HUKUMAN MATI ATAS DELIK PEMBUNUHAN
MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
PENDAHULUAN 
Dalam
sejarah peradaban manusia, jenis kejahatan yang pertama kali muncul adalah
tindakan pembunuhan. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam Al-Qur’an tentang sejarah kedua putera Adam: Qobil dan Habil
seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kasus penghilangan nyawa tampaknya telah
berusia seusia umat manusia di muka bumi, Islam dan agama-agama lainnya secara
tegas menyatakan bahwa manusia adalah mulia. Sedemikian mulianya manusia
sehingga Allah SWT menurunkan apa yang disebut "syari'ah" dalam
rangka menjamin kelangsungan hidup umatnya. Islam memandang tindakan pembunuhan
sebagi perbuatan yang pantas mendapatkan hukuman yang setimpal. Sebab akibat
lebih jauh perbuatan tersebut tidak saja terhadap si korban (al-Mujma), tapi
juga terhadap masyarakat (al-Mujtama'). 
Ajaran
Islam dengan konsep amar ma'ruf nahi mungkar merupakan
jusrifikasi religius dan universal untuk memberantas segala bentuk kejahatan,
baik kejahatan yang bersifat moral maupun bersifat sosial. Itulah sebabnya setiap kejahatan harus dikuburkan, dan kebaikan mesti disubur.
Karena itu Allah SWT menurunkan Islam untuk menjamin setiap sisi kehidupan manusia.
Dalam perspektif hukum pidana Islam, kejahatan-kejahatan yang dapat dijatuhi
hukuman mati adalah; tindakan kejahatan perampokan (hirabali) , pemberontakan
(bughat), konversi agama (riddah), Zina muhsan dan pembunuhan
yang dilakukan dengan sengaja (al-Qatl-Amdu).
Dari kelima kejahatan tersebut yang
termasuk kategori terkena sangsi pidana mati adalah tindak kejahatan pembunuhan
yang dilakukan dengan sengja yang hendak penulis jadikan sasaran bidik dalam
penulisan ini. Tindak pidana pembunuhan, apabila dilihat dari segi rumusan yang
ada dalam KUHP, delik. tersebut termasuk kategori tindak pidana material, yang
pada akhirnya menghiiangkan nyawa seseorang. Terlepas dari pro dan kontra pada
hakekatnya ini yang pasri secara yuridis hukuman mati masih tervantum dalam
KUHP pada pasal 340 bab XIX.
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis sangat tertarik sekali untuk mengadakan
penelitian ilmiah tentang kedudukan pidana mati atas delik pembunuhan menurut
hukum pidana Islam dan hukum pidana pidana positif. Penelitian ini bertujuan
untuk menjelaskan pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif
mengenai kedudukan pidana mati atas delik pembunuhan dan menjelaskan mengenai
niali-nilai filosofis dan analisa perbandingan yang dapat diambil dari pidna mati
atas delik pembunuhan dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
1.
        Pidana Mati Munurut Hukum Islam
Islam sebagai salah satu agama samawi, mempunyai kesamaan
persepsi tentang hukuman mati terhadap perilaku kejahatan pembunuhan yang
dilakukan secara sengaja. Dalam Konsep Islam eksistensi tentang hukuman mati
sebagi sebuah sangsi hukum diilustrasikan oleh Al-Qur’an. Berangkat dari terma Qur'ani tersebut mengharuskan
penulis untuk menelitinya secara lebih jauh. Dalam Al-Qur’an disebutkan dengan berbagai macam istilah yang diancamkan
untuk beberapa kasus jarimah atau kejahatan tertentu yaitu sebagai berikut: Pertama,
pidana mati dengan sebutan Qisas. Konsep pidana mati diekspresikan dalam
al-qur'an dengan sebutan "qisas". Qisas berarti akibat yang
sama (hukuman yang serupa atau sejenis) yang dikenakan kepada pelaku tindakan
pidana. Islam lahir dengan membuat platform baru
dalam hukuman qisas. Dalam Islam tidak ada lisensi untuk meiibatkan orang yang
tidak terlibat. Keluarga pelaku kejahatan tindak pembunuhan tidak dapat dikenai
balasan apalagi sukunya. Semua orang hanya bertanggung jawab atas apa yang
dikerjakarmya. Bahkan kehadiran Islam jauh lebih maju dengan penvajahan yang
konkrit tentang batasan qisas. Hal ini tercermin dalam Al-Qur’an
 Sekalipun kedudukan qisash dalam pandangan hukum pidana
Islam merupakan pidana pokok, tetapi fungsionalisasinya harus ditempatkan
sebagai "alternatif terakhir. 
Kedua, Pidana Mati
dengan Sebutan Rajam. Secara segi etimologi rajam adalah bentuk verbal noun
atau masdar dari kata kerja rajam yang berarti melempari dengan baru. Dalam terminologi fiqh perkataan
berarti  melempari pezina muhsan (sudah
nikah) dengan batu atau semacamnya sampai menemui ajalnya. Sedangkan bagi
pelaku zina yang belum nikah diberlakukan hukuman berupa jilid (cambuk) seratus
kali. Dasar normatif dari hukuman rajam adalah hadis Nabi untuk dirajam hingga
mati. Eksistensi rajam dalam hukum pidana
Islam, sesungguhnya yang lebih penting ditangkap adalah run nasriya. Artinya
beban hukuman yang demikian berat mestinya menjadi filter bagi setiap muslim
tidak melanggarnya. Sehingga ada semacam tameng psikologis bagi orang yang
mencoba untuk melakukannya. Ketiga, pidana mati dengan sebutan riddah.
Secara etimologi berasala dari kata yang berarti menolak atau keluar. Menolak di sini berarti menolak dari
nilai-nilai kebenaran agama Islam, dalam istilah teologis dan fiqh disebut
murtad. Pidana mati ini khusus untuk kasus kejahatan riddah yang bersifat
desersi. Ketiga, Pidana Mati dengan, sebutan Harabah Secara bahasa
lafazd berasal dari kata yang berarti merobohkan atau menghancurkan Maksudnya adalah berbuat sesuatu yang
dapat menggangu eksistensi kehidupan yang damai, dengan membuat kerusakan
dengan cara merampok dan membunuh. 
Sedangkan pidana mati dalam perspektif Hukum Pidana Positif
terdapat tiga macam teori, yaitu pertama teori Retributive, Teori yang
mengajarkan bahvva dasar dari suatu keadilan hukum harus dicari dari dalam
perbuatan delik itu sendiri. Menurut
teori ini, pidana dimaksudkan untuk membalas tindak pidana yang dilakukan
seseorang. Kedua, teori Relatif, teori ini lebih menekankan pada
pencarian daripada tujuan penjatuhan sebuah hukuman, yakni menjerakan pelaku
kejahatan (ne peceture). Menurut teori ini hukuman adalah media bagi upaya
yang dapat dipergunakan untuk menjerakan pelaku kriminal. Dan ketiga adalah
teori gabungan tujuan pidana selain membalas kesalahan penjahat juga
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban. Teori
gabungan diciptakan oleh karena menurut ajaran terori tersebut baik teori
mutlak maupun teori relatif (tujuan) dianggapnya berat sebelah. 
2. Pidana Mati atas Delik Pembunuhan Menurut
Hukum Pidana Islam
Pembunuhan adalah unsur utama dan pertama dari aneka
jarimah (tindak pidana) atau kejahatan, lahir bersama dengan keberadaaan
manusia di dunia ini, membawa malapetaka dan kehancuran, meretakan tali
persaudaraan dan persatuan di dalam masyarakat dan bangsa. Pembunuhan adalah
segala aktivitas atau perbuatan seseorang yang dilakukan dengan sengaja yang
mengakibatkan matinya seseorang, di samping itu juga ia menghendaki
kematiannya. Oleh karena itu delik pembunuhan dalam persepektif Islam merupakan
salah. satu dosa besar sesudah mempersekutukan Allah. Pengertian pembunuhan
dalam hukum pidana Islam secara istilah mendapat perspektif yang bervariasi.
Berdasarkan kenyataan inilah rnereka membagi dan mengklasifikasikan delik
pembunuhan menjadi tiga. Ketiga terminologi mi dapat diaktualisasikan sebagai
berikut; Pertama, Pembunuhan Sengaja (al-Qotl al-'Amd), Kesengajaan melakukan suatu
perbuatan terlarang seperti sengaja menghilangkan nyawa orang lain. Kedua, Pembunuhan
Semi Sengaja (Syibh al-'Amd), dimaksudkan dengan pembunuhan semi sengaja
adalah suatu perbuatan penganiayaan terhadap seeorang tidak dengan maksud
membunuh tetapi mengakibatkan kematian seseorang. Dalam kasus pembunuhan semi sengaja
ini menurut ketentuan hukum Islam tidak dijatuhi hukuman mati. Hanya saja
pelaku harus dikenai hukuman diat sebagai hukuman pokok dan kafarah.
Sedangakan sebagai hukuman pengantinya adalah hukuman ta'zir. Terlepas dari itu
semua, namun hemat penulis, pelaku tetap dipandang berdosa dan hukumannya
berada ditangan penguasa sesuai dengan pertimbangan-pertimabangan yang rational
Ketiga, pembunuhan Tidak Sengaja (al-Qatl al-Khata) yang dimaksud dengan
pembunuhan tidak sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang dengan
tidak adanya maksud sipelaku untuk membunuh seseorang. 
Dalam hukum pidana Islam suatu perbuatan baru dapat dianggap
sebagai tindak pidana, baik pidana hudud, qisas maupun ta'zir, apabila telah
ada ketentuan hukum yang melarangnya. Larangan ini bersumberkan pada ketentuan Nas
shar'i sangat menentukan adanya hukum. Oleh karena itulah, suatu perbuatan
baru dapat dipandang sebagai tindak pidana (jarimah) apabila memenuhi
tiga unsur: yakni, pertama, unsur formil (ruk al-Shari'i), artinya
bahwa tindakan hukum telah mempunyai kekuatan yang melarangnya. Kedua, unsur
materil (nikn al-Maddi), artinya adanya tingkah laku yang membentuk
pidana. Ketiga, unsur moril (rukn a!- Adabi), yakni bahwa
perbuatan pidana itu dilakukan oleh orang yang mukallaf.
Demikian halnya terhadap delik pembunuhan yang dilakukan
secara sengaja unsur-unsur inilah yang kemudian dapat menentukan kuantitas dan
kualitas hukuman yang akan dijatuhkan terhadap pelaku delik pembunuhan. Dalam
kasus pembunuhan sengaja, seseorang baru dapat dijatuhi pidana mati apabila
telah memenuhi tiga unsur, yakni, pertama, adanya unsur bahwa yang
menjadi korban itu adalah manusia yang masih hidup (al-Qatl Adamiyun Hayun).
Dalam konteks bahwa manusia adalah mahluk yang darahnya untuk dicabut
Karena darah manusia adalah terlindungi oleh hukum Islam. Kedua, perbuatan
itu sebagai akibat dari tindakan pelaku kejahatan (al-qati Natijat Li fi'il
al-jani). Dalam hal ini tindakan pelaku menimbulkan kematian si korban.
Jadi, apabila suatu pembunuhan merupakam akibat dari suatu perbuatan tetapi
tidak dapat dibuktikan atas perbuatan pelaku, maka pembunuhan tersebut tidak
dapat disebut pembunuhan. Dan ketiga, pelaku sengaja ingin menghilangkan
nyawa seseorang. atau korban, inilah unsur yang terpenting dalam kasus
pembunuhan sengaja
Adapun. dasar yuridis pidana mati atas delik pembunuhan dalam hukum pidana
Islam, suatu perbuatan baru dapat dianggap sebagai suatu delik pidana dan
mendapatkan hukuman apabila telah ada Nas yang menunjukan adanya hukuman delik.
Berangkat dari penjelasan di atas, tindak pidana  pembunuhan 
yang  dilakukan secara sengaja,
dengan sangsi hukuman pidana mati telah mendapatkan legimitasi dari Al-Qur’an 
3. Pidana Mati atas Delik Pembunuhan dalam
Hukum Pidana Positif
Pada dasarnya tindak pidana delik pembunuhan merupakan
suatu tindakan yang secara formil bertentangan dengan ketentun
perundang-undangan. Secara substansial mempunyai arti bahwa perilaku pembunuhan
melakukan perlawanan dan melanggar terhadap perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan aspek materialnya yakni bahwa perbuatan itu bisa berakibat kepada
kematian seseorang. Dua aspek inilah yang mengharuskan terjadinya sebuah
hukuman dalam suatu aturan perundang-undangan.
Apabila kita berusaha untuk menjabarkan suatu rumusan
tindak pidana (deiik) kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita
jumpai adalah disebutkannya seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang
terlarang oleh undang-undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, suatu tindakan
itu dapat merupakan "een doen" atau "een niet
doen" yang berarti berbuat atau tindak berbuat sesuatu tindakan. 
Setiap unsur tindakan pidana yang terdapat dalam hukum
pidana positif, pada umumnya dapat kita golongkan menjadi dua macam unsur,
yaitu unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur obyektif. Yang dimaksud dengan
unsur-unsur subyektif unsur-unsur yang terdapat pada diri si pelaku atau
unsur-unsur yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya
adalah segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Oleh karena itu jika
ditinjau dari segi subyektif, maka peristiwa pidana adalah segi kesalahan,
artinya akibat yang telah dilakukan si-pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan
itulah yang tidak dikehendaki undang-undang  
Melihat rumusan dari kedua unsur pokok dalam suatu tindak
pidana (delik) tersebut di atas, maka dapatlah diketahui adanya suatu perbuatan
atau tindak pidana dan dapat pula ditentukan ada tidaknya sangsi yang dapat
dijatubkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.
Sesuai dengan pejelasan-penjelasan di atas, maka dapatlah
dipahami apa yang dimksud dengan istilah pidana mati atas delik pembunuhan
menurut hukum pidana positif atau dalam kitab undang-undang. Jadi yang dimaksud
delik pembunuhan yang dijatuhi hukuman mati adalah suatu kesengajaan yang
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan tujuan untuk membunuh atau
menghilangkan nyawanya. Kematian itu yang menjadi tujuan atau kehendak dari
pelaku, maka perbuatan tersebut disebut masuk dalam klasifikasi delik
pembunuhan.
Berdasarkan ketentuan hukum pidana positif pengancaman
sangsi pidana mati adalah hanya diperuntukan bagi kejahatan-kejahaatn tertentu
yang sifatnya sangat serius, yaitu bentuk-bentuk kejahatan yang menghilangkan
jiwa seseorang (pembunuhan). Hukuman mati yang dijatuhkan pada delik pembunuhan
dalam perspektif hukum pidan positif memilki nilai "behavioral
human", untuk selalu patuh dan tunduk terhadap nilai-nilai hukum
luhur. Oleh karena itu dasar yuridis pidana mati atas delik pembunuhan menurut
hukum pidana yaitu: pembunuhan berencana, ini diatur dalam KUHP pada pasal 340,
yang-berbunyi:
"Barangsiapa
dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang
lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moond), dengan hukuman
mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lama dua puluh
tahun" 
4. Nilai-nilai Filosofis Pidana Mati atas
Delik Pembunuhan
Bangsa yang beradab dapat ditandai dengan adanya
perlindungan terhadap eksisitensi manusia yakni dengan menjaga kelangsungan
hidup baik secara induvidual maupun kolektif. Perlindungan ini dapat berupa
berbenruk seperti larangan, perintah berbuat, menjaga martabat keselamatan manusia
serta pembelaan dalam benruk hukuman yang memuat sangsi. Dalam hukum pidana
mati atas delik pembunuhan terkandung nilai-nilai yang menjadi dasar penetapan.
hukuman pidana mati tersebut. Paling tidak ada tiga nilai yang terkandung di
dalamnya, yakni moralitas, keadilan dan kemanusiaan.
a.
Nilai Moralitas Pidana Mati atas Delik pembunuhan
        Nilai moralitas Dalam hukum pidana
Islam dan pidana positif aspek moral dipandang sebagai masalah yang penting dan
sangat strategis, dengan moral dapat dijadikan sebagai landasan kuat bagi
terbentuknya suaru tatanan masyarakat yang kondusif dan obyektif. Karena
urgensnya inilah, Fazlur Rahamn, sampai pada suaru kesimpulan bahwa semangat
daripada Al-Qur’an adalah semangat
moral. Norma moral dalam Islam diekspresikan dengan konsep amar ma'ruf nahi
mungkar. Memang problem moral dalam Islam sejak awal telah diproklamasikan
Nabi Muhammad sebagai suatu misi kenabian. 
Dapat pula dipahami bahwa persoalan moral adalah suaru
persoalan yang melekat dengan diri manusia. Jadi, moral berfungsi sebagai
standar mekanis dalam menentukan perbuatan mana yang layak dan tidak layak
untuk dikerjakan. Moral tidak saja terdapat dalam tindakan itu sendiri, tetapi
ia juga terdapat dalam keinginan untuk hidup secara benar di dalam upaya untuk
berbuat baik. Oleh karena itu, moral dapat dipandang sebagai suatu aturan etika
(kesusilaan) hidup. Walaupun moral berbicara dari sisi bathiniyah (aspek
esoterik manusia), namun ia sangat kuat kaitannya dengan aturan-aturan yang
bersifat normatif (hukum), karena antara moral dengan hukum sama-sama
dimaksudkan sebagai upaya menjaga ketertiban diri dan masyarakatnya.
Hubungan moral dengan hukum itu sendiri, itu sangat
signifikan. Karena hukum tanpa moral adalah kezaliman, dan moral tanpa hukum
adalah anarchi dan Utopia yang mengarah kepada anarki. Hukum
tanpa keadilan dan moralitas, bukanlah hukum dan tidak akan bisa bertahan lama.
Sistem hukum yang tidak memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas
pada akhirnya tak akan kuat artinya, hukum dan moral harus berdampingan, karena
moral adalah pokok daripada hukum 
Jadi, dalam masyarakat terdapat hubungan kental antara
moral sosial dengan perintah'hukum. Bila dalam aturan kesusilaan (moral) yang
dimuat adalah ajaran yang berupa pujian dan celaan maka dalam norma hukum
dimuat perintah dan larangan yang diperkuat dengan ancaman dan sangsi bagi
orang yang mengabaikan, meskipun coraknya berbeda namun bentuk-bentuk yang
dilarang dalam hukum adalah suaru bentuk yang dipuji dan dicela dalam aturan
kesusilan, sehingga pada akhirnya patokan hukum tersebut berurat pada norma
kesusilaan. 
Pada dasarnya tujuan hukuman pada hukum pidana Islam dan
positif adalah untuk menjerakan dan memperbaiki pelaku kejahatan sekaligus
masyarakat yang berarti bahwa ketika hukuman itu dijatuhkan, maka masyarakat
akan menyadari bahwa bertindak atau melakukan suatu perbuatan pidana dapat
merugikan diri sendiri dan masyarakat, dengan demikian berarti bahwa hukuman
dapat menumbuhkan kesadaran moral untuk selalu berhati-hati dalam bertindak,
dengan demikian penjatuhan pidana mati atas pelaku kejahatan pembunuhan
sengaja, maka secara lebih jauh akan memberikan kesadaran kepada orang lain
untuk berpikir tidak melakukan kejahatan pembunuhan. Adanya kesadaran ini yang
kemudian dapat membentuk sikap individu dan masyarakat yang pada akhirnaya
dapat membangun suatu tatanan kehidupan yang menarnpilkan rasa saling kasih
sayang, saling menghormati dan mencintai sesama, mengetahui batas-batas hak dan
kewajibannya. 
Penetapan pidana mati atas delik pembunuhan dengan sengaja
dapat dijatuhi hukumam mati menurut pidana Islam dan hukum pidana positif, ini
semua dengan beralasan: pertama, pembunuhan sengaja merupakan suatu
tindakan penghancuran terhadap nilai kehidupan seseorang, yang secara fundamental
dimiliki oleh setiap orang. Kedua, tindakan pembunuhan sengaja tidak
dapat diragukan lagi kejahatannya lagi. Ketiga, tindakan seperti ini
dapat menimbulkan emosi yang cukup kuat pada seseorang. Oleh karena itu akan
menjadi sangat mudah untuk melahirkan rasa benci dan permusuhan terutama pada keluarga korban dan
memang secara psikologis merekalah orang pertama mendapatklan kesedihan. Maka
untuk mengobatiinya adalah dengan menjatuhkan pidana mati atas pelaku kejahatan
atas kejahatan yang telah dilakukan, yakni membunuh secara sengaja. 
b.
Nilai keadilan pidana mati atas delik pembunuhan.
Hal ini mencakup pada dua hal yang penting, yakni: Pertama, nilai Keadilan hukum.
Keadilan dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam merupakan perpaduan
yang menyenangkan antara hukum dan moralitas. Dalam pidana mati atas delik
pembunuhan secara sengaja dan terencana merupakan tindakan yang melawan hukum
dan cermin dari wajah ketidak-adilan. Artinya sipelaku sadar dan mengetahui
akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan itu sendiri, yakni
menghilangkan nyawa seseorang tanpa mendapatkan legitimasi hukum. Maka tindakan
tersebut dipandang sebagai sebuah kezaliman atau ketidak adilan, sebab
ketidak-adilan dan kezaliman menurut terminologi hukum pidana Islam dan hukum
pidana positif adalah tindakan yang sedemikian rupa yang melewati batas-batas
kebenaran serta melanggar hak-hak orang lain d.an melampaui batas-baas yang
dimiliki seseorang yang bukan menjadi haknya. 
Jadi jelaslah, bahwa pembunuhan secara sengaja merupakan
tindakan yang pantas dijatuhi hukuman yang sepadan. Ini menunjukan apa yang
disebut sebagai prinsip keadilan hukum. Bahwa tidak seorang pun yang dapat
lolos dari konsekwensi hukum, apakah yang membunuh itu muslim atau non muslim
mereka tetap dikenai hukuman. Dalam konteks ini dapat ditarik suatu pemhaman
bahwa penetapan pidana mati atas pelaku kejahatan pembunuhan secara sengaja
semata-mata untuk menegakan keadilan hukum. Oleh sebab itulah, antara hukum
pidana Islam dan positif tidak pernah melakukan diskriminasi terhadap siapa
pun, sehingga seseorang yang telah membunuh mereka tetap diancam dengan hukuman
mati. Kedua, nilai keadilan sosial, adalah keadilan yang merata dalam
segenap lapangan kehidupan, bidang ekonomi, bidang soisal dan bidang kebudayaan
yang dapat dirasakan oleh masyarakat,
ini berarti bahwa terciptanya suatu masarakat yang seimbang, harmonis dalam
berbagai aspek kehidupan merupakan suatu bentuk dari keadilan sosial. 
Dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif hemat penulis,
pelecehan atau segala bentuk kejahatan merupakan anti sosial. "Artinya
tindakan tersebut sudah tidak sesuai dengan semangat keadialn sosial. Kejahatan
pembunuhan adalah bukti yang paling nyata dari kejahatan sosial, karena
pembunuhan tidak saja mengakibatkan terdistorsinya suatu kehidupan indinvidu,
tetapi memiliki akibat negatif bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu
ketentuan hukum menjadi sangat signifikan, karena betapa pun manusia telah
mencapai pendidikan yang tingggi, dan betapa pun adil dan kokohnya suatu sistem
sosial, tapi masih ada orang yang melakukan kejahatan seperti pembunuhan dan
kesewennag-wenagan, yang tidak mungkin bisa dicegahnya kecuali dengan hukuman
yang kadang-kadang harus berat dan keras.
Pidana mati atas delik pembunuhan yang ditetapkan oleh
hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, tidaklah semata-mata menjadi suatu
jawaban tersendiri terhadap pelaku kejahatan pembunuhan, tetapi juga demi
terciptanya suatu tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial yang dihiasi dengan
nilai-nilai kedamaian, sehingga keamaann dan ketertiban masyarakat menjadi
terjamin.
Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dikemukan di
atas, dapat dipahami bahwa apa yang dinamakan dengan pembunuhan merupakan suatu
ketidak-adilan dan karena merupakan ketidakadilan, maka upaya buntuk membasminya
menjadi suatu hal yang mendasar, demi terciptanya tatanan hidup yang
berprikehidupan yang berkeadilan sosial. Artinya suatu keadilan yang dapat
dirasakan oleh masarakat.
c. Nilai Kemanusiaan Pidana Mati atas Delik
Pembunuhan
Semua nilai moral, keadilan, persamaan, periakuan yang suci
dan sebagainya adalah disucikan dan tidak ada bedanya dengan agama.
Keabsahannya adalah tergantung pada keahlian yang tidak mengenal perbedaan
antara manusia dengan manusia lainnya. Moralitas dan keadilan adalah dua kata
yang inheren dengan sisi kemanusiaan. Artinya bahwa kedua nilai tersebut berada
pada diri manusia dan selalu didambakan. sedangkan sisi positif, yaitu
cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri, perlakukanlah kepadanya apa
yang engkau ingrnkan untuk diri sendiri. Rumusan kemanusiaan seseorang harus
dilihat dari sudut manusia itu sendiri (aspek internal dan bukan aspek
eksternainya), yakni; bagaimana manusia itu berprilaku baik terhadap dirinya
sendiri maupun orang lain, dengan kata lain, bahwa sudut kemanusiaan seseorang
dipandang dari kemanusiaan diri sendiri. Karena secara esensial, bahwa
kemanusiaan seseorang justru diadakan untuk melindungi hak asasi manusia, bukan
untuk melindungi orang yang tidak berprikemanusiaan atau orang yang tidak
menghargai hak asasi orang lain.  
Dalam Islam, eksistensi manusia tampak sebagai makhluk yang
paling mulia, karena tidak jarang Al-Qur’an menggambarkannya dengan nilai indah, seperti; manusia
sebagai khalifah di muka bumi, memiliki intelgensi yang tinggi, memiliki
kesadaran moral, diberikan pembawaan mulia dan martabat, manusia sebagai
makhluk pilihan, manusia adalah makhluk sempurna. Namun demikian, manusia
adalah makhluk yang sangat rendah, sehingga Al-Qur’an mendeskripsikannya dengan makhluk yang suka berbuat
kezaliman, mengingkari nikmat, gemar malampaui batas dan lain sebagainya.
Selanjutnya, nilai kemanusiaan terletak pada manusia itu
sendiri yang diekspresikan dengan prilaku kehidupannya yang dihiasi dengan
nilai-nilai ketaatannya dan kepatuhannya terhadap norma-norma Tuhan. Dari
perspektif inilah, kemudian kita dapat melihat suatu pandangan yang apabila
dikaitkan dengan pidana mati, maka sesungguhnya penetapan tersebut berdasarkan
pada realitas kemanusiaan yang ingin dijunjung tinggi. Bila seseorang
memelihara kehidupannya (dengan tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh
hukum agama, moral) maka sesungguhnya ia telah meletakkan nilai kemanusiaan
dirinya dan orang lain, dan sebaliknya, bila melakukan hal-hal yang dilarang
atau membunuh orang lain, maka ia telah merampas kemanusiaannya. Oleh karena
itulah, Allah melarang membunuh diri sendiri.
Berdasarkan ayat di atas, maka menganiaya diri sendiri atau
bahkan bunuh diri merupakan dosa besar. Hal ini merupakan tantangan terhadap
ketentuan Tuhan dan kekuasaan-Nya yang di akhirat kelak akan mendapatkan
hukuman/siksaan dari Allah SWT. Oleh sebab itulah, dapat dipahami bahwa hukum
Islam yang menetapkan pidana mati dalam struktur hukumnya dapat dipandang
sebagai upaya terapi atas tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Jadi, tidak
sama sekali dimaksudkan sebagai upaya balas dendam seperti yang selama ini
dituduhkan oleh mereka yang melihat hukum Islam secara sepihak. Karena
pembunuhan yang tidak dibenarkan menurut konsepsi hukum Islam dan hukum pidana
positif sebagai cerminan dari sebuah tindakan tak bermoral, tak berprikeadilan
dan tak berprikemanusiaan, maka ketetapan Islam atas pidana mati di atas justru
menunjukkan kenyataan ini.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dalam hal ini, penulis
dapat mengambil suatu komparatif atau perbandingan mengenai pidana mati atau
hukuman pidana mati atas delik pembunuhan antara hukum pidana Islam dan hukum      pidana positif:
                                                                                   Pertama, pada
aspek esensi Tindak Pidana (Jarimah) Tindak pidana adalah suatu perbuatan. yang
melanggar atau bertentangan dengan undang-undang pidana yang dilakukan oleh
seseorang yang dianggap bersalah dan mampu untuk mempertangungjawabkannya,
perbuatan dimana dapat diancam dengan hukuman undang-undang Dari rumusan mengenai pengertian
tindak pidana di atas, maka dapatlah diketahui bahwa unsur-unsur suatu tindak
pidana dalam hukum pidana positif adalah: pertama, adanya perbuatan; yang
mencakup kelakukan dan akibat. Kedua, perbuatan yang dilakukan itu telah
melanggar atau bertentangan dengan undang-undang sehinggga dapat diancam dengan
hukuman. Ketiga, perbuatan itu dilakukan oleh orang yang mampu untuk
mempertangungjawabkannya Dari pernyataan
di atas, dapatlah diketahui bahwa sesuatu perbuatan delik pembunuhan dapat
dianggap dan dijatuhi pidana mati apabila adanya unsur-unsur kesengajaan yang
dapat menghilangkan nyawa seseorang. 
Adapun unsur-unsur suatu tindak pidana atau jarimah di
dalam hukum pidana Islam, adalah; Pertama, unsur formil (Rukn
al-Syari'), yaitu adanya larangan Nas yang ditujukan pada perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang, yang mana perbutan itu dapat diancam dengan hukuman. Kedua,
unsur materil (Rukn al-Maddnh), yaitu adanya perbutan yang dapat dianggap
sebagai jarimah, baik terhadap perbuatan yang nyata maupun sikap tidak berbuat.
Ketiga, unsur moril (Rukn al-adabi), yaitu bahwa pelaku adalah
orang yang mampu mempertanggungjawabkan jarimah yang telah dilakukan.
Oleh karena itu, pidana mati atas delik pembunuhan
menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana positif apabila di analisis lebih
cermat, baik dari segi unsur-unsur yang membentuk jarimah, maupun rumusan dari
masing-masing tindak pidana tersebut pada hakekatnya adalah sama. Yakni
sama-sama ada unsur kesengajaan di dalam tindak pidana (jarimah) tersebut
dalam arti si pelaku memang bersengaja melakukan suatu pembunuhan yang
berakibat hilangnya nyawa seseorang.
Kedua, pada aspek pertanggungjawaban tindak pidana. Menurut
hukum pidana positif setiap melanggar hukum atau melawan hukum harus di
pertanggungjawabkan selama orang yang melakukan perbuatan hukum itu. Oleh
karena itu, perlu diketahui apabila ada sesuatu tindak pidana yang terjadi,
maka di dalam tindakan tersebut harus terdapat dua syarat yang senantiasa
berkaitan. Pertama, adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum dalam
rumusan perundang-undangan hukum pidana sebagai sendi perbuatan pidana. Kedua,
perbuatan yang dilakukan dapat di pertanggung jawabkan sebagai sendi
kesalahan. 
Dalam hukum pidana Islam setiap pelanggaran-pelanggaran
terhadap perintah yang telah di tetapkan oleh syari'at ataupun meninggalkan
perintahnya, semuanya harus di pertanggungjawabkan baik di dunia maupun di
akhirat. Dari rumusan ini diketahui bahwa terwujutnya pertanggunganjawab pidana
di dalam hukum pidana Islam, harus memenuhi tiga syarat (1) adanya perbuatan
yang dilarang (2) perbuatan tersebut di kerjakan atas kemauannya sendiri (bukan
dipaksa atau terpaksa) (3) pelakunya menyadari terhadap perbuatan yang
dilakukannya, berarti pelakunya adalah seorang yang berakal, dewasa, dan bukan
anak kecil.
Dengan demikian pertanggung jawaban (pidana), baik dari
aspek hukum pidana positif maupun dalam hukum pidana Islam, keduanya mempunyai persamaan
dan juga mempunyai perbedaan. Dari segi persamaannya, adalah bahwa perbuatan
pidana pembunuhan yang telah dilakukan seseorang, wajib di pertanggung jawabkan
di depan sidang pengadilan, selama orang yang melakukan tindak pidana tersebut
dianggap mampu untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Sedangkan dari
segi perbedaannya adalah bahwa perbuatan pidana yang dilakukan menurut hukum
pidana positif itu hanya dihadapkan di depan sidang pengadilan di dunia saja.
Sedangkan menurut hukum pidana Islam, perbuatan pidana yang dilakukan seseorang
di samping harus dipertanggungjawabkan di muka sidang pengadilan (di dunia),
juga harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt (akhirat).
PENUTUP
Eksistensi hukuman pidana mati dalam hukum pidana Islam dan
hukum pidana positif hanya diperuntukkan terhadap jenis-jenis kejahatan
tertentu yang bersifat serius. Dasar justifikasi eksistensi dari pidana mati
menurut hukum Islam dan hukum pidana positif adalah terletak pada orientasi
tujuannya yang justru bermaksud untuk melindungi hak hidup manusia sebagai hak
asasi manusia yang paling mendasar. Pandangan Hukum pidana Islam terhadap
pidana mati atas delik pembunuhan adalah bahwa penerapan hukuman mati terhadap
delik pembunuhan ini pada dasarnya mempunyai nilai-nilai ketepatan hukum, yang
dapat dilihat dari dua sudut pandangan, yakni, pertama, dari sudut
sosial kemasyarakatan, bahwa defik pembunuhan dalam hukum pidana Islam
merupakan suatu perbuatan.menghilangkan nyawa seseorang yang tidak sesuai
dengan nilai keadilan dan moralitas. kedua, dari sudut individu, dengan
diterapkannya hukuman mati atas delik pembunuhan akan melahirkan sikap
kehatian-hatian seseorang dalam melakukan tindakan pembunuhan, sehingga tidak
terjebak dalam perilaku yang destruktif,' dan melanggar hak-hak asasi manusia.
Menurut pandangan hukum pidana positif, bahwa delik
pembunuhan merupakan tindakan secara formil bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan, dan secara materialnya, yakni bahwa perbuatan itu bisa
berakibat kepada kematian seseorang. Hukuman mati yang dijatuhkan pada delik
pembunuhan dalam perspektif hukum pidana positif memilki nilai "behavioral
human", dan "social defence" . Nilai filosofis pidana
mati atas delik pembunuhan, ini pada garis besarnya mempunyai nilai filosofis,
yaitu di dalam menegakan dimensi moralitas, dimensi keadilan, dimensi
kemanusiaan. Adapun analisa perbandingan delik pembunuhan yang beakibat
kematian di dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, pada hakekatnya-
adalah sama. Artinya kedua hukum tersebut memandang pidana mati merupakan
ancaman terhadap kesalahan menyebabkan kematian seseorang, yang harus
dipertanggungjawabkan di depan hukum. 
PUSTAKA  ACUAN  
Abd. Al-Harnid Abu Zid, Wa al-Hayat Dimsat Muqarunah
Baina al-Syari'at wa al- Qonun, Cairo: Dar al-Nahdah al- Arobiyah, 1986.
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas persoalan Keislaman, Bandung:
Mizan, 1994,
Ahmad Warson Munawir, Kamus  al-Munawir, Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1984.
Andi Hamzah, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini
dan Masa Depan, Jakarta: Balai Aksara, 1985.
Bambang Purnomo, Ancaman Pidana Mati dnlam Hukum Pidana
di Indonesia,, Jakarta: Liberty, 1982. 
Darijarkoro, Pidana mati di Indonesia, Jakarta:
Ghalih Indonesia, 1985
Fathi Al-Dariri, Kliasois AI-Tasyri' Al-Islam, Bairut
Risalah Hasyim Ma'ruf, 1987
Hartono Marjono, Menegakan Syari'at Islam dalam Konteks
Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 1997
Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lugliah, Beirut:
al-Masharif, 1986
Murthada Muthari, Masyarakat dan Sejarah: Kritik Islam Orang
Marhisme dan Teori, Bandung: Mizan, 1980
Muljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta:
Bumi Aksara, 1994
Muhammad Thahir Azhari, Negara Hukum Studi Tentang
Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1992.
Muhammad Anwar, Fiqh Islam Pidana Perdata Islam, Bandung:
al-Ma'arif, 1987
Muhammad Rawwas Qolaiji, al-Qisah fi al-lslam, Beirut:
Dar al-Fikr, tt. 
Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al Syari'ah fi Islam al-Ru'iy
wa al-Ra,iyah, Damaskus: Dar al-al Kutubnal-Arabiyah, t.t.
J.C.T. Simorangkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Jakarta:
Gunung Agung, 1959
R.O.Tambunan, Pidana Mati di Indonesia, Jakarata:
Persada Raya, 1996
Ruslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab, Jakarata:
Galia Indonesia, 1983 
Halimah, Hukum Pidana Syari'at Islam Menurut Ajaran
Ahlus Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1971
Muliamaad Arobi, Lisan al-Arabiyah, Bairut: Dar
Al-Fikr, tt. Maududi, HAM dalam Islam, Jakarta: Pustaka Ilmu, 1986
Medel A. Elliot, Criminal in The Modern Society, New York: Harper and
Brother Publisher, 1952.
Muhammad Audah, al-Tasyri' al-hlam, Bairut: Dar
al-Fikr, tt.
Soejono Joekanto  dan
Sri  Mahmudi,  Penditinn 
Hukum Normatif Suatu Tindakan Singkat, Jakarta: Grafindo, 1995.
Sayyid Sabig, Fiqh Sunnah, Get H, Bairut: Dar
al-Fikr, 1992
Zainab Ridwan, al-Najariyah al-ljti'maiyah fi al-lslam, Kairo:
Dar al-Ma'arif, 1970
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Pelita, 1971.
R. Slamet Mulyana, Perundang-Undangnn Majapahit, Jakarta:
Bharata Press, 1967.
TB. Simantupang, Pidanq, Mati Ditinjau dari Penegak
Hukum, Jakarta: Jaksa Agung, 1980.
 Q.s. Al-Maidah [5]: 28-30 
 
               Ambillah daripadaku, karena Allah
telah memberikan jalan (hukuman)
bagi mereka, gadis dengan gadis adalah jilid seratus kali dan pengasingan satu
tahun, janda dengan janda (yang telah kawin) dijilid sartus kali dan dirajam
dengan batu" (HR. Muslim). Lihat Imam Nawawi-,-Fathu al-Rabbani 'ala
Syarah al-Adzkar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 251 
 
Muhammad al-Arrabi, Lisnan al-Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 221 
 
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munanwir, (Yogyakrat: Pustaka progresif,
1984), h. 256 
 
 Mohamad Audah, Al-Tasyri'i al-Islami,  (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h. 111 
 
 Lamintang 
Herman,  Hukum  Pidana di Indonesia,  (Semarang: Pustaka Ilmu. 19S1), h.184 
 
 TB Simatupang, Pidana Mati Dinilai  dari Penegak Hukum,  Jakarta: Kejaksaan Agung), h. 57 
 
 R. Soesilo, Kitab
KUHP serta Kmentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Pelita,
1971), h. 241  
 
 Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan
Keislaman, (Bandung: Mizan, 1994), h. 41 
 
 Hartono Mardjono, Menegakkan
Syariat Islam dalam Konteks Kemanusiaan,(Bandung; Mizan, 1997), h.
15 
 
 Ibn 
Taimiyah,  Al-siyari'ah  Al-Syari'ah fi Islam al-Ro'yu wa al-Ru'iyah, (Damaskus:
Dar al- Kutub al-Arabiyah, tt.), h. 101 
 
 Ruslan Shaleh,
Perbuatan Pidana dan Tanggung
Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1983), h. 77