PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Media massa bila dilihat dari
posisinya yakni sebagai lembaga social, media massa berinteraksi dengan lembaga
social yang lainnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga yang lainnya.
Maka dalam keadaan seperti ini media harus mempunyai regulasi. Regulasi yang
dimaksud terhadap media massa dapat berbentuk peraturan pemerintah, keputusan
pemerintah, dan Undang-undang(UU). Sedangkan UU inilah yang kemudian disebut
hukum media massa.
            Dilihat dari jauh sebenarnya hukum
media massa mempunyai tujuan yang dapat dikelompokkan yakni pertama untuk
mengendalikan media massa. Dalam konteks ini peranan hukum media massa yakni
merupakan instrumen untuk membatasi media massa agar tidak melenceng dari
keinginan, misalnya pemerintah. Pada titik inilah hukum media massa disebut
memiliki karakter politik. Tujuan yang kedua yaitu untuk mengatur media massa
agar perperilaku wajar sesuai dengan keinginan masyarakat,agar tidak merugikan
masyarakat .Dalam konteks ini berarti media massa memiliki karakter sosial.
B.    
Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Dari Regulasi Penyiaran?
2.      Bagaimana Latar Belakang Munculnya Regulasi Penyiaran di Indonesia?
3.      Apa Fungsi Regulatory Body?
4.      Apa Sustansi Regulasi Penyiaran?
5.      Bagaimana Model-Model Regulasi Penyiaran?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.   
Pengertian Regulasi Penyiaran
            Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata regulasi memiliki arti pengaturan.
Secara lebih luas lagi , Regulasi diartikan dengan mengendalikan perilaku
manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan. Regulasi dapat dilakukan
dengan berbagai bentuk, misalnya: pembatasan hukum yang diumumkan oleh otoritas
pemerintah, regulasi pengaturan diri oleh suatu industri seperti melalui
asosiasi perdagangan, Regulasi social,misalnya norma.
            Sedangkan penyiaran dalam KBII berarti
proses, cara, perbuatan menyarkan. Secara lebih luas,  Berikut
ini adalah beberapa pengertian Broadcasting
(penyiaran) :
1.       Ben H. Henneke, seorang ahli radio siaran mengartikan Broadcasting (Penyiaran) adalah : “ Radio Announcing is nothing more than an attempt to communicate
information may reach millions, it is directed to to the individual listener
and the communication is complete only when the listener hears, comprehends, is
interested and then act upon what he hears” (Penyiaran
tidak lain adalah hanya suatu usaha untuk mengkomunikasikan informasi untuk memberitahukan
sesuatu. Meskipun informasi tersebut dapat mencapai jutaan pendengar, namun
ditujukannya pada pendengar secara perorangan dan komunikasi tersebut sempurna
bila pendengar mendengarkan, mengerti, dan merasa tertarik, lalu melakukan apa
yang ia dengar itu)
2.     J. B. Wahyudi
(1996) Broadcasting (penyiaran)
adalah: Proses komunikasi suatu titik ke audiens,
yaitu suatu proses pengiriman informasi dari seseorang atau produser (profesi)
kepada masyarakat melalui proses pemancaran elektromagnetik atau gelombang yang
lebih tinggi.
3.       Menurut Undang-Undang Nomor 32, Tahun 2002, Penyiaran yang
disebut broadcasting memiliki
pengertian sebagai kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan
atau sarana transmisi di darat, di laut, dan di antariksa dengan menggunakan spectrum frekwensi radio (sinyal radio) yang berbentuk gelombang elektromagnetik yang merambat melalui
udara, kabel dan atau media lainnya
untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan
perangakat penerima siaran.
            Dari pengertian kedua kata diatas
dapat disimpulkan bahwa regulasi penyiaran adalah sebuah peraturan yang dibuat
ntuk mengatur proses penyiaran.
B.    
Latar Belakang Munculnya Regulasi
Penyiaran Di Indonesia
            Selama rezim Orde Lama dan Orde
Baru, terjadi kevakuman atas status legislasi dari ranah dunia media massa
penyiaran Indonesia. Secara khusus, produk perundang-undangan yang menyangkut
pengaturan dan penataan ihwal penyiaran belum muncul. Secara konseptual,
terjadi pula contradictio in terminis dalam perundang-undangan pers,
yang hanya memasukkan objek media cetak sebagai objek hukum. Sedangkan, media
penyiaran dieksklusikan dari definisi “pers” sebenarnya. Disamping itu, dalam
dua rezim tersebut, kekosongan status hukum menjadikan dunia penyiaran mandul.
Dalam pertelevisian nasional misalnya, hanya TVRI yang mendominasi—sebelum
disusul oleh RCTI sebagai TV komersial yang pertama—itupun dengan catatan TVRI
dibeking penuh sebagai instrumen media massa pemerintah yang berkuasa kala itu.
Konsekuensinya, di tataran isi dan kualitas, TVRI lebih condong pada pola
penyiaran yang state-oriented, bukan public oriented.
            Latar belakang tersebut menjadi
urgensi masyarakat pers untuk mengajukan tuntutan atas perundang-undangan
penyiaran yang menjamin demokratisasi media penyiaran. Apalagi, sejak era
reformasi, dunia penyiaran melahirkan banyak stasiun baru, sehingga diperlukan
payung hukum guna memuluskan operasionalisasi dan penataan di lapangan. Oleh
karena itu, Undang-Undang No. 32 Th. 2002 tentang penyiaran itu lahir.
            Tanggal 28 Nopember 2002,
Undang-Undang Penyiaran baru No 32 Tahun 2002 akhirnya disahkan. Undang-undang
ini membatasi peran negara yang selama ini terlalu besar terhadap media
penyiaran. Atas nama demokrasi, masyarakat harus diberi peran lebih besar untuk
mengatur dan menggerakkan ranah penyiaran. Untuk itu UU Penyiaran No 32/2002
tersebut mengamanahkan adanya sebuah independent state regulatory body
bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang akan berlaku sebagai lembaga
pengawas penyiaran. Lembaga ini adalah lembaga non pemerintah, yang dibentuk
berdasarkan undang-undang dan bertanggung jawab pada DPR. Dengan kata lain, KPI
berfungsi melakukan check and balances terhadap kekuasaan eksekutif.
Sejarah menunjukkan betapa tidak idealnya jika fungsi regulator penyiaran
diserahkan kepada pemerintah. Maka, undang-undang penyiaran mencoba
melembagakan KPI memegang fungsi regulator tersebut.
            Keberadaan KPI sebagai regulator
penyiaran sangat diharapkan. Sebagai representasi dari masyarakat, ia yang akan
menjamin hak-hak rakyat mendapatkan informasi secara bebas dan adil serta
menjamin kemandirian dan keterlibatan masyarakat dalam mengelola
lembaga-lembaga penyiaran.
            Munculnya Undang-Undang penyiaran
ini, sekalipun dikatakan telat setelah beberapa stasiun televisi melakukan
siarannya, namun perlu diapresiasi secara positif bahwa telah menjadi sebuah
regulator bagi pelaksanaan sistem penyiaran stasiun televisi di Indonesia. Hal
ini terlihat bahwa sebelum Undang-Undang ini lahir pada tahun 2002,
pengoperasian stasiun televisi sejak tahun 1990 seperti Televisi Republik
Indonesia (TVRI) hanya dikenal dengan tontonan siaran hiburan dan berita TVRI.
Setelah itu sekitar tahun 1994 dunia pertelevisian Indonesia diramaikan dengan
hadirnya lima (5) stasiun televisi, antara lain : Rajawali Citra Televisi
Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), Televisi Pendidikan/Keluarga
Indonesia (TPI), Andalan Televisi (ANTEVE), dan Indosiar Visual Mandiri
(INDOSIAR), yang kesemuanya telah mengudara (on air) secara Nasional. Kelima
stasiun inilah yang kemudian sesuai dengan lahirnya UU No.32 tahun 2002 dikenal
dengan nama Lembaga Penyiaran Swasta (bagian kelima pasal 16 ayat 1).
            Dengan semakin berkembangnya
teknologi pertelevisian di Indonesia, maka lima tahun kemudian tepatnya tahun
1999 melalui Departemen Perhubungan dengan Surat Keputusan (SK) Menteri
Penerangan No. 286/SK/Menpen/1999 telah memberikan izin kepada lima perusahaan
stasiun Televisi Swasta baru, yaitu : PT. Televisi Transformasi (Trans TV), TV7
( yang kemudian merger/bergabung dengan Trans TV dan dinamakan Trans7 hingga
kini), PT. Global Informasi Bermutu (Global TV), Lativi, dan Mtero TV. Dengan
berkembangnya broadcast pertelevisian yang begitu pesat sampai dengan saat ini,
terlihat stasiun-stasiun telavisi baik skala Nasional maupun Lokal daerah
mengambil peran dan turut meramaikan perkembangan teknologi pertelevisian Indonesia.
C.   
Fungsi Regulatory Body
                                Pada banyak
negara demokratis, proses legislasi tetap dilakukan oleh parlemen, sedangkan
institusi regulatory body berfungsi
untuk:
1.         
Mengalokasikan
lisensi penyiaran.
2.         
Mengontrol dan
memberi sanksi bagi pengelola penyiaran yang melanggar mulai dari bentuk denda
sampai pada pencabutan izin.
3.         
Memberikan
masukan kepada institusi legislatif.
4.         
Sebagai watchdog bagi independensi penyiaran
dari pengaruh pemerintah dan kekuatan modal.
5.         
Memberikan
masukan terhadap penunjukan jajaran kepemimpinan lembaga penyiaran publik. Hal
ini banyak terjadi di Prancis.
6.         
Berperan
sebagai penyidik dan komisi komplain.
D.    Substansi
Regulasi Penyiaran
Secara fundamental, regulasi penyiaran
harus mengandung substansi berikut:
1.      Menetapkan sistem tentang bagaimana dan siapa yang berhak
mendapatkan lisensi penyiaran.
2.      Memupuk rasa nasionalitas. Hal ini berangkat dari asumsi
bahwa radio dan televisi memiliki peran yang penting dalam mengembangkan
kebudayaan sekaligus sebagai agen pembangunan bangsa, bahkan ketika suatu
bangsa tengah dilanda krisis sekalipun.
3.      Secara ekonomis, melindungi institusi media domestik dari
kekuatan asing.
4.      Sebagai regulation
of fairness yang memuat prinsip objektivitas, imparsialitas dan
akuntabilitas. Prinsip-prinsip tersebut diperlukan selain untuk membangun media
yang sehat juga untuk menjaga keseimbangan hubungan antara pengelola penyiaran,
pemerintah dan audien.
5.      Mengatur tata-aliran keuangan dari sumber yang berbeda.
Dana komersial, misalnya harus dibatasi guna melindungi konsumen dari iklan
yang eksesif, paling tidak dari bentuk promosi tertentu dan untuk mencegah
pengiklanan yang berlebihan terhadap suatu acara.
E.    
Model Regulasi Penyiaran
Model regulasi penyiaran menurut Mc Quail.
Adalah sebagai berikut:
1.      
Model Otoriter
      Tujuan
dalam model ini lebih sebagai upaya menjadikan penyiaran sebagai alat negara. Radio dan
televisi sedemikian rupa diarahkan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan
melestarikan kekuasaan. Ciri khas dalam model ini adalah kuatnya lembaga
sensor. 
2.      
Model Komunis
      Walau
merupakan subkategori dari model otoriter, namun dalam model komunis, penyiaran
memiliki semacam tritunggal fungsi, yaitu propaganda, agitasi, dan organisasi.
Aspek lain yang membedakan model ini dari model otoriter adalah dilarangnya kepemilikan
swasta, karena media dalam model ini dilihat sebagai milik kelas pekerja, dan
media merupakan sarana sosialisasi, edukasi, informasi, motivasi, dan
mobilisasi.
3.      
Model
Barat-Paternalistik
      Sistem
penyiaran ini banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa Barat. Disebut
Patenalistik, karena sifatnya yang top-down,
dimana kebijakan media bukan apa yang audien inginkan tapi lebih sebagai
keyakinan yang dibuat memang dibutuhkan dan diinginkan oleh rakyat. Dalam model
ini, penyiaran juga memiliki tugas untuk melekatkan fungsi-fungsi sosial
individu atas lingkungan sosialnya. 
4.      
 Model Barat Liberal
      Secara umum
sama dengan model barat peternalistik, hanya berbeda dalam fungsi media
komersialnya. Disamping sebagai penyedia informasi dan hiburan, media juga memiliki
fungsi mengembangkan hubungan yang penting dengan aspek-aspek lain yang
mendukung independensi ekonomi dan keuangan.
5.      
Model Demokrasi
Participan
      Model ini
dikembangkan oleh mereka yang mempercayai sebagai powerful medium, dan dalam banyak hal terinspirasi oleh mazhab
kritis. Termasuk dalam model ini adalah berbagai media penyiaran alternatif.
Sifat komunikasi dalam model ini adalah dua arah.
            
BAB III
PENUTUP
A.   
Kesimpulan
            Dalam
sebuah Negara yang menganut asas demokrasi, tentu kebebasan bermedia menjadi
salah satu cirinya. Pers menjadi salah satu pilar demokrasi yang berkedudukan
sejajar dengan legislative, eksekutif dan yudikatif. Dengan berkembangya
teknologi, berkemabang pula dunia media yang ada di Indonesia. Tanpa
menghilangkan kedudukan media sebagai control social, perlu adanya regulasi
yang mengatur media agar tetap independen dan bermanfaat. Dengan dibentuknya
regulasi dan adanya regulatory body yang bersifat independen, dapat memajukan
dunia media penyiaran yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA