun jika pada akad istishna’ pembayarannya pada akhir
periode akad atau secara angsuran.  Sukuk
istishna’ diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad
istishna, dimana para pihak menyepakati jual-beli dalam rangka pembiayaan suatu
proyek atau barang. Adapun harga, waktu penyerahan dan spesifikasi
proyek/barang ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.
5.      
Sukuk Murabahah
Sukuk
Murabahah adalah surat berharga yang berisi akad
pembiayaan yang menggunakan akad murabahah.  Sukuk murabahah di perdagangkan di pasar.
Sukuk murabahah dapat juga diartikan
sebagai surat berharga yang berisi akad pembiayaan berdasarkan pada prinsip
syariah yang dikeluarkan oleh perusahaan (emiten),
pemerintah, atau institusi lainnya, yang mewajibkan pihak mengeluarkannya untuk
membayar pendapatan kepada pemegang sukuk
berupa bagi hasil marjin keuntungan serta dibayar kembali dana pokok sukuk
pada saat jatuh tempo. 
6.      
Sukuk Salam
Sukuk
salam adalah surat berharga yang berisi akad
pembiyaan yang menggunakan akad salam.
Sukuk salam dapat juga diartikan sebagai surat berharga yang berisi akad
pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah yang dikeluarkan oleh perusahaan
yang mengeluarkannya untuk membayar pendapatan kepada pemegang sukuk. Biasanya berupa bagi hasil dari
marjin keuntungan serta dibayar kembali dana pokok sukuk pada saat jatuh tempo. 
     Beberapa
sukuk yang diterbitkan menjadi sasaran kritikan tajam disebabkan karena
keterlibatannya dari bay’ al-inah, bay’ al-dayn dan sifat-sifat landasan
non syariah
yang membuat sukuk sama dengan obligasi berdasarkan bunga. 
Bay’ al-inah merupakan penjualan dua kali di mana pinjam dan orang
yang meminjam menjual dan kemudian menjual kembali suatu objek di antara mereka
sekali untuk tujuan memperoleh uang tunai dan sekali lagi untuk tujuan harga
yang lebih tinggi berdasarkan kredit, dengan hasil bersih dari suatu pinjaman
dengan bunga. 
Menurut aturan syariah,
pemegang sukuk secara bersama memiliki risiko terhadap harga aset dan
biaya-biaya yang terkait dengan kepemilikan dan bagian dari uang sewanya dengan
melakukan sewa pada pengguna tertentu.
      
     Sumber
pendapatan (imbal hasil) sukuk dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu marjin, fee dan bagi hasil. Sukuk
yang pembayaran pendapatannya bersumber dari marjin keuntungan akad jual beli adalah sukuk murabahah, sukuk salam dan sukuk istishna’. Sukuk
yang membayarkan pendapatannya bersifat tetap karena bersumber dari pendapatan
tetap dari sewa atau fee, yaitu sukuk ijarah. Sukuk yang pembayaran pendapatannya berdasarkan bagi hasil
dari hasil yang diperoleh dalam menjalankan usahanya yang dibiayai, yaitu sukuk mudharabah dan sukuk musyarakah. 
Praktik
Penerbitan Sukuk Korporasi di Pasar Modal Indonesia
 Sejak penerbitan sukuk yang pertama kali pada tahun
2002 oleh PT. Indosat dengan nilai emisi Rp 175 milyar yang saat itu masih
menggunakan istilah obligasi syariah, perkembangannya masih tergolong lambat.
Setelah 13 tahun berlalu, perkembangan penerbitan sukuk korporasi di Pasar
Modal Indonesia baru  mencapai 80 emisi
sukuk dengan total nilai 14.483,4 milyar. 
 Dari 80 emisi sukuk tersebut, 41 sukuk masih
beredar dengan nilai nominal Rp 8.284 milyar, sisanya 39 sukuk sudah dilunasi
dengan total nilai Rp 6.039,4 milyar. Akad yang digunakan untuk keseluruhan
penerbitan sukuk korporasi tersebut, hanya menggunakan dua jenis akad, yakni
akad Ijarah dan Mudharabah.
 Total penerbitan sukuk dengan akad Ijarah 53
emisi sukuk dan sukuk sisanya 27 sukuk menggunakan akad mudharabah. Sampai
bulan Juli 2015. Sukuk Mudharabah didominasi oleh sektor keuangan terutama perbankan
syariah, sedangkan sukuk Ijarah diterbitkan oleh perusahaan ritel, manufaktur,
insfrastruktur. Jumlah emisi sukuk terbanyak menggunakan akad Ijarah 53 emisi
dan menggunakan akad Mudharabah 27 emisi sukuk. Penerbitan sukuk korporasi di
Indonesia baru menggunakan dua jenis akad saja, yakni akad Ijarah dan akad
Mudharabah. Dalam prakteknya, ternyata terdapat perbedaan struktur antara akad
Ijarah satu Ijarah lainnya, begitu juga pada akad mudharabah, tergantung
kondisi masing-masing penerbit (emiten), yaitu perbedaan aset dasar (underlying asset), penggunaan dana hasil
penerbitan sukuk serta akad paling memungkinkan untuk diterapkan pada saat
penerbitan. Dari empat puluh delapan (48) penerbitan sukuk yang diterbitkan oleh
duapuluh delapan (28) emiten, yang menggunakan akad Mudharabah terdapat 7
struktur dan akad Ijarah menggunakan 12 struktur (model).
1.                  
Praktik Penerbitan Sukuk Mudharabah 
Penerbitan sukuk korporasi
dengan akad mudharabah di Indonesia tidak hanya menggunakan satu struktur sukuk,
tetapi menggunakan tujuh struktur mulai dari skema A sampai skema G. Berikut
ini contoh skema sukuk mudharabah model A untuk penerbitan Sukuk Mudharabah PT.
Bank Syariah Mandiri (2008).
Gambar
1: Skema Sukuk Mudharabah Model A
Sumber:
Tim Penyusun Himpunan Skema Sukuk (2011)
 Rangkuman ke tujuh model Sukuk
Mudharabah dirangkum dalam tabel berikut ini:  
Tabel
1 :  Model Akad Mudharabah pada
Penerbitan Sukuk Korporasi
 
  | 
Model Akad                     Sukuk Mudharabah | 
Emiten | 
Aset Dasar 
(Underlying Asset) | 
Imbal Hasil | 
Tujuan Penggunaan Dana | 
  | 
Model A | 
·                    
  PT.Bank Syariah Mandiri (2004) 
·                    
  PT.Bank Muamalat Indonesia (2008) | 
Pendapatan Proyek Pembiayaan aset murabahah. | 
Nisbah bagi hasil dari margin murabahah yang dipeloreh. | 
Meningkatkan aktiva produktif yang akan disalurkan
  untuk pembiayaan murabahah. | 
  | 
Model B | 
·                    
  PT.BPD Sumatra Barat (2010) 
·                    
  PT.Bank Bukopin (2003) | 
Pendapatan Proyek Pembiayaan aset Murabahah dan
  kegiatan UUS lainnya. | 
Nisbah bagi hasil dari margin Murabahah yang dipeloreh | 
Untuk pengembangan usaha berupa pembiayaan syariah yang
  dilakukan Unit Usaha Syariah emiten. | 
  | 
Model C | 
·                    
  PT.Mayora (2008) | 
Pendapatan Kegiatan Usaha (produksi/kontrak penjualan)
  emiten. | 
Nisbah bagi hasil tunggal dari kontrak penjualan. | 
Untuk penambahan kapasitas produksi dan modal kerja. | 
  | 
Model D | 
·                    
  PT.Cilandra Perkasa (2003) | 
Pendapatan produksi /kontrak penjualan anak perusahaan | 
Nisbah bagi hasil tunggal dari pendapatan anak
  perusahaan. | 
Untuk pembangunan pabrik anak perusahaan. | 
  | 
Model E | 
·                    
  PT. Perkebunan NegaraVII (2004) | 
Pendapatan penjualan komoditas | 
Nisbah bagi hasil bersifat multinisbah (menurun) dari
  pendapatan penjualan komoditas dikurangi biaya. | 
Untuk peningkatan kapasitas produksi dan sarana
  pendukung. | 
  | 
Model F | 
·                    
  PT.Adhi Karya(2007) | 
Pendapatan proyek kerja sama penjualan usaha jasa konstruksi
  atas satu atau lebih proyek yang sedang dan akan dikerjakan | 
Nisbah bagi hasil tunggal dari laba kotor dari
  pendapatan proyek. | 
Untuk modal penyelesaian proyek proyek yang sedang dan
  akan dikerjakan. | 
  | 
Model G | 
·                    
  PT.Indosat(2002) 
·                    
  PT.Berlian Laju Tanker (2003) | 
Pendapatan yang diperoleh atas pengoperasian objek
  (satelit dan kapal tanker) | 
Nisbah bagi hasil dari pendapatan yang diperoleh atas
  pengoperasian objek | 
Untuk pengembangan usaha bisnis emiten. | 
Sumber: Tim Penyusun Himpunan
Skema Sukuk (2011) & Andri.S (2014)
2.
Praktik Penerbitan Sukuk Ijarah 
Praktik penerbitan Sukuk Ijarah
di Pasar Modal Indonesia menggunakan dua belas struktur (modal). Contoh skema
penerbitan sukuk Ijarah dengan model A untuk penerbitan Sukuk Ijarah. PT. Aneka
Gas Industri I Tahun 2008.
                     
Gambar
4: Skema Sukuk Ijarah A
Sumber:
Tim Penyusun Himpunan Skema Sukuk (2011)
Tabel
2: Rangkuman Model Akad Ijarah pada Penerbitan Sukuk Korporasi
 
  | 
Model Akad Sukuk Ijarah | 
Emiten | 
Aset Dasar (Underlying
  Asset) | 
  | 
Model A1 | 
·                   
  PT.Humpus Intermoda Transportasi (2004) 
·                   
  PT.Apexindo Pratama Duta (2005) 
·                   
  PT.PLN (2006,2009,2010) 
·                   
  PT.Berlian Laju Tanker (2007,2009) 
·                   
  PT.Indosat(2005,2007,2008,2009) 
·                   
  PT.Sumercon Agung (2008) 
·                   
  PT.Metro Data Electronics (2008) | 
Obyek Ijarah yang dijadikan  aset dasar dalam penerbitan sukuk berupa
  aset tetap milik emiten baik yang sudah ada dengan jenis aset dan spesifikasi
  yang jelas. Contoh objek Ijarah:Kapal Tanker dengan bobot mati
  tertentu,jaringan listrik dengan jenis,nilai dan spesifikasi tertentu,
  bangunan yang berfungsi sebagai mall,sirkit dengan kapasitas tertentu. | 
  | 
Model A2 | 
·                   
  PT.CSM Corporatama (2009) | 
Aset tetap milik emiten, yaitu sekumpulan aset tetap
  yang sudah ada maupun belum ada. Contoh objek Ijarah: Kendaraan | 
  | 
Model A3 | 
·                   
  PT.Aneka Gas Industri(2009) | 
Objek Ijarah berupa jasa (kontrak /perjanjian jual
  beli) atas pemanfaatan objek ijarah milik emiten . contoh: Mesin dan Tangki
  Penyimpanan | 
  | 
Model A4 | 
·                   
  PT.Mitra Adiperkasa (2009) | 
Aset tetap milik emiten, yaitu sekumpulan aset tetap
  yang sudah ada maupun belum ada. Contoh objek Ijarah: Kendaraan | 
  | 
Model B1 | 
·                   
  PT.Matahari Putra Prima (2004,2009) 
·                   
  PT. PLN (2007) | 
Aset tetap milik pihak ketiga yang sudah ada dengan jenis
  aset dan spesifikasi yang jelas. Contoh objek Ijarah:Mesin Pembangkit Listrik
  Tenaga Diesel, Ruangan Usaha. | 
  | 
Model B2 | 
·                   
  PT.Salim Ivomas Pratama (2009) 
·                   
  PT.Pupuk Kalimantan Timur (2009) | 
Obyek Ijarah yang dijadikan underlying aset dalam
  penerbitan sukuk berupa jasa milik pihak ketiga.Contoh: Jasa Pengangkutan | 
  | 
Model C | 
·                   
  PT.Titan Petrokimia Nusantara(2010) | 
Aset tetap milik emiten, yaitu sekumpulan aset tetap
  yang sudah ada. Contoh objek: Tanah, Bangunan | 
  | 
Model D1 | 
·                   
  PT.Berlina (2004) | 
Aset tetap milik emiten, yaitu sekumpulan aset tetap
  yang sudah ada. Contoh objek: Tanah, Bangunan, Mesin. | 
  | 
Model D2 | 
·                   
  PT.Ricky Putra Globalindo (2005) | 
Aset tetap yang akan dibeli emiten, dengan menggunakan
  dana hasil penawaran sukuk. Contoh objek: Tanah, Bangunan, Mesin | 
  | 
Model E | 
·                   
  PT.Citra Sari Makmur (2004) | 
Aset tetap milik emiten, yaitu sekumpulan aset tetap
  yang sudah ada. Contoh objek: Peralatan Jaringan Telekomunikasi. | 
  | 
Model F | 
·                   
  PT.Sona Topas Tourism Industry (2004) | 
Aset tetap milik anak perusahaan yang sudah ada dengan
  jenis aset dan spesikasi yang jelas. Contoh objek Ijarah: Mall. | 
  | 
Model G | 
·                   
  PT.Bakrieland Development(2009) | 
Aset tetap milik anak perusahaan yang sudah ada dengan
  jenis aset dan spesikasi yang jelas. Contoh objek Ijarah: Edutainment Mall. | 
Sumber: Tim Penyusun Himpunan
Skema Sukuk (2011) & Andri.S (2014)
Penutup
Dalam dunia bisnis, akad memiliki peranan sangat penting
karena keberlangsungan kegiatan bisnis ke depan akan tergantung seberapa baik
dan rinci akad yang dibuat untuk menjaga dan mengatur hak dan kewajiban kedua
belah pihak.  Akad merupakan perjanjian
yang mengikat hubungan kedua pihak itu sekarang dan yang akan datang. Pemilihan
akad akan mencerminkan seberapa besar tingkat risiko dan keuntungan bagi kedua
pihak, terutama bagi pihak pemodal maupun pihak yang mengelola bisnis atau
antara pembeli dengan penjual. 
    Tidak semua akad yang terdapat dalam keuangan
syariah dapat diimplementasikan di Pasar Modal Syariah khususnya akad yang
digunakan dalam penerbitan sukuk.AAOIFI menetapkan
empat belas jenis akad yang digunakan untuk menerbitkan sukuk,  akan tetapi terdapat enam jenis akad yang
sering digunakan dalam penerbitan sukuk di dunia, yaitu : akad Mudharabah,
Musyarakah, Ijarah, Salam, Istishna dan akad Murabahah. Selain itu, akad jual
beli (bay’) juga digunakan sebagai landasan penerbitan sukuk negara, yakni akad
bay wafa’ dan bay’ istighlal. Akad bay’juga dipraktikkan pada transaksi jual beli
sukuk di Pasar sekunder menggunakan akad bay’
muzayyadah. Saat ini penerbitan sukuk korporasi di Pasar Modal Indonesia
baru menggunakan dua jenis akad yakni, akad Mudharabah dan Ijarah. Setiap akad
menggunkan banyak struktur (skema) sehingga walaupun akadnya sama namun dengan
skema (model) yang berbeda. Perbedaan skema dalam penerbitan sukuk tersebut
tergantung kondisi perusahaan, aset dasar (underlying
asset), tujuan penggunaan dana sukuk serta penetapan akad yang memungkinkan
pada saat sukuk diterbitkan. Pada saat Indonesia baru menerbitkan empat puluh
delapan (48) Sukuk Korporasi, sukuk Mudharabah telah menggunakan tujuh skema
(model) dan sukuk Ijarah mengunakan dua belas skema (model). Di masa yang akan
datang penerbitan sukuk korporasi mestinya memiliki struktur akad yang standard
sehingga lebih seragam dan tetap memenuhi aspek kepatuhan syariahnya.
Pustaka
Acuan
Muslich, Ahmad
Wardi, Fiqh
Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010.
Sholihin,  Ahmad Ifham, Buku Pintar
Ekonomi Syariah, Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 2010.
Zarqa’, al-, Ahmad, Al-Sharh
al-Qawa’id al Fiqhiyyah, Ed. Ke-2, Dar al-Qalam,
Damasyiq, 1993.
Soemita, Andri, Masa
Depan Pasar Modal Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2014.
S., Burhanuddin, Fiqh
Muamalah: Dasar-Dasar Transaksi Dalam Ekonomi dan Bisnis, Edisi Pertama, Yogyakarta: Ijtihad Ilmu, 2010.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada Jakarta, 2010.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, diterjemahkan oleh Ahmadie
Thoha, Jakarta:  Pustaka Firdaus, Jakarta,
2000.
Ibn Manzur,Muhammad bin Makram , Lisan al-arab, Bairut: Dar al-Sadir, 1968.
Iqbal, Zamir and Abbas Mirakhor, An
Introduction to Islamic Finance-Theory and Practice, New Jersey: Wiley
Finance Editions, John Wiley & Sons, Inc., 2006
Ayub, Muhammad, Understanding
Islamic Finance, diterjemahkan oleh Aditya Wisnu  Pribadi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007
HR , Muhammad Nafik, Bursa
Efek & Investasi Syariah, Jakarta: Serambi  Ilmu
Semesta, 2009 
Nashrullah, Muhammad, “Akad-Akad
Fiqh Pada Pasar Modal Syariah dan Aplikasinya”, dalam Muamalah Jurnal
Ekonomi Syariah, Vol.4, No.1,( Januari, 2007).
Qal’ahji, Muhammad
Rawwas, Urusan Kewangan Semasa Menurut Persfektif Syariah Islam, diterjemahkan
oleh Basri bin Ibrahim al-Hasani al-Azhari, Selangor:Al-Hidayah Publication, 2009.
Haroen,  Nasrun, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2007.
Suyuthi, al-Imam al-Hafidz
Abdurrahman Jalaludin, al-Asbah Wa al-Nadhair,  Bairut:Darul Fikri,1983.
Ayob, Syeikh
Hasan, Fiqh
Muamalah, diterjemahan oleh Abdurrahman
Saleh S, Selangor: Berlian Publications, 2008.
The Accounting and Auditing Organization
of Islamic Financial Institutions (AAOIFI), Shariah Standard No. 17, Bahrain:
AAOIFI May 2003.
Abdul
Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shiddiq, Fiqh Muamalat,
(Jakarta:  Kecana Prenada Media,  2010), h.
51. 
 
 T.M Hasbi Ash- Shieddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 21   
 
         Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, Aditya Wisnu Pribadi,
(Pent.), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h.
159.  
 
         Muhammad Rawwas Qal’ahji, Urusan Kewangan Semasa Menurut Persfektif
Syariah  Islam, Basri bin Ibrahim
al-Hasan al Azhari, (Pent.), (Selangor: 2009), h.131.   
 
         
 Ibnu Juzaiy:  dalam Muhammad Rawwas
Qal’ahji, Urusan Kewangan Semasa Menurut Perspektif Syariah Islam,
diterjemahkan 
 oleh Basri bin Ibrahim al-Hasani al-Azhari,
(Selangor:Al-Hidayah Publication, 2009).h. 175
 
         Ibnu Juzaiy:  dalam Muhammad Rawwas
Qal’ahji, Urusan Kewangan Semasa Menurut Perspektif Syariah Islam,
diterjemahkan oleh Basri bin Ibrahim al-Hasani al-Azhari, (Selangor:Al-Hidayah
Publication, 2009),h.213  
 
          Yusuf  as-Sabatin,
Bisnis Islami & Kritik Atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, (Bogor: Al
-Azhar Press, 2009), h.256   
 
          Muhammad Nashrullah, Akad-Akad Fiqh Pada Pasar Modal
Syariah dan Aplikasinya, dalam Muamalah Jurnal Ekonomi 
Syariah,  Vol.4, No.1,( Januari, 2007).
 
        Muhammad
Nafik H.R, Bursa
Efek dan Investasi Syariah (Surabaya: Cahaya Amanah, 2008),  h.360 
 
       Muhammad
Nafik H.R, Bursa
Efek dan Investasi Syariah (Surabaya: Cahaya Amanah, 2008),  h.357 
 
        Muhammad
Nafik H.R, Bursa
Efek dan Investasi Syariah Ibid, h.358 
 
        Muhammad
Nafik H.R, Bursa
Efek dan Investasi Syariah Ibid, h.359 
 
      Muhammad
Nafik H.R, Bursa
Efek dan Investasi Syariah (Surabaya: Cahaya Amanah, 2008),h.  356 
 
          Muhammad
Nafik H.R, Bursa
Efek dan Investasi Syariah, h. 358-359 
 
          Muhammad
Nafik H.R, Bursa
Efek dan Investasi Syariah (Surabaya: Cahaya Amanah, 2008),h.
360-361