INTEGRASI ZAKAT DAN PAJAK DI INDONESIA
DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF
DAN HUKUM ISLAM
Pendahuluan
Jika hukum Islam tetap ambil bagian dalam pola regulasi masyarakat
Indonesia, maka
tidak dapat dihindari bahwa transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional tetap menjadi agenda
dan isu utama dalam pemikiran hukum di Indonesia. Sebagaimana
diungkapkan oleh Abdurrahman
Wahid  bahwa dengan terintegrasinya hukum
Islam dalam hukum nasional, maka berbagai persoalan epistemologis hukum Islam
dapat terpecahkan dengan sendirinya. 
Untuk memperoleh transformasi tersebut, hukum Islam harus mampu
mengembangkan watak dinamis bagi dirinya, di antaranya dengan mampu menjadikan
penunjang transformasi hukum nasional di alam pembangunan ini. Hukum Islam
harus memiliki pendekatan mult dimensional kepada kehidupan, dan tidak hanya
terikat kepada ketentuan normatif yang telah mengendap sekian lama, bahkan
hampir-hampir menjadi fosil yang mati.  
Fakta empiris
hukum syari’at Islam sebagai living law dalam interaksi keseharian
masyarakat Indonesia, tentu cukup jelas menunjukan bahwa eksistensi hukum Islam
dalam sistem hukum Indonesia telah sungguh-sungguh memiliki akar historis dalam
kesadaran masyarakat Islam, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan ajaran
agama Islam itu sendiri. Akar historis eksistensi hukum Islam dimaksud, antara
lain direpresentasikan lewat teori Receptio in Complexu dan teori
Receptie sebagaimana sangat dikenal dalam konstelasi kesejarahan hukum
Indonesia pra kemerdekaan. 
Hukum Islam
sebagai hukum agama yang paling dominan di Indonesia, memiliki kedudukan yang
strategis sebagai bahan bagi pembentukan hukum nasional karena secara teoretis
hukum Islam, hukum Adat dan hukum Barat mempunyai nilai dan peluang yang sama
untuk dijadikan sebagai sumber dalam implementasi hukum di Indonesia. Oleh karena itu, integrasi hukum di Indonesia
seringkali dilakukan. Misalnya ketika membincangkan hukum perkawinan di Indonesia, maka
akan dijumpai Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai salah satu produk integrasi hukum Islam
dan hukum Positif di Indonesia.
Usaha
serupa juga dilakukan pemerintah terhadap hukum zakat yang dikompilasikan
dengan hukum pajak. Pada 20 Agustus 2010, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 Tentang  Zakat
Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib  Yang  Dapat  Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto.  Peraturan
Pemerintah inilah sebenarnya yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari Pasal 9
ayat (1) huruf  g  Keputusan Dirjen Pajak Nomor
KEP-163/PJ/2009. Usaha
integrasi antara zakat dan pajak tersebut tidak berhenti hanya pada level legal
formal, namun juga berkembang sebagai wacana yang dikembangkan oleh Masdar
Farid Mas’udi dengan  Pajak itu Zakat
– nya. Akan tetapi Masdar melihat integrasi zakat dan pajak pada level
filosofisnya. 
Zakat bukanlah
semata-mata urusan yang bersifat karitatif (kedermawanan), tetapi juga
otoritatif (perlu ada kekuatan memaksa). Hal ini karena zakat memiliki posisi
dan kedudukan yang sangat strategis dalam membangun kesejahteraan, mengentaskan
kemiskinan dan meningkatkan ekonomi masyarakat, jika pengumpulan dan
penyalurannya dikelola secara amanah, transparan dan profesional. Seperti di
Indonesia, pengaturan kelembagaan zakat meliputi bentuk dan administrasi
negara, manajemen dan sanksi bagi lembaga yang lalai. Karena itu, pemerintah
berkesimpulan bahwa manajemen yang kuat dan terlembaga diperlukan untuk
memungkinkan zakat berkembang, tidak saja dalam konteks pemenuhan kewajiban
keagamaan seorang muzakki, melainkan juga dalam kerangka strategi struktural
untuk meningkatkan harkat hidup orang-orang yang lemah ekonominya.
Dengan demikian, maka fakta bahwa laju
transformasi hukum Islam di bidang ekonomi telah semakin meniscayakan
diperlukannya produk regulasi legal formal. Hal ini, merepresentasikan bahwa
hukum zakat sebagai subsistem hukum ekonomi syari’ah telah memasuki era lebih
kompleks, yang sekaligus menjadi indikator betapa tuntutan akan kepastian hukum
bagi penguatan karakteristik nation building Indonesia sebagai negara
hukum ber-Ketuhanan Yang Maha Esa telah semakin menguat. Oleh karena itu, pengintegrasian zakat dan pajak di
Indonesia diharapkan menjadi jawaban atas persoalan pengelolaan dan distribusi
zakat dan pajak di Indonesia. 
A.   
Tentang
Zakat dan Pajak 
Zakat merupakan salah satu ibadah dalam bidang harta yang
mengandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang
berkaitan dengan orang yang berzakat (muzkki), penerima harta zakat (mustahik),
maupun bagi masyarakat keseluruhan. Menurut Yusuf Qardhawi, secara umum
terdapat dua tujuan dan ajaran zakat, yaitu untuk kehidupan individu dan untuk
kehidupan sosial kemasyarakatan. 
Di Indonesia,
potensi zakat sangat besar dan 
strategis. Sebagai contoh, menurut laporan Budiman, dana ZIS yang dapat
diperoleh pada tahun 1990-an di seluruh Indonesia mencapai Rp. 11 miliar.
Menurut mantan Menteri Agama RI, Said Agil al-Munawar, bahwa potensi dana zakat
umat Islam di Indonesia mencapai Rp. 7,5 triliun pertahun. Sedangkan data yang
disampaikan oleh Abu Syauki (Direktur Rumah Zakat Indonesia DSUQ) bahwa potensi
dana zakat umat Islam di Indonesia pada tahun 2004 mencapai Rp. 9 triliun.
Namun hingga kini yang sudah terkumpul mencapai Rp. 250 miliar atau 2,7% yang
berhasil dihimpun oleh lembaga-lembaga pengelola zakat. 
Paling tidak
angka ini mengindikasikan signifikansi potensi zakat yang luar biasa. Lebih
lokal lagi kalau melihat potensi zakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
misalnya, menurut Ermi Suhasti, potensi zakat DIY dapat mencapai Rp 6 miliar
per tahun atau Rp.500 juta per bulan. Hal ini berdasarkan asumsi sebagai
berikut. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, penduduk DIY berjumlah 3. 107.
919 jiwa di mana 92% (2.859. 285 jiwa) di antaranya adalah Muslim. Jika saja
1,5% dari 2.859.285 jiwa tersebut menjadi muzakki aktif maka akan ditemukan
sejumlah 14.296 orang. Jika saja 14.296 orang muzakki tersebut rata-rata
membayarkan zakatnya Rp. 500.000 per tahun, atau Rp. 41.600 per bulan, maka
akan diperoleh angka Rp. 6 miliar tadi. Angka tersebut belum lagi jika ditambah
dengan infaq, sadaqah, dan wakaf. Namun pada kenyataannya zakat yang terkumpul
pada tahun 2003 saja baru mencapai sekitar Rp. 500 juta. Jelas, hal ini
menunjukkan bahwa potensi zakat tersebut masih belum dapat digali dan
diberdayakan secara optimal.
Oleh karena itu, tujuan pendayagunaan zakat pada dasarnya
apa saja yang dapat memberikan dan melanggengkan kemaslahatan bagi seluruh
masyarakat termasuk usaha-usaha yang mengarah ke situ, maka dapat menjadi
bagian dari pendayagunaan zakat dilihat dari sisis maqashid al-syariah (tujuan
syariat). Zakat adalah ibadah maliyah ijtimaiyyah yang memiliki posisi
sangat penting, strategis dan menentukan bagi pembangunan kesejahteraan umat.
Ajaran zakat ini memberikan landasan bagi tumbuh dan berkembangnya kekuatan
sosial ekonomi umat. kandungan ajaran zakat ini memiliki dimensi yang luas dan
kompleks, bukan saja nilai-nilai ibadah moral spiritual, dan ukhrawi, melainkan
juga nilai-nilai ekonomi dan duniawi.
Dana zakat yang dikelola dengan baik dan didistribusikan
secara tepat dan benar, memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi sekaligus
pemerataan pendapatan, atau yang dikenal dengan konsep ekonomic growth with
equuity. Monzer Kahf (1995) menyatakan bahwa zakat dan sistem pewarisan
Islam cenderung kepada distribusi harta yang egaliter, dan bahwa sebagai akibat
dari zakat, harta akan selalu beredar.
Tidak berbeda dengan zakat, Pajak merupakan perintah yang
wajib dilaksanakan bagi umat Islam dalam koridor pertanggungjawaban masyarakat
terhadap negara (ulil amri) dan demi kemaslahatan umat. Dalam hukum Islam klasik dikenal tiga sistem
pemungutan pajak yaitu: pertama,  Jizyah atau pajak kepala yaitu pajak yang dikenakan kepada
yang dikenakan kepada non muslim yang hidup di negara/ pemerintahan Islam (kafir
zimmi) dengan mematuhi peraturan dan perundang-undangan pemerintahan Islam
untuk melindungi jiwa, keselamatan, kemerdekaan dan hak-hak asasi mereka. Dalam menghadapi negara non
Islam terdapat tiga pilihan yang ditawarkan Islam. (1) masuk Islam, (2)
membayar jizyah atau (3) diperangi. Bagi yang masuk Islam mereka aman, tidak
diperangi dan tidak ada kewajiban membayar jizyah. Bagi yang tidak mau masuk
Islam ada dua pilihan yaitu membayar jizyah atau diperangi. 
Kedua,  Kharaj, yaitu pajak
bumi. Ini berlaku bagi tanah yang diperoleh kaum muslimin lewat peperangan yang
kemudian dikembalikan dan digarap oleh para pemiliknya. Sebagai imbalannya maka pemiliknya mengeluarkan pajak bumi kepada pemerintah Islam. Ketiga, ‘Usyur, yaitu pajak perdagangan,
atau bea cukai (pajak Impor dan Ekspor). Mengingat bahwa kebutuhan biaya
pembangunan dalam arti luas sangat besar termasuk jalannya roda pemerintahan,
maka dibutuhkan dana yang cukup besar yang tidak dapat ditopang oleh zakat
semata, Islam membenarkan pemungutan pajak.
Jika dilihat dari aspek sifat, asas, sumber, sasaran,
bagian, kadar, prinsip dan tujuannya pajak memang memiliki perbedaan dengan
zakat. Akan tetapi, dalam beberapa hal secara substansial dapat ditemukan
persamaan antara pajak dengan zakat. Keduanya mengandung unsur paksaan, dikelola
oleh suatu lembaga tertentu, tidak ada imbalan yang langsung diterima secara
nyata, dan keduanya meiliki semangat perekonomian ummat yang sama. Secara
spesifik Yusuf Qaradawi menyebut bahwa zakat adalah ibadah dan zakat sekaligus
dengan mengutip ibnu Rusyd dalam Biyatul Mustahidnya dengan menyebut bahwa
zakat mencakup dua arti (pajak dan zakat) meskipun tidak secara verbal
dikatakan bahwa zakat itu pajak. Kata yang dapat mewakili dua arti tersebut
adalah “ bahwa zakat itu hak fakir pada harta orang kaya” yang berarti bahwa
ada kewajiban distribusi terhadap sebagaian harta seseorang. Aspek distribusi
ekonomi inilah unsur kesamaan yang urgen sebagaimana diungkapkan oleh ahli-ahli
keuangan mengenai pajak konvensional dan asas wajib pajak menurut hukum. Dengan
perbandingan ini menegaskan bahwa zakat adalah pajak suci yang memiliki ciri
dan falsafah khusus atau kas.   
C.     
Regulasi
Zakat di Indonesia
Jika menggali
sejarah pengelolaan zakat di Indonesia maka akan kita temukan pola-pola yang
cenderung berbeda dari masa-ke masa. Pada masa Kolonial, pengelolaan ini
diserahkan pada masyarakat, negara kolonial menghindari campur tangan. Dengan
berkembangnya pesantren, madrasah, dan organisasi civil society Islam,
zakat dan sadaqah masyarakat berkembang dengan sendirinya. Zakat dan sadaqah
memberi sumbangan besar untuk kemerdekaan Republik Indonesia pada zaman
kemerdekaan, misalnya di Aceh, di Pulau Jawa, dan beberapa daerah lainnya. Pada
zaman Orde Lama, negara hanya memberikan supervise dengan mengeluarkan Surat
Edaran Kementrian Agama No.A/VII/17367 tahun 1951 yang melanjutkan ketentuan
ordonasi Belanda bahwa negara tidak mencampuri urusan pemungutan dan pembagian
zakat, tetapi hanya melakukan pengawasan. 
Baru pada masa
Orde Baru, negara mulai terlibat dan ikut mengelola zakat melalui beberapa
regulasi pemerintah. Pada tahun 1964 misalnya, Kementrian Agama menyusun RUU
pelaksanaan zakat dan rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
pengumpulan dan pembagian zakat dan pembentukan baitul mal. Akan tetapi,
keduanya belum sempat diajukan ke DPR dan Presiden. Baru pada tahun 1967,
sebagai sebuah langkah tindak lanjut Menteri Agama mengirimkan RUU pelaksanaan
zakat kepada DPR-GR. Poin penting dari surat pengajuan Menteri Agama pada saat
itu adalah pembayaran zakat merupakan keniscayaan bagi umat Islam di Indonesia,
dan negara mempunyai kewajiban moril untuk mengaturnya. 
Satu tahun
kemudian, berdasarkan saran dan masukan dari berbagai pihak Menteri Agama
menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan
Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No.5 tahun 1968 tentang Pembentukan
Baitul Mal yang berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk kemudian disetor kepada
BAZ. Namun demikian, kedua keputusan itu segera dicabut, karena Menteri
Keuangan menolak gagasan legislasi zakat yang dibuat setahun sebelumnya oleh
Departemen Agama. Yang cukup mengundang tanda tanya, langkah ini diambil tanpa
menghiraukan anjuran Menteri Keuangan sendiri bahwa keputusan tingkat menteri
sudah cukup untuk mengatur administrasi zakat.
Namun, atas
seruan dan dorongan Presiden berturut-turut pada peringatan Isra’ Mi’raj dan
Idul Fitri 1968 keluarlah Instruksi Menteri Agama No.1 tahun 1969 tentang
Penundaan PMA No.4 dan 5 tahun 1968. Presiden Soeharto menegaskan bahwa zakat
harus diatur secara sistematis. Dia berpendapat bahwa melalui mobilisasi zakat
warga miskin dapat membantu pembangunan ekonomi sosial dan keagamaan. Dia
menyeru:
Marilah
kita gunakan dana ini (zakat) secara efektif dan efesien. Kita mengelola secara
lebih luas dan mengarahkannya untuk tujuan-tujuan yang tetap. Kita bisa
menggunakannya untuk membangun rumah-rumah ibadah, rumah sakit, rumah yatim
piatu, membantu orang-orang tua, untuk membantu membuka peluang pekerjaan bagi
orang-orang fakir miskin dan untuk membangun lainnya yang berhubungan dengan
bidang sosial spiritual dan keagamaan dalam cara-cara yang lebih produktif...
sebagai langkah yang pertama (untuk memobilisasi dana zakat), saya umumkan di
sini kepada semua warga miskin Indonesia bahwa saya pribadi siap menjalankan
pengumpulan zakat secara besar-besaran. 
Dalam rangka
itu, seperti dicatat Taufik Abdullah, “ia, sebagai seorang warganegara (yang
beragama Islam), bersedia menggalang ‘upaya massif berskala nasional untuk
mengumpulkan zakat’ dan menyampaikan laporan tahunan tentang pengumpulan dan
pendistribusian zakat.”
Pernyataan
Presiden Soeharto di atas bukan tanpa proses. Itu adalah produk interaksi dan
refleksi pada pengaruh “diri-diri” yang lain, yakni para ulama dan situasi.
Sebulan sebelum perayaan Isra’ Mi’raj, ada 11 ulama terkemuka dan berpengaruh
yang mengajukan permohonan penting dan historis untuk mengingatkan presiden
akan pentingnya zakat bagi setiap muslim sebagai kewajiban keagamaan dan sosial
dan manfaat zakat bagi Islam,
masyarakat dan negara serta bangsa secara keseluruhan untuk mewujudkan keadilan
sosial dan pembangunan nasional di segala bidang. 
Nafas baru
pengelolaan zakat baru didapatkan kembali pada era 1990-an. Negara mulai
memberikan perhatian pada pengelolaan zakat melalui lembaga yang dibentuknya
yaitu bazis. Pada tahun 1991, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun
1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan shadaqah. Dan diikuti dengan
Instruksi Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil
Zakat, Infaq dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1998
tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Tentu hal ini juga
dipengaruhi oleh relasi Islam dan negara yang pada saat itu sedang mulai
membaik sehingga ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
ikut berperan dalam pengelolaan dan pendayagunaan zakat. Selain itu juga
terdapat lembaga-lembaga zakat yang dikelola oleh masyarakat seperti LAZ
(Lembaga Amil Zakat).
Pengelolaan
zakat terus berkembang seiring dengan dinamisnya kondisi politik dan ekonomi di
Indonesia. Puncaknya pada 1999 dimana dikeluarkan UU No 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat yang disusul dengan Keputusan Menteri Agama No 581 Tahun
1999. Pada masa ini muncul Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang disahkan, yakni: (1)
Dompet Dhuafa, (2) Yayasan Amanah Takaful, (3) Pos Keadilan Peduli Ummat
(PKPU), (4) Yayasan Baitul Maal Muamalat, (5) Yayasan Dana Sosial Al Falah, (6)
Yayasan Baitul Maal Hidayatullah, (7) LAZ Persatuan Islam (PERSIS), (8) Yayasan
Baitul Maal Ummat Islam (BAMUIS) PT BNI (persero) tbk, (9) LAZ Yayasan Bangun
Sejahtera Mitra Umat, (10) LAZ Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (11) LAZ
Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia, (12) LAZIS Muhammadiyah, (13) LAZ
Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), (14) LAZ Yayasan Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ),
(15) LAZ Baituzzakah Pertamina (BAZMA), (16) LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut
Tauhid (DPUDT), (17) LAZ Nahdlatul Ulama (NU), dan (18) LAZ Ikatan Persaudaraan
Haji (IPHI). 
Sekarang, saat
gerbang reformasi telah terbuka selama 10 tahun UU Pengelolaan Zakat kembali
disentuh setelah maraknya lembaga-lembaga amil zakat “swasta”. UU Pengelolaan
Zakat akan direvisi karena beberapa hal yang dianggap “perlu pelurusan dan
perbaikan”. Salah satu point revisi yang banyak diperbincangkan saat ini adalah
tentang pelarangan pemungutan dan pengelolaan zakat oleh selain Badan Amil Zakat
Pemerintah. Tentu hal ini akan mengejutkan beberapa pihak, terutama
lembaga-lembaga amil zakat “swasta”. Padahal apabila ditilik dari segi
kepercayaan masyarakat, lembaga-lembaga amil zakat “swasta” ini justru lebih
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat karena keberhasilannya dalam mengelola
zakat secara akuntabel, transparan, partisipatif dan inovatif. 
Kemunculan
lembaga keuangan Islam khususnya Lembaga Pengelolaan Zakat sebagai organisasi
yang relatif baru menimbulkan tantangan besar. Para pakar syariah Islam dan
akuntansi harus mencari dasar bagi penerapan dan pengembangan standar akuntansi
yang berbeda dengan standar akuntansi bank dan lembaga keuangan konvensional
seperti telah dikenal selama ini. Standar akuntansi tersebut menjadi kunci
sukses Lembaga Pengelolaan Zakat dalam melayani masyarakat di sekitarnya
sehingga, seperti lazim-nya, harus dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat
dipercaya, dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks
syari’ah Islam. Akuntabilitas organisasi pengelola zakat ditunjukkan dengan
laporan keuangan serta audit terhadap laporan keuangan tersebut. Untuk bisa
disahkan sebagai organisasi resmi, lembaga zakat harus menggunakan sistem
pembukuan yang benar dan siap diaudit akuntan publik. Ini artinya standar
akuntansi zakat mutlak diperlukan. 
Sistem
akuntansi yang diimplementasikan organisasi pengelola zakat harus sinkron
dengan standar akuntansi zakat, yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) No. 109 tentang Akuntansi Zakat yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI). Sistem akuntansi merupakan alat untuk menghasilkan laporan
keuangan, sedangkan standar akuntansi zakat merupakan pedoman yang mengatur
tentang pengakuan, pengukuran, dan pelaporan keuangan.  
Salah satu
sebab belum berfungsinya zakat sebagai instrument pemerataan ekonomi di
masyarakat adalah pengelolaan yang tidak optimal, hal ini juga didorong oleh
pengetahuan masyarakat tentang harta yang wajib dizakatkan masih terbatas pada
sumber-sumber konvensional. 
Jika
dalam siklus dialektik terdapat tiga tahapan penting yaitu kesadaran,
pengetahuan dan aplikasi, maka posisi zakat di Indonesia saat ini masih berada
pada level kesadaran-itupun tidak sepenuhnya, dan pengetahuan dan menuju
tahapan aplikasi. Artinya dari dimensi ritual, zakat sudah banyak berperan,
namun dari dimensi sosial-ekonomi (pengelolaan secara poduktif belum banyak
berperan khususnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat.
Pola penangan
zakat juga harus mulai diubah, jika sebelumnya hanya didekati dalam platform
hukum-hukum agama, maka ke depan harus didekati juga dalam instrumen manajemen
keuangan dan kebijakan ekonomi. Sebagai sebuah kewajiban masyarakat, maka zakat
adalah instrumen fiskal, akan tetapi dalam lingkup pemanfaatan dan pendayagunaan,
maka zakat adalah instrumen moneter dan instrumen sosial. Sehingga tidak salah
jika penataan dan pengelolaan zakat juga dikaitkan dengan kebijakan ekonomi
suatu negara.
Upaya
pemerintah untuk meringankan beban muzakki telah dilakukan Pada tanggal 20
Agustus 2010. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010
tentang  Zakat Atau Sumbangan
Keagamaan Yang Sifatnya Wajib  Yang  Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto.  Peraturan Pemerintah inilah sebenarnya yang merupakan
ketentuan pelaksanaan dari Pasal 9 ayat (1) huruf  Keputusan
Dirjen Pajak Nomor KEP-163/PJ/2009.
Akan tetapi,
pada dataran aplikatif regulasi pemerintah di atas belum sepenuhnya terlaksana
karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya, antara lain : 
1.     
Masih terjadinya perdebatan di
kalangan ulama terkait dengan integrasi zakat dan pajak
2.     
Manajemen pengelolaan zakat yang
masih cenderung konvensional dan cenderung mengesampingkan akuntabilitas dan
transparansi
3.     
Intensifitas sosialisasi regulasi
pemerintah yang cenderung kurang 
4.     
Regulasi setengah hati pemerintah
terhadap engintegrasian zakat dan pajak. 
Selain
persoalan di atas, problem pengelolaan dua pintu menjadi persoalan yang juga
Berpengaruh secara signifikan
karena metode ini akan memperumit dan terkesan merepotkan sehingga beberapa
muzakki enggan untuk melaksanakan kewajiban fiskalnya secara berkesinambungan.
Pengelolaan zakat saat ini di berbagai negara Islam memiliki bermacam bentuk,
ada yang dikelola oleh pemerintah, ada yang dikelola oleh masyarakat langsung,
serta ada yang dikelola oleh lembaga yang dibentuk masyarakat dan dikukuhkan
oleh pemerintah. Secara historis di Indonesia, praktik pengelolaan zakat
dimulai sejak Islam tersebar di wilayah Nusantara. Pada awal abad ke-20 M,
“filantropi Islam” (pengelolaan zakat mal, zakat fitrah, sedekah serta
sumbangan-sumbangan lain) kian berkembang. Sejak 1990-an, pertumbuhan dana yang
berhasil dikumpulkan lembaga-lembaga filantropi non-pemerintah demikian
fenomenal, dengan manajemen profesional. 
Dengan
dibentuknya Udang-undang tentang Pengelolaan Zakat, diharapkan dapat ditingkatkan
kesadaran muzzaki untuk menunaikan kewajiban zakat dalam rangka menyucikan diri
terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya
keprofesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah
swt.
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka yang dimaksud
“Pengelolaan Zakat” adalah kegiatan yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pendistribusian serta
pendayagunaan zakat. 
D. Argumen Regulasi Pengelolaan
Zakat oleh Pemerintah di Indonesia
Dalam
teori ketatanegaraan Islam, pengelolaan zakat diserahkan kepada waliyul amr yang
dalam konteks ini adalah pemerintah, sebagaimana perintah Allah dalam Q.S.
at-Taubah [9]: 103, “khuz| min amwa>lihim” (ambillah sedekah/zakat
dari harta mereka). Para fuqaha menyimpulkan ayat tersebut, bahwa kewenangan
untuk melakukan pengambilan zakat dengan kekuatan hanya dapat dilakukan oleh
pemerintah. Pengurusan zakat dimulai era Rasulullah saw sebagai penggagas,
terus berkembang seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan di
wilayah-wilayah Islam. Saat ini, pola pengelolaan zakat yang beragam di
berbagai negara Islam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah
pengelolaan zakat.
Pengelolaan
zakat saat ini di berbagai negara Islam memiliki bermacam bentuk, ada yang
dikelola oleh pemerintah, ada yang dikelola oleh masyarakat langsung, serta ada
yang dikelola oleh lembaga yang dibentuk masyarakat dan dikukuhkan oleh
pemerintah. Secara historis di Indonesia, praktik pengelolaan zakat dimulai
sejak Islam tersebar di wilayah Nusantara. Pada awal abad ke-20 M, “filantropi
Islam” (pengelolaan zakat mal, zakat fitrah, sedekah serta sumbangan-sumbangan
lain) kian berkembang. Sejak 1990-an, pertumbuhan dana yang berhasil
dikumpulkan lembaga-lembaga filantropi non-pemerintah demikian fenomenal,
dengan manajemen profesional. 
Menegarakan “manajemen zakat”,
dalam konteks Indonesia saat ini, terlihat abai pada capaian prestasi sosial
rakyat muslim negeri ini. Yang dibutuhkan di tahap sekarang, regulator,
koordinator, dan pengawas, bukan lagi operator karena fungsi itu sudah sejak
dahulu berlangsung fenomenal tanpa mengusik kewibawaan apalagi anggaran negara.
Akan lebih elegan bila pemerintah mengayomi, menghukum yang salah, membina yang
lemah, mengapresiasi yang berprestasi, ketimbang mengambil-alih semuanya.
Fenomena zakat di Indonesia, sangat berbeda dengan di negara lain. Lembaga amil
zakat di Indonesia, merayap membangun kepercayaan, tak henti mengedukasi, serta
konsisten menjaga transparansi. Lembaga amil zakat di Indonesia, memiliki relationship
yang dibangun sedikit-demi sedikit sampai terbangunnya donor society. Sebagai
sebuah prestasi sosial, pemerintah perlu memperkokoh capaian ini dan bukan
mengambil-alihnya.
Dalam konteks
pemikiran hukum Islam kontemporer ada tiga wacana hukum Islam versus kekuasaan
negara yang berkembang, yaitu: (1) hukum Islam yang membutuhkan kekuasaan
negara, misalnya adalah tentang perkawinan, waris, waqaf, perdata, pidana,
perekonomian, perdagangan, perbankan, hubungan antar negara, kesehatan dan
lain-lain; (2) hukum Islam yang tidak membutuhkan kekuasaan negara, misalnya
adalah hukum yang berkaitan dengan adat sopan santun dan ibadah murni seperti
shalat dan puasa; (3) hukum Islam dapat dilaksanakan dengan atau tanpa
kekuasaan negara. Misalnya adalah hukum mengenai zakat dan haji. Di masa lalu,
tanpa campur tangan kekuasaan negara, ibadah zakat dan haji masih dapat
dilaksanakan oleh kaum muslim, meskipun tidak begitu efektif. Namun sekarang
ini, akibat transforamsi zaman dan banyak manajemen yang dilibatkan, masyarakat
dan negara harus bersinergi mengurus permasalahan zakat dan haji ini, agar berjalan
efektif. Berikut penulis kemukakan argumentasi pengelolaan zakat dalam konteks
negara Indonesia:
1.Landasan Normatif 
Landasan akidah, nilai
fundamental Islam menjadi landasan dalam berbagai aktivitas termasuk aktivitas
ekonomi. Akidah Islam menjadi keyakinan dan sekaligus panduan bagi setiap
muslim dalam melangkah sehingga aktivitas duniawi tidak hanya berorientasi
untuk berkarya secara materi namun juga memiliki nilai tambah berupa kemenangan
dan keuntungan (fa>lah}) di akhirat. 
Landasan akhlak, ekonomi Islam
merupakan bagian dari manifestasi akhlaq Islam dalam bidang ekonomi. Nilai dan
kehormatan pada diri seorang manusia ditentukan oleh kualitas akhlaknya. Akhlak
dalam Islam merupakan nilai yang strategis dalam eksistensi kehidupan manusia
karena akhlak menyangkut aspek yang multidimensional. Islam mengatur bagaimana
akhlak manusia dengan penciptanya, akhlak manusia dengan lingkungannya, akhlak
manusia dengan sesamanya kesemuanya itu diatur untuk bisa menghadirkan suatu
tatanan kehidupan yang lurus dan tertib selaras dengan prinsip dasar ajaran
Islam. Akhlak Islam dalam bidang ekonomi menyangkut semua dimensi dan aktivitas
ekonomi sehingga tercapai keselarasan dan kesinambungan (sustainability)
pembangunan bagi kesejahteraan umat manusia
Landasan
syariah yang meliputi sumber-sumber otentik dalam Islam untuk menjadi rujukan
dalam pengambilan hukum dan dalil-dalil agama. Landasan syariah Islam meliputi
Alquran, Sunnah,
Ijtihad yang meliputi qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab
dan ‘urf. Landasan syariah Islam diatur
untuk menjaga kehidupan manusia dari kekacauan pada semua aspek kehidupan baik
menyangkut kehidupan individu maupun sosial, aspek ekonomi, politik, budaya,
seni, dan sosial.
Kewajiban Zakat, merupakan bentuk ibadah mah}d}ah sebagai
bagian dari kesempurnaan rukum Islam yang berimplikasi sosial. Ketaatan seorang
muslim tidak hanya menyangkut ibadah yang dimensi vertikal tapi juga harus
diikuti dengan ibadah yang berdimensi horizontal dan inilah makna Islam sebagai
agama yang membawa kedamaian bagi seluruh alam (rah}matal lil
‘a>lami>n). Kesediaan seorang muslim untuk menyisihkan sebagian dari
hartanya untuk zakat, infak dan sadaqah
merupakan indikator keimanan dan ketakwaan terhadap Allah swt. Dalam Alquran Allah
berfirman:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. 
Maksud dari
kata ‘membersihkan’ dari  ayat ini  bahwa zakat itu membersihkan mereka dari
kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Sedangkan maksud
kata ‘mensucikan’ dalam ayat ini bahwa zakat itu menyuburkan sifat-sifat
kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka
Membersih harta juga berarti membersihkan dari unsur-unsur riba. Pada
dasarnya manfaat yang dihasilkan dari perintah zakat adalah melahirkan sikap
positif berupa meninggalkan praktik-praktik riba, membangun jalinan sosial dan
jaminan ekonomi serta melibatkan peranan negara. Adapun penjelasannya adalah
sebagai berikut:
Pertama,
larangan riba, hal ini untuk menghindari eksploitasi antara satu kelompok
terhadap kelompok lainnya dalam suatu aktivitas ekonomi yang dapat menimbulkan
distorsi dalam perekonomian. Secara
mikro ekonomi praktek riba menimbulkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya
ekonomi sehingga mengganggu produktivitas ekonomi. Sedangkan secara makro
ekonomi praktek riba menyebabkan ketidak seimbangan makro ekonomi sehingga
mendorong perekonomian ke jurang resesi ekonomi. Keadaan ini terjadi karena
adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban antara pemilik modal dengan para
pekerja.
Kecenderungan
pemilik modal berusaha mendapatkan keuntungan yang berlipat dari modal yang
ditanamkan tanpa menghadapi resiko usaha yang mungkin timbul sehingga dengan
kepemilikan modalnya akan mengeksploitasi untuk memberikan keuntungan yang besar.
Sedangkan pekerja dengan posisinya yang lemah akan menjadi korban dalam sistem
ekonomi kapitalis yang menerapkan prinsip ekonomi ribawi. Secara akumulatif
kaum pekerja (proletar) dalam jumlah yang masal akan melakukan perlawanan
secara fisik dan ekonomi melalui revolusi sosial untuk merebut sumber-sumber dan alat-alat ekonomi
yang dikuasai kelompok kapitalis (borjuis) dan akhirnya akan melahirkan
masyarakat sosialis tanpa kelas (komunis). Itulah gambaran yang dikemukakan
secara singkat oleh Karl Marx dalam bukunya Das Kapital
yang mengkritisi system dan praktek ekonomi kapitalis yang berkembang melalui
praktek ribawi. Islam tidak menghendaki adanya ketidakadilan dalam setiap
aktivitas ekonomi yang akan berakibat pada ketidakharmonisan dalam hubungan
atau relasi antar individu dan kelompok dalam masyarakat. Islam mendorong
semangat kerjasama saling menguntungkan dan saling tolong menolong antar sesama
individu sehingga tercipta masyarakat yang hidup dalam keharmonisan yang
dibangun dari interaksi antar individu yang saling mendukung satu sama lain.  
Kedua,
kerjasama ekonomi. Manusia dilahirkan berasal dari satu keturunan yaitu
merupakan anak cucu dari Nabi Adam as sehingga dengan kesadaran seperti itu
harus melahirkan suatu semangat persaudaraan dan kerjasama antar umat manusia
dengan dilandasi keimanan kepada Allah swt sebagai pencipta seluruh umat
manusia di bumi ini. Kerjasama ekonomi merupakan wujud dari kesadaran bahwa
manusia secara fitrah adalah makhluk sosial yang eksistensinya sangat
ditentukan interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Tidak bisa dibayangkan
bagaimana kehidupan seseorang yang tercerabut dari akar sosial di mana dia
berada, bisa dipastikan bahwa akan menghadapi banyak kesulitan karena kehidupan
seseorang tidak bisa dilepaskan dari campur tangan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya seperti makan, pakaian, perumahan, transportasi dan
sebagainya. Islam sangat menganjurkan agar
seorang muslim selalu menjaga keharmonisan hubungan dengan orang lain dan
mendorong semangat kerjasama dalam kebaikan bagi kehidupan yang lebih baik di
dunia dan akhirat.
Sengketa antar
individu dan kelompok justru menjerumuskan manusia dalam jurang kesengsaraan
hidup yang tidak akan pernah selesai kecuali kembali merajut tali kerjasama
saling tolong menolong antar individu dan kelompok dalam masyarakat. Ketiga, jaminan Sosial. Islam sangat menghormati harkat dan martabat seorang
manusia karena syariat Islam diturunkan untuk memberikan jaminan keselamatan
atas kehormatan, kehidupan, kekayaan manusia. Dalam
konteks kehidupan sosial Islam mensyaratkan adanya jaminan sosial pada setiap
individu dalam masyarakat. Peranan negara melalui baitul maal berfungsi
untuk memberikan perlindungan dan kepastian bagian kebutuhan hidup semua
lapisan masyarakat sehingga ada alokasi anggaran yang digunakan untuk
kepentingan masyarakat miskin, bantuan bencana alam, jaminan bagi manula dan
kepentingan sosial lain yang bersifat darurat dan mendesak. Dalam konteks
kehidupan masyarakat Islam juga telah menggariskan tentang mekanisme jaminan
sosial dalam suatu keluarga melalui syariat harta waris agar tercipta jaminan
kelangsungan hidup bagi suatu generasi.  
Keempat,
peranan negara. Aturan Islam menyangkut kehidupan baik dalam skala
individu maupun sosial untuk terciptanya keseimbangan hidup manusia. Negara
berperanan untuk menjadi regulator agar aktivitas ekonomi berjalan secara benar
dan mencegah terjadinya eksploitasi antar kelompok dalam masyarakat. Negara
berperan agar penggunaan dan alokasi sumber daya ekonomi dilakukan secara
efisien dan berorientasi kepada kemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat dan
sekaligus untuk mencegah terjadinya konsentrasi dan monopoli kekayaan pada satu
kelompok dalam masyarakat.
E.      
Regulasi Zakat Pengurang Pajak
Latar belakang dari pengurangan ini
dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat (3) UU 38/1999 bahwa pengurangan
zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak adalah dimaksudkan agar wajib pajak
tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Ketentuan
ini masih diatur dalam UU yang terbaru yakni dalam Pasal 22 UU 23/2011 “Zakat
yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan
kena pajak.” 
a)    Zakat atas penghasilan yang
dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh
Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah; atau
b)   Sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau
oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain
agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.”
 Sedangkan,
badan/ lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 yang berlaku sejak
tanggal 11 Juni 2012 yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak No. PER- 33/PJ/2011, yang di antaranya adalah: Badan Amil Zakat Nasional,
LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Lembaga
Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI), dan Badan Dharma Dana Nasional
Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) yang keseluruhannya saat ini
berjumlah 21 badan/ lembaga.
Sedangkan mekanisme pengurangan zakat dari penghasilan
bruto ini dapat kita temui dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun
2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat
atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto. 
F.
Pandangan Ulama 
Dalam pergulatan pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia, integrasi
zakat dan pajak merupakan perbincangan baru yang selama satu dekade terakhir
menjadi lebih sering diperbincangkan dan dibahas baik dalam kacamata hukum
positif mauun hukum Islam. Perdebatan aling krusial terletak pada dasar
pengelolaan zakat dan pajak yang dianggap meiliki unsur-unsur yang berbeda
dengan pajak. Beberapa ulama yang mengeluarkan ijtihad syar’inya terkait dengan
integrasi zakat dan pajak antara lain Masdar Farid Masudi, Didin Hafiddudin,
dan MUI.
Meski demikian pembahasan terhadap integrasi zakat dan pajak sebenarnya
telah menjadi perdebatan ulama terdahulu hingga sekarang, namun perdebatan
tersebut muncul dalam bentuk yang berbeda. 
Abu Zahra misalnya, mengemukakan bahwa
pajak-pajak itu sampai sekarang tidak memiliki nilai-nilai khusus yang dapat
memberikan jaminan sosial. Itulah mula-mula yang menjadi tuntunan zakat. Zakat
dapat memenuhi tuntutan pajak, akan tetapi pajak tidak mungkin dapat memenuhi
tuntutan zakat, karena pajak tidak menanggulangi kebutuhan fakir miskin yang
menuntut untuk dipenuhi. 
Zakat dan pajak sebagai sesuatu yang berbeda dan tidak dapat
disatukan menurut Abu Zahrah. Di negara manapun ketentuan tersebut tetap
berlaku selama dia menjadi seorang muslim. 
Berbeda dengan pajak, masing-masing negara memiliki ketentuan dan
u8ndang-undang sendiri. Satu negara dengan negara lain berbeda. Selain itu,
zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus berlangsung.
kewajiban zakat itu akan tetap berjalan selagi umat Islam ada di muka bumi.
Kewajiban zakat tidak akan dihapus oleh siapapun. tidak berubah-ubah. berbeda
dengan pajak yang bisa dihapus, misal melalui pemutihan, atau berubah menurut
kondisi satu negara dan sesuai dengan kebijakan pemerintahnya masing-masing.
Zakat tidak dapat dicukupi oleh pajak. Mereka juga
membenarkan kesulitan yang dibebani oleh umat Islam karena dualisme zakat dan
pajak, akan tetapi hal ini sesuai dengan ketentuan syariah dan akan menjamin
kelestarian kewajiban tersebut dan mengekalkan hubungan antar muslim melalui
zakat, sehingga zakat tidak dapat dihapus dan diganti nama pajak dan pajak tak
dapat dihilangkan begitu saja.
Pendapat MUI yang tetap mempertahankan disparitas zakat dan pajak
mengandaikan umat Islam di samping berkewajiban membayar zakat, juga
berkewajiban membayar pajak. Alasannya, zakat adalah kewajiban yang harus
ditunaikan atas dasar nash al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan pajak adalah
kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar ketetapan pemerintah yang dibenarkan
oleh ajaran Islam berdasarkan prinsip kemaslahatan umum. Zakat merupakan
kewajiban agama, sedangkan pajak merupakan kewajiban sebagai warga negara.
Jadi, umat Islam diwajibkan menunaikan zakat sebagai realisasi perintah agama,
sementara pajak wajib pula mereka lunasi sebagai realisasi ketaatan warganegara
kepada negara bangsa. Dengan demikian, pendapat MUI ini melihat pembayaran
zakat maupun pembayaran pajak adalah dua hal yang berbeda, tapi sama-sama
bersifat impertif, dan karenanya wajib diamalkan oleh umat Islam kedua-duanya
secara terpisah. 
Memang, jika pendapat ini diamalkan akan menghasilkan input dana yang
maksimal. Hanya saja misalnya, bagi sebagian besar umat Islam, adanya dua
kewajiban itu sungguh merupakan beban yang sangat memberatkan. Akibatnya,
berhubung zakat ditunaikan berdasarkan iman atau kesukarelaan, dan tidak ada
kontrol dan pemberian sanksi bagi pelanggarnya, yang diserahkan sepenuhnya
kepada rasa ketaqwaan seseorang, maka pembayarannnya pun tidak jarang
terabaikan. 
Dalam hal ini, zakat kalah pengaruh oleh pajak. Hal inilah yang seringkali
menjadi kendala utama dalam meningkatkan jumlah penerimaan zakat pada lembaga-lembaga
pengumpul zakat. Kenyataan itu berbeda sekali dengan pajak, yang karena
didorong secara imperatif oleh negara, pembayarannya selalu dilunasi setiap
jatuh tempo. Bagi yang terlambat, ditegur, bagi yang membayar tepat pada
waktunya, diberikan diskon khusus atau diberi pengghargaan. Di negara barat,
bagi orang yang tidak membayar pajak atau menggelapkan pajak, dapat dihukum
pidana dengan hukuman yang cukup berat.
1.       
Pendapat
Masdar Farid Masudi 
Adapun pendapat Masdar Farid Mas’udi di atas mengasumsikan bahwa umat Islam
yang telah membayar pajak, tidak wajib lagi membayar zakat. Hal itu karena
pajak yang dibayarkan itu telah diniatkan sebagai zakat. Sebab, bagi Masdar,
secara batin zakat adalah komitmen spiritual manusia kepada Tuhannya, sedangkan
secara lahir, zakat itu merupakan pajak yang merupakan komitmen sosial sesama
manusia. Zakat dan pajak, dengan demikian adalah hal yang identik; ibarat zakat
adalah ruh, dan pajak sebagai raga yang bersama-sama embodied. Jadi, jika bagi Muslim,
pajak berfungsi sebagai zakat, bagi non-Muslim pajak itu adalah pajak. 
Dalam karnyanya Pajak itu Zakat,  Masdar mengungkapan bahwa pemisahan lembaga
zakat dan pajak adalah suatu hal yang sesat dan menyesatkan karena konsep zakat
merupakan konsep pajak, zakat sebagai ruhnya dan pajak sebagai badannya. Oleh
karena itu, lebih kanjut Masdar negatakan bahwa orang yang membayar pajak harus
diniati membayar zakat, dengan demikian double
Tax yang selama ini menjadi permasalahan klasik di masyarakat akan
terselesaikan.  
 Masdar melihat bahwa zakat dan pajak
merupakan dua kewajiban yang bisa disatukan meski berangkat dari akar kewajiban
yang oleh ulama konvensional dibedakan. Dengan mengabungkan atau menyatukan
pajak dan zakat, berarti seorang muslim yang membayar pajak (dengan spirit dan
niat zakat) kepada pemerintah, maka gugurlah (terpenuhi) kewajiban agamanya. 
Pajak merupakan hal yang hanya menyangkut urusan duniawi, sedangkan zakat
bukan saja masalah hablum minannas
(hubungan antara sesama manusia), tetapi juga mengandung muatan hablum minallah (hubungan antara manusia
dengan tuhan). Jika zakat disatukan dengan pajak, maka syariat dari zakat akan
hilang, dan menjadi tidak penting lagi, zakat bukan lagi suatu kewajiban
melainkan akan terkesan sebagai suatu anjuran yang tidak bersifat memaksa bagi
umat Islam. Agama tidak lagi dipandang sebagai
etintas kelembagaan yang terpisah dari negara. Seperti halnya zakat sebagai
spirit yang memasukkan ke dalam pajak sebagai badan, demikian pula agama; ia adalah spirit, ruh ilahiyat, yang
harus merasuki dan membimbing arah dan jalannya negara sebagai sosok badaniah
dan kelembagaannya yang profan.  
Dengan demikian,
konsep zakat sebagai spirit pajak tidak lain adalah juga sebuah konsep
spiritualisasi dan transendentalisasi kehidupan negara itu sendiri. Agama di
sini dianggap sebagai spirit negara adalah keruhanian universal yang bersifat
inklusif, yakni komitmen pada keadilan semesta terutama bagi mereka yang lemah
dan terpinggirkan. Siapapun mereka, dan apa pun agama dan keyakinan mereka.
Karena itu, masuknya spirit zakat ke dalam raga pajak, tidak
perlu dipahami sebagai proses islamisasi yang memojokkan penganut keyakinan
atau agama lain. Pesan dasar yang sesungguhnya ingin disampaikan adalah: pertama, hendaknya rakyat tidak lagi
membayar pajak semata-mata karena takut sanksi negara yang bersifat lahiriah
dan bisa diakali, tetapi justru harus dihayati sebagai panggilan ilahiyyah yang suci. Appeal ini sifatnya personal, langsung
pada kesadaran keimanan dalam lubuk hati setiap masyarakat sebagai  pribadi-pribadi yang mandiri. Kedua, kepada pihak pemerintah sebagai
yang diberi wewenang untuk mengelolanya, hendaknya menyadari bahwa uang pajak
yang ada di tangannya adalah amanat Allah yang harus di-tasharruf-kan untuk kemaslahatan segenap warga, terutama yang lemah
dan tidak berdaya, apa pun agama dan keyakinanya.
Memahami konsep kelembagaan zakat pada sosok pajak sudah
barang tentu membawa implikasi pada kebutuhan rekonstruksi (tajdid) banyak ajaran yang selama ini
justru dianggap baku (qath’i). Yakni,
tentang jenis-jenis kekayaan yang harus dikenakan (mal zakawi), kadar tarif pajak (maqadir
al-zakah), siapa-siapa yang menjadi sasaran alokasi pembelanjaannya (mustahiq al-zakah), dan sebagainya.
Dengan teori qath’i
dan zanni-nya  Masdar berusaha meyakinkan bahwa rekonstruksi
yang terus menerus itu mungkin, bahkan sejauh tuntutan kemaslahatan
menghendaki, tidak bisa dihindari. Rekonstruksi yang dikatakannya menjadi tugas
dan wewenang lembaga ahl al-hall wa
al-‘aqd (parlemen yang dipilih oleh rakyat dan berpihak pada kepentingan
rakyat) itu mengena baik pada hasil ijtihad para ulama terdahulu, bahkan pada
ketentuan-ketentuan teknis yang tertera dalam hadis-hadis Rasulullah SAW. 
Dengan tegas Masdar menyatakan bahwa yang harus dipedomani
oleh umat Islam sesudah Alquran, dari Rasulullah Saw bukanlah hadis-hadisnya,
melainkan Sunnah-nya. Hadis adalah teks penuturan verbal dan formal tentang
percikan-percikan perilaku dan pemikiran Rasulullah Saw sementara itu, sunnah
adalah perilaku dan way of life dari
Rasulullah Saw secara kaffah. 
Masdar membagi segala sesuatu yang disandarkan kepada
Rasululah Saw baik yang qauliyyah maupun
yang fi’liyyah, pada dua kategori. Pertama, yang berkaitan dengan patokan
moralitas atau etika; tentang nilai-nilai kebaikan atau keburukan, tentang yang
halal dan yang haram. Yang demikian inilah, yang disebutnya sebagai
ketentuan-ketentuan qath’iyyah yang
bersifat kategoris dan mengikat untuk sepanjang masa.
Kedua, hadis
Nabi yang berisikan peyunjuk praktis-implementatif atau instrumental dari
nilai-nilai tersebut di atas. Misalnya, dalam rangka menunaikan kewajiban zakat
(pajak) bagi keadilan masyarakatnya, Rasulullah SAW menetapkan atas ternak unta dan sapi, tetapi tidak pada kuda,
itik, atau ayam buras. Atas hasil pertanian dikenakan lebih tinggi dibandingkan
dengan hasil niaga. Hadis-hadis kategori ini, oleh Mas’udi disebutnya sebagai
hadis-hadis dengan muatan ketentuan-ketentuan yang bersifat zhanniyah (hipotesis). Sejauh menyangkut
hadis-hadis yang bersifat teknis-implementatif dan instrumental ini, menurut
Mas’udi, tidak bisa tidak harus disikapi secara kritis. Bukan dalam rangka
meragukan keabsahan petunjuk Nabi, melainkan dalam rangka memahami signifikansi
(dalalah) apa yang dikandungnya dan
dengan pertimbangan apa ketentuan-ketentuan praktis itu diberikan.
2.            
Pendapat
Didin Hafiduddin
 Didin Hafiduddin
mengungkapkan ada beberapa alasan dan kemungkinan zakat dianggap sebagai
pengurang pajak, karena dalam pembahasan amandemen UU No.38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, masalah ini dianggap yang paling krusial. Perdebatan
mengenai hal ini mengarah pada dua arus utama perbedaan pendapat. Pertama, ada
kelompok yang berpandangan bahwa kebijakan zakat sebagai penghasilan bruto
wajib pajak (tax deductible), sebagaimana yang dianut selama ini, merupakan
pilihan yang paling tepat. Kedua, ada yang berpandangan bahwa kebijakan zakat
sebagai pengurang pajak secara langsung (tax credit) merupakan langkah
strategis dalam upaya menggali potensi zakat, sekaligus mengintegrasikannya
secara lebih mendalam dalam perekonomian nasional. Paling tidak, ada dua
argumentasi dasar yang memperuat pernyataan kelompok kedua ini.
a.      
Perspektif Keuangan Negara
Argumentasi
pertama, dari perspektif keuangan negara, ketika ada proses sinergi dan
integrasi zakat pada kebijakan fiskal, maka akan ada sejumlah manfaat yang akan
didapat. Yaitu, perluasan basis muzakki dan wajib pajak, serta membantu
meringankan beban APBN dalam hal anggaran pengentasan kemiskinan.
Pada
manfaat pertama, melalui koordinasi yang baik antara otoritas zakat dengan
otoritas pajak, maka identifikasi wajib zakat (muzaki) dan wajib pajak akan
semakin luas, sehingga diharapkan pendapat pajak dan zakat akan semakin
meningkat. Hal ini secara empirik telah dibuktikan oleh Malaysia, di mana
pendapatan zakat dan pajak justru semakin meningkat pasca pemberlakukan
kebijakan zakat sebagai kredit pajak. Tidak ada trade off antara penerimaan
pajak dengan zakat.
b.     
Perpektif Distribusi Ekonomi
Argumen
kedua, dari perspekti distribusi ekonomi. Instrumen zakat ini diyakini akan
menjadi alat redistribusi ekonomi yang efektif, di mana ia menjamin aliran
kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin. Sehingga, economic growth
with equity yang selama ini didengung-dengungkan akan dapat terealisir dengan
baik di lapangan.  
Secara
ekonomi, aliran kekayaan dalam zakat ini akan mampu memberikan multiplier
effect yang sangat besar. Pertumbuhan ekonomi akan terdongkrak lebih tinggi
lagi. Hal tersebut dikarekan keberadaan zakat, akan menggenjot konsumsi dan
invenstasi, di mana yang menjadi target utamanya adalah kelompok dhuafa.
Melalui program distribusi zakat yang bersifat konsumtif, kebutuhan primer
mustahik pada jangka pendek akan terpenuhi. Sedangkan melalui program zakat
produktif, rumah tangga mustahik pada jangka panjang akan memiliki daya tahan
ekonomi yang lebih baik.
Adapun jika pendapat Masdar F.
Mas’udi ini dapat diterima, maka implikasi khrusial yang mungkin muncul adalah
bahwa perorangan, yayasan, atau lembaga pengumpul dan penyalur ZIS yang telah
eksis selama ni akan bergeser statusnya dan digantikan fungsinya oleh
kantor-kantor pelayanan pajak. Lagi-lagi, kenyataan ini sulit diterima, karena
mampunyai kecendrungan diskonstinuitas dan revolusioner. 
Di negara barat, bagi orang yang
tidak membayar pajak atau menggelapkan pajak, dapat dihukum pidana dengan
hukuman yang cukup berat.  Karena
pembayaran pajak telah diniatkan sebagai zakat, jumlah pajak yang diperbolehkan
adalah juga merupakan jumlah zakat yang diterima. Dengan cara ini, pembayar
pajak (zakat) dapat meminta kontraprestasi dari apa yang telah dibayarkan. Ini
berarti, sega negara sebagai subjek wajib pajak, sekaligus sebagai muzakki,
memiliki hak kontrol terhadap pengelolaan dana negara yang diperoleh dari  Sektor penerimaan pajak (zakat).
Memang, berhubung umat Islam tidak
lagi merasa terbebani kewajiban fiskal ganda, jumlah angga penerimaan pajak
(zakat) boleh jadi akan meningkat, tapi alokasi dan distribusi pemanvaatan dana
pajak (zakat) itu sudah pasti akan menimbulkan persoalan baru. Hal itu karena
alikasi dan target distribusai pajak dan zakat, masing-masing saling berbeda.
Bagaimanapun, reinterpretasi terhadap teks keagamaan (al-Qur’an dan as-Sunnah)
yang mengatur soal alokasi dan target distribusi zakat, khususnya tentang
kebolehan zakat (pajak) diperuntukkkan kepada umat non-Muslim (bedakan dengan
mu’allaf) masih merupakan hal yang teramat pelik. Pada titik inilah kontroversi
dan keberatan dri kalangan umat Islam mungkin saja muncul.
Begitu pula, pemanfaatan dana pajak
(zakat) untk sektor kepentingan ekslusif umat Islam tertentu saja akan
menimbulkan keberatan dari wajib pajak yang beragama non-Muslim . sebab, para
wajib pajak dari kalangan non-Muslim – meskipun mereka dari segi populasi
merupakan minoritas, tetapi mengusai hampir 80% kekayaan di Republik
ini—merupakan pembayar pajak yang jauh lebih besar jumlahnya ketimbang yang
dibayarkan oleh wajib pajak (muzakki) dari kalangan Muslim sendiri. Walhasil,
sungguhpun dari seg populasi umat Islam merupakan mayoritas, alokasi dan
pemanfaatan dana pajak (zakat) utuk kepentingan eklusif umat Islam tidak dengan
sendirinya akan besar jumlahnya, justru boleh jadi akan sangat terbatas.
G.   
Kesimpulan 
Berangkat
dari berbagai persoalan yang melingkupi aplikasi zakat dan pajak, terutama
zakat maka peneliti menyimpulkan bahwa integrasi pengelolaan zakat dan pajak
(satu pintu) merupakan langkah maju dalam transformasi hukum positif dan hukum
Islam di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Indonesia secara
kuantitatif penduduknya beragama Islam. Dengan fakta ini dan legitimasi ini,
memberikan peluang yang cukup membesar untuk penerapan hukum Islam secara
komprehensif. Dengan pertimbangan maslahah dan pendekatan siyasah syar‘iyyah,
maka integrasi pengelolaan zakat dan pajak oleh negara termasuk penerapan
sanksi bagi pihak-pihak yang terkait menjadi urgen. 
Langkah transformatif tersebut harus didorong bengan
kebijakan dibentuknya Dirjen pajak dan zakat. Dirjen ini akan memerankan fungsi
regulator dan pengawas, sekaligus penentu kebijakan pengelolaan pajak dan zakat
di Indonesia. Orientasi dari lembaga ini adalah mengarahkan agar pajak dan
zakat dapat dimaksimalkan dalam membantu pengentasan kemiskinan, pencapaian
organisasi pajak dan zakat yang profesional dan akuntabel, serta integrasi dan
sinergi seluruh organisasi pajak dan zakat di bawah satu payung kebijakan
nasional. Akan tetapi, ada satu catatan penting bahwa
pengintegrasian zakat dan pajak melalui satu pintu hanya bisa dilakukan jika
kepercayaan masyarakat terhadap negara dalam hal ini pengelola pajak dan zakat
tercapai dengan baik. 
Daftar
Pustaka
 www.
Pajakonline.com / engine/ learning diunduh pada 7/12/12