ANALISIS FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN
UNDANG-UNDANG
TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
Fathul Mu’in
Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung
ABSTRAK
Perkawinan berbeda agama adalah perkawinan antara orang yang berlainan
agama, seperti perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam
(pria/wanita), baik kafir musyrik maupun ahli kitab.  Sebagai agama yang universal, Islam memandang
bahwa manusia satu sama lain merupakan satu kesatuan umat “ummatan wahidah”
baik antara individu dengan individu, maupun antara suku bangsa yang satu
dengan suku bangsa yang lain, tidak ada perbedaan derajat kemanusiaan, yang
membedakan adalah tingkat ketakwaannya kepada Allah SWT.
            Atas dasar itulah,
maka dalam hal perkawinan, Islam tidak mempersoalkan perbedaan keturunan,
kebangsaan dan atau kewarganegaraan, melainkan perbedaan agamalah yang menjadi
fokus masalah, sehingga muncul kasus perkawinan beda agama.  Pernikahan
beda agama merupakan masalah yang serius dalam pergulatan pemikiran bangsa
Indonesia antara yang pro dan kontra, mengingat kasus tersebut juga banyak terjadi
di negara ini.
            Perkawinan beda agama
adalah persoalan klasik yang tak berhenti menggelisahkan pikiran dan mengundang
perbedaan banyak kalangan, mulai dari kalangan ulama, hingga para ilmuan. Oleh
karenanya, perkawinan yang bernuansa perbedaan agama tetap menjadi isu yang
menarik untuk dijadikan kajian, perdebatan dan penelitian. Dari hasil kajian
ini, MUI sebagai organisasi ulama di Indonesia mengharamkan perkawinan beda
agama. Fatwa ini dikeluarkan dengan mendasarkan pada dalil-dalil Alqur’an,
hadis, dan menggunakan kaidah fiqhiyyah dan ushuliyah.  Pelarangan perkawinan beda agama tersebut
sebagai bentuk kehati-hatian, mengingat banyak mudharat yang ditimbulkan dari
perkawinan tersebut.
Sementara, didalam UU No. 1 Tahun 1974 juga melarang perkawinan beda agama,
namun pelarangan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 tidak begitu jelas. Namun,
didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan tegas mengharamkan perkawinan beda
agama, baik laki-laki muslim menikah dengan wanita muslim maupun sebaliknya.
A.   
Pendahuluan
Manusia cenderung tertarik kepada lawan
jenisnya, untuk itu Islam memberikan alternatif bagi bertemunya dua manusia
yang sebelumnya bukan muhrim menjadi halal baginya yakni dengan cara perkawinan
yang telah disyariatkan. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam
membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Seperti
dinyatakan dalam Al-Qur'an bahwa tujuan dari pernikahan adalah untuk untuk
mendapatkan mawaddah dan rahmah serta ketenangan lahir dan bathin
dalam keluarga.
Di era modern
seperti ini, pergaulan antara pria dan wanita telah malampaui batas suku,
etnis, negara, bahasa, bahkan lintas agama. Itu berarti
perbedaan-perbedaan tersebut bukan menjadi halangan dalam perkenalan dan pada
akhirnya tidak jarang yang sampai pada jenjang pernikahan, sehingga munculah
kasus pernikahan beda agama. Kasus perkawinan beda agama ini menjadi suatu
topik yang sudah lama namun hingga kini masih diperselisihkan dan
diperdebatkan.
Meski dalam Islam
perkawinan beda agama itu dilarang, namun pernikahan bernuansa keberagaman ini
banyak terjadi dan dijumpai didalam kehidupan masyarakat. Contoh yang banyak
terjadi dan ter-ekspose ke masyarakat luas oleh media massa adalah perkawinan
beda agama yang dilakukan oleh kalangan selebritas di Indonesia terjadi dalam
tiap masa. Seperti contoh pasangan suami istri Ira Wibowo-Katon Bagaskara; Nurul
Arifin-Mayong, Dewi Yull-Rae Sahetapy, Nia Zulkarnain-Ari Siasaleh. 
Pada tahun 1986
dikeraton Solo, menikah Gusti Raden Ayu Kus Ondowiyah, putri Paku Buwono XII, beragama Islam, dengan Bandoro Raden Mas Susatya yang beragama
Kristen. Keduanya memutuskan untuk tetap pada agamanya masing-masing sehingga
jalan tengah yang ditempuh dengan cara menikah di catatan sipil. 
Pada tahun 1975,
Ir. Silvanus, Gubernur Kalimantan Tengah, seorang yang beragama Kristen kawin
dengan G.R.A.Y. Kus Supiah, beragama Islam dikeraton Solo. Pada tahun itu juga
di Kudus Jawa Tengah seorang hakim yang taat menjalankan syariat Islam telah
kawin dicatatan sipil dengan seorang wanita yang beragama Katolik. 
Pernikahan beda
agama ternyata tidak hanya terjadi pada artis-artis dan masyarakat kelas elite
yang tinggal di kota-kota besar saja, akan tetapi juga terjadi pada masyarakat
perkampungan. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka tersebut tidak lagi
didasarkan pada satu akidah agama, melainkan hanya dengan dasar cinta. Seolah-olah
cinta semata yang menjadi dasar dalam suatu pernikahan. 
Kenyataan tersebut
adalah permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat Indonesia, bahkan
mungkin dinegara-negara lain juga terjadi hal yang sama, yang kultur
masyarakatnya heterogen, beragam suku, ras, adat-istiadat dan agamanya.
B. Perkawinan Beda Agama Dalam Islam
Perkawinan beda agama atau perkawinan atau
perkawinan antar agama, dapat diartikan sebagai perkawinan dua insan yang
berbeda agama, kepercayaan atau faham. Yang dimaksud dengan pernikahan
beda agama adalah pernikahan orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan
Islam (pria/wanita). 
Mengenai
masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:
1. Pernikahan antara
seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik.
2. Pernikahan antara
seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab
3. Pernikahan antara
seorang wanita muslimah dengan pria non muslim
Sedangkan
penjelasan dari ketiga masalah tersebut adalah sebagai berikut:
a.      
Pernikahan antara seorang
laki-laki muslim dengan wanita musyrik.
Menurut
Nahdlatul Ulama haram hukumnya sebuah pernikahan antara laki-laki muslim dengan
wanita kafir yang bukan murni ahli kitab, seperti wanita penyembah berhala,
Majusyi, atau salah satu dari kedua orang tuanya adalah orang kafir.36 Yusuf Qardlawi dalam hal ini
juga mengharamkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik. Baik NU maupun Yusuf Qardlawi
mendasarkan pada firman Allah SWT
surat Al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut:
Artinya : 
"Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayatayat-Nya kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran".(QS. Al-Baqarah : 221)
Namun
terdapat perberdaan pendapat di antara para ulama yakni tentang siapa musyrikah
yang haram dinikahi sebagaimana maksud ayat di atas? Menurut Ibnu Jarir
at-Thabari, bahwa musyrikah yang dilarang dinikahi adalah musyrikah dari bangsa
Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Alqur'an memang tidak
mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini,
seorang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah dari non Arab,
seperti wanita Cina, India, dan Jepang yang diduga mempunyai kitab suci atau
serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.
 
Tetapi
mayoritas ulama berpendapat bahwa semua musyrikah baik dari bangsa Arab maupun
non Arab selain Ahlu Kitab tidak boleh dinikahi. Menurut pendapat ini, siapapun
yang bukan muslim atau ahlu kitab (beragama Kristen/Yahudi) haram dinikahi.
- Perkawinan
     Beda Agama Menurut MUI
Dalam MUNAS
Majelis Ulama Indonesia (MUI)  yang ke
VII pada Tahun 2005 di Jakarta, MUI mengeluarkan 11 fatwa MUI yang salah
satunya adalah fatwa tentang pernikahan beda agama. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini akan dikutip seutuhnya keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang Pernikahan Beda Agama.
Majelis
ulama Indonesia (MUI), dalam Musyarah Nasional MUI VII pada tanggal 19-22
Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005M., setelah:
Menimbang:
- Bahwa belakangan ini
     disinyalir banyak terjadi pernikahan beda agama.
- Bahwa pernikahan beda
     agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam,
     akan tetapi juga sering mengudang keresahan di tengah-tengah masyarakat.
- Bahwa di tengah-tengah
     masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan pernikahan beda agama
     dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan.
- Bahwa untuk mewujudkan dan
     memelihara ketentaraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu
     menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
1. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa’ (4): 4
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ 
Artinya : "Berikanlah maskawin kepada wanita
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya". (QS. An-Nisa’ : 4)
2. Firman Allah dalam QS. Ar-Rum (21): 
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ 
Artinya : "Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". (QS.
Al-Rum : 21)
3. Firman Allah dalam QS. Al-Tahrim (6):
Artinya : "Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan". (QS.
Al-Tahrim : 6)
4. Firman Allah dalam QS. Al-Maidah (5):
Artinya : "Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al
Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orangorang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orangorang
merugi". (QS. Al-Maidah : 5)
5. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 221
Artinya : "Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran". (QS. Al-Baqarah :
221)
6. Firman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah : 10
Artinya : "Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tiada halal
bagi orangorang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka. Dan berikanlah kepada mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada
dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali dengan perempuanperempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di
antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". (QS.
Al-Mumtahanah : 10)
7. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa’ : 25
Artinya : "Dan
barangsiapa diantara kamu yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini
wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari
budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu
adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin
tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun
wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga
diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji , maka atas
mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. itu,
adalah bagi
orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga
diri di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang".(QS. An-Nisa’ : 25)
8. Hadits Rasululllah SAW
Artinya : "Wanita
itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya (2) karena
keturunannya (3) karena kecantikannya (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu
bepegang teguh kepada perempuan yang memeluk agama Islam; (jika tidak) akan
binasalah kedua tanganmu”. (HR. Bukhari Muslim dari sahabat Abi Hurairah
RA)
9. Kaidah Fiqh
Artinya : “Mencegah
kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daipada menarik kemaslahatan” 
Dan kaidah sadd al- zari’ah.
Memperhatikan :
- Keputusan Fatwa MUI dalam
     Munas II tahun 1400/1980 tentang perkawinan campuran.
- Pendapat sidang komisi C
     bidang fatwa pada Munas VII MUI 2005 Dengan tawakkal kepada Allah SWT
     memutuskan:
Menetapkan: Fatwa Tentang Perkawinan Beda Agama:
- Perkawinan beda agama
     adalah haram dan tidak sah. 
- Perkawinan laki-laki
     muslim degan wanita ahlul kitab, meurut qaul mu’tamad adalah haram
     dan tidak sah.
Dari
deskripsi di atas, fatwa MUI tentang pernikahan beda agama ditafsil menjadi
dua, yakni pernikahan beda agama haram dan tidak sah tanpa ada qayyid, sedangkan
yang kedua khusus pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab yang
dihukumi haram dan tidak sah. Dalam hal ini fatwa item kedua ini yang
sesungguhnya banyak dipersoalkan, karena dalam Alqur'an, hadis maupun literatur
fiqih klasik pernikahan model ini secara mendetail telah dibahas dan jumhur
ulama membolehkan.
C.  Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-undang
Dasar hukum perkawinan di
Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :
a.            
Buku I Kitab Undang-undang
Hukum Perdata
b.            
UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan
c.            
UU No. 7/1989 tentang
Peradilan Agama
d.           
4.PP No. 9/1975 tentang
Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
e.            
Intruksi Presiden No.
1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Berdasarkan UU No.
1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu
perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a
contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku
sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai
perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat
dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru
sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan
tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan
kepercayaannya.
Dalam memahami
perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran
yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama
merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f.
Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat
dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan
argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti
pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan
juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan
antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu
berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat
merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam
undang-undang perkawinan. 
Perkawinan beda
agama, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, termasuk dalam
pengertian perkawinan campuran, perkawinan campuran itu sendiri sebelum
Undang-Undang Perkawinan diberlakukan diatur dalam Ordonansi Perkawinan
Campuran S. 1898 No. 158. 
Pengertian dari
perkawinan campuran dalam Ordononansi Perkawinan Campuran S. 1989 No. 158 pada
Pasal 1 disebutkan bahwa : ” Yang dinamakan perkawinan campuran ialah
perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk pada hukumhukum yang
berlainan.” Dalam Pasal 7 ordonansi tersebut juga menegaskan bahwa : ”Perbedaan
agama, suku, bangsa atau keturunan, sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk
perkawinan”, ketentuan tersebut membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk
mangadakan perkawinan beda agama.
Berdasarkan uraian
di atas, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dan disahkan, dengan dasar
hukum Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158. 
Sejak tahun 1974,
bangsa Indonesia telah mempunyai undang-undang yang mengatur perkawinan dan
berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Undang-undang yang mengatur
masalah perkawinan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan
dengan dikeluarkannya peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 1975.
Menurut Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian perkawinan menurut Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat dirumuskan
unsur-unsur dari perkawinan sebagai berikut : 
1.      Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita.
2.      Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan
bahagia.
3.      Perkawinan dilaksanakan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.
Pengertian
perkawinan, di mana pelaksanaan perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan
keTuhanan Yang maha Esa, mempunyai akibat langsung terhadap sahnya suatu
perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, secara eksplisit melalui Pasal 2 ayat (1) menentukan:
”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Ketentuan yang sudah jelas ini lebih diperjelas lagi
oleh ketentuan di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1974 :
”dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kecercayaannya
Dari Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat diketahui bahwa sebuah perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) dan
pendeta atau pastur (bagi Umat Kristen) telah melaksanakan pemberkatan atau
ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agamanya
dan kepercayaannya. 
Perkawinan mutlak
harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, kalau
tidak maka perkawinan tersebut dapat dikatakan tidak sah. Hukum masing-masing
agama menjadi dasar dari sahnya perkawinan, hal tersebut berarti pelaksanaan perkawinan
hanya tunduk pada 1 (satu) hukum agama saja, dengan kata lain perkawinan tidak
dapat dilaksanakan dengan menggunakan 2 (dua) hukum agama yang berbeda.
Perkawinan beda
agama, tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dengan
tidak diaturnya masalah perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 maka tidak jelas pula diperbolehkan atau tidaknya pelaksanaan perkawinan
beda agama. Seperti pada penjelasan sebelumnya, sebelum dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda agama diatur
dalam Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158 dan setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan campuran diatur secara tegas di
dalam Pasal 57, adapun isi dari Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, adalah : ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. 
Sebagai pedoman
untuk mengetahui kejelasan permasalahan perkawinan beda agama seperti tersebut
diatas, dengan melihat pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu
Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, hal ini mengisyaratkan
bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan
cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut (disamping
cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh negara), jadi suatu
perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah calon mempelai telah memenuhi
syarat-syarat atau belum, disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, juga ditentukan oleh hukum
agamanya masing-masing.
Dengan demikian,
maka perkawinan beda agama menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, tidak sah, karena tidak memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal tersebut berakibat tidak sahnya
pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil.
- Analisis Pandangan MUI dan Undang-undang Tentang Perkawinan Beda Agama
Menjaga
kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tidak boleh diutak-atik. Semua
perangkat syari'ah dikerahkan untuk menjaga eksistensinya. Bahkan kalau perlu
nyawa harus direlakan. Dalam ushul fiqh dijelaskan, term ini disebut hifdz
al-din, yang menempati rangking satu dalam urutan hal-hal yang sangat dipelihara
Islam. Barangkali, persoalan nikah beda agama dapat dipahami dalam segmen ini.
Islam tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Karena itu, Islam sama
sekali tidak mentolelir pernikahan dengan kaum atheis (orang yang tidak
bertuhan). Larangan ini sangat tegas dan jelas karena menikah dengan orang
musyrik atau musyrikah akan menuntun pada jalan neraka sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Baqarah 221.
Dalam kerangka
menjaga iman inilah, MUI mengeluarkan fatwa tentang larangan pernikahan beda agama.
Ini karena MUI sebagai lembaga keulamaan yang senantiasa berupaya menjaga
umatnya agar tidak terjerumus dalam kemusyrikan sehingga fatwa ini sebagai
upaya preventif. Dengan ini maka MUI menjadi lembaga keulamaan yang dapat
berfungsi sebagai pengayom umat sekaligus sebagai panutan dan tempat rujukan.
Dengan SDM yang berkualitas dari berbagai disiplin ilmu yakni dari para ulama
dan intelektual kampus, MUI mempunyai terobosan yang berani dengan mengharamkan
pernikahan beda agama secara mutlak, baik laki-laki maupun wanita.
Namun berdasarkan
dari berbagai pendapat lain di luar MUI, pendapat MUI sebenarnya memang
bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama yang memberikan qayyid (catatan)
bahwa keharaman pernikahan beda agama tidaklah mutlak akan tetapi tetap
diperbolehkan bagi pria muslim dengan wanita ahlu kitab. 
Meskipun perkawinan beda agama telah banyak terjadi di
Indonesia, namun sampai saat ini masalah tersebut masih menjadi perdebatan
antara boleh atau tidaknya dilaksanakan perkawinan beda agama. Undang-Undang
Perkawinan sendiri belum memberikan jawaban atas permasalahan tersebut, hal ini
dikarenakan belum diaturnya secara tegas mengenai perkawinan beda agama dalam
Undang-Undang Perkawinan, begitu juga dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 sebagai peraturan pelaksananya.
Departemen Agama, sebagai pusat dalam hal keagamaan
belum juga memberikan jalan keluar menyangkut permasalahan perkawinan beda
agama, karena belum adanya kata sepakat dari para ahli Hukum Islam tentang
halal atau tidaknya perkawinan beda agama tersebut.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, menyerahkan
sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan dilarang
atau diperbolehkannya perkawinan beda agama tersebut, hal ini diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang Perkawinan.
Sebelum diberlakukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
yang mengatur tentang perkawinan, sudah ada beberapa peraturan yang mengatur
masalah perkawinan yang berlaku bagi masing-masing golongan dalam masyarakat.
Dengan berpedoman Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
”Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk
Ordonantie Chiristen Indonesia S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regelling op de gemengde Huwelijke S.1898 No. 158), dan peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang
ini, dinyatakan tidak berlaku.”
Maka peraturan-peraturan tentang perkawinan yang
berlaku sebelum adanya Undang-Undang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku.
Timbul suatu permasalahan, ketika Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan dihubungkan
dengan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan, dimana Pasal 57 menegaskan :
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Pemasalahan yang diatur dalam Pasal 57 adalah
perkawinan yang para pihak berbeda kewarganegaraan, bukan berbeda dalam hal
agamanya. Sedangkan peraturan tentang perkawinan campuran sebelum Undang-Undang
Perkawinan diberlakukan diatur dalam Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No.
158, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa :
 ” Yang dinamakan perkawinan
campuran ialah perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk pada
hukum-hukum yang berlainan.” Dalam Pasal 7 ordonansi tersebut juga menegaskan
bahwa : ”Perbedaan agama, bangsa atau asal itu sama sekali bukanlah menjadi
halangan untuk perkawinan itu. Jadi ketentuan tersebut membuka kemungkinan
seluas-luasnya untuk mangadakan perkawinan beda agama.”
Melihat permasalahan tersebut diatas, Wantjik Saleh
mengatakan, yang tidak berlaku itu adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
beberapa peraturan yang telah ada sejauh hal-hal itu telah diatur dalam
undang-undang yang baru ini. Jadi bukanlah peraturan perundangan itu secara
keseluruhan. 
 Hal-hal yang tidak diatur dan tidak
bertentangan dengan undang-undang yang baru ini masih tetap dapat dipakai.”
Dengan melihat kenyataan yang ada, bahwa perkawinan
beda agama dapat dilaksanakan
,
dan Kantor Catatan Sipil ternyata memberikan wadah bagi pencatatan perkawinan
beda agama, maka anggapan masyarakat tentang perkawinan beda agama sudah sah
menurut hukum negara dan pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya
masing-masing diserahkan kepada kehendak para pihak yang bersangkutan.
 
Untuk melakukan perkawinan, diperlukan syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan, begitu
juga dengan perkawinan beda agama. Dalam perkawinan beda agama, syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh para pihak tidak berbeda dengan syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang akan melaksanakan perkawinan tanpa adanya
perbedaan agama dari masing-masing pihak. Setelah terpenuhinya syarat-syarat
dari perkawinan tersebut, maka Kantor Catatan Sipil akan melakukan proses
pencatatan serta mengeluarkan akta perkawinannya.
Pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia masih
berpedoman pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, jo Pasal
10 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sedangkan
peraturan yang lama yaitu Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158 masih
terjadi silang pendapat, boleh atau tidaknya dijadikan dasar untuk pelaksanaan
perkawinan beda agama.
Perkawinan
beda agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi
jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan
menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan
bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda agama ini
terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama,
dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda
agama yang dilakukan diluar negeri.
Sehingga
menurut penulis, hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerawanan bagi
umat Islam Indonesia, karena banyak umat Islam yang kualitas keimanan dan
keyakinannya minim dikhawatirkan akan tetap melakukan perkawinan beda agama
meskipun hanya dengan dasar cinta kasih tanpa melihat latar belakang perbedaan
keyakinan.
Kompilasi Hukum
Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan
perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam adalah tergantung
sepenuhnya bagi para hakim dalam menuangkan keputusan-keputusannya, sehingga kompilasi ini akan terwujud sebagai landasan dan
pedoman yang kokoh dalam keputusan Peradilan Agama. Dengan berlakunya Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, maka semua pihak harus tunduk dan
berkewajiban untuk sepenuhnya melaksanakan isinya. Dengan demikian maka, dapat
dikatakan bahwa kompilasi adalah sebagia perundang-undangan, mengingat ia
ditegaskan melalui Intruksi Presiden RI, ditindak lanjuti dengan Keputusan
Menteri Agama, sebagai pemimpin pemerintahan yang sah.
- Penutup
Dalam Munas VII MUI Nomor:
4/Munas VII/MUI/8/2005 MUI mengeluarkan fatwa pengharaman perkawinan beda
agama. Fatwa ini dikeluarkan dengan mendasarkan pada dalil-dalil Alqur’an,
hadis, dan menggunakan kaidah fiqhiyyah dan ushuliyah.  Fatwa ini sangat relevan dalam konteks
keindonesianan, meskipun dalam item b MUI tidak membolehkan pernikahan antara
laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab. Dalam konteks ini aspek hifdz
al-din sangat dipertimbangkan MUI. Apabila pernikahan antara laki-laki muslim
dengan wanita ahli kitab diperbolehkan sangat dikhawatirkan akan membawa madlarat
berupa ketidakmampuan suami dalam menjaga 
agama anak-anaknya sehingga tugas menjaga keluarga dari api neraka tidak
dapat dipenuhi. 
Berdasarkan Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa sebuah perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Namun dalam hal ini undang-undang tidak secara tegas melarang perkawinan model
ini. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 40 dan 44 secara tegas
melarang perkawinan beda agama.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid Ridla, Tafsir Al-Manar, Vol. VI, (Cairo
: Dar al-manar, 1367 H)
R. Tama dan Rusli, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, (Bandung
: Pionir Jaya, 2000)
 Rasyid Ridla, Tafsir Al-Manar, Vol.
VI, (Cairo : Dar al-manar, 1367 H), h. 187-190 
 
  Shaleh K.
Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia,( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982),
h. 13 
 
  R. Tama
dan Rusli, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, (Bandung : Pionir
Jaya, 2000), h. 16