BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
             
Sebagai makhluk Sosial (Zoon Politicon) manusia dalam berinteraksi satu sama
lain sering kali tidak dapat menghindari adanya bentrokan – bentrokan
kepentingan (Conflict Of interest) diantara mereka. Konflik yang terjadi
dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai dengan pelangaran hak dam
kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik – konflik semacam itu
tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan saran hukum untuk menyelesaikannya.
Dalam keadan seperti itulah, hukum diperlukan untuk mengatasi berbagai
persoalan yang terjadi. Sebagaimana ungkapan “ubi societas ibi ius” atau
dimana ada masyrakat, mak disitu perlu hukum. Eksistensi hukum sangat
diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia, tanpa hukum kehhidupan
manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang menang / berkuasa. Tujuan hukum
untuk melindungi kepentingan manusia dalm mempertahankan hak dan
kewajibannya.Dalam rangka menegakan aturan – aturan hukum, maka di negara hukum
seperti Indonesia ini, diperlukan adanya suatu istitusi yang dinamakan
kekuasaan kehakiman (Judicative Power). Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk
menegakan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang – undangan tang berlaku
(Ius Constitutum)Guna terwujudnya keadilan i indonesia.
B. Rumusan masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1)      Apakah
Kekuasaan kehakiman indonesia ?
2)      Apa
saja tugas Mahkamah agung (MA) ?
3)      Bagaimana
Peradilan umum itu sendiri ?
4)      Apa
saja tugas Mahkamah konstitusi (MK) ?
5)      Apa
saja tugas Komisial yudisial (KY) ?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui:
1)      Kekuasaan
kehakiman indonesia
2)      Mahkamah
agung (MA) 
3)      Peradilan
umum 
4)      Mahkamah
konstitusi (MK)
5)      Komisial
yudisial (KY)
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Hukum Dan Kekuasaan
Kehakiman 
                 
Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan mengawasi berlakunya
peraturan perundang – undangan tang berlaku (Ius Constitutum). Eksistensi hukum
sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia, tanpa hukum
kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang menang / berkuasa. Tujuan
hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan
kewajibannya.
Indonesia adalah negara hukum, sudah selayaknya menghormati
dan menjunjug tinggi prinsip – prinsip hukum, salah satunya adalah diakuinya
prinsip keadilan yang bebas yang tidak memihak. Tolak ukuran dapat dilihat
sejauh mana kemandirian badan – badan peradilan dalam menjalankan tugas dan
kewenanganya terutama dalam menegakan aturan perundang – undangan (Hukum) dan
keadilan. Maupun jaminan yuridis adanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman.[1]  
Kekuasaan
kehakiman dalam praktek diselengarakan oleh adan – badan peradilan Negara.
Adapun tugas pokok badan peradilan negara adalah memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara – perkara yang diajukan oleh masyrakat pencari
keadilan. 
Sebagai istitusi yang dibutuhkan  masyrakat, usia
pengadilan sudah berbilang ribuan tahun, jauh mendahului usia pengadilan
moderen. Urusan atau pekerjaan mengadili adalah salah satu sekian banyak fungsi
yang harus ada dan dijalankan oleh masyarakat, sebagai respon terhadap adanya
kebutuhan tertentu. Mengadili adalah pekerjaan yang dibutuhkan untuk membuat
masyrakat menjadi tentram, dan produktif. Didalam masyrakat akan selalu muncul
persoaln diantara para angotanya harus diselesaikan. Persoalan – persoalan yang
tidak diselesaikan akan menjadi ganguan bagi ketentraman dan produktifitas
masyrakat. Suatu istitusi mesti dimunculkan untuk menjalankan fungsi tersebut
dan ia adalah Pengadilan.[2]  
             
Kemudia secara khusus, kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UU No. 4 tahun
2004 tentang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian UU No. 4 tahun 2004 merupakan
undang – undang yang organik. Sekaligus sebagai induk dan kerangka umum yang
meletakan asas – asas, landasan, dan pedoman bagi seluruh lingkungan peradilan
di Indonesia. Pasal 10 ayat (1,2) UU No. 4 tahun 2004, menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan
yang berada dibawahnya, dan sebuah Makamah Konstitusi. Adapun badan peradilan
yang berada dibawah Makamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :
a.      
Peradilan Umum 
b.     
Peradilan Agama 
c.      
Peradilan Militer 
d.     
Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam
menyelengarakan kekuasaan kehakiman tersebut, Makamah Agung bekedudukan sebagai
pengadilan negara tertinggi yang membawai semua lingkungan peradilan di
Indonesia, baik lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,
maupun peradilan tata uasah negara.[3]  
Mengenai kedudukan dan wewenang masing – masing lingkungan
peradilan tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa perundang –
undangan, yakni :
a.      
UU No. 14 tahun 1985 tentang Makamah Agung dan beberapa
perubahanya dalam UU No. 5 tahun 2004
b.     
UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dan beberapa
perubahanya dalam UU No. 8 tahun 2004
c.      
UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara dan
beberapa perubahannya dalam UU No. 9 tahun 2004 
d.     
UU No. 7 tahun 1986 tentang peradilan agama dan beberapa
perubahannya dalam UU No. 3 tahun 2006 
e.       UU No. 31 tahun 1997 tentang
peradilan militer 
f.       UU No. 24 tahun 2003 tentang Makamah
Kostitusi 
g.      UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi
yudisial[4] 
Sasaran
penyelengaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk menumbuhkan kemandirian para
penyelengara kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan yang
berkualitas. Kemandirian para penyelengara dilakukan dengan cara meningkatkan
integritas pengetahuan dan kemampuan. Sedang peradilan yang berkualitas
merupakan produk dari kimerja para penyelengara peradilan tersebut.[5]  
Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan persyaratan
penting dalam melakukan kegiatan pememuan hukum oleh hakim di pengadilan.
Kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman berarti tidak adanya intervensi
dari pihak – pihak extra judicial lainya,
sehinga dapat mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam
menjalankan tugas – tugasnya di bidang Judisial, yaitu dalam memeriksa,
mengadili dan memutuskan sengketa yang diajukan oleh pihak – pihak yang
berperkara. Lebih lanjut kondisi ini diharapkan dapat menciptakan putusan hakim
yang berkualitas, yang mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan.
Salah seorang hakim merasa bahwa kasus – kasus kriminal
tidak perlu menyita perhatianya tetapi ia merasa perlu memeliti setiap detail
undang – undang kriminal tersebut. Dan pengaruh tertentu yang mendorong para
hakim itu untuk berusaha mengikuti “hukum.”[6] secara analitis, apa yang terjadi
pada para hakim itu berlangsung melalui dua tahap. Pilihan pertamanya
adalah apakah hendak mengikuti “Hukum” atau tidak. Sikap – sikap, nilai, dan
konteks sosial menentukan pilihan ini. Pilihan kedua adalah keputusan aktual.
Bagaimanapun juga, bagi hakim ini akan berarti bahwa ia selalu “Terikat” oleh
huku.  
Pegadilan juga dapat digantungkan pada tingkat perlapisan
sosial dalam masyrakat, semakin kompleks perlapisaan sosial dalam masyrakat
semakin besar pula perbedaan nilai – nilai dan kepentingan antara lapisan dalam
masyrakat. Pengadilan disitu sudah menjadi istitusi untuk melindungi
kepentingan golongan yang dominan dengan memaksakan berlakunya berlakunya
mempertahankan kedudukan mereka. Sebaliknya dalam masyrakat yang lebih
sederhana, yaitu dengan tingkat yang perlapisan sosial yang rendah maka kesepakatan
nilai – nilai relatif lebih mudah untuk dicapai.[7]   
                
Meskipun demikian, kemandirian kekuasaan kehakiman harus disertai dengan
integritas moral, keluhuran, dan kehormatan martabat hakim, karena kalau tidak
maka manipulasi dan mafia peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi
peradilan, sehiga para hakim yang menyalah gunakan jabatan menjadi sulit
tersentuh hukum. Praktek mafia peradilan terutama “Judicial corruption” menjadi
semakin sulit diberantas, jika tidak para “hakim Nakal” berlindung pada asas
kemandirian atau indenpendensi kekuasaan kehakiman yang diletakan tidak pada
tempatnya. Pada pasal 1 UU No. 4 tahun 2004 disebutkan bahwa kebebasaan dalam
melaksanakan wewenang judisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah
untuk menegakan hukum keadilan berdasarkan pancasila, sehinga putusanya
mencerminkan rasa keadialan rakyat Indonesia. 
B. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung
merupakan lembaga peradilan yang benar-benar merdeka dari pengaruh-pengaruh
luar dirinya sehingga menciptakan suatu kebenaran, keadilan, dan kedamaian yang
dapat diterima dan dirasakan oleh pihak-pihak yang berperkara.[8]
Pembentukan Mahkamah
Agung di Indonesia berdasarkan pada ketentuan 
Pasal 24 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Kemudian Ketetapan
MPR RI No. III/ MPR/ 1978, pada pasal 1 ayat (2), mengukuhkan Mahkamah Agung
sebagai lembaga tinggi negara bersama-sama dengan lembaga tinggi negara yang
lain, yaitu Presiden, DPA, DPR, dan BPK. Selanjutnya pasal I UU No. 14 Tahun
1985 mengukuhkan pula tentang kedudukan Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tinggi
Negara.[9]
1.
Fungsi Peradilan
a)      Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi,
Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman
dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga
agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan
secara adil, tepat dan benar.
b)      Disamping tugasnya sebagai
Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada
tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14
Tahun 1985) semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang
berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
c)      Erat kaitannya dengan fungsi
peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara
materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu
peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari
tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang MA Nomor 14 Tahun 1985).
2.
Fungsi Pengawasan
a)      Mahkamah Agung melakukan pengawasan
tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan
tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan
dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b)      Mahkamah Agung juga melakukan
pengawasan : Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan
perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan
meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan
serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi
kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal
36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3.
Fungsi Mengatur
a)   Mahkamah Agung dapat mengatur lebih
lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan
apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang
Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum
yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27
Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b)   Mahkamah Agung dapat membuat
peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara
yang sudah diatur Undang-undang.
4.
Fungsi Nasehat
a)   Mahkamah Agung memberikan
nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada
Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam
rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung
No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI
Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk
memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga
rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai
rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur pelaksanaannya.
b)   Mahkamah Agung berwenang meminta
keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga
peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38
Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
5.
Fungsi Administratif
a)   Badan-badan Peradilan (Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara)
sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara
organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada
dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah
Agung.
b)   Mahkamah Agung berwenang mengatur
tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan
Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).
6.
Fungsi Lain-Lain
Selain tugas
pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung
dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undangb)     Kedudukan Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung dalam
kedudukannya sebagai Lembaga Tinggi Negara membawa konsekuensi bahwa Mahkamah
Agung harus dapat memainkan peran politiknya untuk membawa Negara Republik
Indonesia ke arah yang di cita-citakan. Peran politik tersebut berupa penilaian
dan pengawasan serta sumbangan pemikiran di bidang hukum kepada semua lembaga
tinggi negara dan menjalankan politik pemerintahan negara.[11]
a. Susunan Organisasi Mahkamah
Agung
      Mengenai susunan organisasi yang ada
dalam Mahkamah Agung dijelaskan dalam BAB II Susunan Mahkamah Agung pasal 4
sampai dengan pasal 27.
      Susunan organisasi MA terdiri dari  pimpinan, hakim anggota, panitia, dan
Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari
ketua, wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda. Hakim anggota Mahkamah Agung
adalah Hakim Agung. Pada Mahkamah Agung juga ditetapkan adanya Sekretariat
Jenderal dan dibantu oleh Wakil Sekjen.[12]
C. Peradilan Umum 
Peradilan Umum adalah salah satu kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan
untuk memeriksa mengadili, dan memutuskan perkara tertentu yang hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang adapun hakim ad hoc adalah hakim
yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang
tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang
pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
Untuk lebih lengkapnya silahkan simak penjelasan dibawah ini.
Berikut adalah lembaga-lembaga yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman dilingkungan peradilan umum.
a)   Pengadilan
Negeri
Pengadilan negeri dibentuk berdasarkan keputusan presiden.
Pengadilan negeri berkedudukan di kota madya atau ibu kota kabupaten, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten. Pengadilan negeri
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, serta menyelesaikan perkara pidana
dan perkara perdata di tingkat pertama.
Pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama.
Susunan pengadilan negeri terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera,
sekretaris, dan juru sita. Adapun pimpinan pengadilan negeri terdiri dari
seorang ketua dan seorang wakil ketua.
Dalam setiap pengadilan negeri terdapat beberapa orang hakim
dan pembagian tugas diantara mereka diatur oleh kepala pengadilan. Hakim
pengadilan diangkat dan dibentuk oleh presiden atas usul ketua Mahkamah Agung.
b)    
Pengadilan Tinggi
Pengadilan
tinggi merupakan pengadilan tingkat banding yang kedudukannya di ibu kota provinsi,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Susunan pengadilan tinggi
terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Pimpinan
pengadilan tinggi terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua. Hakim
anggota pengadilan tinggi disebut hakim tinggi.
Berikut
adalah tugas dan wewenang pengadilan tinggi.
- Mengadili
     perkara pidana dan perdata di tingkat banding.
- Mengadili
     di tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili
     antarpengadilan negeri dalam daerah hukumnya.
- Menjaga
     jalannya peradilan di tingkat pengadilan negeri agar pengadilan
     diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
- Memberikan
     keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum kepada instansi
     pemerintah apabila diminta.
- Tugas
     atau kewenangannya ialah berdasarkan undang-undang.
UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum sebagai
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahu 1986 tentang Peradilan Umum
telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan umum,
pengawasan tertinggi, baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial yaitu
urusan organisasi administrasi, dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah
Agung. Adapun untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi
Yudisial. 
Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan
dan prinsip kebebasan hakim dapat berjalan paralel dengan prinsip integritas
dan akuntabilitas hakim.
Selain itu, dalam undang-undang yang terbaru ini disebutkan
juga mengenai diperbolehkannya dibentuk pengadilan khusus di lingkungan
peradilan umum dan yang bertugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara adalah hakim ad hoc.
D. Mahkamah Konstitusi
      
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal
ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga
lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Pasal 24C  ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 berwenang untuk:
1.     
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2.     
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik  Indonesia Tahun 1945;
3.     
memutus pembubaran partai politik;
4.     
memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
5.     
memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil
a)     
Kedudukan dan Susunan
     
1.  Kedudukan
     
     Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang berkedudukan di Ibukota
Negara Republik Indonesia
      
2. Susunan
a.      
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
b.     
Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua
merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh)
orang anggota hakim konstitusi.
c.      
Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi
untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.
d.     
Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya.
e.      
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.
b) Kekuasaan
Mahkamah Konstitusi
1.      Wewenang
          
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and
balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara
sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling
mengoreksi kinerja antar lembaga negara. Wewenang Mahkamah Konstitusi antara
lain
1)     
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final.
2)     
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3)     
Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara,
pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.
      
2.  Tanggung Jawab dan Akuntabilitas
1)     
Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi,
personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang
baik dan bersih.
2)     
Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan berkala kepada
masyarakat secara terbuka
3)     
Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan
Mahkamah Konstitusi.
c)
Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi 
     
1. Pengangkatan
         
Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus memenuhi
syarat:
a.       warga negara Indonesia;
b.      berpendidikan sarjana hukum;
c.       berusia sekurang-kurangnya 40 (empat
puluh) tahun pada saat pengangkatan;
d.      tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
e.       tidak sedang dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan; dan
f.       mempunyai pengalaman kerja di bidang
hukum sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun. Calon hakim konstitusi yang
bersangkutan wajib membuat surat pernyataan tentang kesediaannya untuk menjadi
hakim  konstitusi. Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan,
dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang
berwenang. Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat
dipilih kembali hanya untuk 1  (satu) kali masa jabatan berikutnya.
      
2.  Pemberhentian
a.
Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila:
1)     
meninggal dunia;
2)     
mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan
kepada Ketua Mahkamah Konstitusi;
3)     
telah berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun;
4)     
telah berakhir masa jabatannya; atau
5)     
sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus yang dibuktikan
dengan surat keterangan dokter.
b. 
Hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat apabila:
1)     
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
2)     
melakukan perbuatan tercela;
3)     
tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan
kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasanyang sah;
4)     
melanggar sumpah atau janji jabatan;
5)     
 dengan sengaja
menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud
dalam   Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
6)     
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
7)     
tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
c. Hukum Acara
1)      Mahkamah Konstitusi memeriksa,
mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9
(sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan
7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua  Mahkamah
Konstitusi.
2)      Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi
berhalangan memimpin sidang pleno, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi.
3)      Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno
dipimpin olehketua sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah
Konstitusi.
4)      Sebelum sidang pleno, Mahkamah
Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang
hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.
5)      Putusan Mahkamah Konstitusi
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Hukum acara yang telah disebutkan ini memuat aturan umum
beracara di muka Mahkamah Konstitusi dan aturan khusus sesuai dengan
karakteristik masing-masing perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah
Konstitusi diberi kewenangan untuk melengkapi hukum acara menurut Undang-Undang
ini.
Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat.
Pengertian Komisi Yudisial Fungsi Kewenangan dan
Undang Undang - Sebagaimana telah diperintahkan UUD 1945 hasil
amandemen, khususnya pasal 24A ayat (3), pasal 24B pasal 25, maka perlu
dibentuk lembaga negara baru bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka  menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 
Lembaga
Negara baru ini bernama Komisi Yudisial, yang dibentuk
berdasarkan UU Komisi Yudisial. Mengenai kewenangan Komisi Yudisial, pasal 13
UUKY menentukan :  
- Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada
     DPR; dan
- Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
     serta menjaga perilaku hakim. 
Sedangkan tugas Komisi Yudisial ditentukan pasal 14 ayat (1) UUKY,
yaitu: 
- Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
- Melakukan seleksi terhadap calon Hakim
     Agung; 
- Menetapkan calon Hakim Agung; dan 
- Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR 
Disamping itu,
Komisi Yudisial juga bertugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
(Pasal 20 UUKY). Dalam melaksanakan kewenangannya menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial bertugas
mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi (Pasal 21 UUKY). Penjatuhan sanksi ini diajukan
kepada Mahkamah Agung untuk hakim agung dan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
hakimkonstitusi. 
Bagaimana pengawasan itu dilakukan. Sesuai Pasal 22 ayat (1), maka Komisi 
Yudisial:  
- menerima laporan masyarakat tentang perilaku
     hakim;
- meminta laporan secara berkala kepada badan
     peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; 
- melakukan pemeriksaan terhadap dugaan
     pelanggaran perilaku hakim; 
- memanggil dan meminta keterangan dari hakim
     yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan 
- membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa
     rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
     Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. 
Sedangkan pasal
22 ayat (2) menegaskan, bahwa dalam melaksanakan pengawasannya, Komisi Yudisial
wajib: 
- Menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan
     perundang-undangan; dan
- Menjaga kerahasiaan keterangan yang 
     karena sifatnya merupakan rahasia
 
 
Komisi Yudisial yang
diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. 
Yang dimaksud dengan mentaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam ketentuan ini  misalnya tidak memperlakukan
semena-mena terhadap hakim yang dipanggil untuk memperoleh keterangan atau
tidak memperlakukan hakim seolah-olah tersangka atau terdakwa. Hal ini untuk
menjaga hak dan martabat hakim yang bersangkutan  
Pelaksanaan tugas Komisi Yudisial tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara (pasal 22 ayat 3). Itu artinya, hakim tetap
diberikan kemandirian dalam melaksanakantugasnya. 
Hanya saja, manakala
hakim akan diperiksa Komisi
Yudisial, maka pasal 22 ayat (4) menegaskan:  “Badan
peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi
Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu
paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial
diterima. Yang dimaksud dengan hakim dalam ketentuan ini termasuk hakim
pelapor, hakim terlapor,  atau hakim lain yang terkait. Sedangkan yang
dimaksud dengan keterangan itu dapat diberikan secara lisan dan/atau tertulis”
(penjelasan pasal 22 ayat 4).   
Dalam hal badan
peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban tersebut, Mahkamah Agung dan/atau
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan
peradilan  atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta
(Pasal 22 ayat 5). 
Apabila badan peradilan
atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan tetapi tetap tidak
melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan badan peradilan atau hakim yang
bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dibidang kepegawaian (pasal 22 ayat 6). Semua keterangan dan data ini bersifat
rahasia (pasal 22 ayat 7). Sedangkan mengenai ketentuan tata cara pelaksanaan
tugas sebagai mana dimaksud pada pasal 22 ayat (1) di atur oleh Komisi
Yudisial. 
Di dalam pasal 23 ayat
(1) UUKY ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi yang dapat diberikan Komisi
Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat pelanggarannya, yaitu: 
- Teguran tertulis;
- Pemberhentian sementara; atau 
- Pemberhentian. 
Usul pemberhentian
sanksi teguran tertulis ini disertai alasan kesalahannya, bersifat mengikat,
disampaikan Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
Konstitusi (pasal 23 ayat 2). Sedangkan usul penjatuhan sanksi pemberhentian
sementara dan pemberhentian ini diserahkan Komisi Yudisial kepada Mahkamah
Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 3). Untuk hakim yang
dijatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim (pasal 23
ayat 4). Dalam hal pembelaan ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah  Konstitusi kepada presiden paling lambat
14 hari sejak pembelaan ditolak oleh Majelis Kehormatan (pasal 23 ayat 5).
Keputusan Presiden mengenai pemberhentian hakim, ditetapkan dalam jangka waktu
paling lama 14 hari sejak presiden menerima usul Mahkamah Agung (pasal 23 ayat
6) 
Selain tugas
pengawasan, Komisi Yudisial juga dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas
prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim (pasal 24 ayat 1). 
Harus diakui,
dilahirkannya lembaga Komisi Yudisial ini tidak lain akibat dari banyaknya
penyimpangan perilaku hakim, bahkan sampai-sampai memunculkan istilah mafia
peradilan, sementara  system yang ada untuk membersihkan penyimpangan
penyimpangan hakim, misalnya suap dan korupsi dinilai tidak mampu menembus
dinding korps hakim. Boleh jadi, jika saja hakim dinegeri ini banyak yang
berperilaku bersih, tak perlu dibentuk Komisi Yudisial.
Sekelompok orang yang
ditunjuk  dan atau diberi wewenang oleh pemerintah untuk menjalankan suatu
tugas tertentu yang berhubungan dengan lembaga hukumatau lembaga yudikatif.
Latar Belakang Lahirnya Komisi Yudisial dan Kedudukannya Dalam Susunan
Ketatanegaraan Indonesia. Guna pembenahan terhadap masalah masalah dalam hal
kekuasaan kehakiman yang selama ini seringkali  dimanfaatkan oleh
kepentingan politik pihak–pihak tertentu maka diperlukan adanya gagasan –
gagasan tentang perlunya  lembaga–lembaga khusus yang mempunyai fungsi
fungsi tertentu yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial
dibentuk dalam rangka memenuhi gagasan–gagasan tersebut sebagai penyeimbang
yang berjalan bukan pada rel atau koridor peradilan tetapi untuk melakukan
pengawasan atau sebagai fungsi control sehingga perwujudan konsep “chek and
balance” bisa tercapai dengan benar. 
Kedudukan Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan di Indonesia adalah
termasuk kedalam lembaga tinggi Negara  setingkat presiden dan bukan
lembaga pemerintahan bersifat khusus atau lembaga khusus yang bersifat
independent yang dalam istilah lain disebut lembaga Negara mandiri (state
auxiliaries institution).dengan demikian status kelembagaan Komisi Yudisial
tidak sama dengan, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komnas HAM, Komnas
perempuan, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara, Komisi Pengawas Persaingan
Usaha, Komisi Hukum Nasional, Komisi Kebenaran dan Rekosiliasi, Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi
Konstitusi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Perlindungan Anak, karena
ada alasan sebagai berikut: 
- Kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung
     oleh UUD 1945, yaitu pasal 24B
- Komisi Yudisial secara tegas dan tanpa keraguan
     merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, karena pengaturan ada dalam bab
     IX kekuasaan kehakiman yang terdapat dalam UUD 1945. 
Yang jelas
kedudukan Komisi Yudisial disini sebagai lembaga Negara, yakni lembaga yang
kewenangannya ditentukan oleh UUD, dimana Komisi Yudisial itu sendiri dalam
pasal 24b ayat 1 dan 2  dalam hubungannya dengan lembaga Negara yang lain
seperti MK, MA, Presisen, MPR, DPR itu sejajar.
a. Kewenangan Komisi
Yudisial 
Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
dan mempunyai  wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24 B ayat (1) UUD
1945). 
- Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan
     monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan
     unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya
     monitoring internal saja;
- Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator)
     atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (Executive Power) dan
     kekuasaan kehakiman (Judicial Power) yang tujuan utamanya adalah untuk
     menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan 
     apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah. 
- Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat 
     efisiensi dan efektivitas kekuasaan (Judicial Power) akan semakin tinggi
     dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring Hakim
     Agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman. 
- Terjaganya konsistensi putusan lembaga
     peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang
     ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial) 
- Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian
     kekuasaan kehakiman (Judicial Power) dapat terus terjaga, karena
     politisasi terhadap perekrutan Hakim Agung dapat diminimalisasi dengan
     adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga
     diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik. 
Komisi Yudisial Berwenang Melakukan Pengawasan Terhadap Hakim 
Karena
selama ini kedudukan hakim sebagai salah satu dari bagian lembaga peradilan
dirasakan tidak berjalan secara optimal maka pemerintah melakukan pembenahan –
pembenahan yang salah satunya yaitu dengan melakukan pembentukan lembaga yang
independen yang berfungsi sebagai lembaga pengawasan terhadap hakim. Seperti
yang kita tahu, akhirnya dilahirkanlah suatu lembaga baru melalui perubahan
ketiga UUD 1945 yaitu  Komisi Yudisial Republik Indonesia. Yang secara
legislatif salah satu kewenangan dan tugas Komisi Yudisial adalah menegakkan
kehormatan, dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B UUD 45). 
BAB III
KESIMPULAN
                      
Untuk mengakhiri makalah ini. Berdasarkan pada urain makalah diatas  dapat
kita simpulkan bahwa : 
a.       Hakim sangat diperlukan dalam
mengatur dalam kehidupan manusia guna terwujudnya keadilan, tanpa hukum manusia
akan liar, dan tugas pokok hakim adalah memeriksa mengadili memutus dan
menyelesaikan masalh atau perkara – perkara yang diajukan oleh masyrakat para
pencari keadilan.
b.      Kekuasaan kehakiman untuk
menumbuhkan kemandirian para penyelenhara kekuasaan kehakiman dalam rangka
mewujudkan kehakiman peradilan yang berkualitas dengan meningkatkan integritas,
ilmu pengetahuaan dan pengalaman. 
c.       Kemandirian kekuasaaan kehakiman
harus disertai dengan integritas moral, keluhuran dan kehormatan martabat hakim
karena kalau tidak maka manipulasi dan mafi peradilan bisa saja berlindung
dibawah independensi peradilan, sehinga para hakim yang menyalah gunakan
jabatanya menjadi sulit disentuh hukum. 
d.      Hakim mengambil keputusan
berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinanya yang seadil –
adilnya serta memberi manfaat bagi masyrakat sehinga dapat berfungsi sebagai
pengerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum. 
e.       Hukum itu netral yakni tidak memihak
pada pihak –pihak tertentu dan hakim juga harus mengadili menurut hukum yang
berlaku dan yang sudah ditetapkan oleh undang – undang, oleh karena itu
putusanya harus berdasarkan hukum itu, dan harus mengandung  atau menjamin
kepastian hukum yang berarti bahwa ada jaminan bahwa hukum dijalankan, dan
dismping itu pula putusan hakim harus bermanfaat baik bagi yang bersangkutan
maupun bagi masyrakat.
DAFTAR PUSTAKA
A.Mukit, Arto,”Mencari Keadilan”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2001 
Danang Widoyoko, et. Al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW,
Jakarta,2002
Friedman, Lawrence M., “Sistem Hukum Persfektif Ilmu Sosial”,
Musa Media, Bandung, 2009
Kansil, Christin, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta, 2008.
Mocthar, Kusumatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam
Pembangunan Nasional, Fak. Hukum Universitas Pajajaran, Bina Cipta,
Bandung, 1986
Rahardjo, Satjipto. “Sosiologi Hukum”, Muhamadiyah University
Press, Surakarta, 2004
Sarwata, Kenijaksanaan Strategi Penegakan Sistem Peradilan Di Indonesia,
Lemhanas, 19 Agustus 1997
Soerjono Soekamto, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983
Sutiyoso,Bambang,”Metode Penemuan Hokum”, UUI Press, 2006 
 Bambang Sutiyoso “Metode
Penemuan Hukum”, UII Press 2006, Hal 2  
 
 Satjipto Raharjo,. “Sosiologi Hukum”  Muhamadiyah University Press, Surakarta,
2004. Hal 133 
 
 Bambang Sutiyoso “Metode
Penemuan Hukum”, UII Press 2006, Hal 4 
 
 Lihat UUD 1945 HasilAmandemen  
 
Sarwata “Kebijaksanaan Dan Strategi
Penegakan Sistem Peradilan Di Indonesia”, Lemhanas, 19 Agustus 1997, Hal 6 
 
 Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum Prespektif Ilmu Sosial”, Nusa Media, Bandung, 200 hal
229 
 
 Satjipto Raharjo,. “Sosiologi Hukum”  Muhamadiyah University Press, Surakarta,
2004. Hal 150