PEMIKIRAN
MUHAMMAD IQBAL DAN PENGARUHNYA 
TERHADAP
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
Pendahuluan
            Islam
sebagai sistem hidup mencakup berbagai aspek kehidupan baik kolektif maupun
individual. Alquran dan Hadis sebagai
sumber hukum pertama memuat
prinsip-prinsip dasar untuk membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi
dalam hubungannya dengan Tuhan
dan alam semesta untuk berbagai kondisi. Hukum
Islam merupakan salah satu sendi penting dan utama dari ajaran-ajaran Islam.
Hukum Islam mempunyai peran yang signifikan bagi perkembangan masyarakat Muslim. Dimensi wahyu yang mewakili unsur
ilahi adalah dimensi utama dalam hukum Islam. Hal inilah yang membedakan dan
menjadikan keistimewaan hukum Islam dibanding sistem hukum yang lain.
Hukum
Islam adalah hukum yang bersifat keagamaan. Namun bila kemudian hukum Islam
terlalu cenderung kepada demensi tekstual dikhawatirkan akan mengabaikan
dimensi manusiawi dan konteks historis yang senantiasa berubah-ubah dan
mengalami perkembangan. Padahal dalam dimensi inilah sebenarnya hukum Islam
diturunkan.Dalam konteks ini pula hukum Islam akan dihadapkan dengan berbagai
perubahan dan tuntutan yang senantiasa terjadi dalam masyarakat. Sebaliknya bila terlalu mementingkan
aspek historis, kontekstual dikhawatirkan akan menjauhkan hukum itu dari wahyu.
Untuk
itu umat Islam dituntut mampu menerjemahkan serta mengaplikasikan pesan Alquran
tanpa mengabaikan realitas kehidupan, dinamika sosial yang senantiasa mengalami
perubahan.Tuntutan ini menjadi
tantangan sekaligus problematika umat. Penyikapan
terhadap Alquran melahirkan ekspresi kegamaan yang beragam, salah satunya
adalah perlakuan yang tidak proporsional serta cenderung mamahaminya secara
parsial. Pada gilirannya terjadi pemisahan secara
mekanis antara ayat yang bersifat hukum dan nonhukum.
            Pada dasarnya sumber hukum Islam dikelompokkan
menjadi dua bagian. Pertama, sumber
baku yaitu Alquran dan Sunah. Kedua, sumber
pengembangan yakni ijtihad.
Ijtihad adalah penggunaan penalaran kritis dan mendalam untuk memahami isi
kandungan Alquran dan Sunah yang merupakan sumber baku agama, untuk memahami dan menafsirkan sesuai
dengan tuntutan kemajuan zaman dengan kata lain ijtihad dapat dikatakan sebagai
upaya berpikir secara optimal dan sungguh-sungguh dalam menggali hukum Islam
dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang timbul
dalam masyarakat. Sekalipun
demikian, antara upaya ijtihad di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di
pihak lain terdapat suatu interaksi. Ijtihad secara langsung atau tidak, tidak
terlepas dari pengaruh perubahan sosial sedangkan perubahan sosial tersebut
harus dikontrol oleh hukum, sehingga memenuhi hajat dan kemaslahatan manusia. 
Idealisasi
cita-cita normatif  hukum Islam harus
dilihat dengan kondisi sekarang. Menarik
untuk dicermati bahwa kondisi hukum Islam bagaikan tenggelam dalam cerita
sejarah. Terjadi proses stagnasi hukum Islam, dimana hukum Islam tidak mampu
berperan aktif merespon gejala-gejala perubahan zaman dan memberikan solusi
yang dapat menjadi wacana bagi pengembangan hukum Islam selanjutnya. Hukum
Islam yang seharusnya menjadi wilayah terbuka bagi berbagai interaksi dan dinamika pemikiran,
justru semakin mengukuhkan nilai-nilai yang dibangun oleh generasi yang berbeda
corak dan kondisi masyarakatnya. Pemikiran
hukum Islam diterima secara taken for
granted. Ini merupakan ironi sejarah yang harus dikaji mengapa terjadi
proses pembakuan pemikiran Islam.
Awal
kegagalan Islam dalam mengikuti perkembangan moderen salah satunya disebabkan hilangnya
semangat ijtihad. Umat Islam mulai merasa telah cukup
dengan apa yang telah dicapainya. Dibidang hukum bermunculan imam-imam mazhab
yang berpengaruh dan umat Islam menganggap semua permasalahan hukum telah
dipikirkan dan dijawab oleh mazhab-mazhab yang ada.
Sejak saat itu mulai berkembang semacam konsensus bahwa tidak seorang  pun yang mempunyai kualifikasi untuk
melakukan ijtihad secara mutlak, yang tinggal hanyalah aktifitas seputar
penjelasan (syarah) dan penafsiran
doktrin yang telah dirumuskan
Dengan demikian kita dapat menarik kesimpulan bahwa walaupun secara formal
pintu ijtihad tidak pernah ditutup oleh siapapun namun suatu keadaan lambat
laun melanda dunia Islam di mana seluruh kegiatan berfikir secara umum terhenti. Ketidak berdayaan melakukan kreatifitas
intelektual semakin diperparah dengan hadirnya ekspansi Eropa dalam rangka
penjajahan dunia Timur. Tidak sebatas
bidang politik, ekspansi tersebut masuk ke segala
bidang untuk menanamkan benih kolonialisme dan menghancurkan tatanan
nilai-nilai Islam yang telah terbangun. 
Dalam
kondisi yang seperti ini maka yang muncul adalah sikap taqlid, yaitu sikap yang
menerima apa adanya suatu doktrin maupun mazhab-mazhab yang telah mapan tanpa
mempertanyakan lagi. Munculnya empat mazhab besar dalam hukum
Islam
boleh dikatakan sebagai puncak pencapaian intelektual dalam memahami ajaran
Islam dari segi hukum. Pada masa itu sumber-sumber hukum Islam mengalami proses
pembakuan. Disisi lain
rumusan prinsip-prinsip untuk melakukan ijtihad dirasa terlalu mengidealkan
masa lampau sehingga hampir mustahil seseorang mempunyai klasifikasi
persyaratan tersebut.
Padahal sekalipun ijtihad bukan semudah membalik telapak tangan tetapi upaya
melakukan penafsiran terhadap teks agama tidak boleh dihentikan 
Di
tengah stagnasi pemikiran hukum Islam Iqbal tampil dengan menggemakan semangat
independensi dan kebebasan berpikir serta menolak setiap bentuk taklid, Iqbal
dengan tegas menyatakan bahwa ijtihad adalah prinsip gerak dalam Islam (the principle of movement in structure of
Islam).
Kalimat ini menjadi prinsip yang luar
biasa pengaruhnya dan menimbulkan banyak kontroversi pada masa itu. Iqbal memberi
pengertian ijtihad yang sangat berbeda dan diluar mainstream pemikiran ulama-ulama dan pemikir terdahulu. Para ulama
terdahulu secara umum memberi pengertian ijtihad sebagai upaya serius menggali hukum
dari Nas untuk menjawab perubahan sosial
yang baru, yang belum ada ketentuannya dalam Nas. Dalam
artian yang dimaksud ijtihad selalu berkisar pada penjelasan dan penafsiran Nas. Hal ini berbeda dengan pemikiran
Iqbal yang meletakkan ijtihad dalam rangka keseluruhan kegiatan atau proses
yang menggerakkan dan menghidupkan Islam. Letak perbedaan yang mencolok dengan
pemikiran terdahulu bahwa pemikiran ijtihad Iqbal didasarkan kepada kebebasan atau
otonomi individu. Iqbal tidak setuju bila ijtihad ditingkat-tingkat sebagaimana
yang ada dalam teori ulama-ulama sunni. 
Biogarafi Singkat
           Muhamad
Iqbal lahir di Sialkot, salah satu kota tua bersejarah di Punjab tahun 1876. Sialkot
terletak diperbatasan Punjab Barat dan Kasymir, dari keluarga yang tidak
begitu kaya. Nenek moyangnya berasal dari Lembah Kasymir. Ia
meninggal dunia di Lahore 21 April 1938. Ayahnya yang pegawai
negeri kemudian menjadi pedagang merupakan seorang muslim yang saleh dengan
kecenderungan kepada tasawuf. Iqbal menerima pendidikan awalnya di sebuah
madrasah (maktab) dan kemudian di Scottish Mission School.
Dalam waktu kecilnya ia mendapat pengaruh dari Sayyid Mir Hasan, yang mengerti
bakat yang besar dari Iqbal, dan selalu memberinya semangat dalam setiap
kemungkinan. Leluhur Iqbal berasal dari keturunan Brahmana dari Kasymir yang
telah memeluk agama Islam kira-kira tiga abad sebelum Iqbal dilahirkan. Neneknya
pindah ke Punjab pada permulaan abad ke 19 dan menetap di Sialkot. Ayahnya
yang bernama Nur Muhammad yang turut membantu kematangan intelektual
Iqbal. 
           
Selanjutnya Iqbal masuk Government College di Lahore di mana
ia bertemu dengan Thomas Arnold, yang sangat mempengaruhi pribadinya. Kedua
pengaruh ini, yaitu pengaruh Sayid Mir Hasan dan Thomas Arnold, telah membentuk
pemikiran-pemikiran Iqbal. Iqbal lulus pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa
dan medali emas karena baiknya bahasa Inggris dan Arabnya. Ia akhirnya
memperoleh gelar M.A dalam bidang filsafat pada tahun 1899. 
           
Setelah menyelesaikan pelajarannya, Iqbal menjadi staff dosen di perguruan
tinggi Pemerintah (Government College), tetapi karir
sastranya telah membayangi semua aspek kerjanya terlebih dahulu.Pada waktu itu
Iqbal mulai menulis bukunya dalam bahasa Urdu yang pertama kali mengenai ekonomi.
Mengikuti  nasehat  Thomas Arnold, Iqbal, penyair dari Punjab
itu  pada tahun 1905
berangkat ke Eropa untuk melanjutkan pendidikannya dalam bidang filsafat Barat
diTrinity College dari Universitas Cambridge, sambil menghadiri
kuliah-kuliah hukum di Lincoln’s Inn, London. Dari Inggris ia pergi ke Jerman
di mana ia memperoleh gelar Doktor dengan disertasinya The Development
of Metapysics in Persia pada tanggal 4 November 1907 di bawah
bimbingan F. Hommel. Selama di Eropa ia banyak bertemu dengan pikiran-pikiran
filosof seperti Niezsche, Whithehead dan Bergson. 
           Pada
tahun 1908 Iqbal, doktor lulusan dari Universitas Munich Jerman
ini  kembali ke Lahore,
ia bekerja  sebagai pengacara dan  menjadi dosen filsafat. BukunyaReconstruction
of Religius in Islam adalah hasil ceramah-ceramahnya yang diberikannya
di beberapa universitas di India. Kemudian ia memasuki bidang politik dan
di tahun 1930 dipilih menjadi presiden Liga Muslimin. Di dalam perundingan meja
bundar di London ia turut dua kali dalam mengambil bagian. Ia juga
menghadiri konferensi Islam yang diadakan di Yurusalem. Di tahun 1933 ia di
undang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. 
                      
Pemikiran-Pemikiran Muhammad Iqbal
            Pemikiran
Iqbal tampak dalam hal-hal seperti berikut ini. Pertama
dia menggabungkan ilmu kalam, tasawuf, falsafah, ilmu sosial dan sastra dalam
pemikirannya sebagai rangka untuk memahami ajaran Islam. Dengan demikian ia
menggunakan perspektif secara luas, yang mebedakannya dari pemikir Muslim lain yang
kebanyakan parsial dan hanya menekankan pada segi tertentu. Kedua dalam memahami kondisi umat Islam
dan perkembangan pemikirannya, ia tidak memisahkan falsafah dan teologi dari
persoalan sosial budaya yang dihadapi umat Islam. Ini membuatnya menjadi
seorang filosof dan budayawan berwawasan luas. Ketiga,
pemikiran-pemikirannya yang paling cemerlang sebagian besar diungkapkan dalam
puisi yang indah dan menggugah, sehingga menempatkan dirinya sebagai penyair filosof Asia yang besar pada abad ke-20. Keempat
dia berpendapat bahwa penyelamatan spiritual dan pembebasan kaum muslim secara
politik hanya dapat terwujud dengan cara memperbaiki nasib umat Islam dalam
kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan.
                Pandangannya senantiasa
bertolak dari ayat-ayat Alquran dan Hadis. Bagi Iqbal, dengan melihat sejarah
masyarakat Asia, agama memainkan peranan penting dalam kehidupan umat manusia,
termasuk perkembangan peradaban dan kebudayaan. Mengkeritik penyimpangan dan
pengaburan ajaran agama oleh para sultan, ulama, cendekiawan dan pemimpin Islam
yang menjadikan agama sebagai kenderaan untuk mencapai keuntungan politik dan
ekonomi. Semua itu bagi
Iqbal sumber dari degradasi moral umat. Dia
sangat keritis terhadap peradaban dan kebudayaan Barat, sebagaimana terhadap
Islam. Menurut Iqbal, peradaban dan kebudayaan Islam bisa maju hanya biasa
dilakukan dengan melakukan dua hal secara serentak,
yaitu idialisasi Islam dan pembaharuan pemikiran agama. Untuk bisa bangkit dari
kejatuhan kaum Muslim harus memiliki akses pada kebenaran ajaran agama dan
sejarah panjang peradabannya.
 
            Pemikiran politik Muhammad Iqbal
terlihat sepulangnya dari Eropa, Iqbal terjun ke dunia politik, bahkan menjadi tulang punggung Partai
Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi anggota legislatif
Punjab. Dan pada tahun 1930
terpilih sebagai Presiden Liga Muslim. Karir
Iqbal semakin bersinar dan namanyapun harum ketika dirinya diberi gelar ‘Sir’
oleh pemerintah kerajaan Ingris. Gelar
ini menunjukkan pengakuan dari Kerajaan Inggris atas
kemampuan intelektualnya dan memperkuat bargaining
position politik perjuangan umat Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan sebagai bapak
Pakistan yang pada setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan
sebutan ‘Iqbal day’. 
            Pemikiran dan akativitas Iqbal untuk
mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan sejak terpilih menjadi Presiden Liga
Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa tidaklah
mungkin umat Islam dapat bersatu dengan penuh persaudaraan dengan warga India
yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya ia berpikir bahwa kaum muslim
harus mendirikan Negara sendiri. Ide ini ia lontarkan ke berbagai pihak melalui
Liga Muslim dan mendapat dukungan kuat dari seorang politikus muslim yang sangat
berpengaruh, yaitu Muhammad Ali Jinnah (yang mengakui bahwa gagasan Negara
Pakistan adalah dari Iqbal, bahkan didukung pula oleh mayoritas Hindu yang saat
itu sedang dalam posisi terdesak saat menghadapi Front Melawan Inggris. Bagi
Iqbal, dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik,
dan Pakistan yang akan dibentuk menurutnya adalah salah satu republik itu.
            Sebagai seorang negarawan yang
matang, tentu pandangan-pandanganya terhadap ancaman luar sangat tajam. Bagi
Iqbal budaya barat adalah budaya imperialisme, materialisme, anti spiritual dan
jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat menentang pengaruh buruk dari budaya
Barat. Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi reformasi dalam diri manusia
adalah jati dirinya. Dengan
pemahaman yang dilandasi di atas ajaran Islam itulah maka berjuang menumbuhkan rasa percaya diri
terhadap ummat Islam dan identitas keislamannya. Umat
Islam tidak boleh merasa rendah diri menghadapi budaya barat. Dengan cara itu
kaum muslimin dapat melepaskan diri dari belenggu imperialis. Sejalan dengan
hal itu Muhammad Asad mengingatkan bahwa imitasi yang dilakukan umat Islam
kepada barat baik secara personal maupun sosial dikarenakan hilanganya
kepercayaan diri, maka pasti akan menghancurkan peradaban Islam.
            Diantara paham Iqbal yang
‘membangunkan’ kaum muslim dari ‘tidurnya’ adalah “dinamisme Islam” yaitu dorongannya terhadap ummat Islam
supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum
hidup adalah menciptakan, maka Iqbal menyeru kepada ummat Islam agar bangun dan
menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut
bahwa seolah-olah orang kafir yang aktif kreatif ‘lebih baik’ dari pada muslim
yang ‘suka tidur’.
            Iqbal juga memiliki pandangan
politikyang khas, yaitu gigih menentang nasionalisme yang mengedepankan
sentimen etnis dan kesukuan (ras), bagi dia keperibadian manusia akan tumbuh
dewasa dan matang di lingkungan yang bebas dan jauh dari sentimen nasionalisme. Demikian tegasnya prinsip Iqbal, maka ia
berpandangan bahwa dalam Islam politik dan agama tidaklah dapat dipisahkan,
bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan yang tidak terpisah. Dengan
gerakan membangkitkan khudi (pribadi; kepercaaan diri) inilah Iqbal dapat
mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami
dewasa ini, ia kembalikan semangat yang dulu dapat dirasakan kejayaan oleh
ummat Islam. Ujung dari konsep kepercayaan diri inilah yang pada akhirnya
membawa Pakistan merdeka dan ia disebut
sebagai Bapak Pakistan.
Pemikiran Muhammad Iqbal dalam
Pembaharuan Hukum Islam dan Pengaruhnya
            Pembaharuan
Hukum Islam sebagaimana dilakukan M. Iqbal tidak terlepas dari pandangannya
terhadap sumber-sumber hukum Islam. Hal ini dapat diuraikan secara singkat
sebagai berikut:
a.                  
Pemikiran
tentang Alquran
Iqbal
percaya kalau Alquran itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, menurut
Iqbal Alquran adalah sebagai sumber hukum yang utama dengan pernyataannya “The quran is a book which emphazhise ‘deed’
rather than ‘idea” (Alquran adalah kitab yang lebih
mengutamakan amal dari pada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa Alquran
bukanlah undang-undang. Dia
berpendapat bahwa penafsiran Alquran dapat berkembang sesuai dengan perubahan
zaman, dan Alquran dapat ditafsirkan melalui berbagai disiplin ilmu dan pintu
ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan
utama Alquran adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam
hubungannya dengan tuhan dan alam semesta, Alquran tidak memuatnya secara
detail maka manusialah yang dituntut mengembangkannya. 
Dalam istilah
fikih hal ini disebut
ijtihad, ijtihad dalam pandangan Iqbal disebut
dengan prinsip gerak dalam struktur Islam. Oleh karenanya, walaupun Alquran
tidak melarang mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat
juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi “akibat pemahaman yang
kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum
tetap berjalan ditempat. 
Akan
tetapi kendati Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami Alquran, namun dia
melihat ada demensi-demensi di dalam Alquran yang sudah merupakan ketentuan
yang baku dan tidak dapat dirubah sebab ketentuan itu berlaku konstan. Menurut Iqbal para mullah dan sufi telah
membawa umat Islam jauh dari maksud Alquran.
Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis.Iqbal mengeluh
ketidak mampuan umat Islam dalam memahami Alquran disebabkan ketidak mampuan
terhadap memahami bahasa Arab dan telah salah impor ide-ide Hindu dan Yunani
kedalam Islam dan Alquran. Dia
begitu terobsesi untuk menyadarkan umat Islam untuk lebih progresif dan dinamis
dari keadaan statis dan stagnan dalam menjalankan kehidupan duniawi. Bagi Iqbal politik pemerintahan dan
agama tidak ada pemisahan samasekali. Inilah
yang dikembangkanya dalam merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang
memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu. 
Pemahaman
yang universal serta utuh terhadap Alquran menggerakkan umat untuk lebih
kreatif dan dinamis dalam menyelesaikan berbagai problematika sebagai konsekwensi
dari perubahan kondisi reel suatu masyarakat dengan melalui pendekatan rasional
terhadap Alquran yang menghargai gerak dan perubahan. Kendati demikian, Iqbal
tidak mengabaikan dimensi lain di dalam Alquran yang bersifat konstan bahkan
harus dipertahankan. Sebagaimana kritik Iqbal terhadap tuntutan Zia Gokal,
penyair dan sosiolog Turki yakni menuntut persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan dalam masalah talak, perceraian dan warisan.
Pandangan
Iqbal tentang kehidupan yang equilibrium antara moral dan agama; etik dan
politik, ritual dan duniawi, sebenarnya bukanlah hal baru dalam pemikiran
Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah, pemikiran demikian terkubur bersama
arus kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk, terutama sejak
keruntuhan dan kehancuran Bagdad, sehingga umat Islam tidak mampu lagi
menangkap visi dinamis dalam doktrin Islam (Alquran). Akhirnya walaupun tidak
dinyatakan secara tegas kedalam konsep oleh para sufi lahirlah pandangan pemisahan
antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret umat untuk meninggalkan
kehidupan duniawi, akibatnya hukumpun menjadi statis dan Alquran tidak mampu
dijadikan sebagai refrensi utama dalam menjawab setiap problematika. 
Oleh
sebab itu Iqbal ingin menggerakan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam
menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran Alquran. Nilai-nilai dasar ajaran Alquran harus
dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam
menciptakan perubahan itu. Kuncinya
adalah dengan mengadakan pendekatan rasional Alquran dan mendalami semangat
yang terkandung didalamnya, bukan menjadikan sebagai buku undang-undang yang
berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku. Walaupun demikian Iqbal
melihat ada demensi-demensi dalam Alquran yang merupakan ketentuan yang baku
dan tidak dapat durubah, sebab ketentuan itu berlaku konstan.
Salah
satu pendapat Iqbal mengenai Alquran yang perlu digarisbawahi adalah ia sangat
menekankan pada aspek hakikat yang bisa diamati. Tujuan Alquran dalam
pengamatan reflektif atas alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran pada manusia tentang alam yang dipandang
sebagai sebuah simbol.
Iqbal menyatakan hal ini sembari mengutip beberapa ayat, diantaranya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang mengetahui” (Q.s. Ar Ruum:22). 
b.        
Pendapat Tentang
Hadis
Kajian
Iqbal terhadap Hadis didasarkan pada situasi dan kondisi masyarakat yang
berkembang pada waktu itu. Pandangan ini ditengah tarik ulur kedudukan Hadis
sebagai sumber hukum antara umat Islam di suatu pihak, dan kaum orientalis di
lain pihak yang sampai hari ini masih terus berlangsung. Tentu saja maksud dan titik berangkat
dari kajian tersebut berbeda pula. Umat
Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran
Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya
untuk kepentingan ilmiah, bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran
Islam. Kalangan orientalis yang pertama
melakukan studi tentang Hadis adalah Ignaz Goldziher. Menurutnya sejak masa
awal Islam (masa sahabat) dan masa-masa berikutnya Hadis mengalami proses
evolusi, mulai dari sahabat dan seterusnya sehingga berkembang menjadi mazhab-mazhab fikih. Iqbal
berkesimpulan bahwa tidak semua koleksi dari para ahli Hadis dapat dibenarkan. 
Iqbal
sepakat dengan apa yang telah dikemukan oleh Syah Waliyullah perihal Hadis,
yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan,
cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu nabi juga
memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih
menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat pada
saat itu, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Iqbal
menanamkan prinsip-prinsip dasar syariat “dar
u mafasid wa jalbu al mashalih” Iqbal juga memperhatikan adat istiadat
serta tradisi daerah setempat. Kaitannya dengan keyakinan bahwa Islam
sebagai rahmatan lil’alamin tanpa
terikat oleh ruang dan waktu, maka apa yang nabi sampaikan pada umat generasi
pertama tidak dapat dipandang konstan atau tekstual untuk generasi selanjutnya
yang dipastikan mengalami perubahan dan dinamika serta melahirkan problematika
yang lebih kompleks. Sehingga hukum yang diberlakukan untuk umat generasi
sesudahnya mangacu pada prinsip kemaslahatan. Iqbal sepakat dengan konsep Abu Hanifah tentang al istihsan. Konsep
al istihsan adalah
sesuatu yang sangat wajar sebagai konsekwensi dari memahami universalitas hukum
Islam.Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan
konsep istihsan dari pada Hadis yang masih diragukan keasliannya. Sikap ini
diambil Abu Hanifah karena ia lebih cenderung memandang tujuan-tujuan universal
Hadis dari pada tekstual Hadis. 
Iqbal
juga melakukan pembedaan antara Hadis hukum dan non hukum juga Hadis yang mengandung
kebiasaan pra-Islam. Beliau
melakukan pemilahan posisi Nabi Muhammad sebagai Rasul dan Manusia biasa. Dalam artian tidak semua Hadis merupakan
Hadis hukum yang wajib ditaati, ada Hadis yang hanya merupakan kebiasaan yang
menurut Iqbal tidak wajib diikuti. Iqbal
memahami Hadis secara kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial yang berkembang
bukan sebagai koleksi peraturan tingkah laku muslim yang kaku, mengabaikan atau
tidak realistis terhadap dinamika masyarakat. Apa yang diajarkan oleh nabi
terhadap generasi awal (sahabat) adalah contoh
dan nilai-nilai universal yang terkandung dalam Hadis itulah hakekat Hadis nabi
yang sebenarnya. 
Iqbal
memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur Hadis
dengan berpedoman langsung kepada nabi sendiri selaku orang yang mempunyai
otoritas untuk menafsirkan wahyu. Hal
ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum
Islam. Iqbal menyerukan akan pentingnya memaknai sprit dan roh yang ada dalam Hadis,
dibandingkan hanya memahami Hadis secara tekstual saja.
c.                  
Pandangannya
Tentang Ijtihad
Munculnya
persoalan-persoalan baru dalam kehidupan sosialakan menimbulkan problem-problem
baru dalam bidang hukum. Dalam menggali pesan teks keagamaan yang universal,
tentu dibutuhkan upaya maksimal yang sering disebut
dengan ijtihad. Ijtihad
itu sendiri mengalami pasang surut bahkan ijtihad mengalami stagnasi selama
lima ratus tahun. Hal ini menjadi sejarah gelap umat muslim yang disebabkan ke
khawatiran terjadinya disintegrasi umat pasca jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol.
Iqbal merasa bahwa ijtihad merupakan kebutuhan urgen dalam mengembangkan Hukum
Islam yang mengacu kepada kepentingan umat dan
kemajuan umum. Maka perlu
segera mengalihkan kekuasaan ijtihad individual kepada ijtihad kolektif atau
ijma’. Menurutnya peralihan ijtihad individual yang mewakil mazhab tertentu
kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat
bagi ijma’ hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem hukum
Islam yang hilang. Komposisi
anggota lembaga legislatifhukum Islam ini beragam bahkan bukan saja melibatkan
ulama tapi harus melibatkan orang awam tentang hukum Islam tetapi memiliki
pandangan yang tajam mengenai problem sosial yang berkembang dimasyarakat. 
Iqbal
berpandangan bahwa hasil rumusan ijma tidak harus mengikat seluruh umat Islam.
Tapi keberlakuan ijma kolektif lebih memungkinkan bersifat regional namun
demikian ia menegaskan bahwa perlu dibentuk lembaga internasional Negara-Negara
Islam yang mengatur dan mendialogkan permasalahan dan kebutuhan umat Islam di semua Negara muslim. Menurut Iqbal kesalahan terbesar umat
Islam terletak pada terbelenggunya pikiran untuk menentukan pilihan nasib
mereka sendiri. Iqbal
melihat umat Islam sudah
terkena sindrom jumud, beku, statis
dan tidak ada perubahan. Karena
dipengaruhi paham jumud, umat Islam
tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Yang mereka lakukan hanya berpegang
teguh pada tradisi.
Yang menjadi fokus gerakan Iqbal adalah mengeluarkan umat Islam dari ‘ilusi’
masa lalu, yang mana tradisi tersebut banyak yang menyimpang ajaran Alquran dan
Hadis. 
Iqbal
menyerukan pentingnya ijtihad. Bagi
Iqbal ijtihad tidak terbatas kepada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
Nas saja. Ijtihad memiliki fungsi yang sangat luas, sebagai upaya
dalam menjawab persoalan yang terjadi di tengah-tengah umat. Iqbal meyakini bahwa Islam sebagai kekuatan
yang hidup untuk membebaskan pikiran manusia dari batas-batas kedaerahan dan
percaya bahwa agama adalah suatu kekuatan yang paling penting dalam kehidupan
individu dan Negara. 
Konsep
ijtihad Muhammad Iqbal merupakan sintesa dari dinamisme ajaran-ajaran Islam
dengan konsep otonomi individu dari filsafat khudinya. Hakekat ijtihad adalah
proses gerak dalam struktur pemikiran Islam, khususnya hukum Islam. Penekanan
ini penting, sebab bagi Iqbal hukum Islam merupakan sentral dari keseluruhan
ajaran Islam. Gerak yang
dimaksud di atas adalah kreatifitas untuk mencari jawaban-jawaban baru melalui
interpretasi yang didasarkan kepada kemampuan dan pengetahuan yang memadai
untuk menganalisa berbagai persoalan dan perubahan yang ada dalam masyarakat
Islam.
Iqbal
tidak sepakat bila ijtihad kemudian dibatasi dan dibebani pelbagai persyaratan
yang demikian ketat. Dari
perspektif usul fikih ijtihad Iqbal termasuk kedalam kelompok ijtihad fardi. Sebagai
prinsip gerak, ijtihad seharusnya dikembangkan dan dieksplorasi lebih lanjut. Ijma’ sebagai salah satu sumber hukum
Islam yang penting, oleh Iqbal dikembangkan dengan melembagakan ijma’. Lembaga yang ideal memangku tugas ini
adalah lembaga atau majlis legislatif Islam yang didalammnya terdapat
orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai ulama yang mengetahui dan
mendalami hukum Islam dan mempunyai wawasan luas tentang berbagai kondisi
objektif masa kini. Lembaga
ini menyerap berbagai persoalan yang berkembang di masyarakat untuk kemudian
dibahas dan diputuskan bersama-sama.
Ditinjau
dari sisi hubungannya dengan Nas, ijtihad dikelompokkan menjadi dua, yaitu: ijtihad asy-syar’i dan ijtihad al-aqli. Ijtihad asy-syar’i adalah
ijtihad yang didasarkan atas ketentuan-ketentuan Nas. Sedangkan ijtihad al-aqli adalah ijtihad yang didasarkan pada pemikiran
ilmiah filosofis. Penggunaan
akal sebagai instrumen ijtihad oleh sebagian ulama dipandang sebagai hal yang
membahayakan karena sangat mungkin terjadi penyimpangan maksud-maksud Nas. Abd al Wahab Khallaf menyatakan ada dua
kemungkinan dalam penalaran atau ijtihad. Pertama
pendapat yang salah dan kedua pendapat yang benar.
Pendapat
yang salah adalah pendapat yang didasarkan kecenderungan hawa nafsu dan
kepentingan-kepentingan tertentu yang terlepas dari kontrol dan pengawasan
prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam ajaran Islam. Sedangkan pendapat yang benar adalah
pendapat yang diolah dengan kerja kontemplatif dan pemikiran yang mendalam  tentang dalil-dalil syara’ dan dalam batas
patokan syara’. Inilah yang disebut dengan ijtihad menurut Abd al Wahab
Khallaf. Dari pemahaman diatas ijtihad lebih luas maknanya dari pada sekedar
qiyas atau istihsan 
Dari
uraian diatas disebutkan bahwa ijtihad dapat menjadi sumber hukum Islam.
Munurut Ali Hasballah, ijtihad merupakan sumber ketiga dari hukum Islam setelah
Alquran dan Hadis. Dengan ijtihad sebagai sumber hukum maka hukum Islam akan
dapat berkembang dan dapat merespon perubahan zaman. Walau demikian, ada kelompok yang tidak
sependapat dengan pemikiran di atas dan hanya setuju apabila ijtihad berfungsi
sebagai metode penetapan hukum. Menurut
mereka sumber utama hukum Islam tetap Alquran dan Hadis. Ijtihad digunakan tetapi dengan tetap
merujuk kepada sumber utama. Menurut mereka dengan ijtihad sebagai
sumber ketiga maka kedudukan ijtihad akan setara dengan Alquran dan Hadis. Hal
ini tidak mungkin sebab hasil ijtihad bersifat zhanni. Sedangkan ketentuan dalam Alquran
dan Hadis bersifat qath’i. 
Menghadapi
perubahan sosial yang begitu capat, maka ijtihad dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu ijtihad tarjihi dan ijtihad ibtida’i. Pertama, ijtihad
tarjihi adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau
kelompok untuk memilih pendapat ulama-ulama terdahulu mengenai masalah-masalah
tertentu, kemudian menyeleksi pendapat-pendapat tersebut dan memilih mana yang
lebih rajih dan relevan dengan
konteks sekarang. Kedua ijtihad ibtida’i adalah
ijtihad untuk mengambil
kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum dipecahkan ulama
terdahulu. Ijtihad ini pun dapat dilakukan perorangan maupun kelompok dengan
catatan, tentu membutuhkan persyaratan yang lebih ketat dan kuat. 
Pemikiran
serta gagasan-gagasan Iqbal sangat berpengaruh dalam upaya pembentukan Negara
Islam Pakistan yang diploklamirkan oleh Muhammad Ali Jinnah. Sepeninggal Iqbal, berkembang
kajian-kajian terhadap pemikiran dan gagasan-gagasan beliau baik yang intens
maupun yang insidentil. Diantara cendikiawan yang serius mengembangkan
gagasan-gagasannya adalah Fazlu Rahman, meskipun tidak secarah utuh. Sebab
disamping melakukan pembelaan terhadap Iqbal dari serangan orientalis ia juga
memberikan kritikan dalam beberapa hal. Pemikiran Iqbal mengenai alam semesta,
manusia, dan Alquran cukup mendapat tempat dan dikembangkan oleh Fazlu Rahman. Ia lebih mempertajam pandangan Iqbal
mengenai Alquran, menurutnya Alquran sebagai kitab yang berisi moral dan etik,
bukan dokumen yang memuat hukum yang kaku.
Dan ia menjelaskan tujuan-tujuan dan prinsip yang menjadi esensi hukum-hukum.
Dalam menafsirkan Alquran secara integral dan komprehensif, ia menetapkan tiga
hal yang tidak boleh diabaikan yakni memperhatikan latar belakang sejarah
turunnya Alquran sehingga bisa dipahami makna teksnya, membedakan antara
ketetapan hukum dan sasaran atau tujuan moral yang dikandung Alquran dengan
memperhatikan latar belakang sosio-historisnya. 
Rahman
juga memandang Hadis sebagai konsep yang memuat prinsip-prinsip moral yang
universal dan harus dipahami secara dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Ijtihad dalam pengertian ‘jihad intelektual’ bagi Rahman menjadi
hak tiap muslim yang memiliki kemampuan dan tidak menjadi otoritas golongan
tertentu.
Ia juga menolak terhadap pembagian ijtihad: ijtihad muthlaq, muqayyad dan fi al
mazhabi. Rahman juga mendukung pembentukan lembaga ijma’. Pemikirannya mengenai Alquran, alam
semesta dan manusia selanjutnya dikembangkan Fazlurahman meskipun tidak secara
utuh, dan khusus gagasan Iqbal mengenai Alquran dikembangkan secara tajam
olehnya. Dan melalui Fazlurrahman beberapa tokoh
intelektual muslim Indonesia mengembangkan pemikiran Muhammad Iqbal di
Indonesia, antara lain Ahmad Syafi’i Ma’arif. 
Pengembangan
gagasan Iqbal oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif terlihat dalam usahanya untuk
membedakan antara Islam Sejarah dan Islam cita-cita. Pandangannya ini sangat mirip dengan
prinsip dinamika dan konservasinya Iqbal. Ia
mengungkapkan pentingnya melakukan gerakan tajdid, yang dipengaruhi oleh tiga
faktor: Pertama,
pemahaman
dan penafsiran terhadap doktrin transendental tidak pernah bernilai mutlak. Kedua, Islam bertujuan untuk menciptakan
suatu tata sosio politik di atas landasan etik dan moral yang kuat dalam rangka
mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil
‘alamin dalam ruang dan waktu. Ketiga, tajdid
dalam pemikiran dan pelaksanaan ajaran Islam pernah ditujukan secara kreatif
oleh genarasi sahabat, terutama Khalifah Umar. Hal ini tidak aneh oleh karena Ma’arif
adalah murid Fazlu Rahman, sementara Rahman mengelaborasi gagasan-gagasan
Iqbal. Demikian juga dengan intelektual muslim Indonesia lainnya, seperti Harun
Nasution dan Djohan Effendi. 
Penutup
            Sumbangan pemikiran Muhammad Iqbal
dalam pembaharuan Hukum Islam di India tidak terlepas dari pemahamannya
terhadap Alquran dan Hadis sebagai sumber hukum Islam. Dia memahami Alquran sebagai sumber
etika yang senantiasa relevan dengan perubahan dan dinamika masyarakat melalui
mekanisme ijtihad. Dan
Hadis dalam pemahaman Iqbal bukanlah koleksi peraturan tingkah laku yang kaku dan tekstual.
            Konsep ijtihad Muhammad Iqbal
merupakan sintesa dari dinamisme ajaran-ajaran Islam dengan konsep otonomi
individu dari filsafat khudinya. Hakekat ijtihad adalah proses gerak dalam
struktur pemikiran Islam, khususnya hukum Islam. Penekanan ini penting, sebab
bagi Iqbal hukum Islam merupakan sentral dari keseluruhan ajaran Islam. Gerak yang dimaksud di atas adalah
kreatifitas untuk mencari jawaban-jawaban baru melalui interpretasi yang
didasarkan kepada kemampuan dan pengetahuan yang memadai untuk menganalisa
berbagai persoalan dan perubahan yang ada dalam masyarakat Islam. Iqbal tidak sepakat bila ijtihad
kemudian dibatasi dan dibebani berbagai persyaratan yang demikian ketat. Dari perspektif usul fikih ijtihad Iqbal
termasuk kedalam kelompok ijtihad fardi.
            Sebagai prinsip gerak, ijtihad
seharusnya dikembangkan dan dieksplorasi lebih lanjut. Ijma’ sebagai salah satu sumber hukum
Islam yang penting, oleh Iqbal dikembangkan dengan melembagakan ijma’. Lembaga yang ideal memangku tugas ini
adalah lembaga atau majlis legislatif Islam yang di dalamnya terdapat orang-orang yang
memenuhi persyaratan sebagai ulama yang mengetahui dan mendalami hukum Islam
dan mempunyai wawasan luas tentang berbagai kondisi objektif masa kini. Lembaga ini menyerap berbagai persoalan
yang berkembang di masayarakat untuk kemudian dibahas dan diputuskan
bersama-sama.
Pustaka Acuan
Hasan, A, The Doctrin of Ijma’ in
Islam, diterjemahkan oleh R. Astuti.Ijma’, Bandung: Pustaka.1985.
Ahmad, Manzhoor, Dalam pengantar karya
Iqbal, Metafisika Persia: Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat Islam, diterjemahkan
oleh Joebar Ayyub. Bandung: Mizan, 1990.
Ali, Parveen Shaukat, The
Political Philosofy of Iqbal. Lahore: Publiser United Ltd, 1978.
Al-Qardawi, Yusuf, Ijtihad dalam
Syariat Islam, diterjemahkan oleh Ahmad Syatori, cet. I, Jakarta:Bulan
Bintang, 1987.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan
Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung:
Mizan, 1996.
Fazlur, Rahman, “Islam: Challeges and
Opportunities", dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed), Perkembangan
Modren dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1984.
______________, Islam and Modernity
diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985.
______________, "Islamic Concept of
States" dalam Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan
EnsiklopediaMasalah-Masalah, diterjemahkan oleh Macnun Husein, Jakarta:
Rajawali Press, 1988.
______________,Islamic Concept of
State, dalam Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedia
Masalah-Masalah, diterjemahkan oleh Machnun Husein Jakarta: Rajawali Press,
1988.
Gibb, H.A.R, Modren
Trends in Islam. Chicago: Pricenton, 1976.
Hafeez Malik dan Linda P.
Malik, Filosof
Penyair dari Sialkot, diterjemahkan oleh Ihsan
Fauzi 
& Nurul Agustina dalam
Sisi Manusia Iqbal, Bandung: Mizan.1992.
Hasballah, Ali, Usul al
Tasyri al-Islami, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1964.
Iqbal, Muhammad, The Reconstruction
of Religius Thught in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan, 1981, diterjemahkan
oleh Osman Raliby, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam Jakarta: Bulan
Bintang 1983.
______________,Tajdid at-Tafkiir
ad-Diinii Fii al-Islam, Kairo: Dar Qalam, 1968.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Alquran:
Realitas Sosial dan Limbo Sejarah, Bandung: Pustaka, 1985.
______________, Politik dan Demokrasi
di Indonesia, dalam Bosco Carvallo dan Dasrial, Aspirasi umat Islam
Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1983.
Mahmassani, Sobhi, Filsafat Hukum
dalam Islam, diterjemahkan oleh Ahmad Sudjono Bandung:al-Maarif, 1981.
Maitre, Luce-Calude, "Introduction
to The Thought of Iqbal"diterjemahkan oleh Djohan Efendi, Pengantar ke
Pemikiran Iqbal,Bandung: Mizan,1989.
Muhammad Arkoun dan Louis Gardet,
"Islam Kemarin dan Esok" diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Bandung:
Pustaka, 1984.
Mukti Ali, A, Ijtihad dalam
Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad Iqbal,Jakarta: Bulan
Bintang, 1990.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam
Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:Bulan Bintang,1992.
Prawiranegara, Sjafruddin, Islam
sebagai Pandangan Hidup. Jakarta: Idayu Press. 1986.
Shihab, Muhammad Quraisy, Dalam pengantar buku Studi Kritis atas
Hadis Nabi SAW, karya Muhammad al Ghazali, diterjemahkan oleh
Muhammad Baqir, Bandung: Mizan, 1992.
Smith,W.C, Modern Islam
in India, Precenton, New Jersey: Pricenton Univ Press,1957.
Taufiq Adnan dan Syamsu
Rizal,Tafsir Kontekstual Alquran, Bandung: Mizan, 1989.