DINAMIKA PERWAKAFAN DALAM
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM,
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
DAN NEGARA-NEGARA MUSLIM
Pendahuluan
Dalam persepektif hukum
Islam (fikih) wakaf adalah institusi ibadah sosial yang tidak memiliki
rujukan ekplisit dalam aI-Qur’an dan As-Sunnah. Ulama berpendapat bahwa
perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan kebaikan (al-
Khayr).  Allah berfirman (Q.s. al-Hajj
[22]: 77) yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang
beriman ruku’lah, dan sujudlah, serta beribadahlah kamu sekalian kepada
Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan."  
Kehadiran KHI ini
dilatarbelakangi karena ketidakpastian dan kesimpangsiuran putusan PA terhadap
masalah-masalah yang menjadi kewenangannya, disebabkan dasar acuan  putusannya adalah pendapat para ulama yang
ada dalam kitab-kitab fikih, yang sering berbeda tentang hal yang sama antara
yang satu dengan lainnya. Sehingga sering terjadi putusan yang berbeda antara satu
PA dengan PA lainnya dalam masalah yang sama. Tema utama
penyusunan KHI ialah mempositifkan hukum Islam di Indonesia, yang dijadikan
pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya sehingga terjamin adanya
kesatuan dan kepastian hukum. Sebab untuk dapat berlakunya hukum Islam di
Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum dan masyarakat.  
Dengan lahirnya KHI, semua
hakim di lingkungan PA diarahkam kepada persepsi penegakan hukum yang sama. KHI terdiri atas
tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku
III tentang Perwakafan. Pasal-pasal hukum perkawinan dalam Buku I yang terdiri
dari 170 pasal, telah memuat materi hukum yang rinci. Di samping itu, selain
Buku I KHI juga telah ada UU lain yang mengatur tentang perkawinan, seperti UU Nomor
1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975. Berbeda dengan hukum kewarisan dalam
Buku II yang begitu singkat jika dibandingkan dengan hukum perkawinan. Hukum
kewarisan hanya terdiri dari 23 pasal (Pasal 171-193). Hukum perwakafan dalam
Buku III juga singkat, yaitu 15 pasal, namun hukum perwakafan telah ada
perundang-undangan lain yang mengaturnya, yaitu PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 
Berangkat dari uraian di
atas, penulis berpendapat bahwa Buku III KHI ini tampaknya memerlukan
penjelasan dan evaluasi lebih lanjut, karena banyak hal-hal yang belum jelas
dan belum dijelaskan. Dalam konteks inilah kita
dituntut perlu mengkaji ulang ajaran wakaf ini. Tulisan
berikut secara deskriptif analitik menyajikan pembahasan  dengan mengemukakan pembahasan secara garis
besar mengenai sisi akademis dan praktisnya. Hal ini dikaitkan dengan tujuan
dari penyusunan KHI itu sendiri, yaitu untuk terciptanya kesatuan pemahaman
menuju kesatuan dan terciptanya kepastian hukum (unifikasi hukum), disamping
juga sebagai upaya untuk membuat ketetapan hakim sebagai ketetapan yang sama
dengan putusan Pengadilan umum. 
Konsep Wakaf dalam Hukum Ekonomi Syari’ah
Kata Wakaf berasal dari
bahasa Arab waqafa yang menurut bahasa berarti “menahan” atau “berhenti”. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata wakaf diberi arti sebagai sesuatu yang
diperuntukan bagi kepentingan umum sebagai derma atau untuk kepentingan yang
berhubungan dengan agama, seperti tanah wakaf disediakan untuk madrasah atau
masjid. 
1.        
Menurut Mażhab Fikih 
Sejak dulu telah
terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian wakaf
karena memang
belum ada satu pengertian mengenai hal itu yang disepakati. Akibat perbedaan
dalam memberi pengertian wakaf tersebut pada akhirnya menimbulkan perbedaan
akibat hukum yang ditimbulkan. Bukan sekedar berbeda dalam hal redaksi. Untuk
menambah cakrawala pengetahuan, berikut dikemukakan pengertian wakaf dari para
Fuqaha dalam 4 mażhab, yaitu: 
a.    
Menurut Ulama Hanafiyah
Wakaf  bermakna “menahan benda yang statusnya tetap
milik si wakif dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja”. Berdasarkan
definisi itu maka pemilikan harta wakaf menurut Abu hanifah tidak lepas dari si
wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si
wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang
timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Oleh karena itu, mazhab
Hanafi mendefinisikan wakaf dengan ”tidak melakukan suatu tindakan atas suatu
benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya
kepada suatu pihak kebajikan  (social),
baik sekarang maupun akan datang”. 
Berkenaan dengan hal tersebut, Imam Abu Hanifah memberikan pengecualian
pada tiga hal, yakni wakaf masjid, wakaf yang ditentukan oleh keputusan
pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal yang tesebut, yang dilepaskan
hanya manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh.
Terhadap wakaf masjid, menurut Imam Hanafi, apabila seseorang
mewakafkan hartanya untuk kepentingan masjid, atau seseorang membuat pembangunan
dan diwakafkan untuk masjid, maka status wakafnya berbeda; karena seseorang
berwakaf untuk masjid, sedangkan masjid itu milik Allah, maka secara spontan
masjid itu berpindah menjadi milik Allah dan tinggalah kekuasaan si wakif dalam hal ini.  
Sedangkan bagi wakaf yang ditentukan oleh keputusan pengadilan,
apabila terjadi suatu sengketa tentang harta wakaf, dan pengadilan memutuskan
bahwa harta itu menjadi harta wakaf, maka tidak dapat diktarik lagi oleh orang
yang mewakafkannya atau ahli warisnya, setelah adanya putusan hakim yang tetap.
Adapun wakaf wasiat, apabila seseorang diwaktu masih hidupnya membuat wasiat,
jika ia meninggal dunia maka harta yang telah ditentukannya menjadi wakaf. Maka
dalam contoh seperti ini kedudukannya sama dengan wasiat.
Abu Hanifah berpendirian seperti itu dengan menggunakan dalil
sebuah hadits Rasulullah yang di riwayatkan oleh Dar al-Quthni dari Ibnu Abbas,
“La Habasa ‘an Faraidillah” (tidak ada penahanan harta/habsa dalam
hal-hal yang sudah ada ketentuannya).
b.    Menurut
Ulama Malikiyah
Wakaf bermakna
“menjadikan manfaat bagi benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa, atau
hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan
berjangka waktu, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh yang mewakafkan”. 
Mazhab Maliki
bependapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang
dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif
berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali
wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq
(penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan
hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. 
Wakaf dapat dilakukan
dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan
pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan
secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan
kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap
menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan
karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf 
kekal (selamanya).
Pendapat mazhab Maliki ini sepintas sama dengan Abu Hanifah.
Akan tetapi, Maliki menyatakan tidak boleh mentransaksikannya atau
men-tasarruf-kannya, baik dengan menjualnya, mewariskannya atau menghibahkannya
selama harta itu diwakafkan. Menurutnya, boleh wakaf untuk waktu tertentu,
bukan sebagai syarat bagi Maliki selama-lamanya. Apabila habis jangka waktu
yang telah di tentukan, maka boleh mengambilnya lagi, walaupun benda itu untuk
masjid.
Wakaf menurut interpretasi ulama Malikiyah, tidak terputus hak si
wakif terhadap benda yang diwakafkan. Adapun yang terputus itu hanyalah dalam
hal bertasarruf. Malikiyah beralasan dengan hadits Ibnu Umar. Ketika Rasulullah
menyatakan, “jika kamu mau, tahanlah asalnya dan sedekahkanlah hasilnya”. Dari
kalimat ini menurut Maliki adalah isyarat dari Rasul kepada umat untuk
mensedekahkan  hasilnya saja.
c.         
Menurut Ulama Syafi‟iyah 
Wakaf bermakna “Menahan
harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang, dan barang itu
lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang
diperbolehkan oleh agama”. 
d.        
 Menurut Ulama Hanabilah 
Wakaf bermakna “menahan
kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan
tetap utuhnya harta itu sedangkan manfaatnya dimanfaatkan pada suatu kebaikan
untuk mendekatkan diri kepada Allah”.  
Mengacu kepada beberapa
pendapat di atas, Syafi’i dan Ahmad berpandangan bahwa wakaf adalah melepaskan
harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur
perwakafan. Dalam hal ini, wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta
yang diwakafkan, seperti: perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada
yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang
diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan
manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ’alaih (yang diberi
wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, di mana wakif tidak dapat melarang
penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadhi
berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ’alaih. Oleh karena
itu, mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah “tidak melakukan suatu tindakan
atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”.
Menurut Imam
Al-Syafi’i harta yang diwakafkan terlepas dari si wakif menjadi milik Allah dan
berarti menhan harta untuk selama-lamanya. Karena itu tidak boleh wakaf yang
ditentukan jangka waktunya seperti yang dibolehkan Maliki. Bagi Syafi’i,
disyaratkan benda yang diwakafkan itu tahan lama, tidak cepat habis seperti makanan. Alasannya ialah hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu
Umar tentang tanah di Khaibar. Imam Al-Syafi’i juga memahami bahwa tindakan
Umar menyedekahkan hartanya dengan tidak
menjual, mewariskannya, dan menghibahkannya, juga sebagai hadits karena Nabi
melihat tindakan Umar itu dan Rasulullah ketika itu hanya diam. Maka diamnya
Rasul dapat ditetapkan sebagai hadits takriry, walaupun telah didahului oleh
hadits Qauly.
Berpijak dari
pengertian yang dikemukakan fukaha tersebut, paling tidak dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat dua pandangan di dalam memberikan pengertian wakaf. Kedua
pengertian tersebut sangat bertolak belakang akibat hukumnya, yaitu menurut
ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah di satu pihak dan menurut Ulama Syafiiyah di
pihak lain. Pendapat pertama berakibat hukum bahwa benda wakaf tidak
mengakibatkan barang yang diwakafkan keluar dari kepemilikan wakif, sedangkan
pendapat kedua menyatakan bahwa wakaf dapat mengakibatkan yang diwakafkan keluar
dari kepemilikannya. 
Adapun
pengertian wakaf secara umum juga muncul dari tradisi Islam. Dalam istilah lain
sering disebut dengan Shadaqah Jariyah. Oleh karena memang dianjurkan
oleh syariat Islam, wakaf kemudian menjadi sesuatu yang umum dalam kehidupan
masyarakat Indonesia dan tidak hanya dilakukan oleh warga Muslim. Dalam
beberapa kasus, praktik wakaf juga dilakukan oleh non-Muslim.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa wakaf orang non-muslim untuk kepentingan
apapun adalah tidak sah. Sementara Menurut mazhab Maliki wakaf orang non-muslim
selain untuk masjid adalah sah. Dan menurut mazhab Syafi’i dan Hambali wakaf
mereka (non-muslim) apapun peruntukkannya adalah sah.
Lebih Lanjut, menurut kalangan Syafi’i, non-muslim yang berwakaf ataupun
bersedekah mendapatkan pahala hanya di dunia.
 
Wakaf Menurut Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia
Dalam tata hukum
Indonesia, wakaf telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan
sebagai berikut:
a.         
Menurut PP 28 Tahun 1977 
Dalam ketentuan Umum
Wakaf diberi pengertian sebegai berikut: 
“Perbutan hukum
seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang
berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran. 
b.        
Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 
Dalam ketentuan umum wakaf diberi pengertian
sebagai berikut:
“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanaya atau jangka waktu tertentu, sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah.”  
2.        
Wakaf Menurut Kompilasi
Hukum Islam( KHI ) 
Sebagaimana termuat
dalam BUKU III KHI, pada Pasa 215 ayat (1) dijelaskan dengan redaksi:
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagaian dari benda miliknya
dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”. 
Perwkafan sebagaimana diatur oleh KHI pada dasarnya sebagian besar
mempunyai kemiripan dengan apa yang telah diatur oleh perundang-undangan yang
telah ada sebelumnya (PP Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik).
Hanya saja PP Nomor 28 Tahun 1977 terbatas pada perwakafan tanah milik,
sedangkan dalam KHI memuat tentang perwakafan secara umum, yang mencakup benda
bergerak dan benda tidak bergerak yang mempunyai daya tahan yang tidak hanya
sekali pakai dan bernilai menurut Islam. 
Dalam beberapa hal merupakan penegembangan dan penyempurnaan
pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islam. Oleh karena itu, dalam
perkembangan hukum di Indonesia jelas mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam
yang disesuaikan dengan budaya dan tradisi bangsa Indonesia, khususnya dalam
masalah perwakafan. maka wakaf secara hukum yang terdapat dalam fikih klasik
dengan mengikuti mazhab fikih yang empat, terdapat perbedaan dengan pola hukum
Islam gaya Indonesia yang terdapat dalam KHI.  
Pasal 215 ayat (2) KHI dan Pasal 1 ayat (2) PP 28 Tahun 1977
disebutkan bahwa Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan benda miliknya. Syarat-syaratnya
dikemukakan dalam Pasal 217. Dalam kaitan ini, tidak ada ketentuan yang
mengharuskan seorang wakif haruslah seorang muslim, Oleh sebab itu, seorang nonmuslim-pun dapat melakukan
wakaf, sepanjang ia melakukannya sesuai dengan ketentuan ajaran Islam dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Dalam beberapa kitab klasik yang ditulis oleh para ulama dari berbagai
penganut mazhab menyatakan bahwa, ada dua model wakaf. Pertama, wakaf
khairi (umum), ialah mewakafkan sesuatu yang manfaatnya untuk kepentingan
umum tanpa ditentukan. Kedua, wakaf ahli (keluarga), ialah
mewakafkan sesuatu yang manfaatnya untuk kepentingan tertentu atau keluarga.
Dengan kata lain diperuntukan bagi anak cucu atau kaum kerabat, atau fakir
miskin.  Sementara dalam
KHI hanya terdapat wakaf khairi (umum) dan tidak memeperbolehkan wakaf ahli.
Hal ini atas dasar ijtihad bersama (ijtihad jama’i) dikalangan ulama dan
pemikir hukum Islam mempertimbangkan kepentingan public (maslahah al-ammah)
tidak mencantumkan wakaf ahli (keluarga), mengingat akses negatifnya  
Menurut Nazaroedin Rachmat, wakaf
ahli banyak diperaktekan di beberapa Negara Timur Tengah. Setelah beberapa
tahun, ternyata praktik wakaf ahli ini menimbulkan permasalahan. Banyak
diantara mereka yang menyalahgunakan, misalnya: (1) menjadikan wakaf sebagai cara
untuk menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan pada ahli waris yang
berhak menerimanya, setelah wakif meninggal dunia; dan (2) Wakaf ahli dijadikan
sebagai alat untuk mengelak tuntutan kreditur atas utang-utang yang dibuat
si-wakif sebelum mewakafkan tanah (kekayaan) nya. 
Pasal 215 ayat (4) disyaratkannya “harta wakaf (obyek wakaf) baik
benda bergerak dan benda tidak bergerak itu yang memiliki daya tahan lama dan
bernilai menurut ajaran Islam” agar benda wakaf tersebut dapat dimanfaatkan
untuk jangka panjang, tidak hanya sekali pakai. Syarat harta wakaf menurut
versi KHI ini merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan,
sitaan, dan sengketa (Pasal 217 ayat (3)).
Pendapat ulama mazhab tidak terdapat persyaratan yang mengharuskan
bagi yang memberi wakaf (wakif) harus disaksikan oleh minimal dua orang
dan dicatat secara administratif, sebab dalam hukum Islam menganggap harta yang
diwakafkan sepenuhnya adalah milik Allah dan yang memberi wakaf adalah
semata-mata demi mengharap riḑa Allah Swt. Berbeda halnya dengan ketentuan yang terdapat dalam
KHI. Pasal 218 KHI yang
menyatakan bahwa: “Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara
jelas dan tegas kepada Nażir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW), yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Ikrar Wakaf, dengan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. 
Penulis dapat memahami bahwa pendapat para ulama mazhab
menjelaskan bahwa pelaksanaan perwakafan tidak terikat dengan birokrasi atau
administratif. Sebab harta yang diwakafkan sepenuhnya milik Allah. Jika nażir
telah memenuhi syarat dan demi kebaikan umum, maka pelaksanaannya tidak terikat
dengan orang lain, sepenuhnya merupakan ijtihad nażir yang sesuai dengan
tuntunan Islam.  Berbeda halnya dengan
harta wakaf menurut KHI yang mensyaratkan harus didaftarkan kepada pejabat yang
berwewenang. Dalam Pasal 224 KHI
menyebutkan “fungsi pendaftaran benda wakaf ini pada prinsipnya adalah untuk
memperoleh kepasitian hukum dan jaminan mengenai benda yang diwakafkan”
Pasal 227 KHI menjelaskan secara lebih rinci bahwa:
“Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nażir dilakukan
secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dan
Pengadilan Agama yang mewilayahinya”. Adapun yang menjadi permasalaahan baru
apabila dicermati secara tekstual, dalam pengawasan dan bimbingan terhadap
benda wakaf. Pasal tersebut melibatkan Majelis Ulama indonesia (MUI) kecamatan.
Oleh karena itu secara eksplisit perlu segera
membentuk Majlis Ulama kecamatan di-tiap wilayah kecamatan, terutama wilayah yang terdapat benda
wakaf. Sedangkan keberadaan MUI kecamatan masih
dipertanyakan eksistensinya.
Perkembangan Hukum Wakaf di Negara-negara Muslim
1.        
Mesir
Mesir adalah salah satu negara yang memiliki harta wakaf cukup
banyak karena sejak masuknya Islam di negara itu, pemerintahnya selalu mengembangkan harta wakaf. Salah satu
diantara harta wakaf yang sangat besar dan cukup dikenal di dunia Islam adalah
Universitas al-Azhar yang sampai sekarang masih diminati oleh mahasiswa dari seluruh
dunia. Universitas ini didirikan pada masa Khilafah Fathimiyyah. Perkembangan
pengelolaan wakaf di Mesir sejak awal memang sangat mengagumkan, bahkan
keberhasilannya dijadikan contoh bagi pengembangan wakaf di negara-negara
lain. Wakaf di Mesir dikelola oleh Badan Wakaf Mesir yang berada di bawah Wizaratul
Auqaf (Kementerian Wakaf). 
Salah satu diantara kemajuan yang telah dicapai oleh Badan Wakaf
Mesir adalah berperannya harta wakaf dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Hal
ini disebabkan benda yang diwakafkan beragam, baik berupa benda tidak bergerak
maupun benda bergerak, yang dikelola secara baik dan benar. Pengelolaannya
dilakukan dengan cara menginvestasikan harta wakaf di Bank Islam (jika berupa
uang) dan berbagai perusahaan, seperti Perusahan Besi dan Baja. 
Untuk menyempurnakan pengembangan wakaf, Badan Wakaf membeli Saham
dan Obligasi dari perusahaan-perusahaan penting. Hasil pengembangan wakaf yang
ditanamkan di berbagai perusahaan tersebut disamping untuk mendirikan
tempat-tempat ibadah dan lembaga-lembaga pendidikan, juga dimanfaatkan
untuk membantu kehidupan masyarakat (fakir miskin, anak yatim, dan para
pedagang kecil), kesehatan masyarakat (mendirikan rumah sakit dan menyediakan
obat-obatan bagi masyarakat), pengembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai
bidang, dan berbagai pelatihan. Dengan dikembangkannya potensi wakaf secara
produktif, wakaf di Mesir dapat dijadikan salah satu lembaga yang diandalkan
pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Sebagaimana diungkap Uswatun
dengan mengutip dari Tarikh al-Daulah al-Islamiyyah dan Idarah wa
Tasmir Mumtalakat al-Auqaf. 
2.        
Saudi Arabia
Saudi Arabia juga mempunyai semacam Badan Wakaf yang diberi nama
Majelis Tinggi Wakaf. Badan itu ada dibawah Kementerian Haji dan Wakaf. Majelis Tinggi Wakaf ini
diatur dengan Ketetapan No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan Surat
Keputusan Kerajaan No. M/ 35, tanggal 18 Rajab 1386. Adapun wewenang Majelis
Tinggi Wakaf antara lain mengembangkan wakaf secara produktif dan
mendistribusikan hasil pengembangan wakaf kepada mereka yang berhak. Sehubungan
dengan hal itu, Majelis Tinggi Wakaf juga mempunyai wewenang untuk membuat
program pengembangan wakaf, pendataan terhadap aset wakaf serta memikirkan cara
pengelolaannya, menentukan langkah-langkah penanaman Modal dan
langkah-langkah pengembangan wakaf produktif lainnya, serta mempublikasikan
hasil pengembangan wakaf kepada masyarakat.  
3.        
Turki
Di Turki, wakaf dikelola oleh Direktorat Jenderal Wakaf. Dalam
mengembangkan wakaf, pengelola melakukan investasi diberbagai perusahaan,
antara lain: Ayvalik and Aydem Olive Oil Corporation; Tasdelen Healthy Water
Corporation; Auqaf Guraba Hospital; Taksim Hotel (Sheraton); Turkish Is
Bank; Aydin Textile Industry; Black Sea Copper Industry; Contruction and
Export/ Import Corporation; Turkish Auqaf Bank. Hasil pengelolaan
wakaf itu kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan,
pemberdayaan ekonomi rakyat, dan kepentingan sosial lainnya.  
Dalam berbagai penelitian
tentang sejarah wakaf disebutkan, bahwa sepanjang sejarah Islam, wakaf telah
memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan masyarakat, di
antaranya:
a.        
Hampir 75% seluruh lahan yang dapat ditanami di Daulah Khilafah
Turki Usmani merupakan tanah wakaf;
b.       
Setengah (50 %) dari lahan di Aljazair, pada masa penjajahan
Perancis pada pertengahan abad ke 19 merupakan tanah wakaf;
c.        
Pada periode yang sama, 33 % Tanah di Tunisia merupakan tanah
wakaf;
d.       
Di Mesir sampai dengan tahun 1949, 12,5 % lahan pertanian adalah
tanah wakaf;
e.        
Pada Tahun 1930 di Iran, sekitar 30 % dari lahan yang ditanami
adalah lahan wakaf. 
Sebuah penelitian yang
meliputi 104 yayasan Wakaf di Mesir, Suriah, Turki, Palestina dan Anatoly Land,
menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 1340-1947, bagian terbesar dari asset wakaf
adalah dalam bentuk real estate, yaitu mencapai 93 % dengan rincian sebagai berikut :
a.         
58 % dari wakaf, terkonsentrasi di kota-kota besar yang terdiri
dari toko, rumah dan gedung;
b.        
35 % dari wakaf terdapat di desa-desa yanag terdiri dari lahan
pertanian, perkebunan dan tanaman lainnya;
c.         
7 % sisanya merupakan dalam bentuk uang (wakaf tunai). 
Perkembangan Hukum Wakaf di Indonesia
Perkembangan wakaf di Indonesia dapat dibagi
dalam 3 kurun waktu, yaitu:
1.        
Periode Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia
Wakaf merupakan suatu lembaga ekonomi Islam yang eksistensinya
sudah ada semenjak awal kedatangan Islam di Indonesia. Sejak zaman awal telah
dikenal wakaf masjid, wakaf langgar/surau dan wakaf tanah pemakaman di berbagai
wilayah Indonesia. Selanjutnya muncul wakaf tanah untuk pesantren dan madrasah
atau wakaf tanah pertanian untuk membiayai pendidikan Islam dan wakaf-wakaf
lainnya.
Lembaga wakaf yang diperaktekan di berbagai Negara, juga dipraktikkan
di Indonesia sejak pra Islam datang ke-Indonesia. Walau tidak sepenuhnya persis dengan ajaran Islam, namun spiritnya sama dengan syari’at wakaf. Hal
ini dapat dilihat dari kenyataan yang sebagian berlangsung sampai
sekarang di berbagai tanah air. Sebagaimana dikemukakan Rachmat Djatmika, seperti: Di Banten
terdapat “Huma Serang” (ladang yang dikelola bersama dan hasilnya digunakan
untuk kepentingan bersama), Di Lombok, terdapat “Tanah Pareman”, Di Jawa Timur
terdapat tanah “Perdika”, bentuk ini hampir menyerupai wakaf kelurga (al waqfu al Ahly)
dari segi fungsi dan manfaatnya. 
Lembaga wakaf di Indonesia sering dilakukan oleh umat Islam,
sebagai konsekuensi logis banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
Sekalipun lembaga wakaf merupakan salah satu pranata Islam, tetapi seolah-olah
sudah merupakan kesepakatan diantara para ahli hukum bahwa perwakafan merupakan
masalah dalam Hukum Adat Indonesia, sebab diterimanya lembaga berasal dari
suatu kebiasaan dalam pergaulannya. Sejak itu
persoalan wakaf telah diatur dalam Hukum Adat yang sifatnya tidak tertulis
dengan mengambil sumber dari Hukum Islam. 
Sewaktu Belanda mulai menjajah Indonesia lebih kurang tiga abad
yang lalu, maka wakaf sebagai lembaga keuangan Islam telah tersebar di berbagai
persada nusantara Indonesia. Dengan berdirinya Priesterrad (Rad Agama/
Peradilan Agama) berdasarkan Statsblad Nomor 152 pada tahun 1882, maka dalam
praktek “yang berlaku, meliputi masalah pernikahan, perceraian, mahar, nafkah,
kedudukan anak, perwalian, warisan, hibah, sodakoh, wakaf dan baitulmal”   menjadi salah satu wewenangnya, disamping
hal-hal lain yang dipandang berhubungan erat dengan agama Islam. Pengakuan Belanda
ini berdasarkan kenyataan bahwa penyelesaian sengketa mengenai masalah wakaf
dan lain-lain yang berhubungan dengan hukum Islam diajukan oleh masyarakat ke
Mahkamah Syar’iyyah atau Peradilan Agama lokal dengan berbagai nama di berbagai
daerah di Indonesia. 
Pada masa ini (baca: penjajah), telah dikeluarkan berbagai
peraturan yang mengatur tentang wakaf, antara lain:
a)        
SE (Surat Edaran) Sekretaris Govememen pertama tanggal 31 Januari
1905 Nomor 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht
op den bouw van Mohammaedaansche bedehuizen;
b)       
SE Sekretaris Govememen tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361 yang
termuat dalam Bijblad 1931 Nomor 125/3 tentang Toezicht van de Regeering op
Mohammaedaansche, Vridagdiensten en wakaf;
c)        
SE Sekretaris Govememen pertama tanggal 24 Desember 1934 Nomor:
3088/ A sebagaimana termuat dalam Bijblad tahun 1934 Nomor 13390 tentang Toezicht
van de Regeering op mohammaedaansehe bedehuize, Vrijdag diensten en wakafs.
2.        
Periode Pascakemerdekaan Republik Indonesia 
Peraturan-peraturan tentang perwakafan yang dikeluarkan pada masa
penjajah Belanda, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agusus 1945 masih
tetap berlaku berdasarkan bunyi Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.  Maka
untuk menyesuaikan dengan Negara Republik Indonesia dikeluarkan petunjuk
Menteri Agama tanggal 22 Desember 1953 tentang Petunjuk-petunjuk mengenai
wakaf, menjadi wewenang Bagian D (Ibadaha Sosial), Jawatan Urusan Agama, dan
pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan SE Nomor 5/D /1959 tentang
Prosedur Perwakafan Tanah. 
Dalam rangka penertiban dan pembaharuan sistem Hukum Agraria,
masalah wakaf mendapat perhatian dari pemerintah sebagaimana termaktub dalam
Pasal 49 UU Agraria Nomor 5 Tahun 1960: 
a.         
Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dengan hak pakai;
b.        
Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan
pemerintah.
Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, yang pada intinya
menyatakan benda wakaf adalah hukum agama yang diakui oleh hukum adat di
Indonesia, disamping kenyataan bahwa hukum adat (al-‘uruf) adalah salah
satu sumber komplementer hukum Islam. Sehingga dalam Pasal 29 ayat (1) UU yang
sama dinyatakan secara jelas tentang hak-hak tanah untuk kepelruan suci dan
sosial. 
3.        
Periode Reformasi 
Untuk memberikan ketetapan dan kepastian hukum, tentang tanah
wakaf, sesuai  dengan ketentuan Pasal 49
ayat (3) UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan
berlakunya peraturan ini maka semua Peraturan perundang tentang perwakafan
sebelumnya yang bertentangan dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 ini dinyatakan tidak
berlaku.
Dalam rangka mengamankan, mengatur dan mengelola tanah wakaf
secara lebih baik maka pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam yang didalamnya juga telah mengatur masalah
wakaf, sehingga setelah munculnya Inpres ini, kondisi wakaf lebih terjaga dan
terawat, walaupun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal.
Pada tanggal 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan
fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al nuqud) dengan
syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Dalam perkembangannya, berdasarkan
dukungan political will Pemerintah secara penuh salah satunya adalah
lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf). 
Mengacu kepada ketentuan pasal dalam peraturan perundang-undangan wakaf
ini, penulis berpendapat bahwa hukum wakaf tetap aktual – terutama saat ini mengemuka tentang wakaf
tunai – di mana respon dari berbagai kalangan sangat positif. Hal ini paling
tidak bisa menjadi dasar bagi pentingnya melakukan amandemen terhadap
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang didalamnya memuat aturan
tentang wakaf tunai. Arugumen penulis adalah karena Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 sebagai satu-satunya peraturan perundang-undangan tentang wakaf –
terbukti sama sekali tidak memuat masalah tersebut. Melalui perubahan undang-undang
tersebut diharapkan optimalisasi wakaf dapat memberikan optimisme dan
keteraturan dalam pengelolaan wakaf secara umum dan juga wakaf tunai secara
khusus di Negara Kesatuan Republik Indonesia di masa depan.
Penutup
Ada tiga faktor yang
menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam memberdayakan ekonomi umat:
pertama, masalah pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf. Pada
umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar; kedua,
saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih memprihatinkan.
Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam pengelolaannya,
bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya adalah pengelolaannya
yang tidak professional; dan ketiga, benda yang diwakafkan. Pada
umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup untuk
membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Di Indonesia
masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak bergerak). Padahal
dalam fikih, harta yang boleh diwakafkan sangat beragam termasuk surat berharga
dan uang. Untuk
mengembangkan wakaf produktif di Indonesia sudah tidak ada masalah lagi,
karena secara hukum telah memiliki legalitas seperti diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor
42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 sudah
diatur mengenai berbagai hal yang memungkinkan wakaf dikelola secara produktif.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Akademi Pressindo, 1992.
Muhammad, Abi Bakr, Ibn
Ahmad Ibn Sahl al-Syarkhasi, Kitab al-Mabsûth, Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2001). Jilid IV, Juz XII. 
Najim, Ibn,  al-Bahr al Raiq,  Juz V, Mesir: Dar al-Kutub al-Arabiyah
al-Kubra, t.t.
M.A,
Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai, Jakarta: UI, 2001.
Moh. Afandi, Wakaf
Produktif di Indonesia (baru) http:// www. scribd.com/doc/
86547805/ Wakaf-Produktif-Di-Indonesia-Baru., di akses 12 April 2014. 
Notosusanto, Peradilan Agama Islam
di Djawa dan Madura, Yogyakarta: Tanpa Penerbit, 1953. 
Efendi, Satria,
Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Departemen Agama RI.  t.t.
Hasanah, Uswatun, Wakaf Produktif
Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia. Naskah
Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, Jakarta,  6 April 2009.
Harahap, Yahya,"Informasi Materi KHI,
Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam" Dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi
Hukum Islam, No. 5, Jakarta: Al-Hikmah, 1992. 
Instruksi
Presiden RI, No. 1 Tahun 1991, (Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun1991)
tentang Kompilasi Hukum Di Indonesia.
 Abi Bakr Muhammad Ibn Ahmad Ibn Sahl al-Syarkhasi, Kitab
al-Mabsuth, Jilid IV, Juz XII, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah,
2001), hlm. 33-34.  
 
 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Akademi Pressindo, 1992), hlm. 21. 
 
 Yahya Harahap,"Informasi Materi KHI, Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam" dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No.
5 (Jakarta: Al-Hikmah, 1992). hlm. 25. 
 
 Satria Efendi, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 1992), hlm. 425. 
 
 Ibnu Najim, Al Bahr al Raiq, Juz V, (Mesir: Dar
al-Kutub al-Arabiyah al-Kubra, t.th), 
hlm. 187. 
 
 Abdul Hayyie
Al-Kittani et al, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, diterjemahkan dari
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema
Insani, 2011), hlm. 291. 
 
 Lihat Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991
(Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991) dalam Pasal 215 ayat (1) KHI. 
 
 Moh. Afandi, Wakaf
Produktif di Indonesia (baru) http:// www. scribd.com/doc/ 86547805/
Wakaf-Produktif-Di-Indonesia-Baru., di akses 12 April
2014.  
 
 Uswatun Hasanah,
Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum Islam di
Indonesia. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia,
Jakarta,  6 April 2009), hlm. 32. 
 
 M.A, Mannan, Sertifikat
Wakaf Tunai, terjemahan, (Jakarta, UI Press, 2001), hlm. 13. 
 
 Notosusanto, Peradilan
Agama Islam di Djawa dan Madura, (Yogyakarta: Tanpa Penerbit, 1953), hlm.
77.