PENEGAKAN
HAK ASASI MANUSIA DI ERA GLOBALISASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Candra Perbawati
Fakultas
Hukum Universitas Lampung
Jl.
Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro 1, Bandar Lampung
Abstrak: Penegakan
Hak Asasi Manusia Di Era Globalisasi Dalam Perspektif Hukum Islam. Globalisasi menuntut adanya perubahan dalam sistem hukum baik
perubahan stuktur hukum (legal structure), substansi-substansi baru pengaturan hukum (legal substance), dan budaya hukum
(legal culture). Tanpa adanya
perubahan sistem hukum maka tidak ada jaminan adanya kepastian hukum dan dalam
berbagai kehidupan sosial, semua akan menjadi tidak pasti, tidak tertib serta
rasa tidak terlindungi, disinilah masalah kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang pada dasarnya tercakup
dalam tujuan hukum, yaitu kedamaian (fuction of law is to
maintain peace), dan inilah yang menjadi tujuan dari adanya
Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Ajaran-ajaran dasar Islam merupakan
nilai-nilai universal yang sangat diperlukan baik dalam dalam konteks kehidupan
umat Islam maupun konteks hubungan dengan kelompok agama dan negara-negara
lain. Nilai-nilai Islam mampu menjawab persoalan kemanusiaan dan dinamika
sosial politik seperti dalam konteks hubungan antar bangsa, antara agama dan antar
peradaban, konsep Islam rahmatan lil ’alamin (Islam sebagai rahmat bagi semesta alam).
Kata Kunci: penegakan Hak Asasi Manusia, hukum
Islam, globalisasi 
Abstrak: Penegakan
Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi Dalam Perspektif Hukum Islam. Globalization requires a
change in legal system either changes in the structure of legal relationship
(legal structure), a new setting of legal substances (a legal substance) and a
legal culture, without any change in legal system there is no guarantee of
legal certainty and in a variety of social life, all of these would be
uncertain, disorderly, and unprotected feeling, this is where the problem of
legal certainty, orderliness and legal protection will be perceived as a
necessity which basically covered the purpose of law that is called as peace
(fuction of law is to maintain peace), and this is the aim of the existence of
Human Rights (HAM).
The basic tenets of  Islam is a universal values that are required both in the context of
the lives of
Muslims as
well as the
context of relations
with
religious groups-states
and other countries.
Islamic values
able to answer the
question of
humanitarian
and socio-political dynamics
as in the context of
relations between
nations, inter-religious
and inter-civilization,
the Islamic
concept
rahmatan lil ’alamin (Islam as
rahmat
for the universe).
Keyword: Enforcement of Human Rights, Islamic Law, Globalization
Pendahuluan
Pada
era modern ini, pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat dirasakan sangat
cepat sekali. Salah satu ciri dari masa ini adalah berkembang pesatnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang juga didukung oleh munculnya semangat
globalisasi. Sebagaimana dikatakan oleh Anthony Giddens, globalisasi merupakan
sebuah proses yang kompleks, tidak hanya digerakkan oleh suatu kekuatan
tertentu, melainkan oleh banyak kekuatan, seperti budaya, teknologi, politik
maupun ekonomi. Globalisasi politik antara lain berupa
gerakan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) – selanjutnya dalam tulisan ini
disingkat HAM. Globalisasi semakin memperkuat pemikiran-pemikiran untuk
mengoperasionalkan nilai-nilai dasar HAM yang bersifat universal. Dalam hal ini
pemerintah hendaknya menggabungkan standar yang terdapat pada instrumen HAM
internasional dan prinsip-prinsip HAM dalam Islam ke dalam hukum nasional,
dengan tetap mengacu pada ideologi bangsa serta kondisi manusia, alam dan
tradisi yang melekat pada bangsa. 
Di
lain pihak, Hak Asasi Manusia (HAM) juga merupakan suatu hal yang fundamental,
sensitif dan kontroversial. Selama beberapa dekade, isu-isu hak asasi manusia
telah menjadi perdebatan menarik di kalangan pemikir modern, baik di bidang
politik maupun hukum. Hal ini berdasar kepada kecenderungan munculnya isu-isu
hak asasi manusia bukan hanya dipengaruhi oleh anasir-anasir politik dan hukum,
melainkan juga agama dan budaya. 
Terbentuknya konsensus internasional
tentang Universal Declaration of Human Rights pada 10 Desember 1948
hanya dimotori oleh sekelompok negara pemenang perang setelah berakhirnya
Perang Dunia II, yaitu AS, Perancis, dan Inggris. Hal ini memperkuat pandangan
bahwa isu-isu hak azasi manusia tidak saja terkait dengan persoalan krusial
menyangkut aspek-aspek dan standar universalitas hak azasi manusia, tetapi juga
terkait dengan latar belakang pembentukannya untuk menciptakan perdamaian
dunia.
Pada hakikatnya hak merupakan unsur normatif
yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang
lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara
individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh.
Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas
terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih
diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat
bahwa dalam hal pemenuhan hak, manusia hidup tidak sendiri, ia harus
bersosialisasi dengan oran lain. Jangan sampai seseorang melakukan pelanggaran
HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada dirinya
sendiri. 
HAM juga merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia sejak lahir sebagai anugrah dari Tuhan. Oleh
karena itu HAM wajib dilindungi dan dihormati baik secara hukum, agama dan
pemerintah. Sebagaimana dicantumkan dalam Deklarasi Univesal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang diproklamasikan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Tahun 1948,
setiap orang tanpa terkecuali berhak atas HAM dan kebesarannya. 
Di kalangan negara-negara muslim, persoalan hak
asasi manusia bukanlah suatu hal baru. Syari’at Islam yang bersifat universal
banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar tentang persamaan hak asasi manusia
dan kebebasan. Bahkan ketika Nabi Muhammad Saw mendeklarasikan Piagam Madinah,
hak asasi manusia ditempatkan dalam posisi tertinggi konstitusi Islam pertama
tersebut. Perjalanan sejarah berlakunya hukum Islam di kalangan masyarakat
muslim telah bergeser dari sudut normativitas vertikal menjadi lebih
horizontal. Hal ini disebabkan perkembangan berlakunya hukum Islam telah
dipengaruhi pula oleh dinamika sosial-budaya dan politik hukum dalam masyarakat
Islam itu sendiri. 
Para ulama dan intelektual muslim kontemporer,
terutama sejak dikeluarkannya deklarasi HAM oleh PBB tahun 1948 banyak yang
membahas tentang HAM perspektif hukum Islam. Penghormatan hak-hak asasi
didasarkan pada dalil bahwa Allah memberkati manusia dengan kemuliaan-kemuliaan
tertentu, sebagaimana dinyatakan dalam Q.s. al-Isra’ ayat 70, sebagai berikut:
ôs)s9ur
$oYøB§x.
ûÓÍ_t/
tPy#uä öNßg»oYù=uHxqur
Îû
Îhy9ø9$#
Ìóst7ø9$#ur
Nßg»oYø%yuur
ÆÏiB
ÏM»t7Íh©Ü9$# óOßg»uZù=Òsùur
4n?tã
9ÏV2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz
WxÅÒøÿs?
ÇÐÉÈ 
Dan
sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan. 
 Pandangan
Islam selaras dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dapat dipertahankan dalam
prinsip-prinsip Islam. Sumber-sumber dan metode-metode hukum Islam mengandung
prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik dan kesejahteraam manusia yang
mengabsahkan cita-cita modern tentang Hak Asasi Internasional. Penghargaan atas
keadilan, perlindungan kehidupan dan martabat manusia, adalah prinsip-prinsip
pokok yang inheren dalam syariat. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.s. an-Nahl ayat
90, sebagai berikut:
¨bÎ)
©!$# ããBù't
ÉAôyèø9$$Î/
Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur
Ï
4n1öà)ø9$#
4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$#
Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur
4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs?
ÇÒÉÈ 
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Bagi
sebagian besar muslim, Islam dipahami bukan semata-mata merupakan agama yang
mengajarkan tentang kesadaran untuk tunduk kepada Tuhan yang diwujudkan dalam
kegiatan ritual semata, akan tetapi mengajarkan pula pedoman hidup untuk saling
menghormati dan menghargai antar sesama manusia. Islam merupakan agama wahyu karena
di dalamnya syarat dengan muatan-muatan norma-norma hukum berdasar kepada
kehendak Tuhan, agar manusia dapat menjunjung tinggi persamaan derajat
kemanusiaannya.
Munculnya
kesadaran eksklusif dalam menjalankan ajaran Islam, tidak dapat disangkal telah
memunculkan corak penerimaan Islam lebih dari sekedar sistem keyakinan terhadap
Tuhan, tetapi juga merupakan suatu sistem hukum yang universal. Norma-norma
ideal dalam ajaran Islam lebih banyak difahami sebagai kumpulan norma hukum
yang sebagian atau seluruhnya berasal dari kehendak Tuhan, sedangkan manusia
hanya menjadi komponen yang melaksanakan hukum Tuhan. Sebaliknya corak
kesadaran inklusif lebih menitikberatkan pemahaman bahwa agama merupakan
pedoman dasar ketuhanan dan kemanusiaan. Agama tidak hanya mengarahkan manusia
untuk tunduk dan patuh kepada Tuhan dalam bentuk kegiatan ritual yang bersifat
vertikal, tetapi hendaknya berimplikasi kepada kesadaran akan kemanusiaannya,
sehingga melahirkan sikap saling terbuka, saling menghargai, dan mengakui persamaan
derajat kemanusiaan tanpa membeda-bedakan apapun.
Prinsip-prinsip
hak asasi manusia tidak saja menjadi aspek terpenting dalam sistem hukum suatu
negara yang harus dituangkan dalam konstitusi negara, tetapi juga menuntut
pengakuan secara menyeluruh pada tingkat implementasinya (baca: penegakan),
baik dalam bidang politik dan ketatanegaraan maupun hukum dan keadilan. Atas
dasar itu, jaminan bagi perlindungan hak asasi manusia hendaknya mendapatkan
prioritas utama demi tegaknya hukum dan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Perlindungan
hak asasi manusia juga tidak hanya menjadi tradisi kolektif dalam masyarakat
Barat yang notabene telah melahirkan Universal Declaration of Human
Rights (UDHR) tahun 1948 sebagai konsensus internasional. Hal ini juga
telah menjadi bagian dari tradisi modern masyarakat dan negara-negara muslim
melalui konsensus Universal Islamic Declaration of Human
Rights (UIDHR) tahun 1967 di Cairo Mesir. Hal ini merupakan realitas
sosial dan politik di kalangan negara-negara muslim dalam mengangkat isu-isu
hak asasi manusia sebagai bagian dari tradisi kepercayaan (agama) dan tradisi
budayanya. 
Dengan adanya era globalisasi, yang ditandai
dengan makin biasnya batas-batas budaya dan nasionalitas, hampir disetiap
negara, baik negara maju maupun negara berkembang mulai tertarik untuk memahami
tentang arti pentingnya keterlibatan HAM dalam berbagai aspek penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bermasyarakat  termasuk di negara Indonesia. Hal ini terlihat
dalam Rencana Pembangunan Hukum Nasional yang mengagendakan adanya bidang HAM.
Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (tahun 2005-2025).
Persoalan yang harus diselesaikan oleh bangsa Indonesia dalam usaha
penghormatan, pemajuan dan perlindungan HAM, yaitu bagaimana pelaksanaan
penegakan HAM di era globalisasi seiring dengan adanya kemajuan teknologi dan
informasi? Bagaimanakah Islam menyikapi hal tersebut, khususnya dari pandangan
hukum Islam? Apakah hukum Islam saat ini sudah relevan dengan hak asasi
manusia, dan apakah hukum Islam harus diubah sesuai dengan hak asasi manusia
atau sebaliknya hak asasi manusia harus disesuaikan dengan hukum Islam? Tulisan
ini akan menjawab pertanyaan tersebut. 
Pengertian dan Konsep Hak Asasi Manusia di
Indonesia
Hak
merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman perilaku, melindumgi
kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjadi
harkat dan martabatnya. Sedangkan asasi berarti yang bersifat paling mendasar
yang dimiliki manusia sebagai fitrah, sehingga tidak satupun makhluk
mengintervensinya apalagi mencabutnya.
Hak
Asasi Manusia (HAM) dalam bahasa Arab disebut haq al-insan. Dalam
lingkungan Islam sendiri ada beberapa lapisan tentang bagaimana umat Islam
memandang HAM. Dalam kalangan pesantren terdapat dua konsep hak, yakni haq
al-insan dan hak Allah, di mana setiap hak itu saling melandasi satu dengan
yang lain. Hak Allah melandasi hak manusia demikian juga sebaliknya. Dalam
aplikasinya, tidak ada satupun yang terlepas dari kedua hak tersebut. Misalnya
masalah salat (yang merupakan hak Allah), karena salat adalah hak Allah, maka
manusia tidak dapat campur tangan untuk memaksakan seseorang untuk melakukan
salat, tidak ada kekuatan dunia apakah itu negara-negara yang berhak yang
mendesakkan seseorang untuk melakukan salat. 
Hak
manusia (hak sesama manusia), misalnya hak kepemilikan, hak ini menunjukkan
bahwa setiap manusia berhak untuk mengelola 
harta yang dimilikinya, akan tetapi di atas hak manusia tetap ada hak
Allah yang mendasarinya. Konsukwensinya adalah meskipun seseorang mempunyai hak
atas harta bendanya, namun seseorang tidak boleh menggunakan hak atas harta
bendanya yang bertentangan dengan Allah, atau Ajaran Allah. Artinya hak
sesorang yang sifatnya relatif tidak boleh melanggar hak yang mutlak yang
dimiliki oleh Allah.
Secara istilah HAM dapat dirumuskan dengan
beberapa pendapat, di antaranya HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh
manusia, sesuai dengan kodratnya. Menurut pendapat Jan Materson, dari komisi
HAM PBB, dalam Teaching Human Rights, United Nations, sebagaimana dikutip
Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. John Locke
menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha
Pencipta sebagai hak yang kodrati.
Secara filsafati dapat dipahami bahwa HAM
adalah hak yang melekat atau inherent
pada diri manusia, yang berasal dari Tuhan sejak manusia itu lahir. Sebagai
makhluk Tuhan, manusia memiliki derajat luhur yang dilengkapi dengan budi dan
nurani. Secara objektif dapat dikemukakan bahwa HAM adalah kewenangan pokok
yang melekat pada manusia, sehingga harus diakui dan dihormati oleh negara. Hak
dan kewajiban fundamental manusia itu berakar pada idea Sang Pencipta. Manusia
memperoleh hak-haknya itu langsung dari Tuhan menurut kodratnya scundum suam naturan.  Dengan demikian maka hak-hak fundamental itu
tidak tergantung pada pengakuan orang lain, masyarakat atau bahkan oleh negara
sekalipun. Kewajiban untuk menegakkan HAM adalah kewajiban yang tidak dapat
diingkari oleh negara, karena penghormatan dan penegakkan HAM adalah bagian
dari kewajiban negara untuk melindungi kepentingan umat manusia (obligations erga omnes). 
Secara Yuridis Formal Indonesia, cakupan makna Hak Asasi
Manusia (HAM) tertuang pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, khususnya pada
Pasal 1 butir 1 yang berbunyi “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang maha Esa dan
merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara,hukum,pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”. 
Secara konseptual dapat dikatakan bahwa HAM memiliki dua
dimensi, yaitu dimensi moral dan dimensi hukum. Dimensi moral dari HAM
diartikan bahwa HAM, adalah hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut (non-derogable right ), karena hak
tersebut merupakan hak manusia yang melekat (inherent) pada dirinya karena ia adalah manusia. Sedangkan dimensi
yang kedua, sebagai hak hukum,  maka HAM
adalah hak-hak menurut hukum yang dibuat sesuai dengan proses pembentukan hukum
dari masyarakat internasional maupun nasional. Termasuk dalam kategori ini
adalah berbagai instrumen internasional tentang HAM, baik perjanjian
internasional, deklarasi maupun resolusi, serta berbagai instrumen hukum
nasional yang mengatur tentang HAM.
Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 
Dengan pengertian dan konsep HAM di atas, maka dapat
dipahami bahwa persoalan penegakan HAM tidak semata-mata merupakan persoalan
hukum, tetapi juga moral.  Dalam
hubungannya dengan kewajiban internasional dari setiap negara, maka dapat
dikatakan bila penegakan HAM tidak semata-mata didasarkan pada moralitas tetapi
juga berdasarkan kewajiban untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. 
Era
globalisasi yang ditandai dengan makin biasnya batas-batas budaya dan
nasionalitas, hampir disetiap negara baik negara maju maupun negara berkembang
mulai tertarik untuk memahami tentang arti pentingnya keterlibatan HAM dalam
berbagai aspek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan
bermasyarakat  termasuk di negara
Indonesia hal ini terlihat dalam Rencana pembangunan hukum nasional yang
mengagendakan adanya bidang HAM.
Arus reformasi yang terjadi di Indonesia telah membawa
pengaruh bagi terbukanya koridor pembaharuan hukum dan penegakan HAM, terlebih
lagi dalam mewujudkan civil society atau masyarakat madani.
Penggunaan istilah masyarakat madani dalam ranah masyarakat yang demokratis
lebih memiliki makna dalam, terlebih lagi dalam mengangkat harkat dan martabat
manusia. Selain itu, civil society sangat penting artinya dalam menggambarkan
mendeskripsikan penegakan HAM di Indonesia.  Isu tentang HAM di Indonesia sebenarnya bukan
hal yang baru karena sesungguhnya masalah HAM sudah di singgung oleh para founding father Indonesia, walaupun
tidak disebutkan secara eksplisit yakni di dalam alinea 1 Pembukaan UUD 1945,
akan tetapi penghargaan terhadap HAM yang sudah dicanangkan oleh para founding father di Indonesia tidak
berjalan sebagaimana mestinya, sering dengan perjalanan panjang bangsa
Indonesia dalam 3 orde, yaitu orde lama, orde baru, dan orde Reformasi. 
Seiring
dengan tumbangnya rezim Orde baru  menuju
orde reformasi yang lebih menitik beratkan pada perlindungan hukum dan
penegakan HAM, rakyat melalui MPR melakukan Amandemen terhadap UUD 1945 dengan
memasukan pasal yang khusus tentang HAM, yakni Pasal 28 UUD 1945. Untuk
melaksanakan ketentuan dalam Pasal tersebut pemerintah telah mengundangkan UU
No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM. Setelah itu, pemerintah meratifikasi Kovenan Ekosob dan Sipol
masing-masing dalam UU No. 11 dan UU No. 12 Tahun 2005 sebagai kelanjutan dari
upaya ratifikasi terhadap beberapa instrumen HAM sebelumnya. 
Penegakan
HAM juga menjadi arah bagi pembangunan sebagaimana disebutkan dalam UU No. 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (tahun
2005-2025). Di antara arah disebutkan adalah “Pembangunan hukum dilaksanakan
melalui pembaharuan hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum
yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan
kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum,
serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan
kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur
sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional akan makin lancar”. 
Pada
prinsipnya, dalam hukum Hak Asasi Manusia, negara dalam hal ini pemerintah
mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dan individu-individu yang berdiam di wilayah
jurisdiksinya sebagai pemegang hak (rights holder). Kewajiban yang
diemban negara adalah kewajiban untuk menghormati (to respect),
kewajiban untuk memenuhi (to fulfill), dan kewajiban untuk
melindungi (to protect) HAM bagi warganya. Negara wajib menjamin
pelaksanaan HAM bagi setiap orang yang berada di bawah kekuasaannya. Kewajiban
ini dilaksanakan negara dengan mengambil langkah-langkah yang diperlukan, baik
itu dibidang legislatif, eksekutif, yudisial, maupun praktis, untuk menciptakan
semua kondisi yang dibutuhkan dalam bidang sosial, ekonomi, politik, maupun
bidang-bidang lain, serta jaminan hukum yang diperlukan untuk semua orang di
bawah yurisdiksinya, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat
menikmati semua hak dan kebebasan ini dalam praktik.
Kewajiban internasional
setiap negara untuk menghormati, memajukan, memenuhi, melindungi dan menegakkan
HAM tidak semata-mata didasarkan pada kewajiban atas suatu peraturan
perundangan, tapi juga didasarkan pada moralitas untuk menjunjung tingggi
harkat dan martabat manusia. Kewajiban negara semacam ini sebenarnya merupakan
kewajiban mendasar bagi setiap pelaku dalam hubungan internasional baik dalam
skala nasional maupun internasional.  Hal ini dapat dijelaskan dari sisi filsafati,
sisi hukum positif dan sisi politik. 
Prinsip-prinsip HAM dalam Islam
Pembagian
hak menjadi dasar bagi ketentuan normatif yang ada dalam agama islam sendiri,
sehingga hal-hal yang menyangkut hak Adam urusannya harus dengan manusia
sendiri baru kemudian dengan Allah. Persoalan yang terjadi ketika hak itu
didefinisikan sebagai berlandasan pada hak Allah kemudian didistorsi, ketika
perilaku penguasa atau dalam hal ini pemerintah yang mengatur hukum menempatkan
diri sebagai bayang-bayang penguasa di bumi. Salah satunya adalah mengenai
hukum riddah.  Pada mulanya riddah merupakan hak bagi setiap orang
seperti dikatakan dalam Alquran “Barang siapa yang mau beriman, maka
berimanlah dan barang siapa mau kufur maka kufurlah”. Semuanya
adalah merupakan pilihan individu, seperti ibadah salat, namun lama kelamaan
hak tersebut diambil alih oleh pemerintah sebagai penguasa negara. Artinya
urusan riddah ini
merupakan urusan pribadi yang bersangkutan dengan Allah, namun kemudian hak
Allah diambil oleh kekuasan sehingga penguasa memfungsikan diri sebagai Allah
dan memaksakan orang, serta memberikan sanksi.
Para
ulama dan intelektual Muslim juga mendukung konsep HAM dengan teori yang
merupakan manifestasi dari pemeliharaan aspek keniscayaan (ḍaruriyyat)
tersebut yang dalam fikih disebutkan 5 prinsip dasar hak asasi manusia yang
disebut al-ḥuqūq
al-khamsah yakni; hak hidup, hak kebebasan, beropini dan berekspresi,
hak kebebasan beragama, hak produksi dan hak reproduksi. Lebih jelasnya prinsip-prinsip
HAM dapat dilihat di bawah ini, yaitu meliputi:
1.      
Hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup/ pemeliharaan
terhadap jiwa (hifẓ al-nafs). Perlindungan terhadap jiwa merupakan hak
yang tak bisa ditawar. Hak hidup ini dituangkan dalam sistem hukum, yang salah
satunya adalah hukum qisas. Hak ini sesuai dengan rumuan Pasal 28 H Ayat (1) UUDNKRI
1945, yaitu setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir dan bathin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh kesehatan.
2.      
Perlindungan keyakinan/pemeliharaan terhadap agama (hifẓ al-dīn), yang mengandung pengertian juga hak
beragama, perlindungan keyakinan ini dituangkan dalam ajaran lā
ikrāh fī al-dīn (tidak ada pemaksaan dalam agama atau lakum
dīnukum waliyadīn (bagimu agamu, bagiku agamaku).
3.      
Hak perlindungan terhadap akal pikiran/pemeliharaan terhadap akal, (hifẓ al-‘aql) jika
dijabarkan dalam norma dalam HAM
seperti halnya hak mengeluarkan pendapat hak untuk mendapatkan pendidikan dan
sebagainya. 
4.      
Perlindungan terhadap hak milik/pemeliharaan terhadap harta (hifẓ al-māl) Perlindungan ini diterjemahkan
dalam hukum tentang keharaman mencuri dan hukuman yang keras terhadap pencurian
hak milik yang dilindungi secara sah. Lebih jauh hak ini termasuk hak
mendapatkan pekerjaan yang layak. Seperti yang termuat dalam Pasal 28 H ayat
(4) UUD NKRI 1945 “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun”. 
5.      
Hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan
mempertahankan nama baik/pemeliharaan terhadap nasab (hifẓ al-nasab) Hak
mempertahankan nama baik ini  
diterjemahkan dalam hukum fiqh yang begitu keras terhadap orang yang
melakukan tindakan zina.
6.      
Pemeliharaan terhadap kehormatan (hifẓ al-irḍ), yang
berarti juga hak untuk memiliki harga diri. Selain hak tersebut diatas terdapat
prinsip-prinsip hukum Islam yang harus diwujudkan, yakni keadilan,rahmah
(kasih-sayang), hikmah (kebijaksanaan), dan 
kemaslahatan, baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia
maupun dengan alam.
Hal ini juga seperti yang termuat dalam Pasal 28 D Ayat (7) “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan,perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”. 
Hukum Islam dan 
Hak Asasi Manusia
Hak
Asasi Manusia (HAM) dalam islam bersifat teosentris, artinya segala sesuatu
berpusat kepada Tuhan. Pandangan Islam bahwa Tuhan sangat dipentingkan. A.K
Brohi menyatakan pendekatan Islam berbeda dengan pendekatan Barat. Di mana
strategi islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan
kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran
keagamaan yang terpatri di dalam hati, pikiran, dan jiwa penganutnya.
Hubungan
antara Islam dan hak asasi manusia, terletak pada universalitas ajaran Islam.
Universalitas hak azasi manusia telah digaransi di dalam prinsip-prinsip dasar
hukum Islam yang berasal dari teks-teks suci maupun konstruksi pemikiran ulama.
Prinsip-prinsip dasar tersebut mencakup: ketuhanan, keadilan, persamaan, kebebasan,
toleransi, dan sebagainya. Namun demikian, prinsip-prinsip dasar yang bersifat
umum tersebut sangat terbuka dengan perbedaan pada tingkat implementasinya.
Sebab hal ini sangat dipengaruhi oleh corak politik hukum dan situasi
sosial-budaya dalam masyarakat Islam. Pada gilirannya muncullah corak
keberlakuan hukum Islam yang bercorak lokal.
Perkembangan
hukum Islam di negara-negara muslim yang berlangsung sejak periode kenabian
hingga periode modern, diduga telah bersentuhan dengan sistem hukum lainnya. Di
samping itu, pengaruh teori-teori hukum yang diperkenalkan oleh kalangan ahli
hukum juga telah memberikan asumsi-asumsi dasar untuk menempatkan hukum Islam
lebih dari sekedar bercorak lokal dan berdiri sendiri, tetapi juga telah
dibentuk dari hasil rekonstruksi pemikiran manusia karena adanya faktor
tuntutan dan dukungan bagi keberlakuannya. Namun ironisnya, hal itu diklaim
sebagai syari’ah itu sendiri. Dalam konteks inilah Abdullahi Ahmed An-Na’im
menyebutnya dengan term “syari’ah historis”. 
Mengenai
hak asasi manusia yang universal, sekurang-kurangnya dapat difahami sebagai hak
yang paling fundamental dan harus dimiliki oleh setiap manusia menyangkut hak
untuk hidup dalam beragama, pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, politik, dan
persamaan mendapatkan keadilan di depan hukum. Hak tersebut merupakan hak
yang harus dimiliki oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan apa pun termasuk di
dalamnya suku bangsa, agama, jenis kelamin dan status sosial dalam masyarakat. 
Perdebatan
mengenai hukum Islam dan HAM sesungguhnya telah mengemuka di kalangan ahli
hukum modern. Seperti telah disinggung sebelumnya An-Na’im banyak dikenal
sebagai agamawan humanis yang telah menunjukan peta konflik antara syari’ah
historis dan hak asasi manusia dalam bidang pemberlakuan hukum pidana Islam di
negara Sudan. Ann Elizabeth Mayer juga telah menemukan fakta-fakta krusial peta
konflik antara hukum Islam dan HAM dalam proses Islamisasi di negara republik
Islam Pakistan dan Iran. Menurutnya, hal yang paling serius adalah
menyangkut masalah gender, diskriminasi terhadap kalangan non-muslim dan
minoritas agama lainnya. 
Beberapa
persoalan krusial berkaitan dengan konflik dan rekonsiliasi antara hukum Islam
dan hak asasi manusia, sekurang-kurangnya dapat ditelaah dari tiga sudut. Pertama,
HAM dan Hukum Islam bisa dilihat sebagai sistem hukum yang memiliki dasar
pijakan yang berbeda; Kedua, ada aspek-aspek tertentu di dalam HAM
dan Hukum Islam yang saling berseberangan; dan Ketiga, ada titik
taut persentuhan dan pertemuan antara prinsip-prinsip dasar yang terdapat di
dalam HAM dan Hukum Islam.
Hak
asasi manusia dapat dikategorikan sebagai bagian dari hukum internasional, hal
ini merupakan hasil dari konsensus internasional, karena dibentuk melalui
proses politik dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). HAM tidak lahir
dengan sendirinya, melainkan lahir dari proses evolusi sejarah serta kesadaran
kolektif akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan. Dalam
aplikasinya, HAM dimasukan dalam wilayah hukum tata negara, karena aspek HAM
norma fundamental yang harus dianut oleh semua konstitusi negara modern.
Sedangkan
hukum Islam lebih banyak diposisikan sebagai hukum Tuhan (divine of law),
karena di dalamnya memuat segala peraturan dan hukum termasuk hak asasi manusia
yang ditundukan kepada kehendak hukum Tuhan. Sistem hukum ini bersumber kepada
teks-teks suci (nash) dan jurisprudensi (ijtihad). Sifat hukum ini bersifat
kekal, namun cenderung relatif dan terbuka dalam menerima perubahan sesuai
dengan tuntutan sosial budaya dalam masyarakat. Besarnya pengaruh faham
kodifikasi dalam model hukum konstitusi modern telah memperkuat dukungan bagi
pembentukan konstitusi Islam, seperti yang terjadi di Sudan, Pakistan, dan
Iran. 
Munculnya
peta konflik antara hukum Islam dan HAM, sebagaimana diuangkapkan oleh An-Na’im,
lebih banyak terdapat dalam bidang hukum perdata dan pidana Islam. Ia
membuktikan dengan beberapa kasus seperti seorang laki-laki non-muslim tidak
dibenarkan menikahi perempuan muslim, sebaliknya laki-laki muslim bisa menikahi
perempuan non-muslim. Hal ini juga termasuk dalam perkara perbedaan hak waris
antara laki-laki dan perempuan yang cenderung diskriminatif. Kemudian dalam
bidang pidana Islam, pemberlakuan hukum qiṣāṣ, ḥudūd, dan ta’zīr
bagi pelanggaran tindak pidana berat, dianggap tidak relevan lagi diterapkan
dalam konteks kemodernan, karena hal itu akan membatasi hak hukum minoritas
non-muslim di bawah naungan konstitusi negara berlandaskan syari’at Islam. 
Apabila
kita kembalikan kepada prinsip-prinsip dasar universal dalam hukum Islam dan
hak asasi manusia, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan di antara keduanya.
Kendati pun keduanya memiliki dasar pijakan yang berbeda, tetapi terdapat titik
taut persentuhan antara hukum Islam dan hak asasi manusia. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, pertanyaannya adalah apakah hukum Islam saat ini sudah
relevan dengan hak asasi manusia, dan apakah hukum Islam harus diubah sesuai
dengan hak asasi manusia atau sebaliknya hak asasi manusia harus disesuaikan
dengan hukum Islam?
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Qayyim bahwa syari’at
Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan
kemanusiaan universal, seperti kemaslahatan, keadilan, kerahmatan,
kebijaksanaan.
Sedangkan an-Na’im menjawab kedua pertanyaan tersebut berdasar kepada prinsip
resiprositas dalam HAM, yakni adanya prinsip saling menghargai hak dan
kebebasan individu sejajar dengan hak dan kebebasan individu lainnya. Ia
menolak pemberlakuan syari’ah historis yang dibentuk melalui rekayasa sejarah
dan harus dikembalikan kepada sumber asalnya yakni prinsip-prinsip dasar hukum
Islam yang universal. Ia beralasan bahwa beberapa bagian penting dalam hukum
Islam saat ini bertentangan dengan hak azasi manusia dan hukum internasional.
Oleh karena itu, hukum Islam saat ini hanya bisa berlaku dan ditaati dalam
wilayah komunitas umat Islam, sebab beberapa materi hukum Islam cenderung
diskriminatif terutama dalam masalah gender dan agama serta hak sipil lainnya.
Secara ekstrim ia menyuarakan bagi perlunya pembaharuan hukum Islam agar relevan
dengan standar-standar hak asasi manusia dalam UDHR 1948. 
Jika
dilihat dari pandangan An-Na’im di atas, tidak seluruhnya tepat. Apabila dibandingkan
dengan pendapat lain, seperti Louay M. Syafi, Rifaat Hassan, dan Ibrahim Abdullah
al-Marzouqi yang mengkritik segi metodologi yang dikembangkan oleh An-Na’im.
Pemikiran An-Na’im sangat dipengaruhi oleh gurunya Mahmoud Mohammad Taha yang
terkenal radikal dalam menggagas ide pembaharuan hukum Islam. Selain itu,
An-Na’im tidak menjelaskan hukum Islam dalam term umum “syari’ah”, tetapi lebih
dibatasi oleh perspektif sejarah dengan sebutan “syari’ah historis”. Di
samping itu, gagasannya tentang pembaharuan hukum Islam juga lebih banyak
dipengaruhi oleh tafsir historis terhadap sistem hukum Sudan yang
berada di bawah pemberlakuan hukum konstitusi Islam. 
Dengan
demikian, bahwa pola hubungan antara hukum Islam dan hak asasi manusia bukanlah
sesuatu yang keluar dari keyakinan agama. Menolak hukum Islam sebagian tidak
berarti meninggalkan hukum tersebut secara keseluruhan. Sudah barang tentu,
sebagai hukum Tuhan, hukum Islam yang terkandung dalam makna integral syari’ah
berisikan prinsip-prinsip moral, etika, hukum, dan keadilan dapat diterapkan
secara utuh dan berkesinambungan. Akan tetapi, kita tidak bisa menolak,
eksistensi hukum Islam yang lahir dari produk sejarah ternyata telah melahirkan
pertentangan dengan sistem hukum lainnnya serta penolakan dari kalangan
non-muslim dan komunitas muslim itu sendiri.
Kesimpulan
Islam
sangat mendukung konsep HAM dengan teori yang merupakan manifestasi dari
pemeliharaan aspek keniscayaan (ḍaruriyyat),
yaitu meliputi: Hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup/pemeliharaan terhadap jiwa (hifẓ al-nafs). Perlindungan terhadap jiwa merupakan hak
yang tak bisa ditawar; Perlindungan keyakinan/pemeliharaan terhadap agama (hifẓ al-dīn), yang
mengandung pengertian juga hak beragama, perlindungan keyakinan ini dituangkan
dalam ajaran lā ikrāh fī al-dīn (tidak ada pemaksaan dalam agama atau lakum
dīnukum waliyadīn (bagimu agamu, bagiku agamaku); Hak
perlindungan terhadap akal pikiran/pemeliharaan terhadap akal, (hifẓ al-‘aql) jika dijabarkan dalam norma dalam HAM seperti halnya hak mengeluarkan pendapat hak untuk
mendapatkan pendidikan dan sebagainya; Perlindungan terhadap hak milik/pemeliharaan
terhadap harta (hifẓ al-māl) Perlindungan ini diterjemahkan
dalam hukum tentang keharaman mencuri dan hukuman yang keras terhadap pencurian
hak milik yang dilindungi secara sah; Hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan
dan mempertahankan nama baik/pemeliharaan terhadap nasab (hifẓ al-nasab). Hak mempertahankan nama
baik ini   diterjemahkan dalam hukum
fikih yang begitu keras terhadap orang yang melakukan tindakan zina; Pemeliharaan
terhadap kehormatan (hifẓ al-irḍ), yang
berarti juga hak untuk memiliki harga diri. Selain hak tersebut diatas terdapat
prinsip-prinsip hukum Islam yang harus diwujudkan, yakni keadilan,rahmah
(kasih-sayang), hikmah (kebijaksanaan), dan 
kemaslahatan, baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia
maupun dengan alam. Akhirnya, dalam Islam penafsiran syariah yang moderat, dinamis
dan konstruktif harus dilakukan, dibandingkan dengan penafsiran garis keras dan
statis, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia, seperti hak-hak
perempuan, hak-hak minoritas, dan penerapan hukum pidana Islam. Dari itu untuk
mencapai harmonisasi konstuktif antara hukum Islam dan hukum internasional hak
asasi manusia harus dikedepankan pendekatan komplementer dan akomodatif, dimana
unsur-unsur terbaik, baik dari hukum Islam dan hukum internasional hak asasi
manusia, digabungkan untuk seluruh umat manusia, tanpa terkecuali di Indonesia.
            
Mayer,
Ann Elizabeth, Islam and Human Rights: Traditions amd Politics, Colorado:
West View Press, 1999.
_________,
Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and
International Law, Syracuse: Syracuse University Press, 1996.
Rasjidi,
M., Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung: Alumni, 1985.
Taha, Mahmoud
Mohammad, The Second Message of Islam, diterjemahkan oleh Abdullahi Ahmed
An-Na’im, Syracuse: Syracuse University Press, 1987.
Winandi, Woro, “Reformasi Penegakan HAM
di Era Globalisasi”, dalam Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia Hakekat Konsep
dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Aditama,
2007.
 Woro Winandi, “Reformasi Penegakan HAM di Era Globalisasi”,
dalam Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia Hakekat Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat (Bandung: Aditama, 2007), h. 50. 
 
 Term “syari’ah
historis”, An-Na’im telah menemukan beberapa persoalan krusial mencakup konflik
antara hukum Islam dan hak azasi manusia. Ia kemudian mengemukakan gagasannya
bagi upaya pembaharuan hukum Islam hendaknya disesuaikan dengan konteks
kemodernan agar relevan dengan hak azasi manusia dan sistem hukum lainnya di
berbagai negara dunia. Ini bisa kita telaah lebih jauh dalam sejumlah
tulisannya tentang hukum Islam dan hak azasi manusia. Dalam tulisannya,
An-Na’im sekurang-kurangnya telah memberikan pengertian umum bagi hukum Islam
(syari’ah) sebagai sekumpulan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam yang memuat
norma-norma hukum dalam hubungannya antara manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan sesamanya. Menurutnya, syari’ah semacam ini sangat menjunjung tinggi hak
azasi manusia, karena tidak membatasi keberlakuan hukum Islam hanya bagi orang
Islam, tetapi juga melindungi hak orang lain di luar Islam. Lebih jelasnya
lihat. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Towards an Islamic Reformation: Civil
Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse University
Press, 1996) h. 3-4. 
 
 Ann Elizabeth
Mayer, Islam and Human Rights: Traditions amd Politics (Colorado:
West View Press, 1999) hlm. 35. 
 
 Faham kodifikasi (stufentheory)
merupakan turunan dari ajaran hukum murni dalam kajian filsafat hukum yang
bermuara pada ajaran positivisme. Menurut teori ini, eksistensi suatu hukum
akan diakui keberlakuannya apabila hukum tersebut ditransformasikan secara
tertulis dalam bentuk undang-undang. Demikian pula, dengan prinsip-prinsip
dasar HAM dan Hukum Islam dapat berlaku secara positif apabila telah diakui dan
dimuat ke dalam konstitusi. Berdasar kepada pandangan tersebut, antara HAM dan
Hukum Islam memiliki pola hubungan yang sama, yakni merupakan produk hukum yang
mengikat. Lihat Lili M. Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum (Bandung:
Alumni, 1985) h. 43-44. 
 
 Mahmoud Mohammad
Taha, The Second Message of Islam, diterjemahkan oleh Abdullahi Ahmed
An-Na’im (Syracuse: Syracuse University Press, 1987).