HUKUM MENJUAL HAK 
SUARA PADA PEMILUKADA
DALAM PERSPEKTIF FIQH
SIYASI SUNNI
Pendahuluan
Dalam Al-Qur’ân maupun Al-Hadîst, tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara menentukan
pemimpin umat atau kepala daerah. Kecuali petunjuk yang sifatnya sangat umum
agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan bersama melalui musyawarah.
Pada saat nabi wafatpun, beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang
siapa di antara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin
umat. Karena tidak adanya pola yang baku tentang cara  pengangkatan  kepala  daerah,
 maka  sudah  barang
tentu dalam prakteknya akan terjadi banyak keragaman, bergantung pada kondisi
yang terjadi pada masanya.
Namun, secara substansial urgenisitas kepemimpinan dalam Islam adalah penting,
dan Islam memandang bahwa pemimpin atau kepala daerah itu mempunyai kedudukan
yang tinggi dan mulia. Karena sesungguhnya ia merupakan wakil umat Islam yang
diberi amanat untuk menegakan aturan Allah dan Rasul-Nya serta melindungi
kemaslahatan rakyat baik dari aspek politik, ekonomi, sosial maupun budaya. 
Dalam
konteks Indonesia, tahun 2004 merupakan momen sejarah yang penting
bagi perjalanan kehidupan bangsa, dimana pada tahun tersebut, untuk pertama
kalinya bangsa Indonesia melakukan pemilihan pemimpin negara (presiden) secara langsung.
Kemudian diikuti dengan pemilihan kepala daerah (pemilukada), provinsi dan
kabupaten kota, di seluruh wilayah Indonesia kecuali Yogyakarta yang merupakan
daerah kesultanan yang mendapat hak istimewa. 
Dalam perjalanannya, tidak dapat dipungkiri bahwa pemilihan kepala
daerah sering menimbulkan masalah. Lemahnya formula suksesi berakibat pada
timbulnya krisis keamanan, ketidakstabilan sosial, dan revolusi internal. Untuk
menjamin kesinambungan pemerintahan dan peralihan kekuasaan secara damai, maka
mutlak diperlukan adanya pola pengangkatan kepala daerah yang kukuh dalam
pandangan umat pada masanya. 
            Munculnya
pembahasan terhadap peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan payung
hukum pemilukada, merupakan angin segar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia,
dan merefleksikan harapan baru rakyat, yang diyakini bahwa pemilukada merupakan
langkah awal bagi rakyat untuk penguatan demokratisasi di tingkat lokal, dan
juga diharapkan akan mengantarkan kemakmuran rakyat di daerah. Agar harapan
rakyat itu tidak menjadi sekedar harapan kosong, dan rakyat tidak terus menerus
kecewa, maka agenda-agenda yang menyentuh perbaikan nasib rakyat adalah menjadi
urgen dan harus diprioritaskan. Dalam doktrin Islam, keberpihakan kepada
kepentingan kehidupan rakyat itu adalah sesuatu yang diperintahkan. Bahkan,
dalam Islam, pemerintahan dijalankan semata-mata untuk kemaslahatan rakyat,
bukan untuk sekedar berkuasa saja, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk
rakyatnya. Perlakuan pemimpin, yang dipilih oleh rakyat dalam pemilihan Umum
Kepala Daerah mestilah berorientasi pada perbaikan nasib rakyatnya.
 
Namun,
apabila diperhatikan kondisi politik yang berkembang saat ini, dipandang
sebagian besar masyarakat sangat sarat dengan politik kepentingan, money politik menjadi trend dalam setiap
perhelatan pemilukada; hak suara ‘diperjualbelikan’ baik pada saat pemilu untuk
memilih Gubernur, memilih Bupati atau Walikota, bahkan sampai pada tingkat
pemilihan kepala desa (pilkades), termasuk memilih anggota legislatif, dan ironisnya kadangkala merembet sampai pada pemilihan
ketua organisasi kemasyarakat. Praktik politik uang dalam pemilukada banyak
terjadi di daerah, pelanggaran ini sangat mengkhawatirkan, karena menjadi
instrument pemenangan di tengah pemilihan langsung. Dampaknya, hak pilih warga
dibajak oleh kepentingan kandidat. Praktik politik uang bisa terjadi saat
kampanye dan menjelang pemungutan suara. Modus yang dipakai bisa beragam,
misalnya bagi-bagi sembako, pengobatan gratis, hari-hari bersedekah dan lain
sebagainya. Namun yang paling mengkhawatirkan jika politik uang itu terjadi
dengan melibatkan aparat penyelenggara pemilu. Jika ini terjadi, perolehan
suara bisa tidak murni lagi. Jual beli suara akan menentukan dan merubah
perolehan suara dan keterpilihan kandidat. Inilah persoalan yang sangat
fenomenal yang akan menjadi sorotan dalam tulisan ini. Secara spesifik mengkaji
money politik dan hukum jual beli hak suara dalam pemilukada menurut perspektif
fiqh siyasi sunni.
Isyarat-Isyarat
Al-Qur’ân
Tentang Siyasi 
Perkataan
Siyasi, diambil dari perkataan Arab yang membawa arti mengatur,
mengurus, mengendalikan urusan negara, memperbaiki keadaan dan urusan manusia
serta mengatur urusan sebuah negeri.
Ia berasal dari
kata sasa, yasusu dan kemudian menjadi siyasah. Siyasah pada mulanya merupakan sesuatu usaha
atau ikhtiar untuk mencapai atau menyelesaikan sesuatu masalah. Ia juga
bermaksud suatu kepengurusan yang berkaitan dengan pemerintahan. Seperti para penguasa mengatur dan
mengurus rakyat untuk mewujudkan kemaslahatan,
dan juga mengatur urusan kehidupan masyarakat.
Siyasah juga dapat membawa arti
pemerintahan dan politik atau membuat kebijaksanaan (politic and policy). Selain itu, siyasah juga dapat diartikan administrasi dan manajemen.
Oleh karena itu, siyasah dapat dikatakan sebagai cara dan bentuk sesuatu
perkara yang ‘dilaksanakan’ dan yang ‘diuruskan’ oleh seorang ketua,
berhubungan dengan tugasnya, dalam mengendalikan urusan-urusan orang yang
berada di bawah kekuasaannya. Karena dalam penyelenggaraan tersebut sudah pasti
ada unsur mengendalikan, mengatur dan memerintah, mengurus, mengelola,
melaksanakan administrasi, dan membuat kebijaksanaan dalam hubungan dengan
kehidupan masyarakat. 
Dalam Al-Qur’ân terdapat
banyak ayat yang berkaitan dengan konsep politik atau siyasah. Di antaranya adalah ayat-ayat yang
berkaitan dengan sistem undang-undang, peraturan dan sistem syura dalam
pemerintahan. Misalnya, yang berkaitan dengan perundang-undangan, Allah s.w.t.
menjelaskan bahawa manusia yang tidak melaksanakan hukuman sebagaimana yang
telah ditetapkan adalah kafir, zalim, dan fasiq. Oleh karena itu, dalam menjalankan
roda pemerintahan, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman supaya
mengikuti dasar perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t.
dalam Al-Qur’ân, yang berupa prinsip dasar atau konsep
dasar sebuah lembaga. 
Adapun prinsip-prinsip yang menjadi
dasar pentingnya negara dan pemerintahan 
ialah firman Allah s.w.t.: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil Amri
di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat mengenai sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’ân) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (Q.s. An-Nisā’ [4]: 59)
Ayat di atas, sekurang-kurangnya
menjelaskan tentang lima perkara yang berkaitan dengan konstitusi dasar, yaitu:
Pertama, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya didahulukan dari segala
ketaatan kepada yang lain; kedua, ketaatan kepada ’ulil-amri
datang setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya; Ketiga, bahwa ’Ulil-amri
haruslah terdiri dari orang-orang mukmin; keempat, rakyat mempunyai hak
dan kewajiban dalam sesebuah negara; dan kelima, diperlukan adanya suatu
badan (kehakiman) yang bebas dan merdeka dari tekanan rakyat maupun pengaruh
penguasa, agar dapat memberikan keputusan dan penyelesaian dalam
perselisihan-perselisihan sesuai dengan undang-undang atau lembaga tertinggi.  
            Selain
itu, ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa kekuasaan badan-badan eksekutif sebaiknya dibatasi dengan petunjuk-petunjuk
Allah, diikat dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya. Kemudian, badan
eksekutif ini haruslah dibentuk dengan jalan musyawarah, yakni pemilihan, dan
itu adalah satu-satunya jalan yang dibenarkan, Al-Qur’ân tidak menentukan bentuk atau model tertentu berkenaan dengan sistem
pemilihan, tetapi ia meletakkan dasar-dasar umum dan kaedah-kaedah yang luas,
kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada manusia untuk menentukan bentuk-bentuk
pelaksanaannya, dalam zaman yang berbeda-beda, sesuai dengan keperluan dan
situasi dan lingkungan mereka.  
            Lembaga legislatif haruslah bekerja
berdasarkan musyawarah. Namun kekuasaan atau wewenangnya dalam merancang dan
menetapkan undang-undang mestilah mengikuti petunjuk Al-Qur’ân dan Al-Hadîst, tidak dibenarkan membuat dan
menetakan undang-undang hanya untuk kepentingan peribadi atau golongan tertentu
saja, serta terhindar daripada kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu.
Perkara-perkara yang oleh Allah dan Rasul-Nya telah ditetapkan hukum-hukumnya dengan jelas atau telah ditetapkan batasan-batasan dan
prinsip-prinsipnya, maka badan legislatif ini dibolehkan membuat
penafsiran-penafsiran, perincian-perincian atau mengajukan saran-saran untuk
membuat kaedah-kaedah, peraturan-peraturan tambahan dan ikatan-ikatan khusus
dalam melaksanakannya. Adapun perkara-perkara yang belum
ditetapkan hukum-hukumnya secara pasti, maka badan legislatif ini
diperbolehkan membuat dan menetapkan undang-undang yang sesuai dengan ruh Islam
serta prinsip-prinsipnya yang umum, sebab tidak adanya ketentuan itu dalam
al-Qur’an dan al-Hadis menunjukkan bahwa Allah telah menyerahkan perkara
tersebut kepada kebijaksanaan manusia. 
            Kemudian,
lembaga yudikatif haruslah bersifat bebas dan terlepas dari campur tangan,
tekanan atau pengaruh, sehingga ia dapat membuat keputusan, baik yang berkaitan
dengan kebaikan rakyat maupun untuk kemaslahatn penguasa atau pemimpin, sesuai
dengan konstitusi, tanpa rasa takut atau penyimpangan, dan memang menjadi
kewajibannya untuk memutuskan perkara-perkara dengan haq dan adil tanpa
terpengaruh oleh kecenderungannya sendiri ataupun kecenderungan-kecenderungan
orang lain. 
            Seterusnya, tugas negara
harus dilaksanakan secara sempurna; bermula dengan mendirikan dan menyusun
‘batu’ yang pertama di dalamnya, kemudian memilih kepala negara dan barisan
menteri-menteri kabinetnya yang bertanggung jawab (ulil-amri), dan
berakhir dengan hal-hal yang berkaitan dengan perundang-undangan dan
perkara-perkara eksekutif berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, baik yang
diwujudkan secara langsung ataupun dengan cara memilih para wakil rakyat di
dalam suatu sistem pemilihan yang benar dan jujur. Dengan demikian, sistem syura
mestilah dijadikan asas dalam pemerintahan negara yang merupakan suatu bentuk
institusi yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. untuk kemaslahatan umat manusia.  
            Jadi, negara harus bekerja, paling tidak, untuk dua tujuan
yang utama. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan
menghentikan kezhaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan. Allah s.w.t.
menjelaskan: “Sesungguhnya Kami telah
mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka al-Kitab dan mizan (neraca) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan, dan
Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia…” (Q.s. Al-Ḥadīd [57]: 25) 
            Kedua, menegakkan sistem
kenegaraan, yang disebutkan di atas, dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan
zakat melalui segala daya dan cara yang dimiliki oleh pemerintah, yakni sistem
yang membentuk dimensi terpenting dalam kehidupan Islam; agar negara menyebarkan
kebaikan dan keamanan serta memerintahkan yang ma`ruf supaya negara
menghapuskan segala bentuk kejahatan, mencegah kemungkaran. Dalam al-Qur’an
dijelaskan: “Orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah daripada perbuatan yang
mungkar”. (Q.s. Al-Ḥaj [22]: 41)
            Dari penjelasan-penjelasan di atas
dapat ditegaskan bahawa siyasah atau politik itu merupakan satu bentuk
atau sistem pemerintahan negara yang melibatkan pemerintah dan yang diperintah
atau pemimpin dan yang dipimpin (rakyat) serta undang-undang, peraturan yang
dikodifikasikan dalam satu bentuk dokumen tertulis berupa konstitusi, yang
kelak akan dijadikan acuan dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Jadi,
sebuah konstitusi amat penting kerana ia merupakan undang-undang dasar negara.
Ia juga sebagai satu ‘frame work’ yang mencerminkan tentang bagaimana
sebuah negara itu dipimpin. Apabila sesuatu perkara hendak dibuat, ia mestilah
menurut misi peraturan perundang-undangan. Peraturan Perundang-undangan ini
tidak semestinya mengandung semua perkara secara detail, tetapi secara global,
ia dapat memberi bentuk pemerintahan. Ia menentukan bagaimana bentuk badan
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ia tidak bisa keluar dari apa yang
ditetapkan oleh pelembagaan dan semua wewenang yang diberikan oleh perlembagaan
untuk membuat sesuatu undang-undang. Oleh
karena itu, peranan perlembagaan menjadi penting kerana ia merupakan acuan
kepada undang-undang yang lain.
Pemilu dan Demokrasi 
Pemilihan umum
merupakan suatu hal yang rutin bagi sebuah Negara yang mengklaim sebagai sebuah
negara demokrasi. Ia merupakan proses pemilihan orang untuk mengisi jabatan
bupati dan walikota, sampai kepada pemilihan kepala desa. Pada konteks yang
lebih luas, pemilihan umum juga proses mengisi jabatan wakil rakyat di berbagai
tingkat pemerintahan.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasive
dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby
dan lain-lain kegiatan.
Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam
kampanye pemilu, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakai oleh
para kandidat dan para politikus, sebagai komunikator politik. 
Sebagai
negara yang menerapkan demokrasi, Indonesia mempunyai sebuah
slogan yang cukup singkat, akan tetapi mempunyai makna yang cukup dalam. Slogan
yang dimaksud adalah ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’. Bercermin dari slogan tersebut, dapat ditegaskan bahwa
demokrasi yang dietarapkan di Indonesia adalah demokrasi keterwakilan, sebagai
pengejawantahan dari pesta demokrasi. Dalam pesta demokrasi, baik dalam pemilu
legislative maupun dalam pemilu Kepada daerah, rakyat dapat mencalonkan dirinya
untuk menjadi peserta pemilu tersebut sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan. Kemudian, yang berperan dalam hal memilih, juga rakyat.
Rakyatlah yang memilih para wakilnya, yang akan duduk dalam parlemen, atau calon
pemimpinnya. Setelah terpilih menjadi menjadi anggota parlemen atau pemimpin,
para konstiuen tersebut pada hakikatnya adalah bekerja untuk rakyat secara
menyeluruh. Itulah yang dinamakan dengan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat.  
Pemilihan
Umum dimaknai sebagai realisasi sarana untuk memberikan dan memperkuat
legitimasi rakyat.
Realisasi dan makna keduanya sangat kental dengan tarik menarik kepentingan
politik bahkan fenomena pemilu bukan saja menjadi keunikan tersendiri sebab
pemilu tidak hanya menjadi kewajiban penguasa untuk menyelenggarakannya, namun
masyarakat dengan semangat euphoria politiknya merasa terpanggil juga
setidaknya memberikan perhatian pada pemilu. Pemilu merupakan satu kriteria untuk mengukur standar dan kadar
politik sebuah sistem politik. Selain itu, pemilu merupakan hak rakyat untuk
membentuk pemerintahan yang demokratis. Kemudian, pemilu sebagai alat
demokrasi, dijalankan di atas prinsip jujur, bersih, bebas kompetitif dan adil.
  
Kelihatannya
hampir sepakat sarjana politik bahwa Pemilu merupakan salah satu kriteria untuk
mengukur tingkat demokrasi suatu sistem politik. Adanya demokrasi suatu negara
diukur dari ada atau tidaknya Pemilu yang mengabsahkan pemerintahannya. Oleh
karena, Pemilu merupakan agenda yang senantiasa dilaksanakan oleh hampir setiap
negara, meskipun dengan bentuk dan tujuan yang berbeda-beda. Di antara sarjana
politik tersebut, seperti Dahl, Carter dan Herz, Mayo, Ranney dan Sundhaussen. 
Akan
tetapi yang menjadi permasalahan ialah apakah Pemilu itu sendiri dijalankan
dengan sistem dan proses yang demokratis, yakni suatu Pemilu yang
diselenggarakan untuk memberikan kesempatan kepada demos agar
dapat menyampaikan hak-haknya. Tentunya tidak gampang untuk dijawab, kecuali
melihat bagaimana sistem dan proses Pemilu yang dilaksanakan oleh suatu negara
dengan membandingkannya pada kriteria-kriteria Pemilu yang demokratis.
Menyinggung
masalah Pemilu demokratis, Robert A. Dahl, seperti dikutif Afan Gaffar—berpandangan
bahwa Pemilu yang salah salah satu tujuannya untuk mengangkat pejabat-pejabat
politik, harus dilakukan secara teratur (relatively frequent), adil (fair)
dan tanpa kekerasan (coercion). Kemudian dalam Pemilu tersebut, setiap
orang yang sudah dewasa (adult) memiliki hak suara (right to vote),
dan memiliki hak untuk menentukan pilihannya. Pandangan yang
searah juga dikemukakan Diamond, Linz dan Lipset. Seperti dikutif oleh Mohtar
Mas’oud, mereka berpendapat bahwa Pemilu bertujuan untuk memperebutkan
jabatan-jabatan pemerintahan yang memiliki kekuasaan efektif, yang
deselenggarakan secara reguler, adil, kompetitif, partisipatif, tanpa paksaan,
dan tidak diskriminatif.    
Lebih
rinci lagi, Eep Saefulloh Fatah mengemukakan terdapat sejumlah persyaratan bagi
suatu Pemilu yang demokratis, yaitu: 1. Ada pengakuan hak pilih universal bagi
setiap warga negara untuk memilih dan dipilih; 2. Ada keleluasaan untuk
membentuk tempat penampungan bagi pluralitas aspirasi masyarakat pemilih, tidak
dibatasinya kontestan pemilu, kecuali dalam hal-hal yang dapat ditolerir; 3.
Tersedianya mekanisme rekruitmen politik bagi calon-calon wakil rakyat yang
demokratis, seharusnya bottom up dan tidak top down apalagi
praktek dropping; 4. Ada kebebasan bagi pemilih untuk menentukan
pilihannya; 5. Masyarakat pemilih tidak terjebak dalam konteks membeli kucing
dalam karung; 6. Ada komite atau panitia pemilih yang independent; 7. Ada
keleluasaan bagi setiap kontestan untuk berkompentisi secara sehat; 8.
Penghitungan suara yang jujur; dan 9. Netralitas birokrasi. 
Pendapat-pendapat
tersebut, antara yang satu dengan yang lainnya tidak jauh berbeda dalam
memberikan kriteria atau persyaratan bagi Pemilu yang demoikratis. Pada
intinya, suatu Pemilu dianggap demokratis apabila memenuhi unsur-unsur, yaitu:
1. Pemilu dilakukan secara teratur (relatively frequent); 2. Pemilu
dilakukan secara adil (fair) dan memberikan peluang kompetisi yang luas
bagi setiap kontestan; 3. Pemilu memberikan hak pilih universal (right to
vote) bagi setiap warga negara untuk memilih dan dipilih; 4. Pemilu
dilakukan secara bebas bagi pemilih tanpa adanya rasa takut dan paksaan (coercion);
5. Pemilu diselenggarakan oleh lembaga yang independen (independent
committee); dan 6. Pemilu yang tidak menyumbat saluran aspirasi rakyat (public
aspiration).
Unsur-unsur
tersebut tidak berdiri secara terpisah, melainkan antara yang satu dengan yang
lainnya saling berhubungan. Oleh karena itu, jika ada sebagian unsur yang tidak
terpenuhi maka berakibat tidak terpenuhi pula krieria demokratis yang
diharapkan.
Hak Suara (Pilih) Warga Negara Dalam Pemilukada
Selain sebagai
Negara demokrasi, Indonesia juga merupakan Negara hukum, yang menempatkan hukum
itu pada kedudukan yang paling tinggi, atau lebih akrab dikenal dengan sebutan supremacy of law. Salah satu cirinya
adalah adanya pengakuan dan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), dan equality before of law atau perlakuan
yang sama di muka hukum. Dengan adanya perlakuan yang sama di muka hukum, maka
setiap orang berhak untuk diperlakukan sama, adil dan tidak pandang bulu.
            Setiap warga Negara mempunyai hak
untuk dipilih dan memilih dalam pesta demokrasi yang dilaksanakan setiap lima
tahun sekali itu, baik dalam pemilihan Presiden, Gubernur, bupati atau
walikota.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,  disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan
pemerintah, demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Jadi,
dapat ditegaskan bahwa Hak Asasi Manusia itu adalah hak fundamental yang tidak
boleh dikurangi sedikitpun. Termasuk hak pilih dan memilih bagi warga Negara
dalam pemilukada.     
            Hak pilih dan memilih dalam
pemilukada adalah salah satu hak konstitusional warga Negara dalam bidang
politik, yang juga merupakan bagian daripada Hak Asasi Manusia. Jadi, hak pilih
seorang warga Negara, sudah seharusnya untuk dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah. Mengenai perlindungan hak pilih
ini juga telah diatur dan dilindungi oleh UUD 1945 negara Republik Indonesia,
yaitu pada ketentuan pasal 28C ayat (2),
pasal 28D ayat (1),
pasal 28D ayat (3),
pasal 28I ayat (2).
Dengan demikian, jelas bahwa dalam suatu masyarakat demokratis, yang telah
diterima secara universal oleh bangsa-bangsa beradab, hak atas partisipasi
politik adalah suatu hak asasi manusia, yang dilakukan melalui pemilu yang
jujur, sebagai manifestasi dari kehendak rakyat yang menjadi dasar dari
otoritas pemerintah.
 
Jual Beli Suara dan Penyimpangan Dalam Pemilukada
Kecurangan dalam
pelaksanaan Pemilukada sudah menjadi penyakit yang kronis. Para pelaku
kecurangan berusaha menampilkan perilaku buruk mereka sebagai ‘kesalahan
prosedur’, misalnya saat salah menghitung suara di tingkat pemungutan suara
(TPS) atau salah merekapitulasi perhitungan suara di tingkat kelurahan atau
kecamatan. Selain itu, ada juga yang menampilkan perilaku curang itu sebagai
‘kesemrautan administratif’ seperti terlihat dari simpang-siur soal Daftar
Pemilu Tetap (DPT) yang terjadi pada setiap pelaksanaan Pemilukada. Dari
pengalaman tersebut, jelas bahwa berbagai kesalahan dan kesemrautan ini adalah
bagian dari praktik curang yang sudah sistematis. Di samping itu, kecurangan
yang lebih ‘telanjang’ lagi adalah pembelian suara. Menjelang pelaksanaan
Pemilukada, tim sukses atau orang suruhan yang berkeliaran di kampung menawari
imbalan uang atau fasilitas, jika warga mau memilih calon yang di’jagokan’.
Praktik seperti ini berlangsung selama masa sosialisasi, masa kampanye, dan
bahkan sampai pada saat-saat terakhir menjelang pencoblosan, bahkan tindakan
terakhir dari tim sukses ini sangat mengerikan, yaitu dikenal dengan ‘serangan
fajar’. Praktik ‘curang’ seperti ini sangat mulus dan masih terus dipelihara
sampai hari ini. Bahkan, dengan meningkatnya pengawasan, strategi para pelaku
kecurangan juga semakin berkembang. Untuk memastikan pembelian suara, mereka
menuntut warga memberikan bukti seperti foto kartu suara yang sudah
dicobloskan. Praktik seperti ini sungguh sangat disayangkan, karena akan
mencederai demokrasi yang tengah dibangun di Negara ini, dan juga menghianati
prinsip pemilukada yang jujur, adil dan damai. Transaksi jual beli suara sanga
merendahkan warga dan membuat pemimpin yang terpilih dengan cara seperti itu
sama sekali tidak akan menghargai warga yang telah memilihnya. Dari sinilah
dimulainya lingkaran korupsi, penyalahgunaan wewenang dan mengabaikan hak-hak
warga yang berakibat kemiskinan dan kesengsaraan. 
Dengan
demikian, kecurangan dalam pemilukada bukan hanya sesuatu yang salah secara
moral, tetapi sebuah bentuk pelanggaran hukum. Setiap pembelian dan penjualan
suara, baik yang dilakukan di kampung, di TPS, Kantor Kelurahan dan kecamatan,
baik yang melibatkan warga biasa, tim sukses maupun para pejabat Negara adalah
pelaku tindak kejahatan.
            Fenomena seperti ini terus
berkembang dan selanjutnya merefleksikan sebuah pembodohan terhadap rakyat
dalam hal berdemokrasi, di mana standar kualitas calon pemimpin daerah diukur
dengan seberapa sering ia ‘pamer kebaikan dan kedermawanan’ dihadapan rakyat.
Sementara persoalan-persoalan yang menjadi kebutuhan rakyat banyak justeru
kurang tersentuh, seperti kemiskinan, peluang kerja, bahkan pendidikan dan
kesehatan rakyat, hamper tidak dibahas secara serius dan tuntas. Tidak adanya
evaluasi serius yang diketahui banyak orang, mengenai sejauhmana pemerintah
daerah melakukan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada public terkait
soal-soal tersebut. Sehingga tidak aneh apabila muncul apatisme masyarakat
terhadap pemilukada. Mereka lebih tertarik pada ‘duit’ yang dibagi-bagikan para
calon, ketimbang program-program, visi dan misi yang ditawarkan calon.
 
            Sementara itu di tingkat lokal,
konstalasi politik dalam pemilukada biasanya tidak lebih berupa perpaduan
antara politik uang dengan premanisme. Sepanjang perhelatan pemilukada
dilangsungkan, tema-tema pemilukada hanya berkisar pada godaan uang,
penyalahgunaan kekuasaan dan ancaman ‘kekerasan’ bagi pihak yang berseberangan.
Konstalasi tersebut, diperparah dengan kondisi objektif dan subjektif rakyat
yang sedang dihadapkan dengan berbagai persoalan hidup yang pada umumnya masih
sangat memerlukan bantuan dan uluran tangan para dermawan. Kondisi seperti
inilah, antara lain, mendorong terjadinya jual beli suara dalam pemilukada.
Rakyat yang sedang dirundung malang, sementara para kandidat memiliki banyak
uang, akhirnya bertemu dalam satu titik kepentingan; rakyat butuh uang,
kandidat butuh dukungan suara, inilah demokrasi yang terjual belikan dalam pemilukada.
a. Praktik Money Politic dalam Pemilukada
Money
politic (politik uang), sebuah fenomena yang
sedang mengemuka dalam tataran dunia perpolitikan tanah air. Baunya terasa,
tetapi tidak berwujud. Money politik barangkali berbeda dengan biaya politik. Money politic sebuah istilah yang diperuntukan bagi mereka yang meraih
kemenangan dengan membayar sejumlah uang kepada konstituennya. Sementara biaya
politik digunakan untuk persiapan-persiapan dan dukungan sarana kampanye dalam
sebuah pemilukada. Penggunaan politik uang dalam sebuah proses pemililukada
sering diperbincangkan dalam berbagai talk
show forum pertemuan. Namun, perbincangan
itu selalu  berakhir begitu saja tanpa
ada solusi kongkrit untuk mengatasi persoalan tersebut. Di grass roots, politik uang terus berlangsung, tanpa terdeteksi, tanpa
terbuktikan, karena proses ini seperti maaf ‘buang angin’ yang baunya terasa
tetapi tanpa wujud. Hakikat politik uang itu seperti membeli sebuah benda dari
super market, barang tersebut sudah dibandrol dengan harga khusus, bahkan kalau
penawarnya banyak maka harganya bisa naik dan mendadak melambung tinggi.
Pemilih sebagai ‘penjual’ –melalui tim suksesnya- menawarkan harganya berupa
hak suara kepada para ‘pembeli’ bahkan dengan berbagai cara. Terkadang, sebagai
‘penjual’, mereka pasang harga mahal dengan mengatakan bahwa ‘pembeli’ yang
lain sudah menawar dengan harga yang lebih tinggi.
Negoisasipun berlangsung antara agen “penjual” dengan
“pembeli” sampai kepada satu kesepakatan, “deal” serah terima berlangsung dalam
sebuah kesepakatan tidak tertulis, tidak terdeteksi, dan sulit ditemukan bukti
materil. Detik itu, “suara” sebagai hak kedaulatan rakyat sistem demokrasi,
setengahnya sudah milik orang lain. Begitu proses pencoblosan surat suara berlangsung,
maka sepenuhnya “suara” rakyat tadi berpindah tangan kepada tokoh yang
memenangkan penawaran pembelian suara tadi. Dalam kondisi ini, rakyat yang
suaranya telah “dibeli” secara otomatis telah menyerahkannya suaranya selama 5
tahun kepada si pembeli. Seperti sebuah barang yang sudah dibeli, tentu barang
itu sudah menjadi milik orang lain. Kita sebagai pemilik awal dari barang itu,
telah kehilangan hak mempertanyakan penggunaannya. Barang itu telah menjadi
milik orang lain, terserah dia, mau digunakan untuk menggilas pemilik suara
atau mensejahterakan mereka. Demikian pula sebaliknya, sebagai pemilih yang
telah “menjual” suaranya dalam sebuah pemilu, etisnya tidak mungkin menanyakan
kegunaan suara yang telah dijual.
Pembeli suara yang ternyata memenangkan sebuah pemilihan
umum tidak mempunyai beban lagi kepada para pemilih (konstituen) yang suaranya
telah dibeli. Dalam etika dagang, barang yang sudah dijual tidak boleh diminta
kembali. Jadi jangan heran, jika jeritan, demo, protes atau apapun namanya, kurang
mendapat perhatian dari tokoh politik terpilih. Salah satunya, karena mereka
menggangap suara yang mengantarnya ke tampuk kekuasaan “sudah dibeli”. Silahkan
mengurut dada selama lima tahun kedepan. Menunggu suara itu kembali lagi kepada
pemiliknya. Menjual suara sama dengan membungkam hak bicara sendiri walaupun
digilas oleh kebijakan penguasa. Oleh karena itu, jangan menjual suara, apalagi
dengan harga yang sangat murah berupa satu kotak mie instan. Harga suara itu
tidak sebanding dengan kenaikan harga barang yang terus melonjak akibat
kebijakan si pembeli suara. Bila memang sangat ingin menjual suara, berikan
bandrol yang sangat mahal. “selamat tidak menjual suara supaya hak protes tidak
dibungkam!”
Lembaga fatwa Mesir, Dar
al-Ifta, mengeluarkan fatwa yang melarang kandidat melakukan money politics
untuk membeli suara. Fatwa ini keluar menyusul adanya laporan pembelian suara
di Kairo lama. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa “Membeli adalah semacam
suap yang dilarang oleh Islam”. Fatwa itu menambahkan bahwa seorang kandidat
tidak boleh menggunakan uang untuk mempengaruhi pemilih, dan menegaskan asset
riil kandidat adalah kejujuran dan kemampuan untuk menghormati janji. Fatwa
juga menekankan bahwa para makelar suara juga profesi haram, karena mereka memfasilitasi
tindakan yang dilarang agama.
 
b.  Money Politic Membajak Nilai Etik Sosial-Agama
Secara factual dan berdasarkan survey terkini Indonesia Network Election Survey (INES) pada
medio Oktober 2012 menemukan 50,3 persen responden memilih partai politik
karena factor uang. Kekuatan uang dianggap paling signifikan dalam mempengaruhi
kecenderungan afiliasi public terhadap partai politik ketimbang aspek visi,
misi, program kerja, hingga gelontoran iklan di media sekalipun. Karena itu,
money politik diperkirakan akan tetap mendominasi warna demokrasi pada pemilu
yang akan datang.
Dalam artian factor uang akan mempengaruhi dalam setiap perhelatan pemilu ke
depan termasuk pemilihan kepala daerah. Kacenderungan tersebut sangat mungkin
terjadi, karena calon pemimpin yang akan mereka pilih tidak terlepas dari
partai politik yang dijadikan sebagi ‘kenderaan’ politiknya. 
Kuatnya daya tarik uang dalam mempengaruhi perilaku politik
publik sebenarnya bukanlah fakta baru. Secara teoritis, memang terdapat
hubungan interkoneksitas yang kuat antara uang dengan kekuasaan. Di satu sisi,
uang menjadi sumber kekuatan untuk untuk menghasilkan kekuasaan. Di sisi lain,
kekuasaan juga dapat difungsikan untuk menghasilkan uang. Dalam sistem
masyarakat capital, uang amat menentukan strata politik seseorang, sehingga
tidak heran jika terdapat pasangan calon kepala daerah, sebagai jagoan parpol,
yang berniat membekali tim-tim suksesnya dalam mempengaruhi rakyat untuk
memperebutkan kekuasaan dalam setiap perhelatan pemilukada dengan gelontoran
uang hingga mencapai jumlah miliaran rupiah. 
Kendati demikian, uang tidak selamanya berkuasa. Sejarah
politik dunia tidak pernah mencatat uang sebagai ‘satu-satunya penguasa’ yang
paling menentukan. Namun dalam banyak masyarakat, tidak terkecuali masyarakat
Indonesia yang katanya agamis (religious),
uang tetap menjadi senjata ampuh untuk menaklukkan kekuasaan. Karena
prinsipnya, uang adalah saudara kembar kekuasaan. Dalam penelitiannya, Rose
Ackerman (1999) dan Bardhan (1997), sebagaimana dikutip Ahmad Khoirul Umam,
pernah mempertanyakan trend yang sering bermunculan di sejumlah Negara
demokrasi baru di kawasan Asia. Mengapa banyak politikus dan partai politik yang
jelas-jelas diketahui korup, tetapi masih juga mendapatkan tingkat keterpilihan
dan dukungan public yang tinggi di pemilu selanjutnya. Tidakkah ada sanksi
politik public melalui mekanisme demokrasi yang memfasilitasi rakyat untuk
melakukan perubahan dan menyingkirkan para penguasa korup di kekuasaan.
Jawaban pertanyaan itu ternyata berimplikasi pada aspek social budaya
masyarakat Asia yang ternyata dinilai cenderung bisa menoleransi praktik
praktik korupsi yang terjadi di sekitarnya. Tindakan korupsi tersebut dianggap
terlah bercampur dan membaur dengan sistem budaya yang sarat dengan muatan
nilai-nilai luhur, etika dan nilai-nilai social keagamaan masyarakatnya.        
Dengan legitimasi etik tersebut, menjadi lazim jika kemudian
tidak muncul sentiment negative dari public terhadap figur atau lembaga-lembaga
politik yang memproduksi tindakan korupsi di sekitarnya. Money politics yang diserahkan kandidat dan politikus kepada para
pemuka agama, tokoh adat, dan lembaga-lembaga social maupun kegamaan, sebagai agenda
penjaringan vote getters, misalnya,
dengan leluasa dilakukan atas nama hibah, hadiah, bisyaroh, syariah, atau
bahkan infak dan sedekah, ditujukan kepada kelompok-kelompok miskin dan
marginal, termasuk kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah di pedesaan.
Dalam konteks ini, perilaku kandidat dan politikus tersebut dapat dikategorikan
sebagai pelecehan dan bahkan penghinaan terhadap harkat dan martabat masyarakat
pedesaan tersebut. Disinilah terjadi pembajakan atas nilai-nilai luhur bangsa,
pemerkosaan social-etika masyarakat Pancasila yang notabanenya masyarakat
religius.
Sogok dan perilaku suap telah dikemas sedemikian rupa dengan sampul budaya dan
nilai-nilai agama hingga mengaburkan substansi yang menjadi motivasi dasar
tindakannya. Heidenheimer (1970) pernah menegaskan bahwa telah terjadi
pencampuradukan nilai-nilai koruptif dan nuansa moral-etik dalam kehidupan
masyarakat kontemporer. Karena semakin banyak pertukaran korupsi maka semakin
mirip ia dengan pertukaran social-etik pada umumnya. 
Seiring dengan itu, korupsi tidak lagi dilakukan dalam ruang
tertutup dan sembunyi-sembunyi, tetapi dijalankan di ruang terbuka dengan
perasaan bangga dan penuh sukacita. Praktik semacam itu akan terus
direproduksi, dijalankan secara intensif, dengan prinsip “tahu sama tahu” dan
disertai rasa saling percaya yang sejajar di antara kandidat atau politikus dan
masyarakatnya. Interaksi timbal balik yang dijalankan itu menjadi sulit
dipangkas karena hukum ketertarikan dan sifat saling menguntungkan menjadi ruh di
dalamnya.
Dalam konteks inilah korupsi menampakkan fungsinya sebagai media pertukaran
yang ‘sah’ secara budaya. Jadi, budaya suap dan korupsi yang terus bermunculan
sejatinya bukan semata-mata akibat dari lemahnya supremasi hukum, melainkan
akibat dari kesepakatan kolektif di masyarakat hingga tercipta sub-kultur yang
menyimpang. Inilah yang dimaksud dengan pembajakan nilai etik dalam perhelatan
perpolitikan bangsa ini, terutama dalam pemilukada. 
‘Pembajakan nilai etik’ dalam konteks ini identik dengan ‘korupsi
berjama`ah’, ia  merupakan terminologi
menarik yang sering dipakai untuk menjelaskan fenomena tersebut. Akibatnya,
upaya memberantas korupsi politik di akar rumput yang dalam wujud sederhananya
dipraktikkan dalam bentuk politik uang, pembagian sembako, bantuan social, dan
lain sebagainya itu menjadi sulit terlaksana. Realitas inilah yang
melanggengkan praktek politik dagang sapi dan jual beli suara yang secara nyata
mengkhianati prinsip dasar demokrasi. Di sinilah letak kesalahan fatal kandidat
kepala daerah dan partai politik, di samping 
masih lemahnya peran civil society
di negeri ini terhadap kurangnya pendidikan politik dan anti korupsi kepada
publik. Penggunaan money
politics merupakan jalan pintas akibat macetnya program partai politik dan visi
misi calon kepala daerah yang diusung dalam pemilukada. 
Seluruh elemen civil
society harus terus bergerak secara intensif untuk memberikan pencerahan
kepada public agar rakyat tidak terus terpedaya dan pesta demokrasi yang
berjalan tidak hanya memfasilitasi para kandidat kepala daerah, terutama
kandidat incumbent yang
terus berusaha mempertahankan jabatan dan kekuasaan yang dinikmatinya. Jika itu
yang terjadi maka demokrasi akan bermuara pada aspek partisipasi, tanpa mampu
menyentuh prinsip akunbilitas dan transparansi demi terciptanya tata kelola
pemerintahan yang baik dan bersih di negeri ini.     
Hukum Jual Beli Hak Suara Dalam Pemilukada
Pemilihan umum
kepala daerah (pemilukada) dalam rangka memilih pemimpin baru di Negara ini akan
terus berlangsung di setiap daerah, sesuai dengan periodesasi kepemimpinan yang
diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 12 tahun 2003 tentang pemilu. Dalam
pelaksanaan pemilukada, setiap warga Negara diperlakukan sama dimuka hukum dan
memiliki hak suara atau hak pilih. Hak suara tersebut dapat dikatakan sebagai
hak yang melekat pada diri warga dan termasuk 
bagian daripada Hak Asasi Manusia, sekaligus merupakan salah satu hak
konstitusional warga Negara dalam bidang politik.
Namun demikian, penggunaan hak tersebut dalam pemilukada mestilah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan kepentingan kemaslahatan umat bukan sebalik
untuk kepentingan tertentu sehingga mendorong terjadinya money politik, dengan
menjual hak suaranya dalam pemilukada.   
Dalam
pemilukada, sebagian besar, bakal calon telah meninjau dan terjun langsung ke
ruang publik demi mendapat simpati masyarakat. Setiap bakal calon memiliki
pandangan-pandangan tersendiri mengenai ihwal yang harus dibenahi dalam jangka
waktu terdekat. Sasaran para politisi kebanyakan ialah pedagang pasar atau
kalangan menengah ke bawah. Kalangan ini masih samar-samar bahkan buta mengenai
politik. Selain itu, masyarakat kalangan menengah ke bawah lebih cepat merespon
komunikasi politik yang dijalankan calon pemimpin.
Modus kampanye paling gencar dilakukan ialah dengan cara bekerja sama dengan
karang taruna di daerah-daerah dan bernegosiasi mengenai kesepakatan pembelian
suara. Biasanya tim sukses mematok jumlah suara yang dibutuhkan, sedangkan
karang taruna meminta imbalan berupa sejumlah uang. Sepertinya hal ini sudah
lumrah dilakukan. Mengingat praktek ini berlangsung terus-menerus dan tidak
terendus aparat hukum.
 
Permainan
politik ini begitu rapi dan tertutup rapat-rapat. Hal ini karena adanya
aktivitas keagamaan yang menutupi praktek ini. Prosedurnya dengan mengadakan
acara pengajian, dan bakal calon pemimpin diundang sebagai pembicara pengajian.
Setelah berakhirnya pengajian, terjadilah kesepakatan kedua belah pihak
mengenai pembelian suara.
Praktek jual beli suara ini tentu tidak etis. Mengingat negara ini terus
mengumandangkan anti korupsi, sementara praktek suap terus menggelayuti setiap
elemen masyarakat. Ironisnya, praktek ini berlangsung setelah kegiatan
keagamaan. Bujukan kepada pemilih untuk mencoblos pasangan calon tertentu dalam
bentuk sejumlah uang, berkisar antara Rp. 20.000 hingga Rp. 30.000 bahkan
sampai Rp. 50.000 per orang. Ataupun berbentuk doorprize, pakaian hingga
bahan makanan pokok. Keterbatasan masyarakat akan ekonomi yang memadai
dijadikan peluang oleh calon pemimpin untuk menguasai hak pemilih. Sebagian
besar masyarakat Indonesia tergolong miskin dan berpendidikan rendah. Maka dari
itu, praktek politik uang begitu mudah terjadi.
 
Uang
yang digunakan untuk menjualbelikan dukungan politik biasanya bersumber dari
pihak yang memiliki kepentingan, baik uang itu bersumber dari peribadinya atau
dari Negara. Persoalan money politics harus dilihat dari segi unsur-unsur yang
melingkupi. Dalam hal ini money politics mengandung dua unsur; pertama unsur sebab, yakni ada maksud
dan tujuan untuk mempengaruhi aspirasi dan pandangan politik seseorang; dan kedua unsur akibat, yakni dari tindakan pemberian uang atau barang tertentu.
Jika demikian adanya maka mempengaruhi massa pada saat pemilukada sama dengan Risywah, karena di antara unsur-unsur
risywah itu adalah adanya athiyyah
(pemberian) dan ada niat Istimalah
(menarik simpati orang lain atau massa). Money politic, dalam pemilukada,
secara umum sering dinilai dengan uang bujuk atau uang sogok dalam rangka
menarik simpati publik.
Jadi
jelas bahwa praktek jual beli suara (money
politic) dalam
pemilukada termasuk dalam kategori Risywah. Bahkan
tindakan serupa yaitu menerima dan mengambil sesuatu yang bukan haknya sama
dengan tindakan korupsi. Korupsi merupakan tindakan penyelewengan dan
penggelapan harta negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Dalam Islam, ada beberapa istilah yang terkait dengan mengambil harta tanpa
hak, misalnya; ghasb, ikhtilas, sariqoh,
hirobah, dan ghulul. Semuanya
mengandung makna yang berbeda, tetapi semua istilah itu bermuara pada
penggunaan hak dan pengambilan harta dengan cara yang tidak benar. Oleh karena
itu banyak orang yang mengidentikkan korupsi dengan risywah. Karena Risywah dalam berbagai literature fiqh adalah sesuatu yang
diberikan guna membatalkan yang benar atau membenarkan yang salah. Al-Fayyumi
menyebutkan bahwa Rishwah adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang kepada
hakim atau yang lainnya agar memberi hukum menurut kehendak orang yang
memberikan sesuatu itu.
Ungkapan senada juga dikemukakan oleh ibnu
Hazm dalam kitab al-Muhalla,
yaitu pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk
memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan
sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.
Dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi pasal 5 ayat 1 terdapat kemiripan
antara korupsi dan risywah, dimana korupsi didefinisikan dengan: “Memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dimana
pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut supaya berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”. 
Dalam
al-Quran, risywah digolongkan dalam kata umum batil, yaitu meliputi juga
perbuatan pidana lain seperti merampok, menipu, memeras dan termasuk praktek
jual beli hak suara untuk kepentingan tertentu. Di negara ini, dari segi
peraturan perundang-undangan semua perkataan “memberi dan menerima suapan”
adalah bagian dari perbuatan dan kesalahan pidana. Islam sangat melarang
umatnya dari perbuatan semacam itu. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang
bermaksud; “Daripada Abu Hurairah r.a. dia telah berkata: “Rasulullah saw
telah mengutuk orang yang suka memberi suap dan orang yang suka menerima
suap…”; ini sama dengan risywah. Perbuatan
risywah ini adalah perbuatan yang sangat keji dan berdosa. Mereka yang terjebak
dalam budaya risywah akan memperoleh balasan yang setimpal dengan perbuatan
mereka. Rasulullah saw. bersabda yang bermaksud: "Pemberi dan penerima
rasuah (risywah) kedua-duanya akan masuk neraka”. Di samping itu, Allah telah berfirman dalam Al-Qur’ân yang
bermaksud: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil (tiada hal) dan (jangan) kamu bawa kepada
hakim, supaya dapat kamu memakan sebahagian harta orang yang berdosa sedang
kamu mengetahuinya”. Q.s. (Al-Baqarah [2]: 188).
Kemudian, Allah menyebutkan: “Mereka itu
adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram”. (Q.s. Al-Mā’idah [5]: 42) Dalam
sebuah hadits ditegaskan bahwa Rasulullah
saw. melaknat bagi penyuap dan yang menerima suap.
Dalam hadits lain yang diriwayat oleh Ahmad, Rasulullah saw melaknat penyuap,
penerima suap, dan perantaranya. 
Dengan
demikian, jika dicermati lebih jauh, ternyata hadits-hadits Rasulullah itu
bukan hanya mengharamkan seseorang memakan harta hasil dari suap-menyuap,
tetapi juga diharamkan melakukan hal-hal yang bisa membuat suap-menyuap itu
berjalan. Maka yang diharamkan itu bukan hanya satu pekerjaan yaitu memakan
harta suap-menyuap, melainkan tiga pekerjaan sekaligus. Yaitu : penerima suap,
pemberi suap, dan mediator suap-menyuap. Sebab tidak akan mungkin terjadi
seseorang memakan harta hasil dari orang suap-menyuap, kalau tidak ada yang
menyuapnya. Maka orang yang melakukan suap-menyuap pun termasuk mendapat laknat
dari Allah juga. Sebab karena pekerjaan dan inisiatif dia-lah maka ada orang
yang makan harta suap-menyuap. Dan biasanya dalam kasus suap-menyuap seperti itu,
ada pihak yang menjadi mediator atau perantara yang bisa memuluskan jalan.
Dari
uraian ayat-ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa praktek jual beli suara
dalam pemilukada tergolong perbuatan risywah.
Ia merupakan suatu perkara yang diharamkan oleh Islam, baik memberi ataupun
menerimanya sama-sama diharamkan di dalam syariat.
Oleh karena itu, setiap perolehan apa saja di luar gaji dan dana resmi dan
legal yang terkait dengan jabatan atau pekerjaan merupakan harta ghulul atau korupsi yang hukumnya tidak
halal meskipun itu atas nama ‘hadiah’ dan tanda ‘terima kasih’ akan tetapi
dalam konteks dan perspektif syariat Islam bukan merupakan hadiah tetapi
dikategorikan sebagai “risywah” atau
“syibhu risywah” yaitu semi suap,
atau juga risywah masturoh yaitu suap
terselubung dan sebagainya. 
Penutup
Sebagai kesimpulan
dapat ditegaskan bahwa jual beli hak suara yang dipraktikkan dalam pemilukada
merupakan tindakan yang melanggar norma negara dan agama sekaligus. Ia
tergolong perbuatan risywah yang
merupakan suatu perkara yang diharamkan oleh Islam, baik memberi ataupun
menerima, termasuk mediatornya. Islam melaknat praktik money politic yang sesungguhnya merupakan salah satu tindakan penyuapan
yang meluluhlantakkan tata nilai dalam masyarakat yang sejatinya dipelihara dan
dijunjung tinggi. Karena itu money politic dapat juga dikatakan sebagai tindakan pidana korupsi, yang
merupakan suatu “virus” yang dapat menggerogoti dan melemahkan moral dan etos
kerja masyarakat. “Virus” money politic yang membahayakan itu setidaknya terlihat
dari tiga efek negatif yang ditimbulkannya.
Pertama, money politic memanjakan sekaligus berpotensi membuat masyarakat malas
bekerja karena sembako, uang dan pemberian yang digelontorkan oleh seorang
kontestan pemilu, pilkada bahkan pemilihan presiden, membuat masyarakat
terbiasa menerima sesuatu tanpa bekerja keras. Jika berlangsung dalam waktu
lama dapat membuat sebagian anggota masyarakat terlatih dan terbiasakan dengan
menerima pemberian-pemberian secara gratis. Jika kondisi ini menjadi pemandangan
umum di tengah masyarakat maka dapat membahayakan sendi-sendi kemandirian
masyarakat, sekaligus akan lebih memiskinkan masyarakat yang sudah terjatuh
dalam kemiskinan. 
Kedua, money politic menjadi pemicu pertama terjadinya lingkaran setan korupsi
karena ketika seorang kontestan menginvestasikan jumlah tertentu untuk meraih
pemenangannya dia sudah berhitung untuk mendapatkan kembali uang yang
diinvestasikannya itu selama dia bekerja sebagai anggota legislatif, bupati,
gubernur dan lain sebagainya.
Ketiga, money politic melahirkan pemimpin tidak sejati, karena pemimpin yang
muncul dari hasil politik uang adalah tipe pemimpin yang sejak awal tidak
memiliki kesejatian untuk memimpin. Ia memerlukan pencitraan yang berbiaya
mahal. Pencitraan ini diperlukan untuk memake up habis dirinya dari seorang
yang semula memang biasa saja menjadi seorang berbeda sehingga tampak layak
untuk dipilih sebagai pemimpin. Dari sisi etika fiqh siyasah, money politic jelas memperlihatkan praktik “pencurian
hak”. Karena money politic yang dilakukan oleh seseorang
mengakibatkan berpindahnya hak memimpin yang semestinya pantas untuk diperoleh
oleh seseorang dan beralih kepada seseorang yang bukan berhak menerimanya.    
Pustaka Acuan
 Dalam
sejarah praktek pemerintahan Islam, sejak zaman Khalifah al-Rasyidin, pada masa
kekuasaan Bani Umayah dan Abbasiyah, mempunyai pola yang berbeda dalam
pelaksanaan  pemilihan kepala daerah.
Begitu pula para pemikir politik Islam mempunyai beragam pandangan dalam
persoalan tersebut. Ada pola pemilihan melalui penunjukkan pola musyawarah di
antara wakil-wakil rakyat. hal ini dikarenakan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul
sebagai sumber ajaran tidak menggariskan pola yang baku tentang pengangkatan
kepala daerah. Hal yang terpenting tampaknya, walaupun  pola pengangkatan kepala daerah akan banyak
bergantung pada situasi dan budaya politik yang sedang berlangsung, namun tetap
harus menjamin terpilihnya kepala daerah yang cakap mengatur rakyat dan mampu
menegakkan syariat Islam. Lihat Agus Nugraha, Pemilihan Presiden Dalam Islam, dalam Refleksi Jurnal Kajian Agama
dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Vol. VI, Nomor 3, 2004, h. 325.
 
 
 Siyasah
yang didasarkan pada Al-Qur’ân dan Al-Hadîst dikenal dengan
istilah siyasah syar`iyyah, yakni siyasah yang dihasilkan oleh pemikiran
manusia yang berdasarkan etika, agama dan moral dengan memperhatikan
prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur hidup manusia bermasyarakat dan
bernegara. Siyasah syar`iyyah ini dikenal juga dengan istilah fiqh siyasah.
Ibid.   
 
 Lihat
Q.s. Al-Mā’idah [5]: 48; Q.s. Ṣād
[38]: 26; dan Q.s. An-Nisā’ [4]: 58. 
 
 Dalam
pemilu, para pemilih juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta
pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye.
Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari
pemungutan suara.  
 
Keanehan dalam pemilukada tersebut, timbul karena memang persoalan kehidupan
rakyat kurang menjadi agenda utama. Justeru yang menjadi agenda utama adalah
dukung mendukung kandidat. Di mana kandidat dipromosikan begitu sempurna,
dengan beragam spanduk, baliho, ditambah dengan berbagai ‘jargon’ dan
janji-janjinya. Kegiatan selebrasi kandidat, nampaknya mengalahkan perhatian
dan pembahasan tentang persoalan kerakyatan. 
 
 Fatwa
juga menyarankan untuk menjauhi perilaku seperti itu dan bersatu untuk
memeranginya, juga menekankan bahwa Islam mempromosikan kejujuran. Pembelian
suara biasanya menjadi perdagangan yang berkembang selama pemilihan parlemen
Mesir. Banyak pengusaha mengandalkan teknik di negeri ini, di mana 40 persen
warga hidup di bawah garis kemiskinan. 
 
 Lihat
M. Hasbi Umar, Paradigma Baru Demokrasi Di Indonesia:Analisis Terhadap Pelaksanaan Pemilu Legislatif, Jambi, Syariah Press, 2009, h. 12. 
 
 Money politic atau politik uang adalah semua tindakan
yang disengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada
seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu
tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat
suaranya menjadi tidak sah atau dengan sengaja menerima atau member dana
kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang menurut ketentuan
undang-undang atau dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam
laporan dana kampanye pemilu. Jadi, Money Politics merupakan istilah yang
berarti penggunaan uang untuk membeli dukungan politik melalui transaksi jual
beli suara. 
 
 Sangat
rentan terjadi money politic di
kalangan masyarakat menengah ke bawah, bahkan dalam kontek kini, bukan hal yang
tabu bila politik uang telah mengakar di setiap rongga masyarakat kaum bawah.
Masyarakat kalangan menengah ke bawah menjadikan masa kampanye sebagai momen
untuk meraup sejumlah rupiah dari para bakal calon. Tim sukses memanfaatkan
keterbatasan ekonomi masyarakat sebagai cara menggiring masyarakat untuk
memilih calon yang diinginkan. Tim sukses menjadi perantara negosiasi
terselubung pembelian suara ini.  
 
Menjadi
seorang tokoh politik di negeri ini sungguh mahal harganya. Jika bukan
keturunan bangsawan atau keturunan pemimpin terdahulu, jangan berharap bisa
duduk di singgasana penguasa. Sebaik apapun calon pemimpin di negeri ini, sulit
menghindari sistem yang ada. Akhirnya terjerembab pula dalam permainan politik
yang tidak sehat. 
 
 Lihat
al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang
diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu” (Lisanul
Arab, dan Mu’jam Wasith). 
 
 Hadits Riwayat al-Khamsah dishohihkan oleh
at-Tarmidzi.