MASALAH KEPASTIAN DALAM EPISTEMOLOGI
HUKUM ISLAM: DINAMIKA KONSEP
QATH‘Î-ZHANNÎ DALAM TEORI HUKUM ISLAM
Pendahuluan
Persoalan kepastian
(certainty) menjadi salah satu isu utama dalam epistemologi atau teori
tentang pengetahuan.
Kesarjanaan Islam terutama diwakili oleh para teolog muslim (Mutakallimûn)
telah lama memperdebatkan isu epistemologis ini dalam karya-karya mereka. Qâdhî
‘Abd al-Jabbar, seorang teolog Mu’tazilah yang wafat sekitar tahun 415 H,
misalnya, mendiskusikan tentang apa hakikat pengetahuan, bagaimana pengetahuan
dapat diperoleh, apakah pengetahuan yang pasti dapat diperoleh, dan sebagainya.
Teori hukum Islam (ushûl al-fiqh),
yang oleh sebagai penulis lebih tepat dijuluki epistemologi hukum Islam,
pada umumnya “meminjam” bahasan epistemologis ini dari teologi. Dengan tepat
Wael B. Hallaq menulis bahwa pembedaan epistemologis dalam teori hukum Islam “were not unconnected with those made in
theological enquiries (‘ilm al-kalâm), since law was seen as derivative of the
mother science, theology.”
Literatur
ushûl al-fiqh, berdasarkan proses historis di atas, kemudian terbiasa
mengulas persoalan pengetahuan ini. Paling tidak sebelum munculnya karya-karya
modern, tulisan-tulisan genre ini memasukkan bahasan tentang pengetahuan dan
klasifikasinya di awal bahasan. Ulasan ini lebih lanjut berimplikasi secara
signifikan terhadap persoalan realibilitas berita (khabar), dasar hukum
dan interpretasi hukum; apakah sumber informasi hukum (terutama hadis) dapat
diterima secara pasti, apakah suatu dalil hukum mempunyai kedudukan yang
meyakinkan dan apakah hasil interpretasi teks bisa dipastikan kebenarannya.
Tulisan ini mencoba menganalisa problem kepastian epistemologis (qath‘î-zhannî)
ini dalam hukum Islam sebagaimana didiskusikan para ulama ushûl
tradisional dan perkembangan sesudahnya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa masalah kepastian hukum Islam
memperlihatkan keragaman dan dinamika teoritis dalam sejarah hukum Islam.
Karakteristik
Qath‘î-Zhannî
Kata qath‘
berasal dari kata kerja qatha‘a (قطع – يقطع –
قطعا ) yang berarti pasti
atau memastikan (jazima) seperti
dalam kalimat (saya memastikan hal itu) atau kalimat (hal tersebut terjadi
tanpa keraguan sedikitpun).
Kata qath‘ bersinonim dengan kata ‘ilm dan yaqîn. Kata ‘ilm berarti
keyakinan atau kepastian seperti dalam kalimat (mengetahui dan meyakini
sesuatu) atau kalimat (memastikan masalah itu).
Sedangkan kata yaqîn dapat berarti ‘ilm, menghilangkan keraguan, dan
mengokohkan permasalahan. Jika ‘ilm merupakan
lawan kata jahl (ketidaktahuan), maka
yaqîn adalah kebalikan syakk (keragu-raguan). Namun, terkadang
pula yaqîn mempunyai arti
kebarangkalian (zhann).
Adapun kata zhann berasal dari kata kerja zhanna (
ظن – يظن - ظنا). Kata zhann dapat berarti syakk (keragu-raguan) atau yaqîn
(keyakinan). Bentuk pluralnya adalah zhunûn
atau azhânîn, hanya saja bentuk
yang terakhir tidak mengikuti aturan analogi bahasa. Menurut al-Jauharî, kata zhann terkadang digunakan untuk menunjuk
arti kepastian (‘ilm) seperti dalam
surat al-Hâqqah ayat 20.
Al-Raghîb
al-Ashfahânî mencatat bahwa zhann
merupakan istilah yang diperoleh dari suatu tanda (amârah), apabila tanda itu kuat maka akan menghasilkan kepastian (‘ilm) namun jika ia sangat lemah maka ia
tidak sampai melampau batas prasangka (tawahhum).
Istilah ‘ilm, yang pada dasarnya sudah dikaji
dalam ilmu kalam,
merupakan kata yang sering menggantikan istilah qath‘, meskipun seperti yang akan kita lihat nanti penggunaan qath‘ dalam ushûl al-fiqh ternyata
lebih populer dari pada ‘ilm.
Pengkajian atas ‘ilm dan juga
istilah-istilah yang terkait seperti zhann,
syakk, dan wahm pada periode pasca al-Syâfi‘î sebagaimana nanti akan terlihat
mempunyai tradisi yang kokoh bahkan sampai sekarang. Berikut adalah penjabaran
term-term dimaksud: ‘ilm yang
berkorespondensi dengan qath‘, juga zhann, syakk, dan wahm.
Dalam karya ushûl
al-fiqhnya, al-Syâfi‘î mendiskusikan jenis-jenis pengetahuan terlepas dari
konsepsi Aristotelian tentang ‘ilm.
Menurut al-Syâfi‘î, pengetahuan (‘ilm)
dapat dibagi menjadi dua: pertama, pengetahuan yang pasti diketahui oleh orang
Islam yang sehat akalnya (‘ilm ‘âmmah),
seperti pengetahuan tentang kewajiban salat lima waktu, puasa pada bulan
Ramadan, haji, dan zakat, dan juga keharaman zina, mencuri, membunuh, dan
meminum khamar. Pengetahuan ini telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan dikenal
luas oleh umat Islam. Ia tidak mungkin dihinggapi kesalahan dalam
periwayatannya, tidak dapat ditakwil, dan tidak boleh diperdebatkan. Kedua
disebut ‘ilm khâshshah, yaitu
pengetahuan tentang masalah-masalah yang tidak fundamental yang tidak ada nashsh-nya dalam al-Qur’an dan juga
dalam Sunnah. Ia memungkinkan untuk ditakwil atau dianalogikan.
Lama setelah masa
al-Syâfi‘î, pemikiran-pemikiran filosofis mulai menangani permasalahan ‘ilm dalam literatur-literatur ushûl
al-fiqh. Diskusi yang asal-usulnya dapat dilacak pada filsafat Yunani dan
ilmu kalam sangat mempengaruhi penanganan atas persoalan qath‘î-zhannî, sebagaimana akan dijelaskan di
bawah. Secara umum pendapat ulama ushul tentang pengertian ilm dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Pendapat pertama menyatakan bahwa ‘ilm
itu sudah jelas dengan sendirinya dan tidak perlu ada definisi, atau bahwa ‘ilm bersifat dharûrî. Pendirian ini dinisbahkan kepada Imâm al-Râzî (w. 606 H).
Pendapat ini didasarkan kepada dua argumen: pertama, bahwa hal selain ‘ilm hanya diketahui melalui ‘ilm. Jika ‘ilm ini juga diketahui melalui hal selain ‘ilm, maka akan terjadi peticio
principi atau daur. Kedua,
pengetahuan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pengetahuan khusus (‘ilm khâshsh) dan pengetahuan yang
merupakan bagiannya yang disebut ‘ilm
muthlaq. Pengetahuan khusus menegaskan bahwa pengetahuan setiap orang akan
eksistensinya adalah dharûrî. Jika ‘ilm muthlaq didapatkan
sebelum ‘ilm khâshsh, maka
konsekuensinya ‘ilm muthlaq juga harus
dharûrî sebagaimana ‘ilm khâshsh. Pendapat kedua menyatakan
bahwa ‘ilm tidak bersifat dharûrî, tetapi sangat sulit
untuk mendefinisikannya. Satu-satunya jalan adalah dengan melakukan pembagian
dan penganalogian. Cara pertama dilakukan dengan membedakan ‘ilm dari hal-hal lain yang
mencampurinya seperti keinginan, kemampuan, dan keyakinan sehingga dapat
diketahui bahwa ‘ilm adalah ungkapan
tentang masalah yang pasti, jelas, dan terang. Adapun cara kedua dilakukan,
misalnya, dengan menganalogikan pengetahuan mata hati dengan mata biasa. ‘Ilm dengan demikian adalah ungkapan
tentang pengambilan bentuk-bentuk yang dapat dinalar dan kemudian merefleksikan
diri seperti pantulan gambar dan bentuk dalam cermin.
Ketiga, ‘ilm bersifat nazharî oleh karenanya dapat
didefinisikan. Pendapat ini merupakan pandangan mayoritas ulama ushul. Mereka
mengusulkan definisi-definisi sendiri yang mereka anggap paling tepat.
Misalnya, al-Syirâzî (w. 476 H) mengartikan ‘ilm
dengan “Pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana seharusnya”.
Al-Amidî (w. 631 H) memberikan definisi sebagai berikut, “‘Ilm adalah ungkapan tentang kualitas yang ada pada seseorang yang
dapat membedakan antara kebenaran-kebenaran makna universal yang tidak mungkin
melahirkan alternatif kebalikannya.”
Pandangan-pandangan
para ulama ushul di atas, jika dapat disederhanakan, menuntut bahwa ‘ilm harus mempunyai sifat kepastian yang
memustahilkan adanya ketidakmenentuan, kebarangkalian atau kontradiksi.
Meskipun dengan membawa
beragam definisi, para ulama ushul pada umumnya membagi pengetahuan (‘ilm) kepada dua, yaitu kekal (qadîm) dan baharu (muhdats). Pengetahuan yang pertama adalah ilmu Allah. Ia
adalah ‘ilm yang satu yang menyangkut
pengetahuan sebagaimana adanya. Ia tidak mungkin dihinggapi perubahan dan
kerusakan, juga tidak disifati dengan dharûrî atau nazharî.
Pengetahuan yang muhdats adalah pengetahuan
makhluk. Pengetahuan ini dapat bersifat dharûrî atau nazharî (disebut
juga muktasab). Dharûrî berarti setiap pengetahuan (makhluk) yang tidak mungkin
dimasuki keraguan atau kesamaran. Ilmu jenis ini dibagi dua: pertama, yang
tidak berkaitan dengan sebab yang mendahului baik sebab yang terindera (mahsûs; yaitu pengetahuan yang
diperoleh dari lima indera) maupun sebab yang tidak terindera (yaitu
pengetahuan yang diperoleh dari berita mutawatir). Adapun nazharî atau muktasab adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui penalaran (nazhar) dan argumentasi (istidlâl).
Pengetahuan ini dibagi dua: pertama, pengetahuan rasional (‘aqlî; yaitu pengetahuan yang tidak membutuhkan petunjuk syar‘) seperti pengetahuan tentang
kebaruan alam, dan kedua pengetahuan syar‘î
(yaitu pengetahuan yang diperoleh dari al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas).
Di bawah pengaruh
diskursus pengetahuan di atas, para ulama ushul kemudian membuat teorisasi atas
konsep qath‘. Pada umumnya, mereka
mengklasifikasikan ‘ilm dalam pengertian
qath‘ kepada dua, yaitu pengetahuan
yang pasti (‘ilm al-yaqîn) dan
pengetahuan yang menenangkan jiwa (‘ilm
al-thuma’nînah).
Pengetahuan yang pertama, atau disebut juga kepastiaan (qath‘) dalam arti khusus, berarti tidak adanya faktor kemungkinan
interpretasi (ihtimâl) secara
mutlak baik yang berasal dari dalil itu sendiri ataupun tidak. Misalnya,
pengetahuan yang pasti yang diperoleh dari ungkapan-ungkapan yang bersifat mufassar dan muhkam (dalam peristilahan aliran ushul Hanafiyyah)
atau nashsh (menurut peristilahan
aliran ushul Mutakallimîn),
serta berita mutawâtir. Pengetahuan ini (‘ilm
al-yaqîn), seperti halnya pengetahuan makhluk (‘ilm muhdats), dibagi menjadi dua, yaitu dharûrî dan muktasab (atau nazharî).
Adapun pengetahuan yang
kedua (‘ilm al-thuma’nînah), atau
disebut juga kepastian (qath‘) dalam
arti umum, berarti tidak adanya faktor ihtimâl
yang berasal dari dalil itu sendiri. Misalnya, pengetahuan pasti (qath‘î)
yang diperoleh dari ungkapan yang bersifat zhâhir,
nashsh, ‘âmm, dan dari hadits masyhûr (menurut aliran Hanafiyyah) serta khâshsh. Kepastian di sini maskudnya
adalah bahwa meskipun ‘ilm atau qath‘ sudah ada namun ia masih
menyisakan sangkaan adanya kesalahan atau kebohongan. Hanya saja, karena
kuatnya sisi kejujuran di samping adanya sangkaan tersebut, maka hal itu
membuat akal budi menjadi tenang.
Berkaitan dengan
kepastian pengetahuan dalam kategori dharûrî, ada satu istilah yang menggambarkan kepastian yang
bersifat prinsipil dan fundamental dalam pengertian keagamaan. Istilah dimaksud
adalah dharûriyyât al-dîn atau mâ ‘ulima min al-dîn bi al-dharûrah (apa yang diketahui secara
pasti dalam agama).
Ia sering disebut juga sebagai dasar-dasar agama (ushûl al-syar‘). Pengetahuan dalam tingkatan ini bernilai mutlak
benar sehingga pengingkaran terhadapnya dianggap telah mengingkari agama itu
sendiri atau dengan kata lain telah keluar dari agama. Oleh karena itu, ia
harus diterima apa adanya, tidak boleh diijtihadi, dan diperdebatkan.
Al-Syâfi‘î menegaskan, “Sedangkan menyangkut hal yang telah ada ketetapan (nashsh) al-Qur’an yang jelas atau sunnah
yang disepakati maka uzur terhadapnya adalah pasti dan tidak boleh meragukan
salah satu dari keduanya dan siapa yang tidak mau menerimanya maka ia diminta
untuk bertaubat.”
Senada dengan al-Syâfi‘î, Ibn Rusyd menyatakan bahwa ada di antara ajaran-ajaran
syari’ah yang harus diyakini sebagai doktrin agama yang fundamental dan tidak
boleh ditakwilkan. Bahkan ia menganggap orang yang mengingkari atau mencoba
menakwilkan ajaran tersebut telah menjadi kafir.
Ketentuan hukum yang
didasarkan atas bukti yang pasti (qath‘î) dan merupakan doktrin mendasar
dalam agama merupakan hal-hal yang berada di luar wilayah ijtihad. Kerja
ijtihad oleh para ulama tidak dimungkinkan untuk menjangkau ketentuan dan
ajaran yang pasti ini. Kebenarannya tunggal dan tidak diperselisihkan lagi dan
penolakan terhadapnya dianggap sebagai perbuatan salah dan dosa.
Adapun istilah zhann dalam literatur-literatur ushûl
al-fiqh mempunyai keterkaitan dengan istilah syakk dan wahm. Baik zhann, syakk maupun wahm mempunyai kesamaan dari segi bahwa ketiganya menafikan adanya
kepastian. Wahm adalah pemberlakuan
salah satu dari dua hal yang mempunyai tingkat kemungkinan yang lemah (marjûh). Syakk (keragu-raguan) adalah pemberlakuan dua hal yang mempunyai
kekuatan sama. Adapun zhann adalah pemberlakuan salah satu dari dua hal
yang mempunyai kemungkinan yang lebih kuat (râjih).
Dengan tepat al-Âmidî mendefinisikan zhann
sebagai, “Ungkapan tentang kelebihan kekuatan (râjih) salah satu dari dua kemungkinan dalam jiwa tanpa
adanya kepastian.”
Bagi al-Râzî, zhann merupakan hal
melebihkan salah satu dari dua kemungkinan yang mempunyai kekuatan, yang
prosesnya terjadi dalam domain kepercayaan. Artinya, tercapainya kepercayaan
‘akan ada’ atau ‘tidak ada’ terjadi secara bersamaan tetapi kepercayaan ‘akan
ada’ lebih jelas baginya.
Zhann memiliki tingkatan-tingkatan yang memberinya ruang agar
kekuatannya bertambah atau berkurang sampai tak terbatas. Jika seseorang
mendengar sesuatu dari orang yang adil maka jiwanya akan cenderung menerima.
Lalu apabila ada orang adil lain yang memberitakan hal serupa sampai melampaui
batas muatawâtir maka zhann tersebut
berubah menjadi ‘ilm atau yaqîn.
Secara statistik dapat dirumuskan bahwa tingkatan yang paling rendah dari zhann
adalah lebih besar dari 0,5. Angka ini (0,5) adalah ukuran statistik untuk syakk. Tingkatan yang lebih rendah dari
0,5 dinamakan wahm. Adapun tingkatan
yang lebih tinggi dari 0,5 tetapi di bawah 1,0 disebut zhann yang lebih atau disebut juga ghalabah al-zhann, al-zhann
al-qawî, atau al-zhann al-muttakhim
li al-yaqîn.
Berkaitan dengan jenis zhann yang
terakhir ini, al-Farrâ’ (w. 458 H) bahwa zhann
tersebut adalah, “kemungkinan yang kuat, karena zhann (dapat) bertambah (kuat) dan bahwa sebagian zhann lebih kuat dari sebagian lain.”
Bukti-bukti hukum yang
tidak pasti (zhannî) oleh para ulama dianggap sebagai wilayah kerja
ijtihad. Norma-norma dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh darinya menjadi
obyek perbedaan di kalangan ulama. Di sini, secara agama tidak dapat dipastikan
siapa yang benar atau salah dan berdosa. Tidak sedikit ulama Ushul yang
mendefinsikan ijtihad melalui kaitannya dengan bukti yang tidak pasti ini.
Pengetahuan yang diperoleh dari kerja ijtihad atas bukti-bukti yang tidak pasti
inilah yang disebut dengan fikih.
Klasifikasi Qath‘î-Zhannî: Tsubût dan Dalâlah
Para ulama ushul
membuat klasifikasi qath‘î-zhannî
dalam kaitannya dengan teks-teks wahyu (nushûsh), berdasarkan kebenaran
eksistensi sumber atau otentisitasnya dan signifikasinya, kepada dua: al-tsubût
dan al-dalâlah. Yang pertama terkait dengan pasti dan tidaknya otentitas teks, sedang
yang kedua berkenaan dengan pasti tidaknya makna teks.
Qath‘î-Zhannî al-Tsubût
Qath‘î-zhannî
al-tsubût atau disebut juga al-wurûd
adalah kepastian dan ke-barangkali-an benarnya eksistensi dan periwayatan sumber.
Yang
menjadi persoalan di sini adalah apakah suatu otoritas hukum – nushûsh dîniyyah (teks-teks agama), dapat
dipastikan eksistensinya atau tidak; apakah teks tersebut diriwayatkan dengan
benar dan meyakinkan bahwa ia memang berasal dari “penyampai” teks, yakni
Muhammad saw.
Kepastian periwayatan (qath‘î al-tsubût) dijumpai dalam berita mutawâtir. Mutawâtir menurut bahasa berarti ungkapan tentang datangnya yang
satu setelah yang lain dengan jeda waktu. Dalam terminologi ulama muslim, mutawâtir berarti berita sekelompok
orang yang keberanarannya dapat dipastikan, oleh karenanya ia mempunyai
kualifikasi ‘ilm. Ia juga berarti
berita sekelompok orang berdasarkan hal yang terindera (mahsûs) melalui kesepakatan yang menafikan kemungkinan
berdusta dikarenakan banyaknya jumlah mereka.
Para ulama ushul
sepakat bahwa berita mutawâtir
kebenarannya bersifat meyakinkan (‘ilm/qath‘).
Namun, mereka berbeda pendapat menyangkut apakah kepastian yang dimiliki berita
mutawâtir bersifat a priori (dharûrî) atau hasil penalaran (nazharî).
Mayoritas ahli hukum (fuqaha) serta mutakallimin Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah berpendapat
bahwa kepastian tersebut bersifat a
priori. Sedangkan al-Ka‘bî, Abû al-Husayn al-Bashrî, dan al-Daqqâq
menilai sebaliknya, bahwa kepastian tersebut adalah nazharî. Al-Ghazâlî meskipun mengakui kepastian tersebut dharûrî tetapi baginya dharûrî berarti bahwa untuk
mencapai kepastian tersebut tidak dibutuhkan adanya perantara (wasîthah) karena perantara sudah ada
dalam pikiran. Jadi, dharûrî bukan berarti tanpa perantara sama sekali. Ada juga ulama
lain, yakni al-Syarîf al-Murtadhâ dan al-Âmidî, yang memilih untuk tidak berpihak pada salah satu dari dua pendirian ini (tawaqquff).
Para ulama ushul
membedakan dua level mutawâtir, yaitu
mutawâtir lafzhî dan mutawâtir ma‘nawî.
Mutawâtir lafzhî adalah kesepakatan
para perawi dalam setiap jenjang periwayatan (thabaqât) mengenai satu riwayat dengan kata-kata yang sama dari
orang yang meriwayatkannya seperti berita tentang tentang negeri dan masa
dahulu dengan versi yang sama. Al-Qur’an termasuk dalam berita jenis ini. Hadits
Nabi pun ada yang termasuk mutawâtir
lafzhî. Bahkan, bagi al-Suyûthî, al-Qâdhî ‘Iyâdh, dan
al-Hâfizh Ibn Hajar, berita jenis ini banyak terdapat dalam
hadits seperti hadits tentang syafaat, Isra Mi’raj,
dan lain-lain. Namun, menurut Ibn Shalâh, mutawâtir lafzhî sangat
jarang bahkan hampir-hampir tidak ada hadits yang termasuk kategori tersebut.
Ia hanya mencantumkan satu hadits, yaitu hadits larangan berbohong atas nama Nabi
(man kadzaba ‘alayya muta‘ammidan
dst). Karena, baginya hadits tersebut diriwayatkan oleh lebih dari seratus
sahabat yang di antaranya ada sepuluh sahabat yang dijanjikan masuk surga.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ibn Hibbân al-Sabtî, al-Nawâwî,
dan al-Hâzimî.
Sedangkan mutawâtir ma‘nawî adalah berita yang
diriwayatkan oleh beberapa perawi dengan redaksi yang berlainan tetapi
mempunyai kandungan yang sama. Menyangkut kategori mutawâtir ini, Muhammad Nizhâm al-Dîn menyatakan bahwa
banyaknya berita yang menyendiri (âhâd)
yang maknanya sama, meskipun hanya secara konsekuensional,
memastikan kebenaran riwayat tersebut seperti berita tentang kedermawanan Hâtim
dan keberanian Ali. Hadits Nabi yang termasuk mutawâtir ma‘nawî dipandang cukup banyak seperti hadits tentang
mengangkat tangan saat berdoa.
Ulama ushul aliran Hanafiyyah
memasukkan juga berita masyhûr dalam
wilayah qath‘î al-tsubût,
meskipun jenis kepastiannya adalah ‘ilm
al-tuma’nînah. Bagi mereka masyhûr adalah
berita yang pada awalnya termasuk berita menyendiri, kemudian menjadi tersebar
sampai ia dinukil oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat dalam
kebohongan. Mereka adalah generasi pasca sahabat dan generasi berikutnya. Bagi
Abû Bakr al-Jashshâsh, kepastian berita ini bersifat meyakinkan (‘ilm al-yaqîn) tetapi melalui penalaran
bukan secara a priori. Di lain pihak,
Isâ ibn Ibbân dan ulama lain menilai bahwa kepastiannya hanya sampai pada “menenangkan
jiwa” (‘ilm al-thuma’nînah) bukannya ‘ilm al-yaqîn. Sehingga, jika ada
pengingkaran terhadap riwayat tersebut, maka pelakunya tidak dianggap kafir
tetapi hanya sesat seperti berita tentang hukuman rajam bagi pezina yang sudah
menikah (muhshan).
Sedangkan zhannî al-tsubût berarti bahwa kebenaran
orisinalitas “teks” tidak bersifat pasti; jadi, hanya mengandung kemungkinan
kuat. Sifat ketidak-pastian ini dapat dijumpai pada berita yang periwayatannya
menyendiri (khabar wâhid atau âhâd). Berita tersebut oleh para
ulama ushul diartikan sebagai berita yang tidak melampaui batas minimal berita mutawâtir. Menurut mayoritas ulama
ushul, berita ini tidak memberikan pengetahuan yang pasti. Namun, jika
dibarengi dengan bukti-bukti kontekstual (qarâ’in)
maka ia akan melahirkan kepastian. Karena, jika bukti tersebut yang berisifat zhannî digandengkan dengan khabar wâhid yang juga bernilai zhannî dalam jumlah yang tak terbatas,
maka berita tersebut tidak saja menjadi qath‘î tetapi juga berubah
menjadi berita mutawâtir.
Sedangkan menurut Ibn Hanbal, Dâwud al-Zhâhirî, Husayn ibn ‘Alî
al-Karâbisî, al-Hârits al-Muhâsibî, dan Ibn Hazm, berita
terisolir (tanpa qarâ’in) bersifat qath‘î.
Apakah
materi yang menjadi kandungan khabar wâhid wajib
diamalkan? Mengenai hal ini para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama menyatakan
bahwa isi berita tersebut wajib diamalkan. Namun, pada poin ini mereka berbeda
pendapat mengenai dasar kewajibannya, apakah berupa wahyu (dalîl sam‘î) atau rasio (dalîl
‘aqlî). Sementara ulama hanya mendasarkan diri pada argumen wahyu, yakni Q.s. al-Hujurât
ayat 6 dan al-Taubah ayat 122. Ibn Hanbal, al-Qaffâl, Ibn Syuraykh, Abû
al-Husayn al-Bashrî dan banyak ulama lain menyatakan bahwa di samping
didasarkan pada wahyu, kewajiban tersebut juga dapat dijustifikasi secara
rasional. Adapun kelompok ulama yang tidak mengakui kewajiban mengamalkan
kandungan khabar wâhid antara
lain al-Qasyânî, al-Râfidhah, dan Ibn Dâwûd.
Mereka menyandarkan diri pada bukti tekstual dari Q.s.
al-Isrâ’
ayat 36, al-An‘âm ayat 116, dan al-Najm ayat 28.
Qath‘î-Zhannî al-Dalâlah
Qath‘î-zhannî al-dalâlah adalah kepastian dan ke-barangkali-an
signifikasi atau makna suatu teks. Kategori ini mempersoalkan apakah nas menunjuk kepada makna yang pasti atau tidak;
apakah pengertian yang dimunculkannya adalah satu-satunya siginifikansi yang
mungkin diperoleh.
Kepastian makna (qath‘î al-dalâlah) adalah penunjukkan pada
makna tertentu yang mesti dipahami darinya, tidak mengandung ta’wîl, dan tidak
ada kemungkinan pemaknaan lain selain makna tersebut.
Kandungan makna yang pasti sebagaimana dikehendaki oleh definisi di atas
terdapat dalam ungkapan-ungkapan nashsh
(menurut aliran Mutakallimin) atau mufassar
dan muhkam (menurut aliran Hanafiyyah). Ketiga-tiganya
dianggap mempunyai tingkat kepastian yang meyakinkan (‘ilm al-yaqîn).
Di kalangan ulama ushul
Mutakallimin, istilah nashsh
mempunyai tiga pemaknaan.
Pertama, sebagaimana yang digunakan oleh al-Syâfi‘î, nashsh tidak saja berarti makna pasti tapi juga yang mengandung
kemungkinan. Penggunaan ini selaras juga dengan pengertian etimologinya. Kedua,
yang merupakan penggunaan yang populer, nashsh
adalah pengertian yang pada dasarnya tidak mengandung kemungkinan pemalingan
makna (ihtimâl) baik yang
dekat maupun yang jauh. Misalnya, bilangan lima adalah nashsh karena ia tidak mungkin diartikan enam. Ketiga, nashsh diartikan sebagai pengertian yang
mengandung suatu ihtimâl yang
diterima dan itu berasal dari suatu dalil. Penggunaan arti yang kedua di atas,
menurut M. Adîb Shâlih, diterima oleh mayoritas ulama ushul Mutakallimin
pada abad ke-6
dan sesudahnya.
Abû Ishâq al-Syîrâzî, yang hidup pada abad ke-5
H,
sebetulnya juga sudah memaknai nashsh
sesuai dengan pemaknaan kedua di atas. Ia mengartikan nashsh sebagai “setiap lafal yang menunjuk pada hukum dengan jelas
dan tidak membawa suatu ihtimâl-pun
di dalamnya”.
Contoh nashsh terdapat dalam Q.s. al-Isrâ’
ayat 32 dan al-An‘âm ayat 151. Menurut ulama, ungkapan yang bersifat pasti (manshûsh) harus dijadikan panduan
sebelum ada dalil lain yang membatalkannya (nâsikh).
Semakna dengan nashsh versi Mutakallimin adalah istilah
mufassar dan muhkam yang digunakan oleh ulama Hanafiyyah. Mufassar adalah “tersingkapnya” sesuatu
yang maksud dan maknanya dapat diketahui tanpa ada kemungkinan takwil. Ia dapat dikenali melalui dua bentuk
artikulasinya. Pertama, melalui susunan kalimatnya sendiri yang sama sekali
meniadakan kemungkinan takwil dan takhshîsh.
Seperti dalam frase mi’ah jaldah
dalam Q.s. al-Nûr ayat 2. Kata mi’ah
merupakan kata yang mufassar karena
ia tidak bisa diartikan lain kecuali seratus. Kedua, melalui penafsiran otentik
(sam‘î), seperti penjelasan (bayân) atas kata yang ambigu (mujmal) atau pengkhususan lafal yang
umum (takhshîsh al-‘âmm). Misalnya,
kata shalâh dalam Q.s.
al-Baqarah ayat 43. Kata tersebut menjadi mufassar
karena telah ada bayân dari Muhammad tentang
tata cara pelaksanaannya. Kata yang mufassar
meskipun tidak memungkinkan untuk ditakwil tetapi bisa dibatalkan
(mansûkh).
Adapun muhkam berarti
peniadaan takwil dan pembatalan (naskh). Atas dasar ini, Alquran menamakan muhkamât sebagai umm al-kitâb, artinya dasar yang menjadi
rujukan sebagaimana ibu bagi anaknya. Tidak adanya
pembatalan dalam
muhkam dapat disebabkan dua
hal. Pertama, karena secara substansial teks memang menunjuk hal tersebut
seperti pada Q.s. al-Anfâl ayat 75. Ini disebut muhkam li ‘ainihi, kepastian makna yang
diperoleh dari teks itu sendiri. Kedua, karena wahyu telah terputus sejak
wafatnya Nabi. Ini disebut muhkam
li ghairihi, kepastian makna yang
diperoleh dari
luar teks.
Konsepsi tentang adanya
kepastian makna kandungan nushûsh
sebagaimana dijabarkan di atas mendapat tantangan dari sebagian ulama ushul.
Kelompok ulama yang terakhir ini menegaskan bahwa kepastian makna dimaksud
sangat jarang ada baik dalam Alquran maupun Sunnah.
Al-Farrâ’ (w. 458 H), yang tampak mendukung pandangan ini, mengemukakan bahwa nashsh bukanlah hal yang tidak ada kemungkinan arti lain (ihtimâl) sama
sekali. Ketiadaan makna yang pasti dalam teks wahyu berbahasa Arab disokong pula
oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606 H) dan Abû Ishâq al-Syâthibî (w. 790 H). Al-Râzî
menyatakan bahwa penyimpulan berdasarkan bukti-bukti kebahasaan didasarkan atas
asumsi-asumsi yang tidak pasti (zhannî), sehingga kesimpulannya pun
hanyalah ketidakpastian.
Dalam al-Muwâfaqât, al-Syâthibî juga secara jelas menegaskan dan mengelaborasi posisi ini.
Ketiadaan
makna yang pasti tersebut dikarenakan kenyataan bahwa untuk memahami
dalil-dalil syar‘î yang berbahasa
Arab mau tidak mau akan dihadapkan pada ihtimâlât
‘asyrah atau sepuluh kemungkinan keberpalingan makna.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut antara lain: riwayat kebahasaan, nahw, sharf, peralihan makna (naql), isytirâk, majâz, idhmâr,
takhshîsh, taqdîm dan ta’khîr, serta tiadanya penolakan logis.
Dengan
adanya ihtimâlât ini,
penunjukkan teks kepada makna tidak akan bersifat pasti (atau zhannî).
Pandangan di atas
ditanggapi balik oleh mayoritas ulama ushul. Mereka menandaskan bahwa nashsh tidak saja dapat diperoleh
melalui pemahaman tekstual tetapi juga dengan bantuan qarâ’in (bukti-bukti kontekstual), baik yang berhubungan dengan
konteks pembicaraan maupun situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Al-Syarîf al-Tilmisânî menyebutkan tiga macam qarâ’in, yaitu al-lafzhiyyah,
al-siyâqiyyah, dan al-hâliyyah.
Istilah qath‘î
dalam penunjukkan signifikasi teks, di samping berarti peniadaan ihtimâl sebagaimana dijelaskan di
atas, dapat juga berarti tiadanya ihtimâl
yang muncul dari dalil atau dengan kata lain “kepastian yang menenangkan hati”
(‘ilm al-thuma’nînah) seperti yang
terdapat dalam lafal-lafal yang bersifat ‘âmm
(tapi belum di-takhshîsh, juga lafal zhâhir-nashsh (menurut pandangan ulama Hanafiyyah),
dan khâshsh. Berkaitan dengan lafal
yang khâshsh, baik ulama Hanafiyyah
maupun Mutakallimin menyatakan bahwa signifikasinya adalah pasti (qath‘î)
dari sisi bahwa ia meniadakan ihtimâl
yang muncul dari dalil. Khâshsh
berarti lafal yang menunjukkan makna satu yang spesifik (munfarid) seperti kata Ahmad, atau menunjukkan beberapa hal yang
jumlahnya terbatas seperti bilangan.
Adapun ketidakpastian
signifikasi suatu teks (zhannî al-dalâlah)
dipahami sebagai penunjukkan lafal atas suatu makna yang memungkinkan untuk ditakwil
dan dipalingkan dari makna semula kepada makna lain.
Jadi, makna tertentu yang ditunjuk tidak bersifat pasti dan meyakinkan. Makna
yang sifatnya barangkali ini menurut ulama Mutakallimin terdapat dalam lafal zhâhir. Kalau lafal nashsh meniadakan kemungkinan ta’wîl,
maka zhâhir adalah sebaliknya. Zhâhir oleh al-Âmidî diartikan sebagai
“lafal yang menunjuk kepada suatu makna sesuai dengan asal pembentukannya atau
makna kebiasaan dan ia mempunyai ihtimâl
lain secara tidak kuat (marjûh).”
Makna yang menurut asalnya bersifat zhannî
adalah seperti terdapat dalam lafal yang ‘âmm.
Sedangkan makna yang menurut kebiasaan adalah seperti makna shalat dalam
syari’ah yang berarti setiap perkataan dan perbuatan tertentu yang diawali
dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Makna yang diketahui secara zhâhir ini harus diamalkan dan tidak
boleh diabaikan kecuali dengan suatu ta’wîl
yang benar.
Istilah zhâhir yang digunakan ulama Mutakallimin
adalah sama dengan istilah zhâhir dan
nashsh yang dipakai ulama Hanafiyyah.
Bagi ulama yang terakhir ini, zhâhir
adalah lafal yang maknanya dapat diketahui dengan hanya melalui pendengaran
tanpa perlu perenungan. Ia dapat menerima pemalingan makna melalu pengkhususan makna dan takwil serta pembatalan. Misalnya, makna yang
diperoleh dari Q.s. al-Baqarah ayat 275. Secara zhâhir, ayat ini mengandung arti halalnya jual beli dan haramnya
riba. Adapun nashsh menurut ulama Hanafiyyah
adalah lafal yang maknanya lebih jelas dari makna zhâhir, yang dikenali berdasarkan konteks pembicaraan (qarînah lafzhiyyah) dari pembicara. Nashsh juga mempunyai ihtimâl yang serupa, meskipun
tidak sekuat, dengan zhâhir.
Misalnya, dari ayat di atas dipahami secara nashsh
bahwa antara ketentuan hukum menyangkut jual beli dan riba adalah tidak sama.
Baik zhâhir maupun nashsh, menurut ulama Hanafiyyah,
wajib diamalkan sampai adanya dalil yang mentakwil, mengkhususkan,
atau membatalkan. Hanya saja, mereka tidak menyepakati kekuatan signifikasinya,
apakah qath‘î atau zhannî. Al-Karkhî, al-Jashshâsh,
al-Dabbûsî, al-Bazdawî, dan mayoritas ulama Mu’tazilah menegaskan bahwa
signifikasi keduanya bersifat pasti dalam pengertian tiadanya ihtimâl yang muncul dari dalil
(atau ‘ilm al-tuma’nînah). Ini
berarti ada kemungkinan pemalingan makna meskipun hanya kemungkinan jauh.
Sedangkan al-Mâturîdî, para ahli hadits, dan sebagian ulama Mu’tazilah menilai
bahwa kewajiban mengamalkannya tidak bersifat pasti (zhannî).
Mengenai signifikasi
lafal ‘âmm, para ulama sepakat bahwa ‘âmm yang sudah dikhususkan (takhshîsh) mempunyai kandungan yang zhannî. Sedangkan jika lafal ‘âmm tersebut belum dikhususkan,
mayoritas ahli hukum dan ulama ushul Mutakallimin berpendapat bahwa
signifikasinya tidak pasti, sementara ulama Hanafiyyah menilai
sebaliknya. Implikasi dari perbedaan ini terlihat pada perbedaan sikap mereka terhadap
kemungkinan adanya pertentangan antara lafal umum dan khusus. Menurut mayoritas
ulama, tidak mungkin ada pertentangan antara keduanya, karena lafal khususlah
yang diprioritaskan sesuai dengan kaidah “mâ min ‘âmmin illâ wa qad
khushshisha” (tidak ada lafal umum kecuali bahwa ia tidak dikhususkan). Sedangkan
bagi Hanafiyyah, pertentangan tersebut dapat terjadi karena
masing-masing dapat bermakna pasti.
Wacana
Qath‘î-Zhannî Pasca-Tradisional
Wacana
tentang konsep qath‘î-zhannî tradisional, seperti diuraikan
di atas, pada hakikatnya memperlihatkan adanya pemaknaan dan pemahaman yang
tidak tunggal di kalangan ulama. Meskipun
mengakui adanya kepastian eksistensi sumber dan pemaknaan dan menerima
pembedaan tegas antara yang qath‘î dan yang zhannî, kesarjanaan
Islam tradisional tetap memperlihatkan ragam perspektif dan dinamika pemahaman menyangkut
konsep ini. Dalam banyak hal, kesarjanaan tradisional ini telah menjadi mapan
dalam struktur kesadaran umat Islam dewasa ini. Upaya pembaruan hukum Islam
yang gencar disuarakan terutama sejak abad ke-20 secara eksplisit atau tidak
telah menjadikan konsep qath‘î-zhannî baik sebagai sarana metodologis
ataupun sasaran kritik untuk tujuan itu. Meskipun berada dalam gelombang
reformasi, mayoritas ahli hukum Islam pada umumnya memperlihatkan kecenderungan
umum tradisional dalam merespon konsep ini. Mereka tetap menerima keberadaan
dan pembedaan kontras antara qath‘î dan zhannî. Wilayah pembaruan
(ijtihad), oleh karenanya, hanya terbatas pada dalil dan ketentuan hukum yang
tidak pasti (zhanniyyât).
Para ulama yang konsen dengan usaha pembaruan hukum seperti Rasyîd Ridhâ
masih tetap percaya pada teori tradisional tentang klasifikasi bukti-bukti dan
ajaran-ajaran yang qath‘î dan yang zhannî. Baginya, upaya ijtihad
hanya bisa diberlakukan terhadap bukti dan ketentuan yang tidak pasti (zhanniyyât).
Menegaskan kembali doktrin klasik, Khallâf membuat klasifikasi dalil dari sisi kepastiannya kepada otentisitas
sumber dan makna. Ketika mengulas ijtihad, ia menyatakan bahwa ijtihad tidak
dimungkinkan terhadap ketentuan yang telah ada teks wahyu yang jelas dan pasti
(lâ masâgha lil-ijtihâd fîmâ fîhi nashsh sharîh qath‘î).
Kepastian dimaksud berlaku baik dalam kaitannya dengan otentisitas sumber
ataupun maknanya. Ijtihad adalah mungkin terhadap hal yang dalilnya tidak pasti
baik otentisitas sumber dan makna ataupun salah satu dari keduanya. Ijtihad
juga terbuka lebar atas peristiwa yang tidak petunjuk wahyunya.
Pengertian dan klasifikasi kepastian seperti ini dalam kenyataannya mendasari
gagasan pembaruan hukum Islam tokoh semisal Yûsuf al-Qaradhâwî atau Wahbah
al-Zuhailî.
Hukum Islam era pasca tradisional, di samping memperlihatkan adanya
kecenderungan yang mapan di atas, ditandai pula oleh beberapa kritik serius
terhadap teori qath‘î-zhannî. Pada umumnya kritisisme ini berangkat dari
perspektif sejarah kritis dan hermeneutika. Seperti tampak pada pemikiran
Fazlur Rahman dan Muhammad Sa‘îd al-‘Asymâwî,
kritisisme tersebut ditandai oleh dua kecenderungan utama. Pertama,
kritik terhadap kepastian otentisitas sumber (qath‘î-zhannî al-tsubût) banyak
tertuju kepada hadis Nabi. Kepastian periwayatan Alquran tidak disangsikan atau
paling tidak diterima apa adanya. Sedangkan mengenai hadis, otentisitasnya
banyak diragukan. Kedua, mereka pada umumnya tidak percaya pada adanya
teks agama yang secara mandiri menunjukkan makna yang pasti (qath‘î
al-dalâlah). Makna sebuah teks sangat tergantung kepada konteks yang
melahirkannya. Konteks lahirnya teks, baik mikro maupun makro, memberikan
pengaruh penting terhadap pemahamannya. Yang agaknya menjadi ajaran yang
memiliki nilai kepastian adalah prinsip atau dasar yang melandasi hukum agama.
Tetapi hal inipun dipandang pasti hanya sejauh tuntutan hasil ijtihad, bukan
kepastian dalam paradigma tradisional. Khaled Abou El Fadl, yang pada dasarnya mempunyai
kecenderungan yang tidak berbeda, bahkan tetap mengkritisi setiap klaim
penutupan makna yang berakibat pada otoritarianisme. Kepastian doktrin baginya
tetap bisa diterima asalkan itu adalah hasil maksimal dari ijtihad yang
memenuhi lima prasyarat keberwenangan, yaitu kejujuran, kesungguhan,
kemenyeluruhan, rasionalitas dan pengendalian diri. Akan tetapi klaim ini tidak
mengizinkan setiap penutupan makna.
Konsepsi yang agak berbeda ditawarkan oleh Muhammad Syahrûr.
Ia mengakui kepastian otentisitas Alquran. Alquran (al-Tanzîl al-Hakîm)
sebagaimana yang dibaca saat ini adalah sama dengan Alquran yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. Terkait dengan
hadis, konsennya lebih kepada kritik matan, dengan konsekuensi bahwa sebagian
hadis diragukan kesahihannya karena memuat matan yang cacat. Dalam hal makna (dalâlah),
Syahrûr secara radikal mengoreksi semua kategori pemahaman kebahasaan
yang selama ini menunjang doktrin tradisional. Dengan mengenyampingkan
signifikansi konteks pewahyuan, Syahrûr melihat keharusan ijtihad terhadap teks
Alquran. Alquran adalah teks yang pasti atau dalam kondisi berada (kaynûnah),
sedangkan manusia dengan ijtihadnya selalu dalam kondisi berproses (sayrûrah)
dan menjadi (shayrûrah). Oleh karena itu, ijtihad terhadap Alquran akan
mungkin berbeda dari satu kurun ke kurun lainnya. Sehingga penutupan makna
menjadi mustahil; tidak ada satu tafsir pun yang dapat menjangkau keseluruhan
makna Alquran. Bahkan Sunnah Nabi pun hanyalah model ijtihad pertama
terhadapnya.
Kritik serius lain terhadap problem kepastian epistemologis ini
dikemukakan oleh Jasser Auda. Berangkat dari pendekatan sistem, ia mengkritik
penetapan makna yang pasti (nashsh) yang selama ini dikembangkan ulama
Ushul, begitu juga terhadap klaim kepastian historis (qath‘î al-tsubût).
Baginya, bukti-bukti individual tidak dapat menghasilkan kepastian. Konteks
sosiologis dari bukti tersebut dapat meruntuhkan klaim kepastian. Kepastian
dalam perspektif tradisional, menurut Auda, sangat dipengaruhi oleh filsafat
Yunani yang saat ini sudah usang. Menurut Auda, kepastian yang selaras dengan
teori sistem dapat digambarkan seperti spektrum. Alih-alih oposisi biner antara
yang pasti dan yang tidak, Auda mengajukan spektrum kepastian (a spectrum of
certainties) untuk setiap bukti; semakin bertambah bukti yang diajukan,
semakin besar kepastian yang diperoleh.
Penutup
Sebagai bahasan
penting epistemologi hukum Islam, qath‘î-zhannî
merepresentasikan basis teoritis radikal yang sedari awal telah mengundang
ragam pandangan. Meskipun disepakati akan arti pentingnya sebuah kepastian
epistemologis hukum Islam, bagaimana kepastian ini dicabarkan dan diwujudkan
dalam bangunan hukum Islam masih menjadi perdebatan.
Bahasan
di atas memperlihatkan bagaimana konsep qath‘î-zhannî sejak awal telah
menjadi bahasan khas ushûl al-fiqh. Literatur ushûl al-fiqh yang awal menggunakan istilah ‘ilm untuk mengacu kepada konsep kepastian
pengetahuan agama. Penulis-penulis ushûl al-fiqh klasik kemudian menjabarkan
konsep ‘ilm di bawah pengaruh kesarjanaan Kalam. Cabaran tersebut dalam
perkembangan berikutnya dirumuskan kembali secara utuh dan mendapat uraian yang
lebih matang. Teorisasi kepastian epistemologis hukum Islam kemudian diwadahi
dalam pembedaan penting, yaitu antara qath‘î-zhannî al-tsubût dan qath‘î-zhannî
al-dalâlah. Pembedaan ini terefleksikan secara jelas dalam bahasan
dalil-dalil hukum dan kaidah-kaidah ushuliyyah.
Kesarjanaan hukum Islam tradisional menunjukkan ragam
pemahaman terhadap konsep tersebut. Perkembangan
hukum Islam pasca tradisional tampaknya memperlihatkan serangan serius. Banyak
kritik dan tawaran pemikiran yang menantang kemapanan konsepsi tradisional
tentang kepastian epistemologis hukum Islam ini.
Pustaka Acuan
Rofii, Ahmad,
“Kepastian Epistemologis Hukum Islam: Kritik al-Syâthibî terhadap Konsep Qath‘î-Zhannî”
dalam al-Manāhij Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. VII, No. 1, (Januari 2013).
Syâthibî, al-, Abû
Ishâq, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‘ah, diedit oleh ‘Abd Allâh
Darrâz, Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1975.