REINTERPRETASI TINDAK PIDANA KORUPSI
 SUAP OLEH PENEGAK HUKUM  DALAM 
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Pendahuluan
Tindak
pidana korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematik dan meluas.
Kompas tanggal (3/12/2014) merilis Survei Transparansi Internasional (TI) tahun
2014,  Indeks Persepsi Korupsi Dunia
menempatkan Indonesia urutan 107 dari 175 negara.  Sebelumnya Asia
News It (3/10/2010) melansir penelitian PERC (The Political and Economi Risk Consultancy)  mengenai korupsi di beberapa negara asia
pasifik termasuk Indonesia, dikatakan “koruptor menggunakan uang yang
dikorupsinya sebagai ongkos
untuk melindungi diri dan melemahkan penegakan hukum”,. Bagi
koruptor, terbukti secara hukum merugikan keuangan negara, merupakan masalah
besar, oleh karena itu ia melakukan penyuapan,
sebagai cara lain menghindarkan diri dari sanksi hukum yang akan ditimpakan
kepadanya. Sasaran
korupsi suap para koruptor adalah aparat penegak hukum yang memeriksa dan
menangani perkaranya. 
Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia
sulit diharapkan dari aparat penegakan hukum (Polisi, Jaksa, Hakim), karena para
aparat penegak hukum itu sendiri  melakukan suap menyuap. Seperti Setyabudi
Tejocahyono, ketua majelis hakim yang juga Wakil ketua Pengadilan Negeri
Bandung, Subri Kepala Kejaksaan Negeri Praya Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat,
Perwira Menengah Polri ditangkap Tim Gabungan KPK dan Mabes Polri. dan
Penangkapan Akil Muchtar Ketua Mahkamah Konstitusi. 
Tertangkapnya aparat penegak hukum melakukan
korupsi suap, merupakan fenomena gunung es. Sebagian kecil yang terungkap.
Sedang yang tidak terungkap lebih banyak, lebih besar dan terus berlangsung di
berbagai daerah hukum dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana di Indonesia.
Sulitnya pemberantasan korupsi suap secara hukum
disebabkan aparat penegak hukum itu sendiri sebagai pelakunya, dan korupsi suap
telah memberikan keuntungan material secara pribadi kepada aparat, sehingga
kecil kemungknan perbuatan korupsi suap dapat terungkap.
Dengan
kondisi seperti itu, usaha pencegahan korupsi suap, tampaknya tidak efektif
proses dan hasilnya apabila hanya dilakukan dengan penjatuhan pidana. Untuk itu
dibutuhkan cara non penal untuk aparat tidak melakukan tindakan korupsi suap
melalui upaya menafsirkan
kembali korupsi suap bukan saja sebagai perbuatan melawan hukum positif, tetapi
lebih mendasar sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum Islam.
Korupsi suap 
bilamana tidak dilakukan reinterpretasi, diperkirakan Yasraf Amir
Piliang seperti yang di tulisnya dalam Kompas (16/10/2013), “Korupsi suap menjadi
parasit hukum, merusak
lembaga dimana ia hidup dan merusak simbol-simbol abstrak lembaganya, citra,
konotasi, makna. Penegak hukum parasit 
melakukan dua kejahatan sekaligus. Pertama memperkaya diri dengan
menghisap uang negara memanfaatkan lembaganya. Kedua, merusak citra lembaga
sendiri dengan mensubversi nilai-nilai luhur, kebenaran, kejujuran, keadilan”.
Keadaan seperti itu akan berakhir dengan lumpuhnya
penegakan hukum, tentu hal ini tidak baik bagi perkembangan hukum dan penegakan
hukum di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas,  permasalahan dasar yang perlu mendapat
jawaban dari penelitian ini adalah bagaimanakah reinterpretasi tindak pidana korupsi
yang mencegah korupsi suap dalam perspektif hukum Islam ?
Tinjauan Pustaka
Korupsi
suap
dalam hukum positif  diatur  dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12
dan Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan diperbaiki
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Suap yang berkaitan dengan aparat
penegak hukum menurut Pasal 12 a UUPTPK yaitu, “Pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan
agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya”. 
Suap dalam Islam dikenal
dengan istilah Ryswah atau sogokan, yaitu tindakan memberikan sesuatu untuk menggugurkan yang hak dan
membenarkan yang batil. Menurut Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Rasulullah  saw, melaknati penyuap
dan yang disuap dalam peradilan. Secara teoritis korupsi suap merupakan tindakan
kriminal jinayah atau jarimah. Asas legalitas tentang korupsi suap dalam hukum
Islam jelas dan tegas. Sebagai suatu delik pencurian. Makna potong tangan dalam
ayat yang menjatuhkan sanksi kepada pencuri lebih menunjukkan pada esensi
perbuatan korupsi. Melalui suap pelakunya memotong kesempatan orang lain dengan
cara yang tidak sah dan melawan hukum. 
Yusuf Qordowi
menyebutkan suap sebagai tindakan memberi sesuatu untuk suatu tujuan. Dalam
teori hukum pidana Islam kedudukan tindakan korupsi suap bersifat mutlak haram.
Asas legalitas bagi pelaku dan  yang
disuap ditegaskan  dalam Alquran Surat Al
Baqarah (2) ayat 188 :
Artinya
: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa,  padahal
kamu mengetahui.
Risywah dalam sistem
penegakan hukum pidana berhubungan kekuasaan dan kewenangan aparat penegak
hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai orang yang diberi amanah
untuk menegakan hukum agar tercapai kebenaran dan keadilan. Pada tingkat
penyelidikan/ penyidikan oleh Penyidik Polri, pada tingkat pra dan penuntutan
oleh Jaksa Penuntut Umum dan pemeriksaan di persidangan oleh Majelis Hakim. 
Menurut Emerson
Yunto, peneliti ICW, mengungkapkan pola-pola korupsi suap (risywah) dilingkungan peradilan, khususnya di kepolisian,
menyimpulkan  di korps Bhayangkara
korupsi suap yang dilakukan anggota kepolisian bisanya terjadi pada
penyelidikan dan penyidikan suatu kasus, permintaan uang jasa, penggelapan
kasus, negosiasi kasus dan pemerasan merupakan pola umum yang dilakukan anggota
kepolisian.  
Sedangkan
praktik korupsi suap dan pemerasan yang dilakukan oleh oknum jaksa bisanya
terjadi pada proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi suatu
perkara. Pengalihan tahanan, penggelapan dan penghentian perkara, pengalihan
dari perkara pidana menjadi perkara perdata, penghilangan barang bukti,
negoisasi dakwaan dan tuntutan  dan
penundaan eksekusi  merupakan pola umum
yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggungjawab di kejaksaan. 
Korupsi suap di
pengadilan sedikitnya ada enam pola yang biasa dilakukan. Pertama,
pengaturan majelis hakim yang
menguntungkan (favorable). Kedua, penggunaan jasa pengacara atau calo
tertentu. Calo dan hakim memeras pihak yang berperkara. Ketiga, pengaburan perkara dengan kesepakatan dengan pihak yang
berperkara. Keempat, surat sakti, biasanya untuk menunda atau menghentikan
eksekusi suatu perkara. Kelima, pemalsuan vonis
dan keenam vonis yang tidak bisa dieksekusi.  
Interpretasi
Korupsi Suap
Menegakkan
hukum sebagai aktivitas tindakan hukum, menegaskan  suatu usaha dari suatu kemauan (kehendak)
aparat penegak hukum untuk melaksanakan hukum sesuai dengan tugas dan
kewenangannya. Dalam praktik peradilan, tindakan hukum tidak selalu hasil dari
obyektivasi ilmu hukum melalui konstruksi, interpretasi dan sistematisasi,
melainkan juga dapat berupa hasil konstruksi sosial yang terbentuk oleh nilai,
dan pandangan hidup modern, yang secara sosiologis individual (mementingkan
diri sendiri), dan secara ekonomis cenderung kapitalistisme (ekonomi pasar yang
mendorong ketamakan).
Studi terhadap tindakan hukum aparat dalam menjalankan hukum mengungkapkan
hal-hal yang tidak pantas dicontoh, tetapi kenyataannya  sebagai hal yang lazim. Seperti dilakukan
aparat penegak hukum sebagai berikut: 
a.       Tindakan Aparat Penyidik Polri MAE dalam
memeriksa kasus korupsi Gayus HP Tambunan, dan kawan-kawan. 
Dalam
kasus Gayus HP Tambunan sebagai Tersangka 1, dalam tindak pidana korupsi yang
dilakukan. MAE selaku penyidik Polri melakukan tindakan hukum sebagaimana
diterangkan dalam putusan tersebut sebagai berikut:
-  Gayus HP sebagai Tersangka 1, dalam
proses penyidikan melalui seorang Pengacara bernama HH melakukan pendekatan
kepada MAE agar terhadap rumah di Kelapa Gading maupun rekening Bank Mandiri
tidak dilakukan penyitaan. Atas permintaan itu, HH menyampaikan kepada MAE, dan
MAE mengatakan, “bisa membantu akan
tetapi meminta imbalan 15% dari harga rumah”.
-   Merealisasikan permintaan MAE, Gayus
HP.Tambunan menyerahkan uang sebesar USD 45,000.00 kepada HH untuk diserahkan
kepada MAE. Dalam pertemuan berikutnya, antara MAE dan Gayus HP. Tambunan, MAE
mengatakan, “uang yang dititip kan kepada
HH sudah diterima.”  dan penyitaan
atas rumah tinggal Gayus HP Tambunan di Kelapa Gading Park View Blok JE- C No.
1 Jakarta Utara dan rekening di Bank MAndiri tidak dilaksanakan oleh MAE.
Selain
itu juga, MAE dalam kasus Drs Robertus Santonius (Tersangka 2)  MAE melakukan tindakan hukum sebagaimana
diterangkan dalam putusan tersebut suap sebagai berikut:
-  MAE bertemu dengan Tersangka 2 (Drs.
Roberto Santonius), di Restourant Mall FX Senayan, inti pertemuan Tersangka 2
meminta dilepaskan statusnya sebagai Tersangka dan  meminta membuka blokir rekening miliknya.
Dikatakan MAE  “akan menindaklanjutinya”. 
-  Dalam pemeriksaan berikutnya Drs.
Roberto Santonius bukan lagi sebagai tersangka, melainkan hanya sebagai
saksi.  MAE juga memberitahukan kepada
Drs. Roberto Santonius (Tersangka 2) 
rekeningnya di Bank Danamon dan di BCA akan dibuka. Dengan tidak lagi
berstatus sebagai tersangka dan dibukanya blokir atas rekening  Drs. Roberto Santonius, MAE menerima hadiah
berupa uang sejumlah Rp. 100.000.000,00. dari Drs. Roberto Santonius di halaman
parkir Senayan City.
b.       
Tindakan
Aparat Jaksa Penuntut Umum UTG dalam memeriksa kasus korupsi
Dalam
perkara tindak pidana korupsi mengenai aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) khususnya berkaitan dengan PT. Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), UTG
selaku Jaksa penyelidik dalam kasus itu, oleh Pengadilan Tipikor Jakarta
Selatan dinyatakan bersalah terbukti melanggar Pasal 12 huruf b dan huruf e UUPTPK.  UTG yang menangani perkara BLBI bank BDNI
telah menerima suap dari AS alias Ayin, sebagaimana diterangkannya dalam
putusan nomor: 07/Pid .B/TPK/2008/PN.JKT.Pst. 
tanggal 29 Juli 2008 dan putusan kasasi nomor No.147 K /Pid.Sus/2009  sebagai berikut:
-        
Tanggal
8 Januari 2008 UTG memberikan informasi kepada Ayin bahwa ada perintah pimpinan
untuk melakukan pemanggilan kepada Syamsul Nursalim untuk dimintai keterangan.
Ayin meminta kepada UTG agar Syamsul Nursalim tidak perlu dipanggil lagi. Untuk
menghindari panggilan tersebut UTG menyampaikan "Nanti pengacaranya bersurat aja dalam keadaan sakit opo di Singapura
gitu aja iyo tho", selanjutnya Ayin meminta kepada Urip Tri Gunawan
agar surat panggilan yang ditujukan kepada Syamsul Nursalim diserahkan
padaTanggal 9 Januari 2008 UTG ditemui Ayin untuk memberikan surat panggilan
ketiga kepada Syamsul Nuralim memberikan keterangan.
-         
Pada
tanggal 27 Februari 2008 Ayin menghubungi UTG meminta informasi perkembangan
Kasus BLBI II dan pada kesempatan tersebut UTG memberikan informasi bahwa
perkara dimaksud telah berhasil dibantu, yang kemudian Ayin meminta agar UTG
mengambil uang yang jumlahnya telah disepakati "Ya, pokoknya ini jangan terlalu lama juga barang itu di rumah ku
kelamaan di .... brangkasku", dijawab UTG dengan mengatakan "Aku juga ngamankan dokumen- dokumen itu
semua nanti, ya kan ... gitu kan", yang dijawab oleh Ayin  "Ya
sudah siap tinggal waktu saja sampai hari Minggu" dijawab oleh
UTG  "Oh iya sesuai dengan apa yang kubilang kemarin", oleh Ayin
dengan mengatakan "Iya sesuai lah,
apa yang aku bilang kemarin kan 6 ?”, dijawab oleh UTG dengan mengatakan
bahwa "Belum bonusnya ya, tambahan
dikit lah, ya ?" Ayin mengatakan "Ya aku dah komit dan putus bicara dan dieksekusi sama Ibu" 
-         
Ayin
pada hari Minggu 02 Maret 2008 sekira jam 12.21 Wib. menghubungi UTG untuk
mengambil uang yang dijanjikan. Sekira jam 14.00 Wib. UTG dengan mengendarai
mobil Kijang Krista tiba di tempat tinggalnya Ayin, kemudian memberikan kardus
warna putih bertulisan ADES yang berisi uang senilai US $ 660.000. terdiri dari
66 (enam puluh enam) ikat dengan pecahan US $ 100 (seratus dollar Amerika
Serikat) sebanyak 6.600 (enam ribu enam ratus) lembar kepada UTG.
c.   
Tindakan
Hakim dalam memeriksa kasus korupsi
Perbuatan
korupsi suap juga dilakukan oleh aparat pengadilan, antara lain oleh Hakim KJM,
P, A ketiganya Hakim Pengadilan Tipikor Semarang. Dan bersama-sama dengan HK, Hakim  Tipikor Pontianak. KJM khususnya oleh
Pengadilan Tipikor Semarang dinyatakan melanggar Pasal 12 huruf c UUPTPK jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.  
(Putusan No.128/PID.Sus/2012/PN.Smr tanggal 18 April 2013).
Dalam
kasus di atas KJM melakukan tindakan hukum dengan konstruksi korupsi suap  sebagai berikut:
1.     KJM selaku Hakim melakukan beberapa kali
pertemuan dengan HK awal bulan Maret dan awal bulan Mei 2012 di Semarang.
Intinya   HK meminta tolong kepada KJM
untuk dapat membantu meringankan hukuman. 
Jawaban KJM “Ya pak...... saya
sudah sampaikan kepada ibu LILIK Ketua Majelis...... beliau bersedia membantu. KJM
menyampaikan “agar nanti kalau sudah
dibantu pemberian ucapan terima kasih dari keluarga Muhammad Yaeni diserahkan
kepada Hakim HK. “
2.     Sehingga pada akhirnya Tanggal 10
Agustus 2012, HK menemui Hakim P di PN 
Semarang, Hakim P mengatakan kepada HK “Pak .... saya sudah musyawarah dengan Anggota Majelis ... bu KJA dan
pak A. Putusannya ... Pak MY masuk satu tahun .... uang pengganti saya koreksi
dan saya turunkan dari tuntutan Jaksa. Tapi .... pak A ... DO,  putusan akan diucapkan hari Senin tanggal dua
puluh tujuh  Agustus  dua 
ribu  dua   belas” 
dan  ucapan  terima kasihnya satu pintu saja ... ke bu
Kartini, diserahkan sebelum lebaran.” 
3.     Pada tanggal 17 Agustus 2012 pagi HK
menerima uang dari SD untuk diserahkan kepada Hakim KJM, A, P yang mengadili MY
dalam sebuah tas kertas Blackberry didalamnya 
bungkusan kantong plastik kresek warna hitam yang isinya 2 (dua) ikat
uang pecahan Rp100.000,00 sejumlah Rp100.000.000,00 dan satunya lagi
Rp50.000.000,00.  Setelah menerima uang
dari SD,  HK langsung ke kantor
pengadilan di tengah perjalanan, mengambil Rp50.000.000,00 dimasukkan ke dalam
dashboard mobilnya, sedangkan uang sejumlah Rp100.000.000,00. Akan diberikan
KJM dan P. Tidak lama tiba di PN datang KJM menemui HK di mobilnya,  dan berkata kepada  HK “Pak
… saya sudah ketemu dengan pak P … pak P nggak keberatan dengan angka seratus
juta”. Kemudian HK menunjuk 1 (satu) tas kertas  yang berisi uang tunai sejumlah Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) kepada KJM sambil mengatakan “ya sudah bu, itu….. terima saja”. 
Tindakan-tindakan
aparat penegak hukum di atas, dengan analisis monolog  hermeneutika hukum
mendudukkan tindakan hukum sebagai sebuah struktur diskursus penegakan hukum
yang tidak tunggal, karena disamping itu terdapat sebuah struktur perilaku
menyalahgunakan wewenang yang mendudukkan perbuatan korupsi suap sebagai sebuah
wacana lain.
Penegakan
hukum secara gramatikal mempunyai makna upaya aparat penegak hukum (polisi,
jaksa, hakim) untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya.  Artinya diperlukan
aparat polisi, jaksa, hakim sesuai dengan kewenangannya melakukan
tindakan-tindakan hukum yang benar untuk memastikan tegaknya hukum itu.
Berdasarkan
pemahaman kepada  struktur kalimat yang
diwacanakan dalam aktivitas penegakan hukum oleh penyidik MAE kepada HH “bisa membantu akan tetapi meminta imbalan
15% dari harga rumah”. Kemudian pada kalimat yang diucapkan lainya, mengatakan
bahwa “uang yang dititip kan kepada HH
sudah diterima.”  Dalam kasus
Drs.Roberto Santonius (Tersangka 2) Penyidik Polri MAE dan SS mengatakan  “akan menindaklanjutinya” permintaan
Tersangka  2 untuk tidak menjadikan
tersangka dan untuk membuka rekening yang blokir Bareskrim.  Dalam pemeriksaan Drs.Roberto dipanggil tidak
lagi sebagai Tersangka. MAE, juga mengatakan kepada Drs. Roberto Santonius,
bahwa “rekeningnya di Bank Danamon dan di
BCA akan dibuka.” Dengan tidak berstatus sebagai tersangka dan dibukanya
blokir rekening an. Drs. Roberto Santonius, MAE menerima hadiah uang sejumlah
Rp. 100.000.000,00 dari Drs. Roberto Santonius. 
Demikian
pula yang diwacanakan oleh UTG dalam penyidikan kasus BLBI dengan kalimatnya
yang menyatakan "Nanti pengacaranya
bersurat aja dalam keadaan sakit opo di Singapura gitu aja iyo tho",
dan, kata  "Aku juga ngamankan dokumen-dokumen itu semua nanti, ya kan ... gitu kan".
Termasuk hakim KJM, A, P dan HK yang secara gamblang mengemukakan kata-kata KJM
“Ya pak...... saya sudah sampaikan kepada
Ketua Majelis...... beliau bersedia membantu. KJM menyampaikan “agar nanti kalau sudah dibantu pemberian
ucapan terima kasih dari keluarga MY diserahkan kepada Hakim HK. “  kemudian perkataan Hakim P yang ditemui HK
mengucapkan, “Pak .... saya sudah
musyawarah dengan Anggota Majelis ... bu KJA dan pak A. Putusannya ... Pak MY
masuk satu tahun .... uang pengganti saya koreksi dan saya turunkan dari
tuntutan Jaksa. Tapi .... pak A ... DO, 
putusan akan diucapkan hari Senin tanggal dua puluh tujuh  Agustus 
dua  ribu  dua  
belas”  dan  ucapan 
terima kasihnya satu pintu saja ... ke bu KJM, diserahkan sebelum
lebaran.”  
Kalimat-kalimat
yang diungkapkan aparat penegak hukum seperti MAE, UTG, KJM,  kiranya dapat ditafsirkan aparat penegak hukum
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya untuk menegakkan hukum sudah tidak
lagi  mengindahkan kebenaran dan keadilan
yang menjadi pesan ilmu hukum maupun moral. Aparat penegak hukum seperti sudah
tidak memiliki etika profesi yang menjadi pedoman berperilaku. Pendekatan jalan
pintas menerabas dalam menegakkan hukum,
atau seperti dikatakan Friedman,
perilaku hukum seperti itu sebagai model perilaku cost-benefit,  hanya
mementingkan pribadinya untuk mendapatkan keuntungan semata, tanpa
memperdulikan kebaikan dan keburukan tindakan hukum yang seharusnya
dipertimbangkan berdasarkan ilmu hukum pidana.  
Berdasarkan
modus atau cara-cara korupsi suap seperti yang dilakukan aparat  di atas, memberikan gambaran  akan realitas korupsi suap sebagai perbuatan
yang seolah-olah tidak memiliki implikasi hukum ataupun sanksi hukum.
Pembicaraan mengenai korupsi suap oleh para aparat dengan pihak-pihak pelaku
korupsi secara santai dan ringan dibicarakan dan diobrolkan di hotel-hotel dan
restoran-restoran tanpa disertai kalimat-kalimat atau ucapan penolakan atau
kekhawatiran terhadap perbuatan korupsi suap yang dilakukan dengan tindakan
hukum yang tidak adil yang akan diberikan diberikan. 
Reinterpretasi Suap Dalam
Perspektif  Hukum Islam
Memahami
tindakan korupsi suap seperti diuraikan di atas, dapat bermula dari pelaku
(eksternal) ataupun dari aparat penegak hukum sendiri (internal). Keduanya bisa
saling berinterrelasi, saling mempengaruhi dan membuat hukum bekerja tidak
normal. Hal ini antara lain disebabkan pelaku tindak pidana korupsi (koruptor)
dan aparat penegak hukum adalah orang yang secara ekonomi dan sosial tergolong
mampu secara kebendaan. Selain itu obyek tindak pidana korupsi yang menjadi
fokus penyelidikan dan pemeriksaan aparat berupa uang barang (aset), harta
kekayaan, baik yang menjadi kerugian negara, ataupun yang menjadi
keuntungan/kekayaan pelaku,secara
tidak langsung telah menimbulkan vested
interest (kepentingan pribadi).  
Dalam
posisi seperti ini, pikiran aparat mengenai hukum mengalami kemerosotan, tidak
saja integritas tetapi tujuan penegakan hukum untuk memberikan keadilan menjadi
bias dan melenceng. Aparat dalam hal ini tidak lagi murni menjalankan urusan
hukum, dalam pikirannya, sebagian hukum sebagian bisnis.
Aparat dalam melaksanakan tindakan hukum tidak lagi untuk menemukan kebenaran
dan keadilan, tetapi di dorong oleh agenda pribadi sebagai prioritas utama.
Hukum oleh aparat seperti itu diolah dan digunakan untuk memenuhi kepentingan
pribadi yang aman menurut hukum. 
Meskipun
baru 10 tahun terakhir ini para pelaku korupsi suap dilakukan penindakan dan
diajukan penuntutan ke pengadilan oleh KPK. Masyarakat mulai bisa membedakan
antara tindakan suap dan yang bukan suap (tindakan timbal balik atau
transaksi),
meskipun demikian korupsi suap tetap menjadi pemahaman kolektif sebagai sesuatu
yang saling dimengerti dan dirahasiakan. Sehingga korupsi suap menjadi
persoalan yang sulit mendapat  kontrol
hukum.  
Perbuatan
korupsi suap yang dilakukan aparat penegak hukum dapat dikatakan “lebih jahat”
dibandingkan yang dilakukan oleh pelaku (masyarakat), karena dapat berbentuk
pemerasan dan suap (extortion and bribery).
Keduanya sulit dibedakan. Pertama,
keduanya menampakkan adanya konspirasi dan penawaran. Kedua,  dua-duanya memerlukan
pembuktian terlebih dahulu di pengadilan.
Dalam kasus korupsi suap yang berasal dari aparat (internal), untuk
melakukannya membutuhkan modus agar tidak tampak sebagai korupsi suap atau
pemerasan. Seperti pada  tindak pidana
korupsi suap yang dilakukan aparat penegak hukum di atas.  
Refleksi
terhadap kasus-kasus korupsi suap yang dilakukan oleh aparat di atas, dapat
dimaknai aparat inkonsisten dalam melaksanakan hukum, aparat lebih berorientasi
pada kepentingan mendapatkan keuntungan pribadi. Penegakan hukum oleh aparat
tidak lebih sekedar  lipservice, alias “omong doang”. Niat dan pikirannya telah
terarahkan kepada korupsi suap. Itulah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
di atas. Persis halnya yang dilakukan 
Akil Muchtar. Ketua Mahkamah Konstitusi membuktikan hal itu, ucapannya
yang lantang terhadap koruptor, “ini ide saya, dibanding dihukum mati, lebih baik
dikombinasi pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor saja
cukup,",
ternyata ide itu tidak sejalan dengan moral, pikiran dan  perbuatannya yang menggerakkan untuk
melakukan perbuatan korupsi suap dalam setiap melaksanakan tugasnya sebagai
hakim konstitusi.  
Merujuk pada prinsip syariat Islam, penggunaan akal diperintahkan dalam Alquran, seperti kata-kata afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala
tatazakkarun. Artinya menjadi kewajiban
seorang muslim untuk menggunakan akal sehatnya dalam menimbang atau melakukan
suatu tindakan. Dalam fiqih, akal
wajib tunduk kepada teks wahyu (nash). Teks wahyu tetap dianggap mutlak benar.
Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak menetang wahyu sama sekali.
Akal hanya memberi intrpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan
dan kesanggupan pemberi interpretasi.
Oleh karena itu kemantapan aqidah
yang konsistensi dapat menjadi emansipasi 
bagi pencerahan setiap orang, terutama 
dalam upaya membebaskan ketidakmampuan manusia menggunakan nalar
sehatnya tanpa arahan orang lain.  Mampu mengendalikan dari pikiran dan ide-ide jahat
korupsi  suap yang merusak aqidah, dan
merendahkan nilai-nilai luhur kebenaran kejujuran dan  keadilan.  
Terminologi setiap orang dalam Pasal-pasal UUPTPK dalam
konteks  pencegahan melakukan tindak
pidana korupsi, mengingatkan pada diri sendiri, siapapun ia,  polisi, jaksa, hakim, pengacara dan lain
sebagainya mempunyai nalar sehat yang mampu secara tegas dan berani berusaha
mencegah perbuatan korupsi suap dengan argumentasi diskursus yang menuntut
konsistensi pada tiga hal, pertama kebenaran pembicara, kedua kejujuran atau
ketulusan hati pembicara, ketiga ketepatan dan kepatutannya. 
Tindakan hukum aparat dalam wacana besar hukum prosedural (legal formal) telah menjadi tempat
berlindung yang aman dari penilaian korupsi suap yang dilakukan. Oleh
Syamsuddin,
sebagai pola pikir legal formal yang mengesampingkan nilai etis substansial
hukum. Tindakan hukum dengan argumen legal formal sangat memungkinkan
ditumpangi oleh tindakan korupsi suap aparat, karena itu membutuhkan pada
kesadaran bersama aparat untuk tunduk dan taat pada syariat Islam dalam
menegakkan hukum, terutama  pemahaman
terhadap sumber hukum yang mengatur korupsi suap dalam Aquran dan Sunnah. 
Dengan dasar aqidah dan landasan syariat Islam akan berimplikasi pada
pencegahan kejahatan, dengan dan melalui pendekatan personal, mengingatkan dan
mengajak diri sendiri, keluarga dan teman sejawat membangun kesadaran bersama.
Sebagaimana firman Allah Alquran Surat At-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:  
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Inilah hukum Islam. Aparat penegak hukum sebelum melakukan
perbuatan untuk orang lain dirinya harus memiliki etos yang berlandaskan, niat
iklas karena Allah semata, profesional, jujur dan amanah sebagaimana firman
Allah dalam Alquran Surat At Taubah, ayat 105 sebagai berikut:    
Artinya : Dan
Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada
kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Reinterpretasi perbuatan korupsi suap, melalui pemaknaan
konsistensi dengan mendasarkan pada hukum Islam menjauhkan aparat dari sikap
dan pandangan hidup dari yang hanya berorientasi kepada kepentingan manipulatif
dan eksploitatif, beralih kepada kepentingan yang lebih mengutamakan pencapaian
tujuan hidup yang di dasarkan kepada pengabdian kepada Allah untuk mendapatkan
ketenangan dan ketentraman hidup. 
Bagi umat
Islam tidak ada pilihan lain selain meyakini bahwa menjalankan syariat
merupakan bagian dari menjalani Din
(agama) nya secara kaffah. Kalau kini
banyak terungkap keinginan untuk menegakkan syariat Islam di berbagai tempat,
kelahirannya bukan karena eforia reformasi, melainkan lahir karena kesadaran
umat Islam terhadap perbedaan hukum Barat yang berasal dari akal pikiran
manusia dengan syariat Islam yang bersumber dari dua rujukan hidup yang valid,
yaitu Aquran dan Sunnah. Syariat Islam dipandang paling sesuai dengan rasa
keadilan, dan dipandang paling bisa memenuhi lima kebutuhan  daar hidup manusia, yakni melindungi agama,
jiwa, akal, harta dan keturunan.
Syariat Islam dengan  kemampuannya
melindungi kepentingan hidup yang paling mendasar, maka ia harus dilaksanakan,
melalui penegakan syariat Islam yaitu hukum pidana Islam. Meskipun secara
formal penegakan hukum pidana Islam terkendala banyak hal seperti
sosiokultural, fikroh, filosofis, yuridis, konsolidatif, akademis, ilmiah,
perumusan dan politis, bagi setiap orang (muslim) menjadi penting menegakkan syariat Islam,
akan tetapi dengan banyaknya kendala-kendala yang dihadapi terutama terkait
dengan kehidupan beragama dan berhukum pribadi-pribadinya, membutuhkan
prakondisi  terlebih dahulu pada
pembentukan landasan fikroh pada upaya integrasi pemahaman hukum pidana Islam
dan penegakannya melalui peran-peran pengemban profesi hukum khususnya aparat
penegak hukum memaknai pendekatan pencegahan kejahatan, terutama pencegahan
kejahatan risywah yang akan menyerang
dari berbagai penjuru kepada aparat penegak hukum, baik melalui diri, keluarga,
teman orang tua dan lain sebagainya. Pencegahan kejahatan risywah dalam hukum Islam menjadi penting menjadi tonggak
membumikan hukum pidana Islam di Indonesia. 
Menduduki
jabatan sebagai penegak hukum seperti Polisi, Jaksa dan Hakim, selama mampu
memikul jabatannya dan mampu melaksanakan kewajibannya secara adil merupakan
perintah Alquran dan Sunnah. Dengan kata lain tidak ada pilihan untuk
menolaknya. Akan tetapi hal itu harus didasarkan kepada keahliannya.
Abu
Dzar pernah juga meminta kepada Nabi untuk diberi suatu jabatan, maka oleh Nabi
ditepuknya pundak Abu Dzar sambil beliau bersabda: "Hai Abu Dzar! Engkau
orang lemah, kekuasaan adalah suatu amanat dan kelak di hari  kiamat akan menyusahkan dan menyesalkan,
kecuali orang yang dapat menguasainya karena haknya dan melaksanakan apa yang
menjadi tugasnya." (Riwayat Muslim). 
Sabda
Rasulullah juga tentang masalah Hakim sebagai berikut: Hakim itu ada tiga
macam: Satu di surga dan dua di neraka. Yang di surga, yaitu seorang hakim yang
tahu kebenaran dan ia menghukum dengan kebenaran itu. Seorang laki-laki yang
tahu kebenaran tetapi dia menyimpang dari kebenaran itu, maka dia berada di
neraka. Seorang laki-laki yang menghukum manusia dengan membabi-buta (bodoh),
maka dia di neraka." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Ibnu Majah). 
Untuk itu jabatan sebagai penegak hukum membutuhkan
landasan aqidah dan syariah yang kokoh berfungsi memahami makna, tugas dan
tanggungjawabnya sebagai makhluk Allah, serta mengarahkan segenap aktivitas dan
tindakan agar sejalan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam. Antara lain,
amanah, keadilan, tidak memakan harta orang secara batil. 
Dasar hukum prinsip amanah sebagaimana firman Allah
Ta’ala dalam Surat An Nisaa ayat 58 sebagai berikut:
Artinya: Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Sedangkan
prinsip keadilan sebagaimana firman Allah dalam Surat An Nisaa ayat 135 sebagai
berikut:  
Artinya: Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan.
Risywah
(suap) secara jelas terkandung dalam sumber ajaran Islam. Alquran dan Sunnah.
Keduanya merupakan sumber hukum tertinggi dan disepakati oleh seluruh umat
Islam karenanya memiliki kekuatan moral dan hukum sekaligus. Secara materil
maupun formil serta diterima dengan kesadaran sebagai keimanan. Risywah dalam bidang hukum (penegakan
Hukum) merupakan kejahatan yang paling keji dan berbahaya, mampu mengaburkan
dan menjungkirbalikkan kebenaran. Keputusan atas suatu perkara bukan didasarkan
atas kebenaran  yang berlandaskan syar’i
Akan tetapi berdasarkan atas hawa nafsu orang-orang yan terlibat dalam risywah.  
Bentuk risywah ini sangat diharamkan dalam
konsep syariah robbani. Haram bagi penyuap, penerima suap ataupun mediatornya.
Ketiga-tiganya dijauhkan dari rahmat Allah dan mendapat laknat dari-Nya. Orang melakukan penyuapan
kepada Penyidik Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan hakim karena mempunyai alasan. Pertama, yang bersangkutan atau
keluarganya atau orang lain karena telah mengetahui dirinya melakukan kejahatan
korupsi, agar tidak dilakukan upaya paksa penahanan, dan diancam dengan pasal yang
lebih berat maka melakukan penyuapan. Artinya dia mempunyai kasus yang dalam
proses hukum pidana kemungkinan besar sejak pemeriksaan oleh Penyidik Polisi
ditangkap dan ditahan serta dikenai pasal yang akan memberatkan hukuman atas
perbuatannya. Dia menyuap agar semakin besar peluang untuk memenangkan
kasusnya. 
Kedua, dia
menyuap Hakim untuk memenangkan kasusnya tetapi ia berada dipihak yang salah.
Dia menyuap hakim agar dapat memenangkan perkara, dia mengetahui karena
peluangnya kecil untuk memang. Jika Hakim menerima suap pada kasus tersebut
maka Hakim tersebut menerima predikat Fasiq.
Karena sudah menjadi kewajiban memutus perkara berdasarkan atas kebenaran. Tipe
penegak hukum seperti itu patut dicopot dan tidak boleh menjadi Hakim karena
kefasikannya.
Risywah dalam
penegakan hukum adalah haram. Fatwa MUI secara tegas mengemukakan “Memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah
haram “.
Risywah termasuk As-Shut yang sangat dilarang oleh syariat, karena ia memenangkan
kasus yang salah. Penyuap, yang menerima suap dan mediatornya semua sama dalam
segi hukum maupun balasannya (uqubah). Dosa risywah ini termasuk dosa besar (kabair) yang tidak dapat ditebus dengan pahala shalat, shaum maupun
sodaqoh. Bahkan taubat dan istighfar 
tidaklah akan diterima oleh Allah, hingga harta risywah itu dikembalikan kepada yang berhak  memilikinya. Sebab risywah termasuk mengambil hak orang
lain dengan sewenang-wenang dan dzolim. 
A.    Penutup
Pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Penyidik Polri, Jaksa
Penuntut Umum, Hakim tidak akan pernah mencapai tingkat keberhasilannya, tanpa
adanya usaha untuk mencegah atau menghentikannya melalui cara pandang kepada
Hukum Islam yang memiliki kekuatan moral dan hukum,  dan secara formal dan materil diterima dengan
keimanan.  Reinterpretasi korupsi suap
atau risywah dalam perspektif hukum
Islam adalah usaha memaknai risywah
sebagai perbuatan haram, dilaknat, tidak mendapat rakhmat dan, fasik.     
Pustaka Acuan
:
Rahardjo,
Satjipto, Sisi-sisi Lain dari Hukum di
Indonesia, Jakarta: Kompas,2006.
 MAE
merupakan Penyidik Mabes Polri yang oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan  dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi suap secara berulang kali melanggar Pasal 11 UUPTPK  jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP berdasarkan
putusan No.869/Pid.B/-2010/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 September 2010. Selanjutnya
oleh PT Jakarta putusan PN tersebut dikuatkan dan MA menolak permohonan kasasi
MAE sebagaimana putusan kasasi No.354.K/Pid.sus/2011 tgl.28 Februari 2011  
 
 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia
(Jakarta: Kompas,2006), h.61-63. 
 
Ian
Ayres, The
Twin Face of Judicial Corruption; Exortion & Bribery
 (Denver:Law Review,1997),h.5.