PARADIGMA FIQH
AL-BÎ’AH BERBASIS KECERDASAN NATURALIS:
TAWARAN HUKUM ISLAM
TERHADAP KRISIS EKOLOGI
Muhammad Harfin Zuhdi
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
IAIN Mataram
Jl. Pendidikan No. 35 Mataram 
Email: harfin72@yahoo.co.id
Abstract:
Environmental crisis is one of the crucial contemporary problems. It causes and
has been caused by global warming, weather anomaly, sheering of ozone sheer,
natural resources exploitation, deforestation, flood, long drought, landslide
and the extinct of flora and fauna. Since humans live on one earth, they have
to pay close attention to it; to keep it away from irresponsible and greedy
exploitation. But humans have destroyed it for the sake of their needs of
natural resources. Islamic law of environment (fikih al-bî’ah), a new conception to deal with environment from
Islamic legal perspective, provides answer to this problem. The need to this
perspective is inevitable due to several factors. First, environment problem
has reached emergency level. Second, Muslims need an excellent framework and
comprehensive guideline of Islamic law regarding environment. This must be
based on new reinterpretation of fikih, not conventional-classical fikih.
Third, fiqh al-bî’ah has not been
considered an independent disciple that needs serious effort to formulate
it.        
Keyword:
Environmental crisis, paradigm of Islamic
environmental, natural intelligence
Abstrak: Paradigma
Fiqh
al-Bî’ah Berbasis Kecerdasan Naturalis: Tawaran Hukum Islam Terhadap Krisis
Ekologi. Krisis lingkungan global mulai dari, perubahan iklim,
menipisnya lapisan ozon, eksploitasi sumber daya alam, penebangan liar, banjir,
kekeringan, tanah longsor, hingga punahnya keanekaragaman hayati menjadi
persoalan global saat ini. Manusia
dan lingkungan adalah dua unsur yang saling terkait dan tak dapat terpisahkan.
Manusia dinilai sebagai aktor utama dalam kerusakan lingkungan yang diasumsikan
memiliki  keserakahan, dan tidak
bertanggungjawab sehingga menjadikan alam lingkungan sebagai obyek nilai,
ekonomi dan kebutuhan hidup pragmatis. Dalam konteks
inilah letak
signifikansi melakukan rekonstruksi paradigma fiqh al-bî’ah berbasis kecerdasan
naturalis
disebabkan oleh  tiga faktor. Pertama, kondisi obyektif krisis
lingkungan yang makin parah. Kedua,
umat Islam memerlukan kerangka pedoman komprehensif tentang paradigma
fikih dalam masalah lingkungan, sedangkan fikih klasik dipandang belum
mengakomodir kerangka operasional dalam perspektif lingkungan modern. Ketiga, fiqh al-bî’ah belum dianggap sebagai disiplin dalam ranah studi
Islam.
Kata
Kunci: krisis lingkungan, paradigma fikih al-bî’ah, kecerdasan
naturalis
Pendahuluan
Persoalan
krisis lingkungan global menjadi persoalan serius saat ini. Seluruh bumi terancam. Tidak ada
satu bangsa atau negara manapun yang luput dari dampak krisis ini.  Kerusakan lingkungan menjadi salah satu isu
global yang meresahkan masyarakat dunia. 
Kondisi
tersebut secara langsung telah mengancam kehidupan manusia. Tingkat kerusakan
alam pun meningkatkan risiko bencana alam. Penyebab terjadinya kerusakan alam
dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah
manusia. Kondisi ini diakui oleh Walhi
Institute, yang mengatakan bahwa  persoalan
lingkungan hidup hari ini sudah pada tahap keadaan status bahaya (air, tanah, udara,
sungai dan iklim), namun penanganan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
masih dilakukan dengan mempergunakan pendekatan “business as usual”. Oleh karenanya, perlu ada
terobosan baru yang dilahirkan untuk mempebaiki situasi ini sehingga ke depan tidak menghadapi
persoalan lingkungan yang semakin besar.
 
Namun
ironisnya, manusia seakan tidak pernah merenung dan mengambil pelajaran (`tibar),
apalagi merasa jera dibalik bencana yang terjadi. Bencana alam datang menimpa
silih berganti. Bencana alam telah benar-benar mengancam hidup manusia.
Berbagai tanda-tanda keengganan alam untuk dieksploitir manusia kini akrab
menimpa manusia. Eksploitasi hutan dan rimba tanpa mempertimbangkan
kesinambungan ekosistemnya menyebabkan hutan kehilangan daya dukungnya bagi
konservasi air dan tanah, dan banjir, longsor pun datang. Kerakusan manusia
merambah hutan telah mengakibatkan korban jiwa manusia tidak berdosa tidak terhitung. Perubahan iklim secara ekstrem
tanpa bisa diprediksikan
sebelumnya adalah dampak lain dari kerusakan lingkungan oleh ulah manusia.
Klimaksnya, pemanasan global sebagai efek dari ketidakpahaman manusia terhadap
alam pun taidak
terhindarkan.
Berdasarkan
realitas permasalahan tersebut, maka pertanyaannya kemudian adalah apa faktor
utama penyebab krisis ekologi dan bagaimana solusi yang dapat ditawarkan dalam
mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan?
Menurut Sayyed Hossein Nasr, bahwa krisis ekologi disebabkan akibat dari
krisis spiritual manusia modern. Nasr menyatakan bahwa
berbagai kerusakan yang terjadi akibat sains, teknologi, dan ekonomi kapitalis
yang sebenarnya berakar pada krisis spiritual. Sains, teknologi dan ekonomi
yang merupakan kebutuhan manusia seharusnya tidak dipisahkan dari rangkulan
spiritual sebagai chek and ballance. Menurut Nasr, karena akibat aspek
spiritual yang dipinggirkan, membuat manusia modern berpandangan manusia dapat
menggunakan segala aset alam tanpa batas sebagai identitas dari paradigma  humanism-antroposentris. 
Selanjutnya para pakar lingkungan menyimpulkan bahwa ada
tiga faktor utama yang menyebabkan lahirnya kriris lingkungan ini. Pertama,
permasalahan fundamental-filosofis. Permasalahan ini berakar pada
kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan posisi manusia dalam
keseluruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang mengganggap dirinya superior
telah mendorong manusia untuk bersikap hegemonik terhadap inferioritas alam.
Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung bersifat konsumtif dan eksploitatif
terhadap sumber daya alam. Paham ini ditunjang dengan paham materialisme,
kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah
mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan.  
Kedua, permasalahan
politik ekonomi global. Sebagai imbas paham materialisme, kapitalisme, dan
pragmatisme,  negara-negara maju (Barat) telah mendirikan pabrik-pabrik
industri yang telah menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Permasalahan kemudian muncul ketika negara-negara Barat menuntut negara-negara dunia
ketiga untuk mengambil peran positif dalam memelihara lingkungan ini, terutama
menetralisir kasus kebakaran hutan, sementara negara-negara miskin dan
berkembang memandang Barat sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap
krisis lingkungan global.
Ketiga,
permasalahan pemahaman keagamaan. Di kalangan umat Islam, masih terdapat
golongan yang menganut paham teologi yang bercorak teosentrik.
Orang yang berpaham demikian akan memahami bencana alam seperti tsunami, banjir
dan sebagainya sebagai takdir Tuhan, dan tidak memandang krisis ekologis ini
sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis moralitas sosial serta
kegagalan manusia dalam memahami hukum alam (sunnatullah). Mereka
kemudian menghadapi bencana ini hanya dengan ritual berdoa, mohon ampun, istigasah,
menggelar zikir nasional dan seterusnya dan bukan pendekatan sains (ilmu
pengetahuan). Padahal Tuhan sendiri menyuruh manusia untuk memahami fenomena
alam dan fenomena sosial berdasarkan informasi ilmu pengetahuan serta hidup
berdampingan secara harmoni bersama alam dengan jalan menjaga keseimbangan
ekosistem yang ada di dalamnya.
Dalam bidang fikih, watak teosentrik ini juga tampak pada
segolongan orang yang memahami fikih hanya sebatas ibadah mahd}ah seperti shalat, s}aum, zakat, dan haji. Akibatnya, fikih yang berhubungan
dengan fenomena sosial, seperti fikih lingkungan masih terabaikan. Padahal dalam konteks krisis ekologis saat ini, fikih
lingkungan menjadi sangat urgen. Melalui fikih lingkungan, perlu ditanamkan
kepada masyarakat sebuah keyakinan bahwa membuang sehelai sampah ke tempatnya
atau menyingkirkan duri dari jalanan itu adalah ibadah. Melalui fikih
lingkungan, juga perlu ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan bahwa
berjualan di atas trotoar itu termasuk mengambil hak para pejalan kaki yang
diharamkan agama.  
Di antara tiga faktor penyebab krisis ekologi-faktor
fundamental-filosofis, faktor politik ekonomi global dan faktor pemahaman
keagamaan. Dalam tulisan menyoroti faktor yang ketiga (faktor pemahaman
keagamaan). Dengan asumsi Islam adalah agama yang ramah lingkungan, tulisan ini akan
merumuskan fikih lingkungan yang berorientasi pemeliharaan lingkungan. Oleh
karenanya, disinilah letak signifikansi merumuskan paradigama fikih
al-bî’ah berbasis kecerdasan naturalis sebagai solusi komprehensif untuk
mengatasi krisis lingkungan. 
Ilmu fikih
dipilih, karena Ilmu fikih merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman (al-'Ulûm
al-Syar'îyah) yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam, Ilmu fikih
pada dasarnya adalah penjabaran secara faktual dan detail tetang nilai-nilai
ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran  dan sunnah, yang digali terus menerus oleh
para ahli yang menguasai hukum-hukumnya dan mengenal baik perkembangan,
kebutuhan, serta kemaslahatan umat dan lingkungannya dalam bingkai ruang dan
waktu yang meliputinya.
Dengan
demikian, fikih merupakan rumusan aplikatif hukum Islam yang diformulasikan
sebagai sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur kehidupan kaum muslimin dalam
segala aspeknya, baik yang bersifat individual maupun kolektif.
Karakteristiknya yang serba mencakup inilah, yang menempatkannya pada posisi
penting dalam pandangan umat Islam. Bahkan sejak awal hukum Islam telah
dianggap sebagai pengetahuan par excellence-suatu posisi yang belum
pernah dicapai teologi. Itulah sebabnya para orientalis dan Islamisis Barat
menilai bahwa “adalah mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam”
 
            Berdasarkan hal tersebut, maka penulis merumuskan sebuah paradigma fiqh
al-bî’ah berbasis kecerdasan naturalis, baik pada aspek ontologis,
epistimologis maupun aksiologisnya sebagai tawaran konsepsi Islam pada upaya
konservasi lingkungan dan memberikan kontribusi
dalam membangun dunia dan peradaban kemanusiaan berdasarkan landasan etika
moral  ajaran lingkungan (environmentalism)
yang dapat diterima oleh dunia muslim sendiri dalam menghadapi problematika
lingkungan yang mengancam dunia. 
Wawasan
Paradigma Fiqh al-bî’ah Berbasis Kecerdasan Naturalis
Sebagaimana
dipahami bahwa materi fikih berisikan ketentuan-ketentuan untuk mengelola
keseluruhan aktivitas manusia, mulai dari persoalan ritual murni (purely
religious rites) sampai pada masalah-masalah propan, baik sosial, politik,
ekonomi, budaya maupun persoalan-persoalan kontemporer, termasuk isu krisis
lingkungan yang mengancam eksistensi ekosistem. Hanya saja pembagian materi fikih
menjadi berbagai bidang tersebut tidak pernah mengemuka dalam diskursus hukum
Islam. Selama ini fikih selalu dipandang sebagai sebuah kesatuan, karena pada
masa kodifikasi fikih era klasik dan pertengahan memang tidak melakukan
diferensiasi terhadap aspek ritual dan propan, serta masih berada dalam lingkup
peradaban yang sederhana.
Oleh
karena itu, disinilah letak signifikansi untuk merumuskan secara sepesifik
tentang paradigma fikih lingkungan tersebut. Dalam konteks ini, penulis akan
mengawali dengan menjelaskan beberapa kata kunci definisi operasional berkaitan
dengan hal tersebut. 
Pertama, Paradigma diartikan
sebagai  asumsi-asumsi dasar tentang realitas menurut
pandangan dunia (worldview) tertentu. Adapun pandangan dunia dapat
berakar dari kebudayaan, filsafat, agama, kepercayaan, tata nilai sosial atau
lainnya yang diyakini seseorang atau sebuah bangsa.
Dengan kata lain, seperti pendapat al-Attas, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value
laden).
 
Kedua, Fiqh
al-bî’ah adalah fikih lingkungan yang merupakan bagian dari persoalan fikih
kontemporer yang diorientasikan untuk menyikapi berbagai isu lingkungan dari
perspektif yang lebih praktis dengan memberikan patokan-patokan  hukum dan regulasi yang berkaitan dengan
lingkungan. Pendekatan fiqih lingkungan memiliki keunggulan dibanding
pendekatan-pendekatan lain, semisal filsafat lingkungan,
karena umat Islam memerlukan aturan yang lebih praktis dengan bukti pola pikir
bayani (seperti kecenderungan nalar fiqih) yang basisnya teks (nas}s}) lebih dominan daripada pola-pola pikir
lain (‘irfânî dan burhânî).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa  fikih
al-bî’ah adalah kerangka berfikir konstruktif  hukum Islam dalam memahami lingkungan alam
makrokosmos maupun mikrokosmos sebagai tempat hidup dan kehidupan manusia.  
Ketiga,
Kecerdasan Naturalis adalah kecerdasan lingkungan yang menyangkut pola pikir
yang akan mempengaruhi pola interaksi manusia dengan bumi sebagai tempat dan
sumber fasilitas dimana manusia hidup.
Kecerdasan naturalis yang diusung Alquran mensinergikan dimensi spiritual
manusia kepada Allah sebagai Pusatnya. Dengan ketaatan pada Allah dan
ajaran-ajaran-Nya, maka manusia diharapkan dapat merekonstruksi paradigma antroposentris
yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pola interaksinya dengan lingkungan.
Kecerdasan naturalis meniscayakan manusia sebagai sosok yang religius,
egaliter, empatik, logis, progresif, kreatif, koperatif dan harmonis dengan
keseluruhan ekosistem dalam hidupnya. 
Sayyed Hossein Nasr memandang krisis
lingkungan atau ekologi sebagai akibat dari
krisis spiritual manusia modern. Manusia modern telah menjadi pemuja ilmu dan
teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya telah tereduksi
dan terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak
manusiawi. Nasr menggunakan dua istilah pokok yaitu axis dan rim
atau center dan periphery. Menurutnya, manusia modern telah
berada dipinggiran (rim/periphery)
eksistensinya dan bergerak menjauhi pusat (center/axis)
eksistensinya.
 
Alquran
menginformasikan kepada manusia bahwa bencana-bencana alam seringkali diawali dengan
terjadinya penyimpangan perilaku manusia di dalam masyarakat. Dengan kata lain,
menurut Nasaruddin Umar, bahwa perilaku makrokosmos seringkali berbanding lurus
dengan perilaku mikrokosmos.
 
Lebih
lanjut Nasarudin mengidentifikasi beberapa contoh bencana alam yang
diinformasikan dalam Alquran, seperti umat Nabi Nuh yang keras kepala dan
diwarnai berbagai kezhaliman (Q.s. al-Najm [53]: 52), dihancurkan dengan banjir
besar (Q.s. Hûd [11]: 40). Umat Nabi Syu’aib yang penuh dengan korupsi dan
kecurangan (Q.s. al-A’râf [7]: 85, Hûd [11]: 84-85) dihancurkan dengan gempa
yang menggelegar dan mematikan (Q.s. Hûd [11]: 94). Umat Nabi Shaleh yang kufur
dan dilanda hedonisme dan cinta dunia yang berlebihan (Q.s. al-Syu’âra’ [26]: 146-149)
dimusnahkan dengan keganasan virus yang mewabah dan gempa (Q.s. Hûd [11]: 67-68).
Umat Nabi Luth yang dilanda kemaksiatan dan penyimpangan seksual (Q.s. Hûd [11]:
78-79) dihancurkan dengan gempa bumi dahsyat (Q.s. Hûd [11]: 82). Penguasa
Yaman, Raja Abrahah, yang berambisi mengambil alih Ka’bah sebagai bagian dari
ambisinya untuk memonopoli segala sumber ekonomi, juga dihancurkan dengan cara
mengenaskan sebagaimana dilukiskan dalam surah al-Fil [105]: 1-5.
            Kondisi inilah yang disinyalir Alquran  sebagai penyebab krisis lingkungan, karena
egoisme dan egosentrisme manusia acapkali menjadi penyebab terjadinya kerusakan
alam, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ
لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ
فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
Andaikata
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,
dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada
mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.s.
al-Mu’minûn [23]: 71).
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُونَ
Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.s.
al-Rûm [30]: 41).
Kecerdasan
Naturalis: Sinergi Alam Untuk Energi Manusia
Isyarat
Alquran tentang kecerdasan lingkungan sangat mengagumkan. Dalam perspektif Alquran,
orang yang dikatakan memiliki kecerdasan naturalis bukan hanya mengantar
manusia untuk memperhatikan, meneliti, memahami dan mencintai alam raya, akan
tetapi kecerdasan ini dapat membawa manusia menyadari, bahwa ada Tuhan Yang
Mencipta dan Mengatur segala yang ada di alam raya dengan keselarasan yang
sempurna. Dengan pemahaman ini, kecerdasan naturalis bukan hanya membawa
manusia pada interaksi harmonis dengan alam berdasarkan kesadaran dan
pengukuhan ketauhidan, akan tetapi juga sebagai bentuk interaksi harmonis dalam
bingkai ibadah kepada Allah Swt.
Dengan
bentuk pengejewantahan ibadah kepada Allah, seseorang dengan kecerdasan
naturalis dipastikan tidak akan melakukan suatu tindakan yang
menyimpang/dilarang oleh ajaran agama, baik dalam interaksinya dengan
lingkungan, apalagi terhadap Tuhan dan manusia. Ini karena orang yang memiliki
kecerdasan lingkungan akan menyadari kesatuan dan relasi mutual antara Tuhan,
alam dan manusia. Pengertian ini tentu sangat berbeda dengan kecerdasan
naturalis dalam versi Gardner seperti yang diungkap di atas, yang hanya
menekankan pemahaman dan kemampuan berinteraksi harmonis dengan lingkungan.
Pengertian ini masih sangat kering dari nilai spiritual. 
Pengertian
kecerdasan naturalis dalam Alquran dapat dipahami di antaranya dari isyarat Alquran
 berikut ini:
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ
وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍۢ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ﴿ە۱۹﴾ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ
قِيَٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ
وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًۭا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ
ٱلنَّارِ ﴿۱۹۱﴾
“Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan
bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab
neraka.” (Q.s. Ali-‘Imrân [3]: 190-191).
Term
“Ûlu al-Albâb” dalam ayat ini dapat
dipahami sebagai seseorang yang memiliki kecerdasan paripurna, yang tidak ada
kerancuan berpikir di dalamnya. Kecerdasan yang murni ini tidak memiliki kerancuan
dalam berpikir pada hal apapun, karena senantiasa mendapat hidayah langsung
dari Allah Swt. Sehingga, apapun jenis ilmu yang dimilikinya, dapat
dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia dan alam raya, bukan untuk
merusaknya.  Maka oleh sebab itu, tidak semua orang cerdas
masuk dalam kategori “U>lu al-Alba>b”, karena “U>lu
al-Alba>b”, mensyaratkan pemahaman yang murni berlandaskan tauhid dan
hanya memberi efek positif dari hasil pemikirannya. 
“Ûlu
al-Albâb”  dalam ayat tersebut juga
dijelaskan sebagai orang yang telah melalui proses zikir dan pikir sehingga ia
menemukan hakikat penciptaan alam raya, sehingga apapun yang ia temui dan
pahami dari segala yang ada di alam raya membuatnya menyadari, tidak ada
sesuatu apapun yang diciptakan Allah di alam raya ini sebagai sesuatu yang
sia-sia. Dengan kesadaran puncak inilah, orang yang memiliki kecerdasan
naturalis juga akan memuji kebesaran Allah dan memohon kepada Allah Swt. agar
menyelamatkannya dari segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan kerusakan
di alam raya, yang pada akhirnya akan dapat mengantarnya pada azab neraka. 
Ini
adalah cara Alquran yang luar biasa cerdas dalam merangkum kesimpulan besar
tentang sifat orang yang dikatakan memiliki kecerdasan naturalis, yaitu orang
yang memiliki sikap tanggung jawab sebagai seorang individu, makhluk sosial dan
spiritual.
Kecerdasan naturalis dalam Islam, membuat manusia menyadari seutuhnya bahwa,
manusia  adalah aktor penanggung jawab
dalam mengelola alam raya, boleh mengambil manfaatnya, tetapi tetap harus
memelihara dan menjaga kelestariannya, sebagaimana firman Allah Swt.: 
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ
اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُفْسِدِينَ                    
Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.s.
al-Qashash [28]: 77).
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki posisi paling penting karena
ia dipilih Tuhan menjadi khalîfah, pemimpin alam semesta. Dalam
menjalankan misi penting kekhalifahan ini, manusia diberi keistimewaan di mana
Allah Swt. menundukkan alam semesta itu kepada manusia. Relasi manusia dan alam
semesta ini dalam Alquran  dikenal dengan
konsep taskhîr, penundukan alam semesta kepada manusia, sebagaimana
disebutkan secara eksplisit di dalam firman-Nya:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا
فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan
Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Q.s.
al-Jâtsiyah [45]: 13).
            Namun demikian, konsep taskhîr bukan
merupakan kebolehan untuk memperlakukan alam raya semena-mena, melainkan harus
dengan terukur, sesuai dengan ketentuan lain yang diatur di dalam ayat-ayat Alquran
 dan hadis Nabi. Misalnya, di dalam menjalankan
misi kekhalifahan, manusia tidak dibenarkan melakukan sesuatu yang melampaui
batas (isrâf), seperti mengeksploitasi alam melampaui daya dukungnya.
Apabila menusia melakukan pelanggaran ini maka dampaknya akan dirasakan sendiri
oleh manusia, seperti bencana banjir, cuaca yang tidak menentu, pemanasan
global, dan hancurnya ekosistem yang akan berakibat fatal dalam kehidupan umat
manusia. Cepat atau lambatnya kiamat itu seolah-olah ditentukan juga oleh usaha
dan ulah manusia. 
            Oleh karenanya, sudah saatnya untuk
segera mengevaluasi pola relasi manusia dan alam raya. Pola relasi yang ada
selama ini lebih menempatkan alam sebagai obyek dan sasaran. Sudah saatnya
dipikirkan bagaimana menjadikan alam ini sebagai partner manusia, bahkan kalau
perlu sebagai sahabat spiritual manusia. Karena mereka juga adalah makhluk
Allah, sebagaimana halnya manusia.
Oleh
karena itu, manusia dituntut untuk bersahabat dan menjaga kelestarian alam dan
ekosistemnya. Antara manusia dan alam raya saling membutuhkan satu sama lain.
Jika terjadi kerusakan lingkungan alam maka sudah barang tentu akan berdampak
negatif terhadap manusia dan masyarakat. Alam raya adala resourches
manusia. Kualitas kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh lingkungan
hidupnya. Alam raya ini diciptakan serasi dengan kehidupan masyarakat. Jika
dikemudian hari alam raya tidak lagi dapat memfasilitasi kehidupan manusia
sebagai anggota masyarakat, maka itu isyarat adanya disharmonisasi di antara mereka.
Ontologis
Paradigma Fiqh al-Bî’ah
Secara
generik, fiqh al-bî’ah dimaknai sebagai hasil ijtihad ulama tentang
hukum yang mengatur perilaku mukallaf dalam interaksinya dengan
lingkungan. Dalam konteks kesadaran lingkungan, fikih tampaknya tidak cukup
hanya dipahami semata-mata dalam konteks fikih an sich, tetapi
memerlukan keterlibatan disiplin ilmu lain, yaitu ilmu aqidah /tauhid dan ilmu
tasawuf/etika sebagai pengawalnya. Tauhid memberikan penekanan pada kesadaran
bahwa Allah sebagai pencipta alam semesta, baik mikro kosmos maupun makro
kosmos. Kesadaran lingkungan ini dalam perspektif tauhid dibahas dalam tema
ecoteologi. Sedangkan disiplin ilmu tasawuf/etika memiliki peran penting dalam
membangun kesadaran yang sangat dalam melaksanakan ajaran Allah. Kesadaran
lingkungan ini dalam perspektif tasawuf dibahas dalam tema ecosofi.
Munculnya kesadaran mengenai urgensitas  fiqh al-bî’ah ini merupakan buah dari
ajaran Islam yang sangat peduli terhadap lingkungan hidup. Sejak awal Islam
telah menganjurkan pemeluknya untuk melakukan dua  pola relasi-interaksi
yang adil dan berimbang, antara pola interaksi manusia dengan Tuhan (hablun
min Allah) dan manusia dengan manusia dan alam (hablun min al-nâs).
Pola yang pertama dibingkai oleh fiqh al-ibâdât, sedangkan pola yang kedua diwadahi oleh fiqh al-mu`âmalat dengan memasukkan kajian baru seperti fiqh al-bî'ah,
fiqh al-siyâsah dan
lainnya.
Jika dikaji lebih lanjut, pola interaksi tersebut
sesungguhnya terbangun atas dasar konsep tawhîd. Secara harfiah, tawhîd berarti
kesatuan (unitas) yang secara absolut berarti mengesakan Allah dan
sekaligus membedakannya dari makhluk. Akan tetapi tawhîd juga
dapat diartikan secara luas sebagai kesatuan (unitas) seluruh ciptaan-baik
manusia maupun alam-dalam relasi-relasi kehidupan. Dengan kata lain, tawhîd
mengandung pengertian tentang kesatuan antara Tuhan, manusia dan alam.  
Dalam buku Major Themes of The Quran, Rahman
menjelaskan pandangan dunia (world view) Alquran mengenai relasi Tuhan-manusia-alam dalam
tiga gagasan utama. Pertama, Tuhan merupakan satu-satunya eksistensi yang menciptakan
alam dan manusia. Kedua, Tuhan menciptakan alam sebagai sebuah
kosmos atau  tatanan yang teratur yang tidak statis, melainkan berkembang
secara dinamis. Ketiga, alam bukan suatu permainan yang
sia-sia, tetapi ia memiliki tujuan dan manusia harus mempelajari hukum-hukum
alam ini yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan (sunnatullah) dan
menjadikannya sebagai panggung aktivitas manusia. 
Demikian hubungan integratif antara Tuhan-manusia-alam dalam
pandangan Islam. Hubungan integratif ini selanjutnya akan menjadi basis
ontologis permusan paradigma  fiqh
al-bî’ah berbasis kecerdasan naturalis. Dalam hubungan ini, manusia dan
alam sama-sama menempati posisi yang sejajar. Manusia diberi hak mengelola
alam, tetapi pada saat yang sama Allah memerintahkan manusia untuk memelihara
keseimbangan alam dengan sebaik-baiknya.
Epistemologis Paradigma
Fiqh al-Bi’ah
Relasi Tuhan-manusia-alam ini
selanjutnya akan menjadi basis ontologis-teologis bagi pengembangan
paradigma fiqh al-bî’ah, dan selanjutnya fiqh al-bî’ah dibangun
atas dasar hubungan komplementer antara manusia dan alam di mana tidak ada
pihak yang saling mendominasi satu atas yang lain. Basis ontologis-teologis ini
kemudian dijadikan sebagai dasar pengembangan epistemologis-metodologis
paradigma fiqh al-bî’ah berikut ini.
1. Sumber Hukum (Mashâdir
al-Ahkâm) dalam Islam
Dalam kajian fikih dijelaskan
bahwa terdapat empat sumber hukum Islam yang disepakati para ulama meliputi Alquran,
sunnah, ijma’ (konsensus) dan qiyâs (penalaran analogis). Logika syari’ah sebagai
suatu sistem perundang-undangan agama menunjukkan secara jelas bahwa ia adalah
perundang-undangan yang dijabarkan pertama kali secara langsung dari Alquran dan
sunnah Nabi serta dari tindakan individu dan masyarakat yang hidup sesuai
dengan wahyu dan tradisi Nabi. Menurut Abdillahi  Ahmed al-Na’im, ijmâ’ dan qiyâs tidak
disebutkan secara jelas dalam Alquran dan sunnah sebagai sumber hukum Islam. 
 
Namun
demikian, kesimpulan para ulama tentang empat sumber hukum Islam tersebut dapat
dilacak dari penfsiran mereka terhadap firman Allah Q.s. al-Nisa [4]: 59yang
berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatillah
Rasulnya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu,
lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. “Perintah mentaati Allah dan
RasulNya” sebagaimana tercantum dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai perintah
mengikuti Alquran dan sunnah, sedangkan perintah mentaati ûlil amri diartikan
sebagai perintah mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati mujtahidîn,
karena mereka itulah ûlil amri ummat Islam dalam pembentukan hukum
Islam. Kemudian perintah mengembalikan kejadian yang dipertentangkan antara
umat Islam kepada Allah dan Rasulnya diartikan sebagai perintah mengikuti qiyâs
ketika tidak terdapat nash atau ijmâ’. Pengertian taat
dan mengembalikan masalah ini adalah mengembalikan masalah yang dipertentangkan
kepada Allah dan Rasulnya karena qiyâs adalah melakukan penyesuaian
antara kejadian yang tidak terdapat hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan
‘illat hukum antara dua jenis kejadian tersebut. Jadi ayat tersebut, merupakan
dalil untuk mengikuti empat sumber hukum Islam yang selama ini diakui umat
Islam.  
Di
samping empat sumber hukum primer tersebut, terdapat sumber-sumber hukum lain
yang bersifat sekunder, antara lain; pertama, istihsân yang
didefinisikan sebagai upaya berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyâs jali (nyata)
kepada qiyâs khâfî (tersembunyi)
atau dari hukum kulli (umum) ke hukum pengecualian karena ada
dalil atau indikator yang menunjukkan perpindahan ini. Kedua, mashlahah
mursalah (kesejahteraan umum) merupakan mashlahah yang tidak
disyari'atkan oleh al-Syâri' untuk
mewujudkan mashlahah itu serta tidak terdapat dalil yang menunjukkan pengakuan
dan pembatalannya, seperti keputusan menciptakan system penjara bagi pelaku
kriminal atau mencetak uang sebagai alat tukar. 
Menurut Ahmed An-Na'im, konsep mashlahah ini sangat mirip dengan ide tentang
"kebijakan umum" (public policy) atau "kebijakan
hukum" (the policy of the law) dalam tradisi Barat. 
 
2. Maslahah: Kerangka
Metodologis Paradigma Fiqh al-Bî’ah
Di antara sumber-sumber metodologi pengembangan hukum
Islam, maslahah merupakan salah satu alat metodologis yang
dapat dijadikan pegangan dalam mengembangkan paradigma fiqh al-bî’ah.
Konsep maslahah ini pada mulanya dijadikan dasar bagi
para fuqaha untuk merumuskan konsep maqâshid
al-syarî‘ah yang akan menjadi landasan dalam
penetapan hukum Islam. Berbeda dengan pendekatan kebahasaan terhadap sumber
hukum Islam yang menitikberatkan kepada pendalaman sisi kaidah-kaidah
kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu dari teks-teks suci, maka dalam
pendekatan melalui maqâshid al-syarî‘ah kajian lebih menitikberatkan pada upaya
melihat nilai-nilai yang berupa kemashlahatan manusia dalam setiap taklîf yang diturunkan Allah. Konsep maqâshid
al-syarî‘ah  ini diartikan sebagai maksud atau tujuan
atau prinsip disyari‘atkannya hukum dalam Islam, karena itu yang menjadi
bahasan utama adalah mengenai masalah hikmah dan ‘illat
al-hukm.  
Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa semua kewajiban (taklîf) diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat,
dan bahwa semua kewajiban (taklîf) yang diemban oleh setiap manusia
tidak dapat dipisahkan dari aspek kemaslahatan baik secara eksplisit maupun
secara implisit. Dalam pandangan al-Syâthibî, hukum yang tidak mempunyai tujuan
kemaslahatan akan menyebabkan hukum tersebut kehilangan legitimasi sosial di
tengah masyarakat manusia, dan ini suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada
hukum Tuhan. 
Berdasarkan pemahaman al-Syâthibî
terhadap ayat-ayat Alquran, ia menyimpulkan bahwa maqâshid al-syarî‘ah dalam arti kemaslahatan dapat ditemukan dalam
aspek-aspek hukum secara keseluruhan, artinya
apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak jelas dimensi kemaslahatannya,
maka ia dapat dianalisis melalui maqâshid al-syarî‘ah  yang
dapat dilihat dari ruh syariah dan tujuan umum dari pewahyuan agama Islam.
Menurut al-Syâthibî, hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syarî‘ah adalah
mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok; agama (al-dîn), jiwa (al-nafs),
keluarga (al-nasl), akal (al- aql), dan harta (al-mâl).
Sementara Ibn ‘Asyûr menyatakan, bahwa mashlahah adalah sifat perbuatan
yang menghasilkan sebuah kemanfaatan yang berlangsung terus menerus dan
ditetapkan berdasarkan pendapat mayoritas ulama”. 
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
mashlahah memiliki relasi yang signifikan dengan syariah dalam  beberapa rumusan diantaranya: Pertama,  Syariah dibangun atas dasar kemaslahatan dan
menolak adanya kerusakan di dunia dan akhirat, Allah memberi perintah dan
larangan dengan alasan kemaslahatan; Kedua, Syariah selalu berhubungan dengan kemaslahatan,
sehingga Rasulullah Saw. mendorong umatnya untuk melakukan kebaikan dan
menjauhi kerusakan; Ketiga, tidak ada kemungkinan adanya pertentangan
antara syariah dan kemaslahatan; dan Keempat, Syariah selalu menunjukkan pada kemaslahatan meskipun
tidak diketahui keberadaan letak kemaslahatannya, dan Allah memberi kepastian bahwa semua kemaslahatan yang ada
dalam syariah tidak akan menimbulkan kerusakan. 
Dengan demikian, 
maka dapat dirumuskan bahwa maslahah adalah suatu perbuatan hukum
yang mengandung manfaat bagi semua manusia sebagai standar dalam memaknai hukum
Islam secara universal, sehingga maslahah mampu memberikan ruang gerak
yang lebih luas kepada pemikiran hukum Islam dalam merespon permasalahan dan
isu lingkungan hidup dan isu -isu kontemporer lainnya.
Namun demikian, baik al-Syâthibî
maupun Rahman sama-sama tidak menyinggung hifdz al-bî’ah atau hifdz
al-‘âlam (memilihara lingkungan) sebagai bagian dari maqâshid
al-syarî’ah. Syariat memang tidak membahas secara langsung
isu-isu tentang pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan, sementara fikih
sendiri merupakan ilmu pengetahuan yang menuntun umat Islam dalam menentukan
mana keputusan manusia yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer yang dapat
dibenarkan dan mana yang tidak.
Hanya saja, meskipun al-Syâthibî maupun Rahman sama-sama
tidak menyinggung hifzh al-bî’ah (memilihara lingkungan) sebagai
bagian dari maqâshid al-syarî’ah, tetapi semangat moral Alquran-seperti
yang ditunjukkan Rahman dalam konsep monoteisme dan keadilan
sosial ini-akan memberi ruang yang terbuka bagi para ualama atau
fuqaha untuk merumuskan konsep, hukum pemeliharaan lingkungan, serta
teori-teori keilmuan Islam yang sesuai dengan ruang dan waktu serta situasi dan
kondisi sosial tertentu, termasuk teori-teori yang berhubungan dengan fiqh
al-bî’ah. Sebagai sebuah disiplin ilmu, rumusan fiqh al-bî’ah akan
bersifat dinamis dengan maqâshid al-syarî’ah sebagai guide
line-nya yang akan menutup kemungkinan lahirnya rumusan keilmuan Islam yang
statis, standar dan baku. Sebaliknya, kebebasan yang dimiliki oleh pemikir
Islam bukanlah kebebasan mutlak, karena konsep, hukum dan teori yang ia
hasilkan tidak  boleh bertentangan dengan ajaran tauhid dan keadilan sosial dalam Alquran . 
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa memelihara alam semesta (hifdz al-’âlam)
merupakan pesan moral yang bersifat universal yang telah disampaikan Allah
kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup merupakan kewajiban dan
menjadi bagian integral keimanan seseorang. Prinsip yang mendasari pertimbangan
terakhir adalah kemaslahatan manusia. Dalam mazhab
Maliki, suatu hal yang meski tidak ditetapkan oleh nash secara eksplisit, tetapi memiliki kemanfaatan adalah
dianjurkan, bahkan wajib, karena dasar tujuannya yang tepat (al-muhdatsat
al-mahmûdah fî al-ma’nâ). Apalagi, jika pemeliharaan lingkungan terkait
dengan pelaksanaan kewajiban, maka memelihara lingkungan menjadi wajib, karena
ada kaidah:  
 مالايتم الواجب الابه فهو واجب
“Sesuatu
yang bisa menentukan kesempurnaan pelaksanaan suatu kewajiban akan menjadi
wajib pula”. Dan ada kaidah lain yang menyebutkan:    
حكم المقاصد للوسائل
“Sarana
memiliki status hukum yang sama dengan perbuatan yang menjadi tujuan”:
Sekali lagi, kedua kaedah
ini adalah tepat atas dasar anggapan jika pemeliharaan lingkungan hanya menjadi
pelengkap dari sudut pandangan fiqih ibadah. Sebaliknya, jika pemeliharaan
lingkungan menjadi isu krusial, maka status hukumnya bukan sebagai pelengkap,
melainkan sebagai tujuan yang memiliki dasar-dasar nash, sebagaimana halnya juga ibadah yang hukumnya wajib. 
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ada dua hal yang
perlu di sampaikan mengenai pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’âlam). Pertama,
pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’âlam) dipandang sebagai
bagian dari maqâshid al-syarî‘ah, di
samping memelihara agama (al-dîn),  jiwa (al-nafs), 
keluarga (al-nasl),  akal (al-aql), dan  harta (al-mâl).
Kedua, tanpa merubah struktur (al-kulliyya>t
al-khamsah), sebagaimana digagas
al-Syâthibî, namun dapat digunakan kaidah ushul fikih yang mengatakan “mâ lâ
yatimmu al-wâjib illa bihi fahua wâjib” (sesuatu yang menjadi mediator
pelaksaan sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib). Dengan argumentasi ini
dapat dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’
âlam) tidak termasuk dalam kategori al-kulliyyat
al-khamsah, tetapi al-kulliyyat al-khamsah itu
sendiri tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila pemeliharaan alam semesta
(hifdz al-’âlam) diabaikan. Sebagai contoh upaya memelihara jiwa
(al-nafs) tidak akan berhasil dengan baik, jika seseorang mengabaikan
pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’ âlam). Upaya memelihara
keluarga (al-nasl) tidak berhasil dengan sempurna, jika sesorang mengabaikan
pemeliharaan alam semesta (hifdz al-’âlam) dan seterusnya.
Aksiologis Paradigma Fikih
al-bî’ah
Diskursus tentang paradigm fiqh
al-bî’ah, maka secara aksiologis di dalamnya berisi norma-norma yang
mengatur dan mengontrol pemeliharaan alam semesta ini melalui dua konsep atau
instrumen; yakni halal dan haram. Sebuah aksi atau tindakan dipandang halal,
jika ia mengandung unsur adanya kebaikan, menguntungkan, menenteramkan hati,
atau yang berakibat baik bagi seseorang, masyarakat maupun lingkungan. Sebaliknya,
suatu aksi atau tindakan dipandang haram, jika ia mengandung unsur kejelekan,
membahayakan atau merusak seseorang, masyarakat dan lingkungan.
Konsep
halal dan haram sebagaimana yang digagas fiqh al-bî’ah ini sesungguhnya
berakar pada basis teologis yang berhubungan dengan konsep tawhîd, khilâfah dan amanah.
Konsep tawhîd secara
teologis memiliki implikasi terhadap konsep manusia yang dalam Alquran  digambarkan sebagai makhluk theomorfis.
Alquran  menyebut manusia sebagai khalîfah
Allâh fî
al-ardl (wakil Allah di muka bumi) sekaligus sebagai hambanya (‘abd).
Manusia dalam konsep khalîfah adalah manager of
resources (pengelola sumber daya) di bumi. Sedangkan manusia sebagai ‘abdullah
(hamba Allah) berarti manusia meskipun
memiliki kebutuhan-kebutuhan yang bersifat materi, tetapi juga
menyadari adanya realitas-realitas eskatologis sehingga ia pun harus
bertanggungjawab atas apa yang ia lakukan di hadapan Allah. Dalam kapasitasnya sebagai khalîfah manusia diberi amanah untuk memanfaatkan alam ini
dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggungjawab. 
Karena
itu, umat manusia harus memanfaatkan alam ini menurut cara yang bisa
dipertanggungjawabkan. Menjaga alam dari kerusakan bukan hanya memiliki
implikasi positif bagi manusia sekarang dan generasi mendatang, tetapi
sekaligus sebagai sarana menjaga martabat manusia sebagai ciptaan Allah dengan
jalan mensyukuri nikmat-Nya itu dalam bentuk perbuatan yang
positif-konstruktif. 
Selain
itu, dalam upaya memanfaatkan alam ini, manusia juga harus mempertimbangkan
prinsip keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan umat. Jika
konsep tauhid, khilafah, amanah, halal, dan haram ini kemudian digabungkan
dengan konsep keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan maka
terbangunlah suatu kerangka yang lengkap dan komprehensif tentang etika
lingkungan dalam perspektif Islam. Konsep etika lingkungan ini mengandung
sebuah penghargaan yang sangat tinggi terhadap alam, penghormatan terhadap
saling keterkaitan setiap komponen dan aspek kehidupan, pengakuan terhadap kesatuan
penciptaan dan persaudaraan semua makhluk. Konsep etika lingkungan inilah yang harus menjadi
landasan dalam setiap perilaku dan penalaran manusia.  
Berdasarkan etika lingkungan tersebut, maka tidak
seorangpun, baik secara individu maupun kelompok, yang mempunyai hak mutlak
untuk menguasai sumber daya alam. Konsep "penaklukan atau penguasaan alam”
seperti yang dipelopori oleh pandangan Barat yang sekuler dan materialistik
tidak dikenal dalam Islam. Islam menegaskan bahwa yang berhak menguasai dan mengatur
alam adalah Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur yakni Rabb al-’Ãlamîn.
Hak penguasaannya tetap berada pada Allah Swt. Manusia wajib menjaga
kepercayaan atau amanah yang telah diberikan oleh Allah tersebut. Dalam konteks
ini, alam terutama bumi tempat tinggal manusia merupakan arena ujian bagi
manusia. Agar manusia bisa berhasil dalam ujiannya, ia harus bisa membaca
"tanda-tanda" atau" ayat-ayat" alam yang ditujukan oleh
Sang Maha Pengatur Alam. Salah satunya adalah manusia harus mempunyai pengetahuan
dan ilmu yang memadai dalam mengelola alam semesta.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, signifikansi alam ini setara
dengan signifikanis Alquran. Bila Alquran adalah wahyu yang diturunkan dengan
lambang bahasa tulisan dan kata yang terhimpun (the recorded Qur’an),
maka sesungguhnya alam juga merupakan hamparan wahyu atau Qur’an of
creation yang mempunyai nilai yang sama dengan  the
recorded Qur’an. Karenanya, keduanya sama-sama disebut sebagai
ayat-ayat Tuhan. Ayat di sini bisa menunjuk pada bagian dari surat-surat Alquran,
tetapi juga bisa menunjuk pada kebesaran Tuhan yang terhampar di alam semesta
dan manusia. 
Kesimpulan
Fiqh
al-bî’ah  adalah regulasi norma-norma hukum Islam yang
mengatur perilaku dan tindakan manusia yang berhubungan dengan konservasi lingkungan
hidup. Sebagaimana diketahui, bahwa krisis ekologis sebagian besar
dilatarbelakangi tindakan manusia. Dalam konteks inilah letak signifikansi
merumuskan paradigma fiqh al-bî’ah berbasis kecerdasan naturalis untuk
mengatur kaidah baik-buruk atau halal-haram yang akan menjadi patokan penilaian
tindakan manusia terhadap lingkungan, sehingga dengan cara ini, umat Islam akan
mampu menghadirkan sebuah pendekatan religius yang mendasarkan diri pada Alquran,
Hadits dan ijtihad dalam memandang persoalan lingkungan hidup. 
Secara ontologis,  fiqh al-bî’ah dibangun
atas landasan teologis yang memandang Tuhan, manusia dan alam sebagai aspek
yang memiliki hubungan yang bersifat integratif. Dalam pola hubungan ini,
manusia dan alam sama-sama menempati posisi yang sejajar. Dalam hal ini,
manusia sebagai khalifah diberi hak mengelola alam, tetapi pada saat yang sama
Allah memerintahkan manusia untuk memelihara keseimbangan alam dengan
sebaik-baiknya.
Secara epistemologis, fikih lingkungan dibangun atas
dasar konsep maslahah. Konsep ini
pada mulanya dijadikan dasar untuk merumuskan konsep maqâshid al-syarî‘ah yang
akan menjadi landasan dalam penetapan hukum Islam. Meskipun al-Syâthibî dan Rahman sama-sama tidak menyinggung hifdz
al-‘âlam  (memilihara lingkungan) sebagai bagian dari maqâshid
al-syarî’ah,  namun terdapat beberapa penjelasan Alquran maupun hadits
yang menerangkan mengenai urgensitas pemeliharaan alam. Karena itu, hifdz
al-‘âlam  (memilihara lingkungan) dapat dijadikan sebagai mediator
utama bagi terlaksananya al-kulliyyat al-khamsah tersebut. 
Sementara itu, secara aksiologis. fiqh al-bî’ah berisi
norma-norma yang mengatur dan mengontrol pemeliharaan alam semesta melalui dua
instrumen; yaitu halal dan haram. Konsep halal dan haram sebagaimana yang
digagas fiqh al-bî’ah ini dibangun atas dasar konsep tauhid, khilafah
dan amanah serta prinsip keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan
umat, sehingga kerangka etika lingkungan dalam perspektif Islam dapat disusun
secara lengkap dan komprehensif.
Pustaka Acuan
Febriani, Nur Arfiyah, Wawasan Alquran tentang
Kecerdasan Naturalis sebagai Solusi Harmoni Dunia, Artikel Aicis ke-13
ataram, 18-21 November 2013, makalah 
tidak diterbitkan.
Ibn
’Asyûr, Muhammad Thâhir, Maqâshid
al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Bayrût: Muassasah Fuâd, 2004.
 Nur Arfiyah Febriani, Wawasan
Alquran tentang Kecerdasan Naturalis Sebagai Solusi Harmoni Dunia, (Artikel
Aicis ke-13 ataram, 18-21 November 2013, makalah  tidak diterbitkan) 
 
 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm
Ushûl Fiqh, h. 80-82 
 
 Abû
Ishâq al-Syâthibî, Muwâfaqât fî ushûl al-Syarî’ah, h. 6-7. 
 
 Muhammad Thâhir
bin ’Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Bayrût: Muassasah Fuâd,
2004), Juz II, h. 297.