HUKUM
KELUARGA DI MESIR
(SATU
PANDANGAN TENTANG KONSEP DEMOKRASI DAN HUKUM
KELUARGA MASA  ANWAR SADAT)
Oleh
: Relit Nur Edi, S.Ag., M.Kom. I.
A.     
Latar Belakang Masalah
Demokrasi berasal dari dua kata, “demos” dan “kratos” . Demos
berarti “rakyat’ dan kratos berarti “kekuasaan atau kedudukan”, dengan demikian
demokrasi berarti pemerintahan rakyat.
Sedangkan secara etimologi, berarti kekuasaan pemerintahan yag didalamnya
rakyat menjadi pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan ada di tangan
rakyat.  
Dalam perkembangannya kita mengenal macam-macam demokrasi, yang
terbagi dalam empat model yaitu : demokrasi presidensial, demokrasi
parlementer, demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung. Demokrasi
presidensial, presiden memiliki kekuasaan tertinggi dalam pembuatan keputusan
dan kekuatan politik.  Demokrasi
parlementer, parlemenlah yang merupakan satu-satunya lembaga perwakilan
tertinggi untuk mengambil keputusan. Demokrasi perwakilan, mempercayakan
sepenuhnya pengambilan keputusan di tingkat parlemen oleh wakil-wakil yang
dipilih. Demokrasi langsung, mengalihkan sebanyak mungkin keputusan kepada
rakyat yang berdaulat. 
Kata
“demokrasi” pada awalnya begitu asing. Dan baru diakhir abad ke-19, dan di
gerbang abad ke-20, melalui serbuan kolonialisme Eropa, dan munculnya
nasionalisme. Membawa perubahan radikal dalam aras politik dan ekonomi di
lokalitas dunia Islam.Hal ini dapat dilihat dari  sisi arah pembentukan negara-bangsa
(natio-state) baru yang tidak lagi berdasarkan pada identitas agama semata,
tetapi juga identitas lokal dan warisan kolonial. Bahkan, ideologi warisan
kolonial, semisal “demokrasi,” yang sebelumnya begitu asing, menjadi
semacam  identitas (nasional) baru di
negara-bangsa muslim yang baru terbentuk. 
Bagi
mereka yang menganggap demokrasi itu adalah produk  kolonial yang ingin meminggirkan Islam, maka
akan menjatuhkan pilihannya pada Islam sebagai identitas negaranya. Akan tetapi
tidak demikian bagi pemikir Muslim sekaligus pemimpin Mesir di pertengahan
tahun 70-an, yaitu Anwar Sadat, yang memilih demokrasi.
Menurutnya
demokrasi adalah ideologi negara  yang
bisa membawa Mesir sejajar dengan negara-negara Eropa yang sebelumnya menjajah
tanah kediamannya. 
Konsep
demokrasi ini dituangkan dalam mereferendum kontitusi 11 September 1971, yang
isinya: 
”Mesir adalah negara republik dengan multi partai (pasal 5).
Kekuasaan berada di tangan rakyat (pasal 3). Islam adalah agama resmi negara
dan syariat Islam adalah sumber perundang-undangan dan bahasa Arab adalah
bahasa resmi negara (pasal 2). Di samping itu, secara tegas dijelaskan, bahwa
republik Arab Mesir adalah sebuah negara demokrasi dan sosialis  yang berdasarkan pada aliansi kekuatan
pekerja rakyat (pasal  1).”   
Kebijakan
yang diambil dan dikembangkan saat itu adalah kebijakan “revolusi pembetulan”
dan kebijakan “pintu terbuka”. Revolusi pembetulan yakni ia merangkul  sebanyak-banyaknya organisasi Islam termasuk
melepaskan tahanan politik semasa Nasser berkuasa khususnya anggota Ikhwan  Muslimin guna mendapat dukungan dalam
kepemimpinannya. Sedangkan kebijakan pintu terbuka, yaitu untuk menarik
investor menanam saham di Mesir. Ia juga memasukan  kekuatan pers berdasarkan perubahan kontitusi
tahun 1980 dan UU No. 148 tahun 1981. Menurutnya pers adalah kekuatan rakyat
yang independen.   
Namun
langkah kebijakan Anwar Sadat tidak banyak membawa perubahan terhadap perbaikan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Mesir. Persoalan kemiskinan, pengangguran
dan politik regional Mesir semakin terpuruk ditambah persoalan politik internal
dengan tumbuhnya militan-militan Islam. Posisi politik Anwar Sadat semakin
sulit dikendalikan walaupun dalam kekuasaannya mengusung demokrasi, dan dengan
konstitusi ia mencoba meyakinkan lima hal yaitu lembaga pemerintahan yang lebih
kukuh, demokrasi yang lebih luas, kemakmuran yang lebih besar, pamor
internasional yang baru, dan perdamaian. 
Atas
dasar tersebut, Anwar Sadat dalam memimpin Mesir secara ideologis didasarkan
pada sosialisme demokratis yang pada mulanya lebih cenderung menerapakan model
“demokrasi parlementer”, mengalami perubahan ke arah “presidensial”. Kondisi
ini tercermin pada masa kepemimpinannya yang cenderung mempertahankan diri
sebagai presiden di mana ketika itu ia 
digerogoti oleh banyaknya gerakan-gerakan Islam radikal seperti Jamaat
Al-Muslimin, Jamaat Al-Jihad, Jund Allah (prajurit Allah) dan Ikhwanul Muslimin
sehingga ia terbunuh oleh kelompok yang menamakan diri sebagai Jamaat Al-Jihad.   
B.      
Sistem Demokrasi Mesir
1.     
Sejarah Demokrasi di Mesir
Sejak
mendaratnya Napoleon di Alexandria 2 Juni 1798, Mesir dengan mudah jatuh dalam
jajahan  Inggris. Napoleon tidak hanya
menjajah, akan tetapi memberikan beberapa ide yang dibawa dalam ekspedisi
Napoleon ke Mesir. Ide-ide yang pada waktu itu belum mempunyai pengaruh yang
nyata bagi umat Islam di Mesir. Tetapi dalam perkembangan kontak dengan Barat
di abad ke sembilan belas ide-ide itu semangkin jelas dan kemudian diterima dan
dipraktekkan dalam kancah peroplitikan di Mesir. 
Menurutnya
ada tiga ide-ide yang dibaca Napoleon pada waktu itu,Antara lain: Republik
(Liberte) dimana republik adalah negara yang berdasarkan kepada sistem
demokrasi yang di pimpin oleh  presiden,
ide persamaan (egalite) dimana dalam artinya kedudukan dan turut sertanya
rakyat dalam soal pemerintahan. Pada saat itu Napoleon telah mendirikan suatu
badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dalam
dagang dari Cairo dan daerah-daerah.Tugas badan ini adalah membuat
undang-undang, memelihara ketertiban umum dan menjadi perantara antara
penguasa-penguasa Perancis dan rakyat Mesir. Ketiga, Ide kebangsaan. Makna yang
terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa
(nation) dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing dan datang ke Mesir dari
Kaukasus, jadi sungguh pun orang Islam tetapi berlainan bangsa dari orang
Mesir. Juga maklumat itu mengandung kata-kata umat Mesir.  
Sampai
pada awal abad-20 di Mesir timbul suatu usaha mengakhiri kekuasaan Inggris yang
telah bercokol sejak tahun 1798. Usaha ini dimotori oleh organisasi politik yang
bernama Al-Wafd al-Misr (utusan Mesir). Di bawah  pimpinan Saad Zaghul, Al-Wafd menuntut
kebebasan dan pemerintahan sendiri di Mesir. Februari 1922 Inggris
memproklamirkan Mesir sebagi negara Monarki kontitusional.   
Sebuah
negara yang semi independen  yang tidak
lepas dari kontrol oleh Inggris, yaitu negara Monarki negara yang dipimpin oleh
seorang raja dan sebuah parlemen. Rezim ini dikenal dengan rezim liberal,
sekalipun rezim ini telah memberikan konsep kebebasan poltik dimana tumbuhnya
partai-partai politikataupun gerakan-garakan yang skalanya kecil dan
intelektual-intelektual Mesir menjadi terpecah dalam beberapa golongan ataupun
aliran, rezim ini dianggap gagal dan dapat digulingkan di tahun  1952 oleh perwira bebas yang merupakan
kumpulan kemiliteran Istana sendiri yang merencanakan turunya raja dan mengusir
Inggris dan menginginkan Mesir menjadi negar republik. Dengan maraknya
gelombang demokratisasi, Mesir pun mencoba dapat merubah sebuah rezim pada
suatu negara  dari rezim otoriter
menjadi  rezim demokrasi. Seperti dalam
sebuah studi demokrasi mengatakan: “Kegagalan ekonomi dari suatu rezim
ototriter bisa  jadi merupakan faktor
kelemahan rezim tersebut, tetapi keberhasilan dari suatu rezim otoriter mungkin
berpeluang lebih besar untuk menciptakan landasan bagi suatu rezim demokrasi. 51
 
Mungkin
ini yang terjadi di Mesir,  rakyat yang
selama berabad-abad tidak merasakan kebebasan dalam negrinya sendiri.   Semenjak kepemimpinan Ismail hingga Raja
Farouk, telah menunjukan kondisi ekonomi yang lemah dan intervensi asing yang
masuk ke negri Mesir, dengan bentuk negara monarki parlementer. Dilanjutkan
dengan pemerintahan yang diperoleh lewat revolusi tahun 1952  yang diperoleh oleh kekuatan militer, dengan
bentuk negara presidensial. Ini tidak jauh beda dari  yang satu ke satu lainya. Tidak
memperjuangkan hak-hak  kebebasan yang
telah diketahui oleh rakyat Mesir pada jamannya. Kemudian Rezim Nasser pun
berdiri  (1952-1970).
Ironisnya
pada awal kepemimpina Nasser bukan demokrasi 
yang ia angkat untuk menjalankan pemerintahan Mesir. Boleh dikatakan
massa ini masa matinya demokrasi di Mesir langkah pertama yang dilakukan Nasser
ialah berusaha mengarahkan kekuasaan politik ke satu tangan, adanya partai
politik tunggal, kekuasaan parlemen lebih rendah dari kekuasaan presiden, dan
banyak hal yang ia larang guna untuk kokohnya dalam kepemimpinannya.  Sampai pada kepemimpinan Anwar Sadat, selepas
wafatnya Gamal Abdul Nasser. Anwar Anwar Sadat membuat langkah politik yang
berbeda dengan Abdul Nasser. Ia ingin mebentuk identitas dan legitimasi  politik sendiri, yaitu dengan mengambil  langkah dan kebijakn-kebijakan,  diantaranya yaitu mengaplikasikan tuntutan
Sepanjang tahun 1970-an hingga 1980-an, lebih dari 30 negara mengalami
pergeseran dari sistem otoritarian menuju sistem demokrasi. Beberapa sebab
disinyalir mengakibatkan kondisi transisi ini, pertama: Perkembangan ekonomi
bisa jadi merupakan faktor utama terjadinya perubahan-perubahan politis
tersebut. Kedua: kebijakan-kebijakan dan peran-peran yang dimainkan oleh Barat,
dalam hal ini, Amerika Serikat, kekuatan-kekuatan Eropa dan lembaga-lembaga
internasional membantu mempercepat proses demokratisasi di beberapa negara
Eropa, Amerika Latin, negara-negara Asia  dan tidak terkecuali Mesir yang mengalami
hal-hal tersebut. Langkah lainya 
mereferendum kontitusi 11 September 1971, antara lain yaitu: ”Mesir
adalah negara republik dengan multi partai (pasal 5). Kekuasaan berada ditangan
rakyat (pasal 3). Islam adalah agama resmi negara dan syariat Islam adalah
sumber perundang-undangan dan bahasa Arab adalah bahasa resi negara (pasal 2).
Di samping itu, secara  tegas dijelaskan,
bahwa republik Arab Mesir adalah sebuah negara demokrasi dan sosialis yang
berdasarkan pada aliansi kekuatan pekerja rakyat (pasal  1).” 54Pasal
4 Melanjutkan ” Dasar ekonomi dari republik Arab Mesir adalah sistem demokrasi
sosialis yang didasarkan pada kecukupan dan keadilan dengan cara mencegah
ekploitasi, yang mengakibatkan penghapusan perbedaan-perbedaan pendapatan
melindungi pendapatan yang sah, dan menjamin persamaan distribusi  kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab
masyarakat”   Kontitusi 1971 telah menggambarkan  kehidupan demokratisasi di Mesir. Dimulai
dengan dibukanya politik multi partai yang tertera pada pasal 5, yang
sebelumnya pada era Nasser dilakukan 
pemusatan yang bertumpu pada satu partai. Kemudian dalam pasal lain
menerangkan tentang terpusatnya kekuasaan yang mutlak berada ditangan rakyat,
tercantum pada pasal 3. Pada pasal 1 pun memperkuat argumen yang di keluarkan Anwar
Anwar Sadat yaitu, republik Arab Mesir adalah sebuah negara demokrasi dan
sosialis yang berdasar pada aliansi kekuatan pekerja rakyat. yang terpenting
dari pasal ini ialah pelaksanaanya dalam menjalankan roda perpolitikan.   
Seharusnya  pemusatan kekuasaan yang menjadi ciri negara
Mesir itu sudah berkurang pada era presiden Anwar Sadat. Tetapi ini malah
sebaliknya dengan semangkin terpusatnya kekuasaan di tangan presiden. Khususnya
setelah presiden menjadi ketua partai terkuat tahun 1978, Ditambah lemahnya
partai oposisi pada saat itu, yang membuka peluang sang penguasa untuk berbuat diktator.
Tumbuhnya polarisasi antara tokoh Islam dan pejabat-pejabat pemerintahan,  belakangan disesali, pada komitmen demokrasi,
yang dijustifikasi dengan tuduhan bahwa kaum fundamentalis hendak membajak
demokrasi, dan akhirnya meluasnya konfrontasi antara pasukan keamanan negara
dan kaum extrimis muslim yang akhirnya menyulut refolusi moderat dan juga
refolusi kekerasan Presiden
Anwar Sadat baru diganti oleh wakilnya Hosni Mubarak setelah tewas ditembak oleh kaum extremis 
yang radikal pada 6  oktober 1981.
Dengan tampilnya Hosni Mubarok sebagai presiden, ia mencoba menjalankan apa-apa
yang telah menjadi kebijakan-kebijakan 
atas pemerintahan. Mubarak dikenal wakil yang setia akan kebijakan-kebijakan
yang diambil Anwar Sadat. Ia pun memulai program pemerintahanya dengan
memperbaiki bidang ekonomi dan hubungan luar negri. Dalam perpolitikannya
sebelum merubah pola politik yang di wariskan Anwar Anwar Sadat, atas nama
demokrasi Mubarak berhasil memperkokoh kekuasaanya.  
2.     
Gagasan Demokrasi Anwar Sadat
Gagasan demokrasi Anwar berdiri di atas tiga prinsip utama: multi
partai, kebebasan pers, dan kebijakan pintu terbuka. Namun, hal itu bisa
dinilai sebagai sebuah prestasi luar biasa, bagi negara semisal Mesir yang baru
beranjak dari rezim otoritarianisme Nasser. Langkah Anwar Anwar Sadat untuk
menerapkan demokrasi dengan mengamandemen konstitusi Mesir 1971 setelah
kepergian Nasser adalah awal pendasaran bagi masa depan demokrasi di Mesir.
Atas dasar itu, pragraf berikut akan mengurai tiga gagasan utama demokrasi Anwar
Sadat .
a.   
Multi Partai    
Meskipun sebelum Prisiden Nasser
meninggal, Anwar Anwar Sadat menjabat sebagai wakilnya, bukan berarti ia
sepaham  dengan Nasser. Uni Sosialis Arab
(Arabic Socialist Uni—ASU) yang memonopoli perpolitikan Mesir menyisakan trauma
tersendiri bagi Anwar Anwar Sadat. Akibatnya, aspirasi politik dari rakyat yang
menjadi inti dari demokrasi tidak menemukan ruang untuk mengambil peran. Partai
politik (parpol) yang biasanya dapat memainkan peranan  besar dalam kehidupan politik, sosial, dan
ekonomi suatu negara tidak terjadi di Mesir pada masa Nasser. Untuk itu, pada
kepemerintahannya, Anwar Anwar Sadat mencoba mengintrodusir sistem multi partai
yang dianggap bisa memainkan peran secara leluasa. Partai, perannya sering
tampak setelah memenangkan pemilihan umum (pemilu) baik di parlemen maupun di
eksekutif. Dalam konteks legislatif, partai politik, pada dasarnya
berlomba-lomba memperoleh kursi sebanyak mungkin;  semakin banyak kursi yang diperoleh semakin
luas pula  peranan yang dapat mereka
lakukan.
 
Cara perebutan kursi dalam pemilu
untuk meningkatkan peran suatu parpol tidak selalu sama. Dilihat dari tujuan
berdirinya parpol, ada parpol yang sudah berperan tanpa perlu memenangkan
sesuatu pemilu; ini biasanya didirikan oleh penguasa suatu negara dengan
melanggengkan kekuasaanya atau maksud lain yang serupa (Sosialis Arab) di Mesir,
misalnya didirikan oleh presiden Nasser dengan menciptakan identitas Arab
Nasser dapat menyetir keinginan rakyat. Dalam kehidupan selanjutnya, tanpa
harus memenangkan pemilu, Nasser dengan partai tunggalnya ASU sudah berperan di
kehidupanpolitik Mesir. ASU merupakan satu-satunya parpol pada masa Nasser yang
di harapkan menjembatani komunikasi antara rakyat dan penguasa.   
Masa awal pemerintahan Anwar Anwar
Sadat  ditandai dengan kebijakannya untuk
merangkul sebanyak mungkin kelompok-kelompok Islam. Hal ini lakukan untuk
membendung kuatnya pengaruh gerakan Nasserisme yang berpijak pada ideologi
nasionalisme Arab. Gerakan Nasserisme pada masa itu tidak hanya kuat di Mesir,
tetapi juga di Suriah dan Irak, dengan berhasilnya  Partai Baath mengambil alih kekuasaan di dua
negara tersebut. Di Libya, sosok Moammar Khadafi yang sangat kagum pada figur
Abdul Nasser juga berhasil mengambil alih kekuasaan. Di Ajazair juga terjadi
hal yang sama, ketika Kolonel Houari Boumedienne berhasil mengudeta pemerintah
sebelumnya. Ia  juga termasuk pengagum
Gamal Abdul  Nasser. Jadi, gerakan
nasionalisme Arab yang berbasiskan ideologi sosialisme sangat mendominasi.  
Dengan pengalaman-pengalaman ini, Anwar
Sadat langsung mengambil langkah-langkah politik untuk  mengantisipasi perebutan kekuasaan yang saat
itu sudah ada di hadapannya. Di awal peralihan kepresidenan ketika Nasser
wafat, rakyat Mesir sudah banyak mengkampanyekan ide demokrasi. Setahun setelah
Anwar Anwar Sadat berkuasa, kontitusi baru diundangkan. Kontitusi ini kemudian
direferendum pada tanggal 11 September 1971, dan pada tanggal 22 Mei 1980.
Kontitusi yang sama diperbaiki dengan referendum. Menurut kontitusi 1971,
(pasal 5) “Mesir adalah negara republik dengan sistem multi partai.”Sepeninggal
Nasser, ASU merupakan partai yang sebelumnya mendominasi seluruh kehidupan
politik Mesir. Pada masa Anwar Sadat memimpin Mesir, partai politik dipecah
menjadi tiga partai. Ketiga parpol tersebut adalah Partai Uni Nasional
Progresif (Hizb al-Tajammu al-Wathani al-Thaqaddumi al-Wahdawi  yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi:  the Uni Progresive Party), partai ini
mewakili aliran “kiri” Mesir; Partai Sosialis Liberal Hizb al-Ahrar
al-Isytirakiyyin, bahasa Inggrisnya:  the
Liberal Sosialist Party), mewakili ideologi “kanan” Mesir; dan Partai Sosialis
(Hizb al-Misr) yang mewakili paham “tengah” Mesir. Salah satu antisipasi yang
terus berlanjut dalam perpolitikan yang dijalankan Anwar Anwar Sadat ialah
menyusulnya partai baru yang  dibentuk
guna memperkuat kepemimpinannya.  Pada
tahun 1978, Anwar Anwar Sadat  membuat
parpol baru, yaitu Partai Nasional Demokratik (Hizb al-Wathani al-Dimuqrati
atau  the Nasional Demokration Party—NDP).
Dengan munculnya partai ini, semua
anggota partai sosialis berpindah dan menjadi anggota NDP. Dan partai lain pun
akhirnya tersingkirkan secara otomatis. 
Berdirinya NDP ini berdasarkan UU No.40 th.1977 tentang parpol. UU
tersebut merupakan penjabaran dari pasal 5 kontitusi 1971 yang menghendaki
berlakunya multi partai, menurut UU pasal 5 ini orang Mesir boleh mendirikan
parpol asal memenuhi syarat-syarat berikut: “1. Dasar, program, tujuan,
kebijaksanaan, dan cara yang digunakan tidak bertentangan dengan syariat Islam,
prinsip revolusi 23 Juli 1952 dan 15 Mei 1971, Persatuan Nasional ,  perdamaian sosial, dan sistem sosial
demokrat. 2. Program dan kebijakan partai berbeda dengan partai lain. 3.
program dan dasar partai  tidak mengacu
kepada satu kelas, fraksi, profesi, asal daerah, ras atau agama. 4. Paratai
bukan merupakan bagian dari organisasi militer atau para militer. 5. Partai
tidak berfungsi sebagai cabangdari parpol di luar negri.”   
Dengan demikian, jumlah partai di
Mesir tidak ada batasnya. Kesempatan  ini
dimanfaatkan oleh sekelompok simpatisan partai Wafd yang telah terkubur sejak
jaman Nasser. Mereka kemudian mendirikan partai Wafd Baru (  Hizb al-Wafd al-Jadid dalam bahasa
Inggrisnya: the New Wafd Pary). Dan, ternyata partai Wafd baru mendapatkan
dukungan dari kalangan rakyat dan kaum tradisional. Keadaan ini membuat Anwar
Anwar Sadat terdesak  dan berusah untuk
melakukan tindakan preventif dengan melarang partai Wafd baru yang baru berdiri
selama 100 hari. 
Seiring dibentuknya partai NDP, yang
berdasarkan UU No.40 1977 tentang parpol, tidak hanya partai Wafd Baru yang
berdiri tetapi masih ada partai-partai lainnya seperti:  Hizbul ‘amal (labour party). Partai Oposisi
ini didirikan pada tahun 1978, sekretaris jendral pertamanya adalah mendiang
Mahmud Abu Wafiah. Partai ini bertujuan untuk 
menciptakan jalur politik yang menyokong haluan Islam yang mendapat
resistensi keras dan luas pada saat itu. 
Partai ini membangkitkan kembali semangat paham-paham mendiang Gamal
Abdul Nassir mantan presiden Mesir kedua. Dalam perjalanannya, partai ini
dengan sekjennya Dhiyauddin Dawud tidak mampu merealisasikan kemajuan apa pun
dalam menarik pendukung dari seluruh rakyat Mesir.  Partai NPUG (National Progressive Unionist
Grouping) berdiri tahun 1976, pada mulanya partai ini menghadapi problem intern
dengan 3 front: kelompok Nassser di bawah Kamaluddin  Rif’at dan sebagian kelompok tua Marxisme di
bawah Abdurrahman Syarqowi serta kelompok muda Marxisme. Partai ini mempunyai
surat kabar yang diterbitkan secara reguler. Dan, surat kabarnya adalah al ahali,
yang pernah dibrendel oleh pemerintahan Anwar Anwar Sadat. 
Hizbulahrar merupakan partai oposisi
pertama di Mesir, dan surat kabar hariannya “al ahrar” yang terbit pertama pada
tahu 1977. Partai ini didirikan oleh Mustofa Kamil Murad, yang mengkombinasikan
tiga unsur utama: nasionalis, sekuler, dan Islam. Setelah meninggalnya Mustafa
Kamil terjadi perpecahan yang luas dalam partai ini, hingga dibekukan  oleh Komite Partai Mesir, dan surat kabarnya
pun mengalami nasib sama, dibredel.   
 Sambutan masyarakat Mesir saat itu sangat
antusias akan berlakunya sistem multi partai, yang mati di saat kepemimpinan
presiden Nasser. Partai-partai di atas merupakan contoh telah siapnya
masyarakat Mesir menghadapi alam demokrasi, tetapi Anwar Anwar Sadat tidak
tinggal diam akan banyaknya saingan politik yang sewaktu-waktu mengancam
kepemimpinannya. Ia pun mengambil langkah seribu untuk membungkan suara-suara
yang vokal dalam percaturan politik di Mesir pada saat itu. NDP menjadi partai
pemerintah yang tidak tersaingi. Dalam ranah politik, NDP bagaikan penganut
sistem partai tunggal yang berjalan di balik topeng liberal. Jadi tidaklah jauh
berbeda dengan apa yang dilakukan Nasser melalui partia ASU-nya itu, namun
dengan strategi dan taktik  yang lebih
brilian. Keliberalan Anwar Anwar Sadat di bidang politik hanya sampai pada
bentuk struktur formalnya saja, realitas sehari-harinya masih sama dengan zaman
Nasser. Parpol selain NDP memang ada, tetapi mereka dibuat sedemikian rupa,
sehingga perjalanan hidupnya tidak bisa mencerminkan dan mewakili pengikutnya.
Partai politik lain itu hanya digunakan untuk menunjukan, bahwa Mesir tidak
menganut sistem partai tunggal sebagaimana yang dianut Nasser. Anwar Anwar
Sadat ingin menampakkan perbedaannya dengan Nasser.   
b.  
Kebebasan Pers
Menurut
(pasal 1) dalam kontitusi 1971 dikatakan bahwa “Republik Arab Mesir adalah
Negara demokrasi dan sosialis yang berdasarkan kepada aliansi kekuatan pekerja
rakyat.” Dalam politik demokrasi di Mesir pada pemerintahan Anwar Anwar Sadat,
Mesir telah mempraktikkan pemisahan kekuasaan yang dalam istilah Montesquieu
disebut trias politika: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.  Selain ketiga kekuasaan yang telah disebutkan
di atas, Anwar Anwar Sadat 
memperkenalkan satu penyangga utama demokrasi sebagai kekuatan pendukung
keempat, yaitu pers. Perubahan kontitusi tahun 1980 dan UU No148 tahun 1981
mengatakan: “Pers adalah kekuatan rakyat yang independen.Kebebasanpers dijamin
oleh undang-undang dan sensor  terhadap
pers ditiadakan. Wartawan bebas melakukan kegiatannya asalkan tidak melanggar
hukum.”71Untuk memudahkan pengaturan kehidupan pers, maka dibentuk Dewan Tinggi
Pers (Al-Majlis al-A’la lil-Shahafat). Dewan ini mempunyai tanggung jawab
untuk:
 “Mengemukakan pendapat dalam RUU yang mengatur
masalah pers; menjamin kemajuan dan pertumbuhan 
pers; Melindungi kegiatan pers dan hak-hak kewartawanan; menetapkan kode
etik pers; menanggung upah minimum yang pantas bagi wartawan  dan pekerja pers; dan menerbitkan izin bagi
wartawan yang ingin bekerja untuk penerbitan non-Mesir (asing) agen berita atau
organisasi medialainnya, baik dalam Mesir maupun di luar negeri.”   
Di samping Dewan Tinggi Pers, ada dua dewan lagi yang ikut
mengurusi masalah pers, yaitu Dewan Penerbitan (Majlis al-Idarat) dan Dewan
Redaktur (Majlis al-Tahrir). Dewan Penerbit yang mempunyai 15 angota yang  terdiri dari seorang ketua yang dipilih oleh
Shura, 6 orang karyawan organisasi pers (2 orang wartawan, 2 orang
Administrator, dan 2 orang pekerja), dan 8 orang anggota yang dipilih oleh
Shura. Masa tugas Dewan Penerbit adalah 4 tahun dan mereka dapat dipilih
kembali. Sedang Dewan Redaktur terdiri atas sekurang-kurangnya lima anggota
dengan dipimpin oleh pimpinan yang dipilih oleh Shura.   
Mesir memang memiliki tradisi kebebasan pers dan kebebasan pers
dijamin dan dilindungi secara konstitusional, kebebasan pers itu dirumuskan: 
“Freedom
of the press, printing, publication and mass media shall be guaranteed.
Censorship on newspapers  is forbidden as
well as notifying, suspending or cancelling them by administrative method. In a
state of emergency or in time of war a limited cencorchip may be imposed on the
newspapers,
publication and mass media in maters related to publik safety 
or porposes of
nation al security in accordance with the law”   
"Kebebasan
pers, percetakan, publikasi dan media massa harus dijamin. Sensor pada koran
dilarang serta memberitahukan, menangguhkan atau membatalkan mereka dengan
metode administratif. Dalam keadaan darurat atau di waktu perang cencorchip terbatas
dapat dikenakan pada surat kabar, publikasi dan media massa di maters terkait
Publik keselamatan
atau porposes
bangsa al keamanan sesuai dengan hokum”
Salah satu penerbit yang sangat  berpengaruh dalam pembentukan opini politik
sejak masa Pro-Revolusi ialah harian Al-Ahram, yang kini memiliki sebuah
lembaga pengkajian strategis yang banyak 
berfungsi sebagai sumber konsultasi dan informasi tentang masalah Mesir,
negara-negara Timur Tengah lainnya dan Afrika.   
Tidak hanya penerbit  Al-Ahram, masih banyak yang lain dalam
memberikan berita dan cukup vokal. Seperti Al-Ahali suatu koran mingguan yang
dipimpin Khaled Moehiddin salah satu dari kelompok “Perwira Bebas” menganut
aliran Marxis dan berakhir dalam penjara. 
Al-Ahali adalah koran yang baik dan dibaca secara luas. Koran ini berani
membahas maslah-masalah yang bertentangan dengan mengambil sikap slogan: “Tidak
ada perdamaian terpisah dengan Israel.” Koran ini mengutuk korupsi pada umumnya
dan mengungkapkan kasus-kasus secara khusus. Terdapat  suatu tulisan bersambung  yang berjudul “imperium Ottoman” Mengenai
Osman  Ahmed Osman dan Arab Contractor
Company. Meskipun cukup berhasil, Al-Ahali mempunyai kelemahan besar, yaitu
koran ini dicetak pada salah satu koran pemerintah, dan karena ini ia menemuai
ajalnya.   
Tabloid mingguan Al-Shaab (rakyat),
merupakan sebuah ruang aktualisasi dan aktifitas dari partai  Misr el-Fatat (Mesir muda). Di bawah Mohamed
Abu Wafia, koran ini adalah koran pertama yang menerima keberadaan Camp David,
meskipun dengan persyaratan, tetapi kemudian jauh lebih kritis dalam bahasannya
yang memperdebatkan antara yang loyal 
pada pemerintah dan yang tidak dan berakhir dengan perpecahan.  Al-Shaab beralih kepada kekuatan demi
kekuatan yang tersusun dari tokoh-tokoh terkemuka dari masyarakat Mesir. 
Dr. Hilmi Murad seorang ahli ekonomi
yang pernah menjadi rektor Universitas ‘Ain Sham’s, pernah menjabat menteri
pendidikan di era Nasser. Artikel-artikel yang ditulisnya mengenai  keadaan ekonomi Mesir, tetapi tulisan yang
membuat gerah Anwar Sadat ialah sebutan terhadap Jihan istri Anwar Anwar Sadat
dengan “First Lady.”   
Fathi Radwan seorang pemimpin
pertama Misr el-Fatat, pernah menjabat Menteri Pembinaan Nasional (1952). Satu
artikelnya, “El-‘Utaqa”(yang diangkat) tulisan ini ia menolak pengakuan yang
selalu dinyatakan oleh Anwar Anwar Sadat bahwa ia telah “memberikan”
kemerdekaan dan demokrasi kepada bangsa Mesir. “Kami bukan budak,” Tulis Fathih
Radwan, “yang harus diberitahu kepada kita sudah diberi emansipasi. Bila kita merdeka,
ini bukan karena diberi olah siapapun.” Dr. Muhamed Asfur adalahseorang
ahli  hukum, secara terbuka menentang Cam
david.   
Akibat tekanan-tekanan yang timbul
dari lawan-lawan politik yang berkembang saat itu di Mesir terutama  lewat media-media baik di koran-koran,
televisi, radio atau pun partai politik 
yang terus memantau perpolitikan Anwar Sadat, selebihnya ketika persetujuan
Cam David diperdebatkan di Parlemen. Hanya lima belas wakil yang mengajukan
suara menentang, meskipun tidak kurang dari lima puluh lima wakil suara
termasuk sebagian dari partai nasional Anwar Anwar Sadat sendiri, memilih untuk
tidak hadir di parlemen pada hari pemungutan suara. Tentu saja ini tidak cukup
untuk Anwar Anwar Sadat, karena ia ingin menempatkan persetujuan ini dalam
suatu kedudukan yang tidak terguncang, sehingga ia memutuskan untuk membubarkan
parlemen dan memerintahkan pemerintahan baru.   
Ini tidak kontitusional, karena
presiden hanya diberi wewenang dalam kontitusi untuk membubarkan parlemen hanya
bila terjadi sengketa antara dirinya dan parlemen. Dan, bila pemungutan suara
yang menyusulnya mendukung pendapat presiden. Dalam peristiwa ini  jauh dari terlibat sengketa dengan presiden,
parlemen dengan kelebihan  timbangan
suara yang besar justru mendukung kebijaksanaannya. Tetapi  tujuannya yang sesungsuhnya dengan pembubaran
itu adalah guna menutup kaum independen untuk selama-lamanya.   
Masih ada tiga jawatan yang
dimaksudkan bertindak sebagai pengawas atas nama masyarakat dan menikmati  kebebasan cukup longgar. Yang pertama adalah
pengawas Administratif yang  ditugasi
mengawasi tindakan-tindakan pemerintah dan dengan demikian merupakan bagian
yang tepat untuk memperhatikan transaksi yang mencurigakan dan yang liar. Badan
ini pun dibubarkan lewat dekrit presiden atas 
dasar bahwa ia sudah menjadi ganguan birokrasi. Badan pengawas kedua
Kantor Akutansi Publik. Badan ini seharusnya mengirimkan kepada parlemen
laporan-laporan mengenai industri-industri yang dinasionalisasikan mengeniai
ekspor negara. Laporan-laporannya memang memberikan kepada kelompok independen.
Ini pun bernasib sama dengan badan Administratif
yaitu mengalami penjegalan atas tugasnya yang dianggap menghalangi kinerja
pemerintahan Anwar Sadat.  Ketiga Dinas
Intelegen Umum. Meskipun demikian badan ini mengatakan mempunyai informasi
tentang segala apa yang terjadi, badan ini juga tidak tahuharus diapakan
informasi itu. Badan ini  sewaktu
kepemimpinan Nasser telah di setujui untuk dijadikan koran terbitan  Al-Ahram. Tetapi di tahun (1974) Anwar Anwar
Sadat membatalkan pengaturan itu dan ketika ia mendirika majelis Keluarga
(majlis el-Shura) ia mendirikan apa yang dinamakan Dewan Pers Tertinggi, yang
diketuai oleh kaum majlis. Ini tentu saja mengindikasikan bahwa seluruh pers
secara efektif ada dibawah kontrol pemerintah, yang menyangkut semua pemimpin
redaksi. 
 
c.   
Pintu Terbuka
1.       
Ekonomi
Infitah  adalah sebuah kata berbahasa Arab yang
artinya “pintu terbuka”. Kata ini merujuk pada Presiden Mesir Anwar Sadat:
“membuka pintu” (opening the door) untuk memprivatisasi  penanaman 
modal (investasi) di Mesir. Pada tahun-tahun setelah Perang Oktober
dengan Israel pada 1973, Anwar Anwar Sadat membawa sejumlah perbaikan bagi
Mesir. Yang paling populer di  antaranya,
Mesir merupakan negara Arab pertama yang mengakui kedaulatan Israel. Anwar
Anwar Sadat juga melakukan reformasi ekonomi yang mengakhiri dominasi ekonomi
Mesir oleh sektor publik dan mendorong baik investasi domestik maupun investasi
asing dalam sektor swasta, sebuah kebijakan yang dijuluki dengan nama
“infitah”. 
Pada
tahun-tahun setelah “Perang Oktober,” ada tiga madzhab pemikiran yang muncul di
Mesir: kaum Marxis mendukung untuk meneruskan trend sosialis yang sudah
dibangun di Mesir di bawah pengaruh Uni Soviet, di saat yang sama kelompok yang
lebih kecil mendorong kapitalisme pasar bebas. Sebelum pemilihan Anwar Anwar
Sadat, kaum statis, pendukung ekonomi terpimpin (command economy) dengan
membatasi investasi swasta yang mendominasi kancah politik di Mesir.
Kebijakan  infitah  Anwar Anwar Sadat sesungguhnya sangat
dipengaruhi oleh “filsafat pasar bebas” yang masih mempertahankan beberapa elemen
yang sosialistik. Kebijakan ini juga baik secara ideologis maupun politis
dimotivasi oleh keinginan Anwar Anwar Sadat untuk bersekutu dengan Barat dan
anggota  masyarakat Mesir sendiri yang
kaya dan kuat. Dengan cara ini Anwar Anwar Sadat membedakan dirinya dari era
Nasser yang pada saat yang sama melindungi dirinya berada dalam kekuasaan. 
Dengan
demikian program Anwar  Anwar Anwar Sadat
ini adalah untuk menopang investasi swasta di Mesir yang lebih sering disebut
dengan “open door policy”. Kebijakan ini dikumandangkan bersamaan dengan
“Oktober Paper” 1974 yang dimaksudkan untuk merelaksasi kontrol pemerintah yang
diterapkan di bawah Sosialisme Arab Gamal Abdel Nasser. Kebijakan ini juga
sebenarnya sudah dimulai pada 1971 sebagai sebuah usaha untuk menarik investasi
oleh negara-negara Arab lain untuk menyelamatkan ekonomi Mesir yang terpuruk.
Kebijakan ini juga merupakan kelanjutan dari perang Arab-Israel pada 1973
karena Mesir membutuhkan dana asing untuk membiayai bahan pokok yang penting
dan bagian-bagian tertentu  yang akan
membawa ekonomi Mesir kembali pada produksi secara maksimal. Mesir juga
mengharapkan untuk mengubah hutang jangka pendeknya (short-term debt) menjadi
utang jangka panjang (longer indebtedness) dengan berkurangnya masa-masa  yang berat. Oleh karena itu, kebijakan ini
bisa menarik investasi swasta untuk meningkatkan pendapatan negara selanjutnya,
pekerjaan, dan kurs asing.   
Foaktor-faktor
dilakukanya kebijakan pintu terbuka (Infitah), terjadi disinyalir selain dari
penjabaran atas realitas terselenggaranya hasil undang-undang kontitusi 1971
yakni dalam (pasal 4) “Dasar ekonomi dari Republik Arab Mesir adalah sistem
Demokrasi sosialis yang didasarkan pada kecukupan dan keadilan dengan cara
mencegah ekploitasi yang mengakibatkan penghapusan perbedaan-perbedaan
pendapatan,  melindungi pendapatan yang
sah, dan menjamin persamaan distribusi kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab
masyarakat.”   
Dorongan
lain akibat merosotnya prekonomian negara yaitu, terlibatnya peperangan antara
Mesir-Israel (1973). Peperangan ini menghabiskan biaya yang tidak sedikit
dengan keadaan prekonomian  yang
diwariskan Nasser pada Anwar Anwar Sadat. Hal lain yaitu Anwar Anwar Sadat
mengharap dapat dukungan ekonomi dan politik kepada Amerika Serikat, dengan pemulihan
hubungan dengan kultur Barat. Pada dekade 1970-an di bawah presiden Anwar Sadat,
rezim Mesir kembali kepada sistem prekonomian campuran dan kembali kepada
kebijakan meningkatkan investasi swasta. Tahun 1974 hal ini menjadi
kebijakan  infitah membuka pintu bagi
investasi asing.  Kebijakan baru ini
sejalan dengan persekutuan rezim Anwar Anwar Sadat dengan Amerika Serikat dan
negara-negara Arabkonservatif. Meski banyak tergantung pada investasi asing,
namun kesejahteraan rakyat terus-menerus bergantung pada ekspor minyak, pada
sektor pariwisata, bea terusan Suez, dan kiriman uang para pekerja di luar
negeri. Demikianlah, hutang Mesir luar negri Mesir berkembang semangkin besar. 
Tokoh-tokoh
Islam mencemooh dan menolak reformasi hukum ini karena mereka dianggap sebagai
hasil pengaruh Barat. Mereka menyebut undang-undang Jihan, mengacu pada Jihan Anwar
Anwar Sadat, yang ibunya berasal dari Inggris dan dia dianggap sudah
bertabrakan. Kebijakan ekonomi “pintu terbuka” (infitah) Anwar Anwar Sadat
dianggap sebagai ketergantungan ekonomi Mesir yang semangkin besar pada Barat,
dan mendorong penetrasi budaya Barat, dari pakaian dan perilaku hingga
televisi, musik dan video, yang menguntungkan kaum elit terbaratkan yang
menikmati hak istimewa dalam eklonomi, dengan demikian, mendorong tumbuhnya
suatu masyarakat yang di dalamnya yang kaya semangkin kaya dan yang miskin
semangkin miskin.   
Namun
demikian, yang menjadi tantangan utama bagi pemerintahan Mesir ialah
pembangunan ekonomi dalam negeri. Sebab sekalipun sudah mendapat sumber bantuan
baru dari luar negeri dan pemutihan hutang luar negerinya, Mesir masih harus
berusaha untuk mencapai selekasnya tahap lepas landas bagi pertumbuhan
prekonomian, dengan memperlancar masuknya modal asing serta mempercepat
penyedian sarana dan prasarana pendukung proses industrialisasi.   
2.       
Sektor Pertanian 
Kebijakan Anwar Anwar Sadat pada sektor pertanian adalah kompromi
dengan berbagai kepentingan pihak–pihak yang terlibat. Jumlah tanah diberikan
dengan perkongsian insinyur pertanian. Sejumlah 
tanah lainnya didistribusikan kepada kaum petani yang telah terdaftar
di  lembaga-lembaga kerjasama pertanian.
Sejumlah tanah lainnya lagi dijual secara lelangkepada penawar tertinggi, yang
memungkinkan kalangan industrialis yang 
kaya menghimpun tanah agribisnis. Secara umum, Mesire mempertahankan  sistem prekonomia yang didominasi negara yang
sangat rentan terhadap berbagai pertimbangan politik pragmatis. 
Perekonomian Mesir yang bercorak sosialis dan semi-sosialis
mengembangkan distribusi kekuasaan baru di tangan masyarakat Mesir. Elit tuan
tanah yang lama diganti oleh gerasi pejabat militer, birokrat, dan teknokrat,
sebaliknya kebijakan  Infitah dekade
1970-an mendorong sejumlah perbankan asing, perusahaan bersama dan
melahirkan  elit baru terdiri dari
kalangan impor-ekspor, kontraktor dan spekulan dalam usaha perumahan. 
Dengan perubahan orientasi ekonomi tersebut, Mesir juga
mengundurkan diri dari tujuan-tujuan kemakmuran dan sosial tahun 1960-an dan
memberlakukan sebuah distribusi penghasilan yang kurang memadai yaitu dengan
dibukanya kebijakan Infitah. Undang-undang 43 (1974) menggerakan  infitah 
dengan memberikan insentif-insentif, seperti mengurangi pajak, tarif
impor, dan jaminan-jaminan terhadap nasionalisasi, bagi investor-investor Arab
dan asing dalam industri, reklamasi tanah, pariwisata, dan perbankan di Mesir.
Beberapa penasehat Anwar Sadat menginginkan untuk membatasi infitah dalam
rangka mendorong investasi asing dalam ekonomi Mesir. Yang lainnya menginginkan
untuk menerapkan norma-norma kapitalis untuk semua perusahaan-perusahaan
domestik, baik itu yang dimiliki oleh pihak investor swasta maupun oleh pihak
investor pemerintah. 
Anwar Anwar Sadat cenderung mengadopsi pandangan yang terakhir,
yang menyebabkan kemerosostan bagi perencanaan negara dan hukum-hukum mengenai
pekerja. Korupsi bertambah dalam sebuah kelompok wirausaha  munfatihin(mereka yang menjalankan
kebijakan  “pintu terbuka”), yang
mengambil keuntungan secara berlebihan dan konsumsi yang mencolok mata
bertentangan dengan kebanyakan masyarakat Mesir dari kelas menengah dan orang-orang
miskin. Demonstrasi protes dan pemogokan mereka meletus seketika menyusul
kebijakan “pintu terbuka” dilaksanakan. 
Usaha Anwar Anwar Sadat,  di bawah
tekanan Bank Dunia, untuk memindahkan kontrol kurs  dan mengurangi subsidi pemerintah dalam bahan
makanan pokok menggiring pada kerusuhan Januari 1977 (krisis pangan), tetapi
meskipun demikian infitah  tetap
diteruskan. 
Di bawah kekuasaan Husni Mubarak, para  mufatihin 
telah menjadi kelompok kepentingan yang berbeda yang telah melawan
usaha-usaha Mubarak untuk megurangi kesempatan mereka (para mufatihin) untuk
memperkaya diri atau memotong tingkat konsumsi mereka. Kebijakan  infitah 
menjadikan Mesir bergantung secara ekonomi pada negara-negara Arab yang
lebih kaya, Eropa, dan Amerika Serikat. Kebijakan ini pula telah memperlebar
jurang sosial dan  ekonomi antara yang
kaya dan miskin yang secara potensial menjadi “bom waktu” bagi masa depan
Mesir.    
3.        
Inkonsistensi Anwar Sadaat
Jika kita memperhatikan bab-bab terdahulu, maka akan kita dapati
kebijakan Anwar Sadat yang inkonsistensi. Inkonsistenansi tersebut tercermin
dalam kebijakannnya semenjak ia berkuasa. Pada awal kekuasaannya ia membebaskan
orang-orang yang dipenjara dari kalangan Ikhwanul Muslimin dan kelompok Islam
radikal yang dipenjara semasa pemerintahan Nasser. Pada saat yang sama ia
membuka ruang demokrasi seluas-luasnya pada masa itu, Anwar Anwar Sadat
menyebutnya “Sosialisme Demokrasi” sebagai saingan bagi “Sosialisme Ilmiah”
Naser. 
Meski
demikian, jika dilihat antara  persamaan
dan perbedaan dapat kita jelaskan dalam beberapa hal. Dilihat dari persamaan,
yang disebut-sebut demokrasi menurut Anwar Sadat tidak jauh berbeda dengan apa
yang di menjadi  prinsip oprasional
demokrasi yunani dan Deklarasi Hak Azasi Manusia PBB 1966. Walaupun tidak semua
dapat di jabarkan apa yang menjadi pilar-pilar demokrasi. Akan adanya : Hak
tau, peran pers bebas, ada oposisi, pembuatan UU terbuka, pengadilan yang
independen, batas kuasa presiden, hak minoritas dan kaum marjinal dilindungi,
pemerintahan tunduk kepada kontitusi, pemilu bebas dan adil, pembagian
kekuasaan, kontrol sipil atas militer. Pilar-pilar ini akan menjadi tolak ukur
persamaan dan perbedaan demokrasi menurut Anwar Sadat dengan  secara umum. 
Hak
tahu, pada mulanya hak tahu mempunyai tempat yang cukup bebas, dimana publik
mempunyai hak atas apa-apa yang terjadi di Mesir tapi hak ini lambat laun
mengalami pengekangan oleh Anwar Sadat. Peran pers bebas,  pers di mesir di era Anwar Anwar Sadat
mendapat dukungan yang lebih dengan di bentuknya UU tentang pers dan ini pula
mendapat kekangan dari Anwar Anwar Sadat sendiri. Pembuatan UU terbuka,
ini  tidak terjadi di mesir. Pengadilan
independen, telah di sebutkan dalam kontitusi 1971 pasal 3. Batas kekuasaan
presiden, ini telah di tentukan dalam UU pemerintahan Mesir, tetapi Anwar Anwar
Sadat dalam pelaksanaannya melakukan penyipangan. Hak minoritas dan kaum
marjinal dilindungi, mendapat posisi di awal-awal kepemimpinannya walaupun
berubah dengan inkonsistensi. Pemerintahan tunduk pada kontitusi, Anwar Anwar
Sadat melakukan penyelewengan kekuasan di mana presiden melebihi parlemen.
Pemilu bebas dan adil, kemungkinan di Mesir ini belum terwujud walaupun UU
telah menyatakan. Kontrol sipil akan militer, berbeda dalam kenyataanya militer
justru dikomando oleh presiden.      
Gagasan demokrasi Anwar Anwar Sadat
seperti multi-partai, kebebasan pers, dan ekonomi pintu terbuka, secara
kronologis inkonsistensi dengan gagasan yang ia usung. Dalam pelaksanaannya
ketiga elemen demokrasi yang ia gagas bertentangan dengan  konsep yang ia cetuskan sendiri. Gagasan
beliau dalam multi-partai misalnya, pertama-pertama ia membuka ruang bagi
tumbuhnya partai-partai baru di mana pada masa Nasser hanya ada satu partai
yaitu partai ASU (Arab Socialist Union/Uni Sosialis Arab).  
Pada masa awal pemerintahan, Anwar
Anwar Sadat bertambah menjadi tiga partai politik yaitu Uni Nasional Progresif
(Hizb al-Tajammu al-Wathani al-Taqaddumi al-Wahdawi—the Uni National
Progresiive Party), dan Partai Sosialis Liberal (Hizb al-Ahrar
al-Isytirokiyah—the Liberal Sosialist Party). 
Tetapi, pada tahun 1978, Anwar Anwar Sadat membuat parpol baru, yaitu
Partai Nasional Demokratik (Hizb al-Wathani al-Dimuqrati  atau the Nasional Demokration Party NDP).   Dengan
munculnya partai ini, Semua angota partai sosialis berpindah dan menjadi
anggota NDP. Dan partai lainpun akhirnya tersingkirkan secara otomatis, karena
dalam mengatur perpartaian ini Anwar Sadat sudah mengantisipati atas
dilemahkannya lawan-lawan partai politik 
berdirinya NDP ini berdasarkan UU No.40 th.1977 tentang parpol.  
Dalam hal kebebasan pers Anwar Anwar
Sadat memberikan peran yang sangat penting bagi perkembangan pers di Mesir.
Peran Anwar Anwar Sadat dalam hal ini adalah memberikan masukan pada amandemen
undang-undang 1971 di mana pers pada masa sebelum Anwar Anwar Sadat tidak
mendapat tempat dalam undang-undang meskipun pada masa itu pers tumbuh menjamur
yang merepresentasikan semua elemen di Mesir. Tetapi pada tahun 1974 membatasi
organisasi pers menjadi berada di bawah kontrol pemerintah dan ini sangat jelas
bertentangan dengan demokrasi. 
Sedangkan dalam hal “infitah”
(kebijakan ekonomi pintu terbuka) Inkonsistensi Anwar Sadat tampak dalam konsep
yang ia usung yaitu sosialisme demokrasi tetapi dalam ideologi ekonominya Anwar
Anwar Sadat lebih cenderung pada kapitalisme murni. Ini tentunya bebeda dalam
sistem ekonomi sosialisme demdokrasi yang ia usung. Seharusnya Anwar Anwar
Sadat memberikan ruang secara bebas dalam ekonomi tetapi pemerintah memilki
tanggung jawab dalam pemerataan dan pendistribusian kebebasan maupun kekayaan
negara. Dalam hal ini, bentuk subsidi misalnya yang pada masa Anwar Anwar Sadat  subsidi dikurangi. Ini juga bertentangan
dengan “sosialisme demokrasi” yang ia usung. Memang posisi Anwar Anwar Sadat
sangat dilematis. 
Bagaimana tidak ia berada dalam
tampuk kekuasaan yang dikepung oleh gerakan-gerakan yang radikal dan
fundamentalis baik dalam bentuk partai politik maupun organisasi-organisasi
keagamaan lainnya. Jika ruang demokrasi dibuka seluas-luasnya maka yang akan
terpilih nantinya adalah kelompok-kelompok yang anti-demokrasi. Dengan
demikian, pada akhirnya demokrasi hanya 
menjadi alat bagi tercapainya tujuan-tujuan yang tidak demokratis sama
sekali. Keadaan di atas, belakangan dinarasikan dengan sangat cerdas oleh
Fareed Zakaria, seorang editor majalah 
Newsweek International. Ia mengatakan: 
“Suppose
elections are free and fair and those elected are racist, fascist, separatist,”
said the American diplomat Richard Holbrooke about Yugoslavia in the 1990s.
“That is the dilemma.” Indeed, it is, and not merely in Yugoslavia’s past but
in  the world’s present. Consider, for
example, the challenge we face across the Islamic word. We recognize the need
for democracy in those often-repressive countries.”   
Ini, berlaku pada daerah Ketimur
Tengahan dan tidak terlepas Mesir yang di dalamnya nyata-nyata akan
gerakan-gerakan radikal. Hal itu pula yang belakangan dikhawatirkan oleh
Presiden Husni Mubarak di Mesir dan Yaser Arafat di Palestina. Di atas semua
itu, langkah politik  yang dilakukan Anwar
Sadat, ada satu langkah yang sangat mengecewakan bagi kelompok-kelompok radikal
dan fundamentalis yaitu dipenjarakannya tiga ribu aktivis-aktivis baik partai
politik maupun organisasi keagamaan. Ini menjadikan luka dan dendam yang
mendalam bagi simpatisan-simpatisan organisasi-organisasi dan partai politik
yang diberangus oleh Anwar Anwar Sadat. Dengan dendam yang menumbuhkan rencana
pembunuhan Anwar dan itu berhasil. Pada 6 Oktober 1981 Anwar Anwar Sadat
terbunuh oleh simpatisan al-Jihad yang menyusup kepada Angkatan Militer Mesir. 
                        
C.     
Hukum
Keluarga di Mesir           
1.     
Sejarah
Reformasi Hukum Keluarga di Mesir
Mesir
merupakan negara Arab pertama yang melakukan reformasi dalam hukum
keluarga.  Sejarah reformasi hukum di Mesir dimulai sejak tahun 1874,
yaitu sejak mesir merdeka dari kekaisaran Ottoman. Dimana yang menjadi focus
pertama adalah reformasi di bidang administrasi peradilan pada tahun 1875-1883
dengan dibentuknya Pengadilan Mukhtala (Campuran) dan
Pengadilan Ahli (nasional).  Kemudian dilanjutkan dengan gerakan
reformasi di berbagai bidang social-ekonomi di negara tersebut. Adapun para
reformis terkenal adalah Mufti Agung Muhammad Abduh, Syekh Rasyid Ridha, dan
Qasim Amin.  
Pada
tahun 1952 dibentuk panitia untuk mereformasi hokum kuluarga di Mesir yang
dipimpin oleh Rektor Universitas Al-Azhar, yaitu Syekh Al-Maraghi. dan  untuk pertama kali setelah reformasi hukum
keluarga, pada tahun 1920 hukum keluarga berlaku di Mesir.    
Secara
global bahwa hukum keluarga di Mesir telah mengalami perubahan-perubahan dari
tahun 1920 hingga tahun 1952 dalam hal dalam prinsip-prinsip hukum yang
berkaitan dengan hukum keluarga dan hukum suksesi, diantaranya :
UU No. 25 tahun 1920 Tentang Nafkah dan
Perceraian; 
UU No. 56 tahun 1923 Tentang Usia
Perkawinan; 
UU No. 25 tahun 1929  Tentang
Perceraian; 
UU No. 77 tahun 1943 Tentang Waris; UU
No. 71 tahun 1946 Tentang Wasiat.   
Isi
pokok UU No. 25 Tahun 1920 dan UU No. 25 Tahun 1929 terfokus pada bidang
perceraian. Kedua UU ini kemudian diperbaharui tahun 1979, dengan lahirnya UU
yang dikenal Hukum Jihan Sadat No. 44 Tahun 1979. Undang-undang ini kemudian
diperbaharui lagi dalam bentuk Personal Status (Amandment) Law No. 100 Tahun
1985.   
2.     
Ketentuan-Ketentuan
yang Berhubungan dengan Hukum Perkawinan 
a.      
Tentang
Usia Pernikahan
UU
No. 56 tahun 1923 mengatur tentang batas usia minimal perkawinan seseorang,
yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Perkawinan yang
melanggar batas usia minimal ini tidak akan dicatat (tidak terdaftar) dan pengadilan
tidak mengakui dalam hal memberian bantuan dalam hal apapun.   
b.     
Mahar
Jika
terjadi sengketa antara pasangan suami istri mengenai jumlah mahar, istri harus
dapat membuktikan gugatannya tersebut. Apabila istri tidak dapat membuktikan,
maka sumpah suami yang dijadikan dasar putusan, kecuali jika suami menyatakan
jumlah yang tidak wajar senilai jumlah mahar mitsli status istrinya tersebut.  
c.      
Ketentuan
Tentang Pemberian Nafkah
Suami
berkewajiban memberikan nafkah kepada istri sejak perkawinan disahkan meskipun
istri tersebut kaya atau beda agama. Penyakit istri tidak menghalangi hak istri
untuk mendapatkan nafkah. Nafkah mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal,
pengobatan dan lainnya yang diakui oleh hukum. Suami tidak berkewajiban member
nafkah jika istri murtad, atau menolak untuk hidup bersama tanpa alas an, atau
pergi tanpa izin suaminya.    
d.     
Putusnya
Perkawinan
Ada
beberapa hal yang  berkenaan dengan
putusnya suatu perkawinan, diantaranya :
1)       
Perceraian yang
diucapkan oleh seorang suami yang mabuk, atau dibawah paksaan, atau perceraian
bersyarat, tidak berlaku (tidak sah). Perceraian baru sah apabila suami
benar-benar bermaksud untuk memutuskan perkawinan.   
2)       
Talak tiga yang
diucapkan sekaligus hanya berlaku talak satu. (pasal 3)
3)       
Seorang suami
yang menceraikan istrinya harus mendaftarkan perceraiannya tersebut dalam waktu
tiga puluh (30) hari sejak talak dijatuhkan.   
4)       
Seorang istri
dapat mengajukan gugat cerai kepada suaminya apabila :
§  Suami
tidak memberi nafkah, kecuali suami miskin.    
§  Suami
hilang atau dalam penjara sehingga tidak dapat memberikan nafkah kepada istri.   
§  Suami
menderita penyakit kronis yang merugikan istri.   
§  Suami
berlaku kejam terhadap istri.   
e.      
Penyelesaian
Perselisihan
Jika seorang istri
menuduh suaminya telah berbuat kejam dan tidak mungkin melanjutkan hubungan
perkawinannya, istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada hakim. Dan hakim
harus memutuskan perceraian keduanya jika tuduhan istri dapat dibuktikan dan
tidak dapat didamaikan. Tetapi jika hakim menolak permohonan cerai istri, dan
kemudian istri mengulangi tuduhannya tetapi tidak dapat membuktikan tuduhan
tersebut, hakim akan menunjuk dua orang sebagai juru damai.   
f.      
Aturan
Poligami
Usulan tentang
pembatasan poligami dan hak cerai sepihak oleh suami selalu gagal di Mesir.
Draf UU No. 25/1920 dan draf UU No. 25/1929 tentang pembatasan poligami tidak
diterima. Baru pada tahun 1985, dengan UU (Amandment Law) No. 100 Tahun 1985,
menetapkan aturan poligami. Dalam amandemen ini ditentukan.
Poligami dapat menjadi alasan perceraian bagi istri dengan alasan poligami
mengakibatkan kesusahan ekonomi, baik dicantumkan dalam taklik talak maupun
tidak. Disamping itu, pengadilan harus memberitahukan istri atau istri-istrinya
tentang rencana poligami tersebut.  Bagi
yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman penjara, atau denda,
atau kedua-duanya. 
Diterbitkannya
Undang-Undang Tahun 1979 telah membawa ketentuan-ketentuan baru mengenai
poligami. Dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan dua hal, yaitu pencatat
nikah wajib memberi tahu isteri terdahulu tentang perkawinan kedua suaminya
apabila perkawinan tersebut dilakukan oleh suaminya itu, dan dianggap menyakiti
isteri adanya wanita lain yang mendampingi suaminya tanpa persetujuannya,
meskipun pada waktu dilakukan akad nikahnya dahulu ia tidak mensyaratkan kepada
suaminya agar tidak memadunya. Demikian pula suami merahasiakan terhadap
isterinya yang baru bahwa ia berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain,
dan hak isteri untuk minta pemutusan perkawinan gugur dengan lewatnya waktu
satu tahun sejak ia mengetahui adanya sebab yang menimbulkan kesakitan itu
yaitu (poligami) selama ia tidak setuju terhadap hal itu yang dinyatakan secara
tegas atau diam-diam.  
Di Mesir poligami itu sendiri dianggap sebagai menyakiti isteri
sehingga memberinya hak untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak
setuju atau belum lewat waktu satu tahun sejak ia mengetahui kejadian
pernikahan suaminya dengan wanita lain. Hal ini berbeda dengan keadaan
sebelumnya hak minta pemutusan perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila
dengan poligami itu terbukti adanya kesakitan yang dialami isteri. 
g.     
Ketentuan
Orang Hilang (Mafqud)
Pengadilan dapat
memutuskan kematian seseorang  setelah empat tahun terhitung sejak
hilangnya orang tersebut. Setelah putusnya perkawinan
berdasarkan hilangnya suami, istri menikah dengan orang lain, kemudian mantan
suami kembali, maka perkawinan kedua istri tetap berlaku.  
h.     
Masa
Kehamilan
Undang-undang No.
25/1929 menetapkan bahwa usia maksimal kehamilan adalah satu tahun matahari
(356 hari) sejak meninggalnya suami. 
 
i.       
Hak
Asuh Anak (Hadhonah)
Pengadilan berwenang
memperpanjang waktu normal seorang ibu berhak atas hak asuh anak-anaknya.
Pengadilan dapat memutuskan bahwa anak tetap dalam hak asuh ibunya sampai usia
Sembilan (10) tahun bagi anak laki-laki, dan sebelas (12) tahun bagi anak
perempuan.  
3.     
Ketentuan-ketentuan
yang berhubungan dengan kewarisan dan wasiat
Secara umum hukum
tentang kewarissan yang terdapat dalam Undang-undang No. 77 tahun 1943 diadopsi
dari mazhab Imam Hanafi, dan dalam beberapa kasus terdapat hukum yang berbeda
dari mazhab hanafi. Berikut ini beberapa ketentuan hukum waris yang berlaku di
mesir:
a.    Biaya
pemakaman
Biaya
pemakaman merupakan prioritas yang harus dikeluarkan sebelum hutang. Ketentuan
ini sesuai dengan pendapat Hanafi.
b.    Pembunuh
pewaris sebagai penghalang mewarisi
Ketentuan hukum
syari’ah, bahwa seorang ahli waris yang membunuh pewaris akan terhalang dari
menerima warisan. Ulama berbeda pendapat mengenai jenis pembunuhan, apakah
disengaja atau tidak.
 Mazhab Hanafi menetapkan semua jenis pembunuhan
dapat menghalangi ahli waris menerima warisan. Sedangkan Maliki menetapkan
hanya membunuh yang sengaja yang dapat menghalangi mewarisi. Pada posisi ini, Undang-undang
(1943) Mesir mengadopsi pendapat Imam Maliki, bahwa  pasal 5 menyebutkan  “salah satu hambatan ahli waris menerima
warisan adalah ahli waris yang sengaja telah menyebabkan kematian pewaris, baik
oleh dirinya sendiri, atau membantu membunuh, atau sebagai saksi yang
kesaksiannya tersebut pewaris dieksekusi, sedangkan ahli waris dalam keadaan
waras dan telah berusia lima belas (15) tahun”.
c.    Himariya
Saudara-saudari seibu
dalam hukum warisan Islam ditempatkan sebagai ahli waris ashabul furud,
sementara saudara-saudari sekandung (seayah seibu) apabila bersama ahli waris
lain sebagai ahli waris penerima sisa. Dalam kasus-kasus tertentu dengan pola
distribusi, saudara-saudari sekandung tidak menerima warisan sementara
saudara-saudari seibu tidak terpengaruh sama sekali bagiannya karena bagian
saudara-saudari ibu mendapatkan saham tetap dalam Al-Qur’an. Kasus ini dikenal
dengan kasus Himariya. UU No. 77/1943 pasal 10 menetapkan
saudara-saudari sekandung bersama-sama mengambil bagian saudara-saudari seibu
(1/3) sebagaimana pendapat Syafi’I dan Maliki. 
d.   Hak
Kewarisan Kakek
Dalam hukum waris Islam
terdapat pendapat yang bertentangan dalam hal kakek mewarisi bersama-sama
saudara sekandung/seayah. Imam Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa kakek menghijab
semua saudara, sementara Imam Maliki dan Syafi’I menyamakan posisi kakek dengan
saudara-saudara. 
Dalam UU No. 77/1943
pasal 6 berlaku bahwa bagian kakek tidak akan mempengaruhi bagian saudari yang
posisinya sebagai ahli waris ashabul furudh. Tetapi apabila kakek bersama
dengan saudara yang posisinya sebagai ashabah, maka kakek dianggap sebagai
saudara.  Aturan ini merupakan kombinasi
antara pendapat Ali ra dan pendapat Syafi’I dan Maliki. 
e.    Ketentuan
Raad
Undang-Undang Mesir
menetapkan janda/duda mengambil seluruh harta ketika pewaris tidak meninggalkan
ahli waris ashabah dan ahli waris nasab. Ketentuan ini bertentangan dengan
pendapat Hanafi yang yang tidak memberikan rad kepada janda/duda.  
f.     Wasiat
Wajibah dari Cucu Yatim
Prinsip
utama dan penting yang diperkenalkan di Mesir berkenaan hukum warisan adalah
hak cucu yatim terhadap harta kakeknya. Dalam hukum Islam  tidak mengenal pengakuan representasi
(mewakili ahli waris/ahli waris pengganti), namun ini menjadi isu yang sangat
kontraversial dan sebagai solusi yang diberikan untuk mendukung posisi cucu
yatim yaitu melalui wasiat wajibah. Beberapa ketentuan wasiat wajibah dalam
Undang-Undang wasiat No. 71 tahun 1946, antara lain:
1)       
Wasiat wajibah
wajib diberikan kepada keturunan dari anak yang orang tuanya meninggal sebelum
atau bersama-sama dengan pewaris/kakeknya (pasal 76)
2)       
Besarnya bagian
wasiat wajibah, adalah sebesar bagian yang harus diterima oleh anak pewaris
dari harta peninggalan tersebut, apabila ia (anak pewaris) hidup pada saat
pewaris meninggal, maksimal sepertiga (pasal 76)
3)       
Wasiat wajibah
wajib diberikan kepada keturunan dari anak yang orang tuanya meninggal sebelum
atau bersama-sama dengan pewaris/kakeknya (pasal 76)
4)       
Besarnya bagian
wasiat wajibah, adalah sebesar bagian yang harus diterima oleh anak pewaris
dari harta peninggalan tersebut, apabila ia (anak pewaris) hidup pada saat
pewaris meninggal, maksimal sepertiga (pasal 76)
5)       
Wasiat wajibah
diberikan dengan syarat keturunan dari anak pewaris itu (cucu) bukan termasuk
ahli waris dan si pewaris tidak pernah memberikan sesuatu kepadanya sebesar apa
yang menjadi bagian si anak tersebut. Apabila ada pemberian dan pemberian itu
lebih kecil jumlahnya dari jumlah yang diwajibkan, maka wajib digenapkan sampai
kepada jumlah yang diwajibkan (pasal 76)
6)       
Wasiat wajibah
diperuntukkan bagi cucu, yaitu keturunan dari anak perempuan pada
tingkat/lapisan pertama, serta cucu keturunan anak laki-laki dan seterusnya ke
bawah dari garis laki-laki. Bagian masing-masing anak yang digantikan dibagikan
kepada keturunannya, seolah-olah anak yang digantikan itu meninggal setelah
pewaris meninggal (pasal 76)
7)       
Apabila pewaris
memberikan wasiat melebihi jumlah yang seharusnya diberikan melalui wasiat
wajibah, maka kelebihan itu merupakan wasiat ikhtiyariyah, namun apabila jumlah
itu lebih kecil dari yang seharusnya, maka wajib digenapkan (pasal 77)
8)       
Apabila ada
wasiat bagi sebagian dan tidak kepada yang lainnya dari yang berhak menerima
wasiat wajibah, maka kepada yang tidak diberi wasiat tersebut, wajib diberikan sesuai
dengan bagiannya (pasal 77).
9)       
Wasiat wajibah
didahulukan dari wasiat lainnya (pasal 78).
g.    Ketentuan
Tentang Wasiat
Ada
beberapa hal yang berkenaan dengan masalah wasiat, diantaranya :
1)       
Validitas
wasiat; wasiat yang ditujukan untuk maksiat atau yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan syariat adalah batal (tidak sah).  
2)       
Wasiat untuk
ahli waris; Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali bahwa wasiat bagi ahli waris
adalah sah apabila disetujui oleh ahli waris yang lain. Pasal 37 UU 1946
menyebutkan bahwa wasiat untuk ahli waris adalah sah dan berlaku tanpa
memperhatikan persetujuan dari yang lainnya. Ketentuan ini merupakan adopsi
dari Ithna “ashari.  
3)       
Wasiat untuk
ahli waris atau untuk non ahli waris maksimal 1/3 harta warisan. Apabila lebih
dari 1/3 harta akan berlaku dan dilaksanakan dengan persetujuan ahli waris
lainnya dan diberikan setelah meninggalnya si pewasiat.
D.     
Kesimpulan
1.     
Foktor
yang menyebabkan Anwar Sadat inkonsistensi adalah karena Anwar Sadat merasa
terancam atas lawan-lawan patrai politik dan organisasi-organisasi yang
radikal, yang merongrong  pada
kekuasaannya atas kebijakannya yang demokratis. Seperti “Sosialisme demokrasi,”
yang memiliki derivasi: multi partai, kebebasan pers, kebijakan ekonomi pintu
terbuka (infitah). Jika demokrasi dibuka seluas-luasnya maka lawan-lawan
politiknya yang  notabene merupakan
representasi dari kelompok radikal akan merongrong dan merebut kekuasaannya.
Maka apabila itu yang terjadi, yang 
berkuasa nanti adalah mereka yang merupakan ancaman bagi demokrasi itu
sendiri: radikalisme dan Fundamentalisme. Inilah yang menjadi kata kunci
mengapa Anwar Sadat inkonsistensi. 
2.     
Dalam
hal partai politik, faktor yang menyebabkan Anwar Sadat  inkonsistensi karena ada ketakutan bahwa ia
tidak dapat berkuasa pada priode selanjutnya, maka ia mendirikan partai NDP
(National Democratic Party), pada saat yang sama partai “Wafd Baru” muncul dan
mendapat dukungan yang luas dari masyarakat. Anwar Sadat merasa terancam dengan
keadaan semacam ini dan akhirnya partai Wafd Baru  dilarang. 
3.     
Dalam
hal pers, faktor yang menyebabkan Anwar Sadat inkonsistensi dalam menjamin
hak-hak pers yang bebas adalah karena banyaknya kritikan terhadap kekuasaan
yang dijalankannya seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.   
4.     
Sedangkan
dalam kebijakan ekonomi  “pintu terbuka,”
ia cenderung inkonsistensi dari “sosialisme demokrasi” yang kemudian mengadopsi
“norma-norma kapitalis”. Faktor ini disebabkan karena keinginannya memonopoli
kekuatan ekonomi dalam keluarga besarnya. Kenyataan ini bisa dilihatdari  cara  Anwar Sadat merangkul kalangan  masyarakat Mesir yang kaya dan kuat yang pada
akhirnya para munfatihin mengambil keuntungan secara berlebihan dan konsumsi
yang mencolok mata. Hal ini bertentangan dengan kebanyakan masyarakat Mesir
dari kelas menengah dan orang-orang miskin. Tiba-tiba saja demonstrasi protes
dan pemogokan masyarakat Mesir meletus seketika menyusul kebijakan “pintu
terbuka” dilaksanakan. 
5.     
Dengan
faktor-faktor di atas Anwar Sadat melakukan langkah politik yang ekstrim di
mana ia memenjarakan lebih dari tiga ribu orang terhadap orang-orang yang
menurutnya membangkang pemerintah. Orang-orang yang dipenjara merupakan
representasi aktivis partai, pers, dan organisasi-organisasi keagamaan.
Tindakan Anwar Anwar Sadat tersebut memiliki implikasi yaitu membuat para
aktivis tersebut “dongkol”, sehingga pada 6 Oktober  1981 Anwar Anwar Sadat menuai jerih payahnya
itu dengan lebih kurang tujuh puluh peluru bersarang di tubuhnya, Anwar Anwar
Sadat pun tewas. 
6.     
Mesir merupakan
negara kedua setelah Turki dan negara Arab pertama yang mengadakan pembaharuan dalam
Hukum Keluarga, dimana  Isi pembaharuan
hukum keluarga Mesir lebih radikal dan lebih luas daripada Hukum Keluarga
Turki.
7.     
Hukum keluarga
Mesir yang berlaku sekarang tidak lagi hanya mengikuti hukum tradisional Imam Hanafi
dan Syafi’I, tetapi lebih komprehensif dengan mengadopsi mazhab-mazhab lainnya
yang dianggap relevan selain mengambil bentuk hukum baru.
DAFTAR
PUSTKA
Alfian dan Nazarudin Syamsudin, Masa Depan Kehidupan Politik
Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1988.
Anshari Thayib dan Anas Sadaruan, 
Anwar Sadat Antara Pahlawan dan Penghianat  Surabaya: Bina Ilmu, 1982. 
Anwar El-Sadaty, Mencari identitas: Sebuah Autobiografi, Jakarta :
Tira Pustaka, 1983. 
“Anwar Sadat” artikel diakses dari 
http://www.wikipedia. com/. 
Budiardjo, Miriam, 
Dasar-Dasar Ilmu Politik, 
Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2000. 
Bambang Widiatmoko, “Anwar Sadat” dalam  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta:
Cipta Adi Pustaka, 1990. 
Haman Basyar, ”Bagaimana Militer Menguasai Mesir?” jurnal Ilmu
politik Vol. 3, No. 4  (Juli 1988):
h.85-88. 
“Demokrasi.” Artikel diakses tanggal 27 April 2007 dari 
http://www.demokrasiindonesia.com/5mklno/pengertiandemokrasimkljder/t//5%^321bagi56
Esposito, John L. dan John 
D. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek.
Penerjemah Rahmani Astuti Bandung : Mizan, 1999. 
Fareed Zakaria,  The Future
of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, 1st  ed., New York: W.W. Norton & Company,
Inc., 2003 
Goldschmidt, Arthur JR., 
Historical Dictionary of Egypt, 
Lanham, MD., & London: The Scarecrie Oressm Unc, 1994 
Heikal, Mohamed,  Anwar
Sadat: Kemarau Kemarahan. Penerjemah Arwan Setiawan Jakarta:  PT. Temprin, 1986 
 “Hizbulahrar,” artikel
diakses dari
http://www.supraptoe.Wordpress.com/2007/04/09/mesir-negeri-gudangilmu danper
adaban-2/ - 60k  
Shireen T Hunter., Politik Kebangkitan Islam,  penerjemah Ajat S.U. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogni, 2001. 
Samuel P Huntington., 
Benturan Antar Peradaban  dan Masa
Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qolam, 2001. 
“Infitah,” arikel diakses dari www.answers.com/topic/infitah 
Khoiruddin
Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002)
Lapidus, Ira M.,  Sejarah
Sosial Umat Islam,  Penerjemah Ghufron A.
Mas‘adi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999. 
Thomas Meyer,  Demokrasi:
Sebuah Pengantar untuk Penerapan, 
Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2002. 
“Model Demoktasi di Mesir” Artikel di aksese pada tanggal 18
Januari 2007 dari http://Islamlib.co/id/index.php? 
Harun Nasution,  Pembaharuan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. 
“Pengertian Infitah,” artikel 
diakses dari http://wwww.en.wikipedia.or g/wiki /I nfitah. 
M. Amien Rais, Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta: LP3ES, 1986 
Riza Sihbudi, dkk.,  Profil
Negara-Negara Timur Tengah, Jakarta: Pustaka Jaya,1995 
-------, dkk, Profil Negara-Negara di Timur Tengah, Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1995 
-------, dkk., Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah.  Jakarta: PT. Eresco, 1993 
  
-------, dan M Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain, Konflik dan
Diplomasi di Timur Tengah, Jakarta: PT Eresco, 1993    
Tahir
Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis),
New Delhi : Academy of Law and Religion,, 1987
Tahir
Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, New Delhi: The Indian Law
Institute, 1972
John L. Esposito dan John  D. Voll, Demokrasi
di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek. Penerjemah Rahmani Astuti
(Bandung : Mizan, 1999), h. 238.  
 
 M.
Riza Sihbudi, dkk., Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah  (Jakarta: PT. Eresco, 1993), h. 200.  
 
“Model Demoktasi di Mesir” Artikel di aksese pada tanggal 18 Januari 2007 dari
http://Islamlib.co/id/index.php?  
 
Alfian dan Nazarudin Syamsudin, Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia,
(Jakarta: Rajawali, 1988), h. 321.   
 
“Hizbulahrar,” artikel diakses tanggal 15 Januari 2007 dari
supraptoe.wordpress.com/20 07/04/09/mesir-negeri-gudang-ilmu-dan-peradaban-2/ -
60k   lxii 
 
Sihbudi, Konflik dan Diplomasi, h.204.  
 
Riza Sihbudi, dkk, Profil Negara-Negara di Timur Tengah,  (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 150.  
 
Mohamed Heikal,  Anwar Anwar Anwar Sadat:
Kemarau Kemarahan. Penerjemah Arwan Setiawan (Jakarta:  PT. Temprin, 1986), h.174.   
 
“Infitah,” artikel diakses tanggal 9 Mei 2007 dari
http://wwww.en.wikipedia.org/wiki/I nfitah.  
 
Shireen T. Hunter,  Op.cit, h. 40.  
 
John L. Elposito dan John  D. Voll, Op.Cit,
h. 238   
 
Riza Sihbudi, Profil Negara, h. 152.  
 
Alfian dan Nazarudin, Op.Cit, h. 326   
 
Fareed Zakaria,  The Future of
Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad,  1st ed., (New York: W.W. Norton &
Company, Inc., 2003), p. 17  
 
Tahir
Mahmood, Personal Law in Islamic Countries : History, Text and
Comparative Analysis, (New Delhi : Academy of Law and Religion,1987),
p. 27. 
 
 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The
Muslim World, (New Delhi : The Indian Law Institute,  1972), p. 25 
 
 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia
Tenggara; Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di
Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h.94 
 
 UU No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25
tahun 1929 dan UU No. 100 tahun 1985.  Personal law, hal. 32. 
 
 UU No. 25 tahun 1929 pasal 4 
 
 Dalam pasal 11A disebutkan, “seorang yang akan
menikah harus menjelaskan status perkawinannya pada formulir pencatatan
perkawinan. Bagi yang sudah mempunyai istri harus mencantumkan nama dan alamat
istri atau istri-istrinya. Pegawai pencatat harus memberitahukan istrinya
tentan rencana perkawinan tersebut. Seorang istri yang suaminya menikah lagi
dengan wanita lain dapat minta cerai atas dasar kemudaratan ekonomi yang
diakibatkan oleh poligami, dan mengakibatkan tidak mungkin hidup bersama
suaminya dengan baik. Hak cerai ini dapat berlaku, baik ditetapkan ataupun
tidak dalam taklik talak. Jika hakim tidak berhasil mendamaikan, maka
perceraianlah yang terjadi. Hak istri minta cerai hilang dengan sendirinya
kalau ia tidak memintanya selama masa satu tahun dari dia mengetahui perkawinan
dimaksud. Tetapi hak ini tetap menjadi hak istri setiap kali suaminya menikah
lagi. Seorang istri yang dinikahi dan tidak mengetahui kalau suaminya telah
memiliki istri, berhak minta cerai segera setelah mengetahuinya. Tahir mahmood,
Personal Law, hal. 39-40; 
 
 Family law, Op.Cit. hal, 52 
 
 Family law, Op.Cit. hal. 54