BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kehidupan
sosial masa lalu Afrika Utara adalah
sebuah kehidupan masyarakat pedesaan yang bersifat kesukuan, nomad
(berpindah-pindah) dan patriarkhi. Ketika daerah ini berada di bawah kekuasaan
Romawi, tak pelak pengaruhnya sangat besar bagi masyarakat Barbar. Umumnya
mereka dipengaruhi oleh elit kota yang mengadopsi bahasa, gagasan , dan adat
istiadat para penguasa. Tetapi elit-elit ini tidak banyak. Selanjutnya, setelah
orang-orang Vandal (Barbar) memperoleh kemenangan, pengaruh Romawi di sebagian
besar Afrika mulai berhenti, kecuali pengaruh ekonomi, dan peradaban Barbar
lama secara bertahap muncul kembali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada
abad 1 H/7 M kehidupan sosial Afrika Utara lebih merupakan kehidupan masyarakat
Barbar yang bersifat kesukuan, nomad dan patriarkhi.
Mesir adalah salah-satu kawasan yang berada di AfrikaUtara.
Afrika Utara merupakan daerah yang
sangat penting bagi penyebaran agama Islam di daratan Eropa. Ia menjadi pintu
gerbang masuknya Islam ke wilayah yang selama berabad-abad berada di bawah
kekuasaan Kristen sekaligus “benteng pertahanan” Islam untuk wilayah tersebut.
Islam
menyentuh wilayah Mesir pada 628 Masehi. Ketika itu Rasulullah mengirim surat
pada Gubernur Mukaukis yang berada di bawah kekuasaan Romawi-mengajak masuk
Islam. Rasul bahkan menikahi gadis Mesir, Maria.
Islam
masuk wilayah Afrika Utara pada saat daerah itu berada di bawah kekuasaan
kekaisaran Romawi, sebuah imperium yang amat luas yang melingkupi beberapa
Negara dan berjenis-jenis bangsa manusia.
Masuknya Islam kewilayah Mesir yang termasuk
wilayah Afrika Utara terjadi dalam beberapa tahapan dan dibawah kepemimpinan
yang berbeda pula.
1.2
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, Penulis mengambil rumusan masalah dan focus
terhadap:
1.
Bagaimanakah
perkembangan Islam di Mesir?
2.
Bagaimanakah
Pengaruh Napoleon terhadap pembaharuan Mesir?
3.
Bagaimanakah
perkembangan peradaban di Mesir?
4.
Bagaimanakah
perkembangan Ilmu pengetahuan di Mesir?
5.
Siapakah
tokoh-tokoh modern dalam Islam di Mesir?
1.3
Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk:
1.
Untuk
mengetahui bagaimana perkembangan Islam di Mesir
2.
Untuk
mengetahui Bagaimanakah Pengaruh Napoleon terhadap pembaharuan Mesir
3.
Untuk
mengetahui bagaimana perkembangan peradaban di Mesir
4.
Untuk
mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang di Mesir
5.
Untuk
mengetahui siapakah tokoh-tokoh modern islam yang ada di mesir dan bagaimana
peranannya.
BAB
II PEMBAHASAN
A. Islam abad Modern
di Mesir
Mesir adalah sebuah negara tua dan memiliki peradaban yang jatuh bagun silih
berganti pula. Peradaban Mesir kuno kita kenal menyembah dewa matahari, Ra.
Bangunan-bangunan yang hingga kini ada itu digunakan untuk penyembahan dewa
matahari. Nabi Musa alaihissalam diutus untuk mengajarkan Islam pada masyarakat
yang nota bene berada di Mesir. Kita ingat dan paham bagaimana kisah perjuangan
Nabi Musa alaihissalam dalam meyakinkan umatnya hingga harus ‘adu sihir’ dan
menggantungkanyawa di tepi laut merah. Begitulah Allah berkehendak.
Dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW, Islam pun menyentuh daratan Mesir.
Islam masuk ke Mesir setelah khilafah Islam mengakuisisi Byzantium pada tahun
639M. Pada khilafah Turki Utsmani, Fatimiyyah dipercaya untuk memimpin Mesir.
Peninggalan yang hingga kini masih bisa kita lihat adalah Universitas Al-Azhar.
Kampus ini berdiri tahun 973 M dan universitas tertua di dunia sekaligus di
khazanah intelektual Islam khususnya.
Setelah berakhirnya khilafah Turki Utsmani, posisi Mesir menjadi dilema.
Di mata zionis, Mesir bisa menjadi penyangga yang kokoh karena besarnya potensi
Mesir. Dan hari ini dan seabad terakhir kita lihat memang demikian adanya.
Siapa yang menyumbang pasokan energi untuk Israel? Jawabannya adalah Mesir.
Belum lagi masalah politik, hukum, dan keamanan. Dalam film dokumenter Tears of
Gaza (air mata Gaza) ada seorang Palestina yang mendoakan laknat Allah untuk Israel
dan Mesir. Ini menunjukkan betapa pendudukan Israel atas Palestina dibalik
kekuatan besar Mesir. Mesir semakin
takluk pada zionis setelah kalah perang dengan Israel plus perjanjian Camp
David yang salah satu isinya adalah Mesir menjadi pemasok energi bagi Israel
dengan harga murah.
Selepas khilafah Turki Utsmani dan kerajaan Mesir yang masuk dalam
protektorat Inggris, Mesir berdiri sebagai negara republik dengan Muhammad
Najib sebagai presiden pertama (1953-1954). Ketiga presiden berikutnya adalah
Gamal Abdul Nasser (1954-1970), Anwar Sadat (1970-1981), dan Husni Mubarak
(1981-2012). Dan kini, Mesir kembali dipimpin oleh Islamis,
Ikhwanul Muslimin.
Meski pernah di bawah kekuasaan Turki Utsmani, Mesir juga pernah di bawah
kekuasaan Inggris hingga tahun 1922. Pemerintahan yang adil dan zhalim juga
silih berganti. Kerajaan Mesir tidak bertahan lama karena korupsi terjadi
dimana-mana. Dengan momentum kekalahan perang Arab-Israel tahun 1948,
terjadilah revolusi Mesir dan kerajaan ini berakhir tahun 1953. Sejak tahun
1953 ini Mesir menjadi negara republik.
a. Pergerakan
Islam Modern
Kerajaan Mesir sempat berganti raja hingga tiga kali antara 1922 hingga
1953. Namun syariat Islam tidak ditegakkan. Dengan kondisi seperti itu
muncullah seorang pemuda yang menggerakkan masyarakat untuk kembali mengangkat
Islam sebagai landasan negara, beliau adalah Hasan Al-Banna. Pergerakan ini
bernama Ikhwanul Muslimin (IM) atau lazim disebut ikhwan saja.
IM berdiri pada tahun 1928 dengan Hasan Al-Banna sebagai ketua. Hasan
Al-Banna dikenal sebagai seorang pemimpin kharismatik. Saat berusia 10 tahun
bahkan beliau sudah hafiz Al-Qur’an. IM juga bergabung dalam perang Arab-Israel
di tahun 1948. Dengan gerakan seperti ini, IM dibenci pemerintah dari zaman
kerajaan Mesir hingga beberapa decade republik Mesir. Setelah perang Arab-Israel,
pemimpin IM diculik dan IM dianggap sebagai organisasi berbahaya.
Memasuki era republik, ternyata pemerintah masih membenci IM karena
alirannya yang mengedepankan syariat Islam. Salah seorang pimpinan IM, Syaikh
Sayyid Qutb, digantung pada masa Gamal Abdul Nasser hanya karena tidak mau
mengatakan Al-Qur’an sebagai Makhluk. Hal ini bisa ‘dimaklumi’ karena penguasanya
memang bukan dari kalangan Islamis. Semua presiden dari Muhammad najib
hingga Husni Mubarok berasal dari kalangan partai berhaluan
sosial-nasional-demokrat dan militer.
Dengan izin dan kuasa Allah, pada 24 Juni 2012 sebuah sejarah besar
terjadi di Mesir. Sesuai keputusan Dewan Tinggi Pemilihan Presiden Mesir
mengumumkan Muhammad Mursi sebagai Presiden Mesir. Sejarah besar karena Mursi
diusung oleh kalangan Islamis. Sejarah besar karena kekuasaan
sosialis-nasionalis-demokratis-militer yang berjalan sebelumnya terbukti lebih
banyak memusuhi Islam dan rakyat Mesir dan Palestina pada khususnya.
Tentang Mesir menteror Palestina, pernah terjadi Mesir ikut-ikutan
membangun benteng raksasa untuk memblokade rakyat Gaza. Pernah pula membuat
peraturan yang menyusahkan arus perdagangan keluar Gaza. Secara umum bisa
dikatakan, keberadaan Mesir yang besar tidak bisa membantu saudaranya Palestina
yang hingga kini masih terzhalimi.
Akhirnya, perjalanan panjang IM dan doa Syaikh Hasan Al Banna semoga
diijabah Allah. IM diberi mandat untuk memimpin Mesir dan mengembalikan syariat
Islam untuk memakmurkan Mesir serta menolong Palestina. Visi besar seorang
Hasan Al Banna mulai memperlihatkan benih-benih keberhasilan. Semoga IM bisa
seperti AKP di Turki yang berhasil menguasai parlemen dan legislatif dan mulai
kembali mengedepankan Islam sebagai rambu-rambu negara. Semoga IM bisa
menyatukan negara-negara Arab untuk tidak lagi tunduk pada zionis.
B. Pengaruh Napoleon
terhadap pembaharuan Mesir
Setelah selesai revolusi 1789 Prancis mulai menjadi negara besar yang
mendapat saingan dan tantangan dari Inggris. Inggris di waktu itu telah
meningkat kepentingan-kepentingannya di India dan untuk memutuskan komunikasi
antara Inggris di Barat dan India di Timur, Napoleon melihat bahwa Mesir perlu
diletakkan di bawa kekuasaan Prancis. Di samping itu Prancis perlu pada pasaran
baru untuk hasil perindustriannya. Napoleon sendiri kelihatnnya mempunyai
tujuan sampingan lain. Alexander Macedonia pernah menguasai Eropa dan Asia
sampai ke India, dan Napoleon ingin mengikuti jejak Alexander ini. Tempat
strategis untuk menguasai kerajaan besar seperti yang dicita-citakannya itu,
adalah Kairo dan bukan Roma atau Paris. Inilah beberapa hal yang mendorong
Perancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.
Mesir pada waktu itu berada di bawah kekuasaan kaum Mamluk, sungguh pun
sejak ditaklukkan oleh Sultan Salim di tahun 1517, daerah ini pada hakikatnya
merupakan bagian dari Kerajaan Usmani. Tetapi setelah bertambah lemahnya
kekuasaan sultan-sultan diabad ke 17, Mesir mulai melepaskan diri dari
kekuasaan Istambul dan akhirnya menjadi daerah otonom. Sultan-sultan Usmani
tetap mengirim seorang Pasya Turki ke Kairo untuk bertindak sebagai wakil
mereka dalam memerintah daerah ini. Tetapi karena kekuasaan sebenarnya terletak
di tangan kaum Mamluk, kedudukannyadi Kairo tidak lebih dari kedudukan seorang
duta besar.
Kaum Mamluk berasal dari budak-budak yang dibeli di Kaukasus, suatu
daerah pegunungan yang terletak di daerah perbatasan antara Rusia danTurki.
Bagaimana lemahnya pertahanan Kerajaan Usmani dan kaum Mamluk di ketika
itu, dapat digambarkan dari perjalanan perang di Mesir. Napoleon mendarat di
Alexandria pada tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan harinya kota pelabuhan yang
penting ini jatuh.sembilan hari kemudian, Rasyid, suatu kota yang terletak di
sebelah timur Alexadria, jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon
sampai di daerah piramid di dekat Kairo. Pertempuran melawan terjadi di tempat
itu dan kaum Mamluk karena tak sanggup melawan senjata-senjata meriam Napoleon,
lari ke Kairo. Tetapi di sini mereka tidak mendapat simpati dan sokongan dari
rakyat Mesir. Akhirnya mereka terpaksa lari lagi ke daerah Mesir sebelah
selatan. Pada tanggal 22 Juli, tidak sampai tiga minggu setelah mendarat di
Alexandaria.
Napolon telah dapat menguasai
Mesir. Usaha Napoleon untuk menguasai daerah-daerah lainnya di Timur tidak
berhasil dan sementara itu perkembangan politik di Prancis menghendaki
kehadirannya di Paris. Pada tanggal 18 Agustus 1799, ia meninggalkan Mesir
kembali ke tanah airnya. Ekspedisi yang dibawanya ia tinggalkan di bawah
pimpinan Jendral Kleber. Dalam pertempuran yang terjadi di tahun di tahun 1801
dengan armada Inggris, kekuatan Prancis di Mesir mengalami kekalahan. Ekspedisi
yang dibawa Napoleon itu meninggalkan Mesir pada tanggal 31 Agustus 1801.
Kedatangan Napoleon tersebut secara umum membawa semangat imperialisme
(kolonialisme) untuk menaklukkan Mesir agar menjadi daerah jajahannya. Namun
ada beberapa hal yang dianggap positif dan meniupkan angin segar bagi
persentuhan antara dunia Arab (Islam) dengan Eropa, yaitu terbukanya mata dan
pengetahuan tentang ketinggian peradaban Perancis. Hal ini membersitkan isyarat
bahwa Mesir dan Dunia Arab umumnya saat ini berada di alam kegelapan dan
keterbelakangan. Yang menguntungkan bagi Mesir, Perancis ketika datang di bawah
komando Napoleon juga menyertakan kaum cerdik pandai dan kalangan ilmuwan. Di
dalam rombongan itu terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di antara kaum
sipil itu ada 167 pakar yang menguasai pelbagai disiplin pengetahuan. Ekspedisi
ini memang berorientasi militer namun juga mengandung nilai ilmiah. Semangat
dan keperluan ilmiah ini meliputi antara lain: dibentuknya lembaga ilmiah
bernama institut d’Egypte yang mempunyai empat bidang bahasan; Bagian Ilmu
Pasti, bagian Ilmu Alam, Bagian Ekonomi-Politik dan Bagian Sastra-Seni. Sebagai
sarana pendukung rombongan tersebut juga membawa peralatan yaitu dua set
percetakan huruf Latin Arab, dan Yunani. Alat-alat perlengkapan Ilmu Alam
seperti teleskop, mikroskop dan percobaan-percobaan kimiawi dan sebagainya.
Ditambah dengan sarana bantu berupa perpustakaan besar yang menghimpun
buku-buku dalam berbagai bahasa eropa dan buku-buku agama dalam bahasa Arab,
Persia dan Turki yang amat lengkap.
Institut d’Egypte boleh dikunjungi orang Mesir, terutama para ulamanya, yang
diharapkan oleh ilmuwan-ilmuwan Prancis yang bekerja di lembaga itu, akan
menambah pengetahuan mereka tentang Mesir, adar istiadatnya, bahasa dan
agamanya. Disinilah orang-orang Mesir dan umat Islam buat pertama kali
mempunyai kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi
mereka itu.
Abd al-Rahman al-Jabarti, seorang ulama dari Al-Azhar dan penulis
sejarah, pernah mengunjungi lembaga itu di tahun 1799. yang menarik
perhatiannya ialah perpustakaan besar yang mengandung buku-buku, bukan hanya
dalam bahasa-bahasa Eropa, tetapi juga buku-buku agama dalam bahasa Arab,
Persia dan Turki. Diantara ahli-ahli yang dibawa Napoleon memang terdapat kaum
orientalis yang pandai dan mahir berbahasa Arab. Merekalah yang menerjemahkan
perintah dan maklumat-maklumat Napoleon ke dalam bahasa Arab.
Alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan
kimiawi, dan sebagainya, eksperimen-eksperimen yang dilakukan di lembaga itu,
kesungguhan orang Perancis bekerja dan kegemaran mereka pada ilmu-ilmu
pengetahuan, semua itu ganjil dan menakjubkan bagi al-Jabarti.
Kesimpulan tentang kunjungan itu ia tulis dengan kata-kata berikut:
“Saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang
menghasilkan hal-hal yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang
ada pada diri kita”.
Demikianlah kesan seorang cendekiawan Islam waktu itu terhadap
kebudayaan Barat. Ini menggambarkan berapa mundurnya umat Islam si ketika itu.
Keadaan menjadi berbalik 180 derajat. Kalau diperiode Klasik orang Barat yang
kagum melihat kebudayaan dan peradaban Islam. Di periode Modern kaum Islam yang
heran melihat kebudayaan dan kemajuan barat.
Ada hal-hal baru selain kemajuan materi yang dianggap sebagai ide-ide hasil
revolusi Perancis yang dibawah Napoleon, yaitu memperkenalkan:
1.
Sistem Pemerintahan Republik Selama
ini belum ada dikenal seorang kepala negara dipilih oleh parlemen yang berkuasa
dalam masa tertentu dan harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Sedangkan UUD
itu sendiri dibuat bukan oleh kepala negara atau raja melainkan oleh parlemen.
Parlemenlah yang menentukan kredibiltas seorang kepala negara, yang kalau
menyimpang dari kedudukannya. Sedangkan sistem pemerintah Islam selama ini
bersifat absolut.
2.
Ide persamaan (egalite) yaitu
adanya persamaan kedudukan antara penguasa dengan rakyat yang diperintah, serta
turut berperan aktifnya rakyat dalam pemerintahan. Sebelumnya rakyat mesir
tidak tahu menahu dalam soal pemerintahan, maka ketika Napoleon mendirikan
suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al Azhar dan pemuka-pemuka
dalam dunia bisnis dari Kairo dan daerah-daerah. Tugas badan ini membuat UU,
memelihara ketertiban umum dan menjadikan perantara penguasa-penguasa Perancis
dengan rakyat Mesir. Disamping itu dibentuk pula suatu badan yang bernama Diwan
Al Ummah yang pada waktu tertentu mengadakan sidang untuk membicarakan hal-hal
yang bersangkutan dengan kepentingan nasional.
3.
Ide kebangsaan yang terkandung
dalam maklumat Napoleon bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa, dan kaum
Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir dari Kaukasus, jadi sungguh pun
orang Islam tapi berlainan bangsa dengan rakyat Mesir.
Beberapa gambaran ide-ide Napoleon tersebut merupakan kontak pertama
antara Mesir dengan Barat (Eropa) dan walaupun belum mempunyai pengaruh nyata
yang kuat kepada rakyat Mesir, namun lambat laun telah membuka mata ummat Islam
tentang kelemahan dan kemunduran mereka selama ini. Dan di abad ke 19 ide-ide
ini makin dapat diterima karena terdapat nilai-nilai positif di dalamnya yang
kalau dipraktikkan akan mendorong kemajuan bagi dunia Islam khususnya rakyat
Mesir.
Keuntungan positif inilah nantinya yang menghidupkan gairah intelektual
untuk banyak-banyak menyerap peradaban Barat dalam semua aspeknya. Khusus bagi
kemajuan pemahaman dinamika beragama, bangkitnya kesadaran bahwa selama ini
umat telah salah kaprah dalam mengapresiasi komitmen roh yang terkandung dalam
al-Qur’an. Artinya Barat yang tidak secara langsung diilhami oleh spirit
al-Qur’an pun dapat maju dan jaya karena pola hidup dan orientasi akal yang
benar, sedangkan ini hanya sebagian kecil dari isi kandungan al-Qur’an yang
bisa diserap oleh Barat dalam mencapai kemajuan .
Setelah persentuhan peradaban Eropa terhadap Mesir itulah, kondisi umat
Islam kian menata diri memperhitungkan kemungkinan langkah-langkah modernisme
yang bisa mengangkat citra kaum muslimin secara umum nantinya sebagai negara
maju melalui pemikiran-pemikiran cemerlang dan tercerahkan pada modernis seperti
Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya.Setelah membahas
tentang pendudukan Napoleon kami akan menambahi sedikit tentang ekspedisi-ekspedisi
yang dibawah oleh Napoleon.
a. EkspedisiNapoleonPendudukan negeri Mesir merupakan penduduk campuran
dari bermacam-macam ras, agama, budaya dan peradaban. Di samping itu daerah
Mesir masih merupakan daerah di belahan Timur yang terbanyak dikunjungi dan
derasnya arus gelombang pengaruh Barat dengan bibit-bibit peradaban Eropa. Mesir
sebelum ditaklukkan oleh Napoleon berada di bawah kekuasaan Turki Usmani dan
sebagian dibawah pengaruh/kekuasaan Mamluk.
Asal-usul kaum Mamluk berasal dari daerah pengunungan Kaukasus yaitu daerah
dipengunungan yang berbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka didatangkan ke
Istambul atau Mesir untuk dididik menjadi militer. Dalam perkembangan
selanjutnya kedudukan mereka dalam kemiliteran meningkat bahkan di antara
mereka ada yang dapat mencapai jabatan militer yang tinggi. Akhirnya di antara
mereka ada yang mengambil alih daerah kekuasaan Turki Usmani dan tidak tunduk
pada Istambul.
Pemimpin
Mamluk disebut Syekh Balad, akan tetapi Syekh Balad ini sering bertabiat kasar,
sehingga hubungan mereka dengan rakyat Mesir tidak baik. Hal ini salah satu
faktor yang memudahkan tentara Napoleon menguasai daerah-daerah yang dikuasai
Mamluk.
b. Penaklukan Napoleon Terhadap Mesir. Napoleon menyerbu Mesir pada
tanggal 2 Juli 1798. mula-mula mendarat di Iskandariyah dan dalam waktu tiga
minggu Napoleon dapat menguasai seluruh Mesir. Setelah menguasai Mesir Napoleon
terus menyerang Palestina. Akan tetapi setelah sampai terus menyerang
Palestina, akan tetapi setelah selesai di Palestina sedang berjangkit penyakit
kolera, sehingga banyak tentara Palestina yang meninggal dunia.
Walaupun
Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh
yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir.
c. Tujuan Ekspedisi Napoleon ke Mesir Perancis adalah salah satu
negara yang cukup besar dan menjadi saingan Inggris yang telah menguasai India
untuk memutuskan hubungan Inggris dan India. Napoleon berpendapat, Mesir harus
dapat dikuasai. Dengan penguasaan Mesir maka hubungan Inggris ke India
terhambat dan di samping itu Mesir merupakan daerah yang cukup baik untuk
pemasaran baru hasil-hasil produksi industri Perancis. Selain dari tujuan
tersebut di atas, tampaknya Napoleon mempunyai tujuan tertentu pula yaitu ingin
mengikuti jejak Alexander yang pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India.
Tempat yang strategis untuk maksud harus menguasai Mesir, bukan Roma atau Paris
yang dapat dijadikan basis ekspansi ke India.
d. Pengaruh Ekspedisi dalam pembaharuan di Mesir. Walaupun Napoleon
menguasai Mesir hanya sekitar tiga tahun saja (1789 – 1801) namun pengaruhnya
besar sekali terhadap hidup dan kehidupan bangsa Mesir. Tatkala Napoleon
menyerbu Mesir ia membawa dua set alat percetakan (alat cetak Bahasa Arab
Latin) hasil rampasan Napoleon di Vatican, di samping itu dibawa pula 600 orang
sipil yang diantaranya terdapat 167 orang ilmuwan-ilmuwan dalam berbagai disiplin
ilmu. Untuk keperluan ilmu pengetahuan Napoleon membentuk lembaga ilmiah yang
diberi nama “ Institut de Egypte” di dalamya terdapat empat bidang pengetahuan,
yaitu Ilmu psti, ilmu alam, ekonomi, politik dan seni sastra. Lembaga ini telah
meneritkan majalah “le Courie’d Egypte” yang ditertibkan oleh seorang pengusaha
perrancis yang ikut rombongan ekpedisi napoleon.
Alat percetakan dibawa Napoleon tersebut di atas menjadi perusahaan percetakan
Balaq, perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang. Peralatan moder pada
Institut ini seperti mikroskop, teleskop, atau alat-alat percobaan lainnya
serta kesungguhan kerja orang Perancis merupakan hal yang asing dan menakjubkan
bagi orang Mesir. Keberhasilan lainnya yang telah dicapai oleh orang sipil
Perancis:
a. Membuat
saluran air di lembah Sungai Nil, sehingga hasil pertaniannya berlibat ganda.
b. Di bidang
sejarah, ditemukan batu berukir yang terkenal dengan Rossetta Stone.
c. Di Bidang
pemerintahan, merambahnya ide sistem pemerintahanyang kepala negaranya dipilih
dalam waktu tertentu dan tunduk pada perundang-undangan. Hal ini tentu saja
sulit diterima oleh para menguasa.
C. PERKEMBANGAN
PERADABAN ISLAM DI MESIR
Pada 639
Masehi, ketika Islam di bawah
kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin Ash memasuki Mesir dan
kemudian diperkuat pasukan Zubair bin Awwam berkekuatan 4000 orang. Mukaukis
didukung gereja Kopti menandatangani perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi
wilayah kekuasaan pihak Islam. Di masa kekuasaan Keluarga Umayah, dan kemudian
Abbasiyah, Mesir menjadi salah satu provinsi seperti semula.
Mesir
baru menjadi pusat kekuasaan dan juga peradaban Muslim baru pada akhir Abad 10.
Muiz Lidinillah membelot dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, untuk membangun
kekhalifahan sendiri yang berpaham Syi’ah. Ia menamai kekhalifahan itu
Fathimiah dari nama putri Rasul yang menurunkan para pemimpin Syi’ah, Fatimah.
Pada masa kekuasaannya (953-975), Muiz menugasi panglima perangnya, Jawhar al-Siqili,
untuk membangun ibu kota.
Di
dataran tepi Sungai Nil itu kota Kairo dibangun. Khalifah Muiz membangun Masjid
Besar Al-Azhar (dari “Al-Zahra”, nama panggilan Fatimah) yang dirampungkan pada
17 Ramadhan 359 Hijriah, 970 Masehi. Inilah yang kemudian bekembang menjadi
Universitas Al-Azhar sekarang, yang juga merupakan universitas tertua di dunia
saat ini.
Muiz
dan para penggantinya, Aziz Billah (975-996) dan Hakim Biamrillah (996-1021)
sangat tertarik pada ilmu pengetahuan. Peradaban berkembang pesat. Kecemerlangan
kota Kairo -baik dalam fisik maupun kehidupn sosialnya-mulai menyaingi Baghdad.
Khalifah Hakim juga mendirikan pusat ilmu Bait al-Hikam yang mengoleksi ribuan
buku sebagaimana di Baghdad.
Di
masa tersebut, Ibnu Yunus (wafat 1009) menemukan sistem pendulum pengukur waktu
yang menjadi dasar arloji mekanik saat ini. Lalu Hasan ibn Haitham menemukan
penjelasan fenomena “melihat”. Sebelum itu, orang-orang meyakini bahwa orang
dapat melihat sesuatu karena adanya pancaran sinar dari mata menuju obyek yang
dilihat. Ibnu Haytham menemukan bahwa pancaran sinar itu bukanlah dari mata ke
benda tersebut, melainkan sebaliknya. Dari benda ke mata.
Gangguan
politik terus-menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah
merosot. Pada 564 Hijriah atau 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih
kekuasaan Fathimiyah. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut
membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang
semakin lemah.
Salahuddin
tidak menghancurkan Kairo yang dibangun Fathimiyah. Ia malah melanjutkannya
sama antusiasnya. Ia hanya mengubah paham keagamaan negara dari Syiah menjadi
Sunni. Sekolah, masjid, rumah sakit, sarana rehabilitasi penderita sakit jiwa,
dan banyak fasilitas sosial lainnya dibangun. Pada 1250 -delapan tahun sebelum
Baghdad diratakan dengan tanah oleh Hulagu-kekuasaan diambil alih oleh kalangan
keturunan Turki, pegawai Istana keturunan para budak (Mamluk).
Di
Istana, saat itu terjadi persaingan antara militer asal Turki dan Kurdi. Sultan
yang baru naik, Turansyah, dianggap terlalu dekat Kurdi. Tokoh militer Turki,
Aybak bersekongkol dengan ibu tiri Turansyah, Syajarah. Turansyah dibunuh.
Aybak dan Syajarah menikah. Namun Aybak juga membunuh Syajarah, dan kemudian
Musa, keturunan Ayyubiyah, yang sempat diangkatnya.
Di
saat Aybak menyebar teror itu, tokoh berpengaruh Mamluk bernama Baybars
mengasingkan diri ke Syria. Ia baru balik ke Mesir, setelah Aybak wafat dan Ali
-anak Aybak-mengundurkan diri untuk digantikan Qutuz. Qutuz dan Baibars
bertempur bersama untuk menahan laju penghancuran total oleh pasukan Hulagu. Di
Ain Jalut, Palestina, pada 13 September 1260 mereka berhasil mengalahkan
pasukan Mongol itu. Baybars (1260-1277) yang dianggap menjadi peletak pondasi
Dinasti Mamluk yang sesungguhnya. Ia mengangkat keturunan Abbasiyah -yang telah
dihancurkan Hulagu di Baghdad-untuk menjadi khalifah. Ia merenovasi masjid dan
universitas Al-Azhar. Kairo dijadikannya sebagai pusat peradaban dunia. Ibnu
Batutah yang berkunjung ke Mesir sekitar 1326 tak henti mengagumi Kairo yang
waktu itu berpenduduk sekitar 500-600 ribu jiwa atau 15 kali lebih banyak
dibanding London di saat yang sama.
Ibnu
Batutah tak hanya mengagumi ‘rihlah’, tempat studi keagamaan yang ada hampir di
setiap masjid. Ia terpesona pada pusat layanan kesehatan yang sangat rapi dan
“gratis”. Sedangkan Ibnu Khaldun menyebut: “mengenai dinasti-dinasti di zaman
kita, yang paling besar adalah orang-orang Turki yang ada di Mesir.”
Pusat
peradaban ini nyaris hancur di saat petualang barbar Timur Lenk melakukan
invasi ke Barat. Namun Sultan Barquq berhasil menahan laju pasukan Mongol
tersebut. Dengan demikian Mamluk merupakan pusat kekuasaan yang duakali mampu
mengalahkan tentara Mongol.
Pada
ujung abad 15, perekonomian di Mesir menurun. Para pedagang Eropa melalui Laut
Tengah tak lagi harus tergantung pada Mesir untuk dapat berdagang ke Asia. Pada
1498, mereka “menemukan” Tanjung Harapan di Afrika Selatan sebagai pintu perdagangan laut ke Asia. Pada 1517,
Kesultanan Usmani di Turki menyerbu Kairo dan mengakhiri sejarah 47 sultan di
Dinasti Mamluk tersebut.
D .PERKEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN
Pada masa pembaharuan, perembangan lu
pengetahuan mengalami kemajuan. Hal ini dapat di liat di berbagai Negara
seperti turki, india dan mesir. Sultan muhammad II (1785-1839 M) dari turki
usmani melakukan berbagai usaha agar umat islam di negaranya agar dapat
mengetahui ilmu pengetahuan dan tekhnologi. usaha-usaha tersebut seperti:
1.
Melakukan modernisasi di bidang
pendidikan dan pengajaran, dengan memasukkan kurikulum pengetahuan umum kepada
lembaga-lembaga islam (madrasah)
2.
Mendirikan lembaga pendidikan
“mektebi ma’arif, untuk mencetak tenaga-tenaga asli di bidang administrasi,
juga membangun lembaga “mektebi ulumi edebiyet”, untuk menyediakan
tenaga-tenaga ahli di bidang penterjema’ah.
3.
Mendirikan perguruan-perguruan
tinggi di bidang kedokteran, milter dan teknologi.
Pada masa
pembaharuan, terutama setelah ekspansi Napoleon ke Mesir (1798 M) umat islam
mesir, khususnya para penguasa dan kaum cendikiawannya menyadari akan
keterbelakangan mereka dalam urusan dunia jika di bandingkan dengan
bangsa-bangsa eropa. Oleh karena itu, mereka melakukan berbagai usaha agar
menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang di miliki oleh
bangsa-bangsa eropa.
Muhammad
Ali, penguasa mesir tahun 1805-1849 M, mengirim mahasiswa untuk mempelajari
ilmu pengetahuan dan teknologi ke Prancis. Setelah kembali ke mesir mereka
mengajar di berbagai Perguruan Tinggi, terutama di universitas Al-Azhar.
Universitas Al-Azhar ini bukan hanya para mahasiswa dari mesir tetapi para
mahasiswa islam dari berbagai Negara dan wilayah Islam. Ilmu yang di ajarkan
universitas Al-Azhar, dengan cepat menyebar ke seluruh dunia islam.
Selain
universitas Al-Azhar telah didirikan universitas-universitas lain yang
didalamnya terdapat berbagai fakultas seperti:
1.
Kedokteran
2.
Farmasi
3.
Tekhnik
4.
Pertanian
5.
Perdagangan
6.
Hukum
7.
Sastra
Universitas
yang di maksud adalah universitas Iskandariyah di kota iskandariyah,
universitas Ainusyams (1950M) dan universitas Amerika yang bernama “ the
Amerika University in Cairo (AUC) , yang di dirikan bagi orang mesir dengan
tenaga pengajar dari Amerika.
E. TOKOH-TOKOH PEMBAHARUAN DI
MESIR
1. PEMBAHARUAN MUHAMMAD IBNU
ABDUL WAHAB
Muhammad bin Abdul Wahab ibn
Sulaiman ibn Ali bin Muhammad ibn Rasyid ibn Bari ibn Musyarif ibn Umar ibn
Muanad Rais ibn Zhahir ibn Ali Ulwi ibn Wahib, lahir pada tahun 1703 dan
meninggal pada tahun 1787 M. di Uyainah, daerah Nejeb Saudi Arabia . Ia seorang
pembaharu di Arabia , pengikut paham Ibnu Taimiyah dan bermazhab Hambali.[1]
Pelajaran agama sangat digemarinya, sejak kecil ia telah belajar ilmu agama
pada ayahnya seorang Qadhi di Uyainah. Dengan kecerdasannya, dalam usia 10
tahun ia hafal Al-Qur’an. Muhammad ibnu Abdul Wahab adalah seorang yang sangat
sibuk mengembara ke berbagai daerah untuk menuntut ilmu pengetahuan, kemudian
ia sampai ke Bagdad dan di sinilah kemudian ia menikah dengan wanita kaya.
Setelah lima tahun istrinya meninggal dan ia mendapatkan warisan sebesar 2000
dinar. Setelah itu ia kembali mengembara ke Kurdistan selama dua tahun, di
Hamadan dua tahun dan pernah pula ke Isfahan , Qum ( Iran ). Perjalanannya ke
berbagai daerah ternyata sangat bermanfaat baginya, bahkan ia melihat beberapa
penyimpangan-penyimpangan akidah, yang diantaranya ialah:
·
Ia melihat kuburan atau
makam para ulama syekh atau guru tarikat yng bertebaran di tiap kota ataupun
desa ramai dikunjungi oleh masyarakat islam, dengan maksud memohon penyelesaian
atas persoalan hidup sehari-hari.
·
Aspek lain yang menjadi
perhatinnya adalah masalah Taqlid. Taqlid merupakan sumber kebekuan ummat Islam
itu sendiri, disamping itu untuk memahami ajaran yang terkandung dalam
Al-Qur’an dan Hadist, orang harus melakukan ijtihad, karena itu pintu ijtihad
tidak pernah ditutup dan tidak perlu ditutup. Dalam hal tauhid ini Muhammad
ibnu Abdul Wahab memusatkan perhatiannya terhadap pokok-pokok pikirannya, yang
berpendapat bahwa:
1. Yang boleh dan harus disembah itu hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah
selain dari Tuhan telah menjadi musyrikn dan boleh dibunuh.
2. Kebanyakan orang Islam bukan menganut faham tauhid yang sebenarnya karena
mereka meminta pertolongan bukan lagi pada Tuhan, tetapi dari syekh atau wali
dan dari kekuatan gaib.
3. Menyebut
nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantara dalam do’a juga merupakan
syirik.
4. Meminta
syafaat selain dari kepada Tuhan dan bernazar kepada selain Tuhan juga syirik.
5. Memperoleh
pengetahuan selain dari Al-Qur’an, Hadits dan Qias (analogi) merupakan
kekufuran.
6. Tidak
percaya pada qada dan qadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
7. Demikian pula menafsirkan Al-Qu’ran dengan ta’wil adalah kufur.
Semua yang diatas dianggap bid’ah dan bid’ah adalah kesesatan.
Kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek lain yang timbul sesudah zaman itu
bukanlah ajaran Islam yang asli dan harus ditinggalkan. Dengan demikian taqlid
dan patuh kepada pendapat ulama tidak dibenarkan. Muhammad ibnu Abdul Wahab
bukanlah hanya seorang teroris tetapi juga pemimpin yang dengan aktif berusaha
mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dorongan dari Muhammad ibn Su’ud dan
putranya Abd al-Aziz di Nejd . Tahun 1787 Muhammad Abduh meninggal dunia,
tetapi ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan
nama Wahabiah.[4]
Pemikiran-pemikiran Muhammad ibnu Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada
perkembangan pemikiran pembaharuan di abad kesembilan belas adalah sebagai
berikut:
1. Hanya
Al-Qur’an dan Haditslah yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran Islam. Pendapat
ulama tidak merupakan sumber.
2. Taklid
kepada ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu
ijtihad terbuka dan tidak tertutup.
2. PEMBAHARUAN MUHAMMAD ALI PASYA
Muhammad Ali,
adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun 1765,
dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. orang tuanya bekerja sebagai seorang
penjual rokok dan dari kecil Muhammad Ali telah harus bekerja. Ia tak
memperoleh kesempatan untuk masuk sekolah dengan demikian dia tidak pandai menulis
maupun membaca, meskipun ia tak pandai membaca atau menulis, namun ia adalah
seorang anak yang cerdas dan pemberani, hal itu terlihat dalam karirnya baik
dalam bidang militer ataupun sipil yang selalu sukses.
Setelah
dewasa, Muhammad Ali Pasya bekerja sebagai pemungut pajak dan karena ia rajin
bekerja jadilah ia kesenangan Gubernur dan akhirnya menjadi menantu Gubernur.
Setelah kawin ia diterima menjadi anggota militer, karena keberanian dan
kecakapan menjalankan tugas, ia diangkat menjadi Perwira. Pada waktu
penyerangan Napoleon ke Mesir, Sultan Turki mengirim bantuan tentara ke Mesir,
diantaranya adalah Muhammad Ali Pasya, bahkan dia ikut bertempur melawan
Napoleon pada tahun 1801.[7] Rakyat Mesir melihat kesuksesan Muhammad Ali dalam
pembebasan mesir dari tentara Napoleon, maka rakyat mesir mengangkat Muhammad
Ali sebagai wali mesir dan mengharapkan Sultan di Turki merestuinya. Pengakuan
Sultan Turki atas usul rakyatnya tersebut baru mendapat persetujuannya dua
tahun kemudian, setelah Turki dapat mematahkan Intervensi Inggris di Mesir.
Setelah Muhammad Ali mendapat kepercayaan rakyat dan pemerintah pusat Turki, ia
menumpas musuh-musuhnya, terutama golongan mamluk yang masih berkuasa di
daerah-daerah akhirnya mamluk dapat ditumpas habis. Dengan demikian Muhammad
Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, akan tetapi lama kelamaan ia asyik
dengan kekuasaannya, akhirnya ia bertindak sebagai diktator. Pada waktu
Muhammad Ali meminta kepada sultan agar Syiria diserahkan kepadanya, Sultan
tidak mengabulkannya. Muhammad Ali Pasya marah dan menyerang dan menguasai
Syiria bahkan serangan sampai ke Turki. Muhammad ali dan keturunannya menjadi
raja di Mesir lebih dari satu setengah abad lamanya memegang kekuasaan di
Mesir. Terakhir adalah Raja Farouk yang telah digulingkan oleh para jenderalnya
pada tahun 1953. Dengan demikian berakhirlah keturunan Muhammad Ali di Mesir.
Kalau diteliti lebih mendalam, maka terkesan bahwa Muhammad Ali walaupun tidak
pandai membaca dan menulis, akan tetapi ia seorang yang cerdas, tanpa
kecerdasan ia tidak akan mendapat kekuasaan dan tujuan akhirnya adalah untuk
menjadi penguasa umat Islam, ia adalah seorang yang ambisius menjadi pimpinan
umat Islam.
Hal-hal ini
memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki Muhammad Ali sebenarnya, pengetahuan
tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian, yaitu hal-hal yang
akan memperkuat kedudukannya. Ia tak ingin orang-orang yang dikirimnya ke
Eropa, menyelami lebih dari apa yang perlu baginya, dan oleh karena itu
mahasiswa-mahasiswa itu berada dibawah pengawasan yang ketat.[9] Mereka tak
diberi kemerdekaan bergerak di Eropa. Tetapi, dengan mengetahui bahasa-bahasa
Eropa, terutama Prancis dan dengan membaca buku-buku Barat seperti
karangan-karangan Voltaire, Rousseau, Montesquieu dna lain-lain, timbullah
ide-ide baru mengenai Demokrasi, Parlemen, pemilihan wakil rakyat, paham
pemerintahan republic, konstitusi, kemerdekaan berfikir dan sebagainya.
Pada mulanya
perkenalan dengan ide-ide dan ilm-ilmu baru ini hanya terbatas bagi orang-orang
yang telah ke Eropa dan yang telah tahu bahasa Barat. Kemudian faham-faham ini
mulai menjalar kepada orang-orang yang tak mengerti bahasa Barat, pada
permulaannya dengan perantaraan kontak mereka dengan mahasiswa-mahasiswa yang
kembali dari Eropa dan kemudian dengan adanya terjemahan buku-buku Barat itu
kdalam bahasa arab. Yang penting diantara bagian-bagian tersebut bagi
perkembangan ide-ide Barat ialah bagian Sastra. Di tahun 1841, diterjemahkan
buku mengenai sejarah Raja-raja Perancis yang antara lain mengandung keterangan
tentang Revolusi Perancis. Satu buku yang serupa diterjemahkan lagi tahun 1847.
Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali :
1. Politik luar negeri
2. Muhammad Ali menyadari bahwa bangsa mesir sangat jauh
ketinggalan dengan dunia Barat, karenanya hubungan dengan dunia Barat perlu
diperbaiki seperti Perancis, Itali, Inggris dan Austria . Menurut catatan
antara tahun 1813-1849 ia mengirim 311 pelajar Mesir ke Itali, Perancis,
Inggris dan Austria . Selain itu dipentingkan pula ilmu Administrasi Negara,
akan tetapi system politik Eropa tidak menarik perhatian Muhammad Ali.
Politik dalam negeri
a. Membangun
kekuatan militer.
b. Bidang
pemerintahan.
c. Ekonomi.
d.
Pendidikan.
Sepintas
pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali hanya bersifat keduniaan saja,
namun dengan terangkatnya kehidupan dunia ummat Islam sekaligus terangkat pula
derajat keagamaannya. Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali merupakan
landasan pemikiran dan pembaharuan selanjutnya. Pembaharuan Muhammad Ali
dilanjutkan oleh tahtawi, Jalaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
dan murid-murid Muhammad Abduh lainnya.
3.
PEMBAHARUAN AL-TAHTAWI
Al-Tahtawi
adalah Rifa’ah Badawi Rafi’I, Al-tahtawi lahir pada tahun 1801 M. di Tanta
(Mesir Selatan), dan meninggal di Kairo pada tahun 1873. Dia adalah seorang
pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama
dari abad ke-19 di Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, al-
Tahtawi turut memainkan peranan. Ketika Muhammad Ali mengambil alih seluruh
kekayaan di Mesir harta orang tua al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang
dikuasai itu. Ia terpaksa belajar di masa kecilnya dengan bantuan dari keluarga
ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar.
Setelah lima tahun menuntut ilmu ia selesai dari studinya di Al-Azhar pada
tahun 1822.
Ia adalah
murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-‘Atthar yang banyak mempunyai
hubungan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis yang datang dengan Napoleon
ke Mesir. Syaikh Al-Attar melihat bahwa Tahtawi adalah seorang pelajar yang
sungguh-sungguh dan tajam pikirannya, dan oleh karena itu ia selalu memberi
dorongan kepadanya untuk senantiasa menambah ilmu pengetahuan. Setelah selesai
dari study di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar disana selama dua tahun, kemudian
diangkat menjadi imam tentara di tahun 1824. Dua tahun kemudian dia diangkat
menjadi imam mahasiswa-mahasiswa yang dikirim Muhammad ali ke Paris . Disamping
tugasnya sebagai imam ia turut pula belajar bahasa Perancis sewaktu ia masih dalam
perjalanan ke Paris .
Buku-buku yang dibaca Al-Tahtawi mencakup berbagai ilmu pengetahuan, dan
ujiannya yang terakhir di Paris pun adalah dalam lapangan terjemahan.
Sekembalinya di Kairo ia diangkat sebagai guru bahasa Prancis dan penerjemah di
sekolah Kedokteran. Di tahun 1836 didirikan “Sekolah Penerjemahan” yang
kemudian diubah namanya menjadi “Sekolah Bahasa-bahasa Asing”. Bahasa yang
diajarkan adalah Arab, Perancis, Turki, Itali dan juga ilmu-ilmu teknik,
sejarah serta ilmu bumi. Salah satu jalan kesejahteraan menurut Al-Tahtawi
adalah berpegang teguh pada agama dan akhlak (budi pekerti) untuk itu
pendidikan merupakan sarana yang penting.
Dalam hal
agama dan peranan ulama, al-Tahtawi menghendaki agar para ulama selalu
mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan
modern.
Diantara
hasil-hasil karyanya yang terpenting adalah:
a. Takhlisul Abriiz Ila Takhrisu Bariiz.
b. Manahijul
Bab Al-Mishriyah fi Manahijil Adab al-Ashriyah.
c. Al-Mursyid
al-amin lil banaat wal banien.
d. Al-Qaulus
sadid fiijtihadi wat taliid.
e. Anwar
taufiq al-jalil fi akhbari mishra wa tautsiq bani Isra’il.
4. PEMBAHARUAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Jamaludin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan yang tempat
tinggal dan aktifitasnya berpindah-pindah dari satu negara ke negara Islam
lainya pengaruh terbesar yang ditinggalkannya adalah di Mesir, oleh karena itu
uraian mengenai pemikiran dan aktivitasnya dimasukkan kedalam bagian tentang
pembaharuan di dunia Arab. Jamaludin al-Afghani lahir di Afghanistan pada tahun
1839 M. dan meninggal dunia pada tahun 1897 M. Dalam silsilah keturunannya
al-afghani adalah keturunan Nabi melalui Sayyidina Ali ra. Ketika baru berusia
duapuluh dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan
di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa
tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri.
Kemudian
al-Afghani merasa lebih aman apabila meninggalkan tanah tempat lahirnya dan
pergi ke India di tahun 1869. tetapi di India dia juga merasa tidak bebas untuk
bergerak karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, oleh karena
itu ia pindah ke Mesir di tahun 1871. Ia menetap di Kairo, pada mulanya
menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang
ilmiah dan sastra Arab.
Tetapi ia tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut
campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat. Ketika itu
ide-ide al-Tahtawi sudah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, diantaranya
ide trias politica dan patriotisme, maka pada tahun 1879 atas usaha Al- Afghani
terbentuklah partai Al-Hizb al-Watani (partai nasional).
Tujuan partai
ini untuk memperjuangkan pendidikan universal dan kemerdekaan pers. Atas
sokongan partai ini al-Afghani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa
waktu itu, yakni Khedewi Ismail. Masa delapan tahun menetap di Mesir itu
mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi umat Islam disana menurut M.S. Madkur,
al-Afghanilah yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara ini
dapat mencapai kemajuan. “Mesir modern,”demikian Madkur, “ adalah hasil dari
usaha-usaha Jamaludin al-Afghani”.
Selama di
Mesir al-Afghani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya, antara lain:
a) Musuh
utama adalah penjajahan (Barat), hal ini tidak lain dari lanjutan perang Salib.
b) Ummat
Islam harus menantang penjajahan dimana dan kapan saja.
c) Untuk mencapai tujuan itu ummat Islam harus bersatu (Pan Islamisme).
Pan Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu,
tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerja sama.
Persatuan dan kerja sama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam.
Untuk
mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut di atas:
a) Rakyat
harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan.
b) Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau derajat budi luhur.
c) Rukun Iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup, dan kehidupan manusia
bukan sekedar ikutan belaka.
d) Setiap
generasi ummat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan
pendidikan pada manusia-manusia bodoh dan juga memerangi hawa nafsu jahat dan
menegakkan disiplin.
Selama
delapan tahun menetap di Mesir ia pergi ke Paris , disini ia mendirikan
perkumpulan “Al-Urwatul Wusqa” yang anggotanya terdiri dari orang-orang Islam
dan India , Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain. Diantara tujuan yang
ingin dicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan
membawa Islam kepada kemajuan. Kemudian di Paris inilah ia bertemu dengan
muridnya yang setia yaitu Muhammad Abduh dan kemudian ia kembali ke Istambul,
sampai akhir hayatnya.[20]
5. PEMBAHARUAN SYEKH MUHAMMAD ABDUH
Muhammad
Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir Hilir, ibu bapaknya adalah orang biasa
yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada
tahun 1849, tetapi ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi
sekitar tahun 1845 dan beliau wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh ibn
Hasan Khairillah, silsilah keturunan dengan bangsa Turki, dan ibunya mempunyai
keturunan dengan Umar bin Khatab, khalifah kedua (khulafaurrasyidin).[21]
Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap pendidikannya, pada tahun1862 ia
dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di mesjid Ahmadi yang terletak di desa
Tanta . Hanya dalam waktu enam bulan ia berhenti karena tidak mengerti apa yang
diajarkan gurunya. Setelah belajar di Tanta pada tahun 1866 ia meneruskan ke
perguruan tinggi di Al-Azhar di Kairo, disinilah ia bertemu dengan Jamaludin
al-Afghani dan kemudian ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani, di masa
inilah ia mulai membuat karangan untuk harian al-Ahram yang pada saat itu baru
didirikan. Pada tahun 1877 studinya selesai di al-Azhar dengan hasil yang
sangat baik dan mendapat gelar Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen
al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum.
Dalam peristiwa pemberontakan Urabi Pasya (1882)
Muhammad
Abduh ikut terlibat didalamnya, sehingga ketika pemberontakan berakhir, ia
diusir dari Mesir. Dalam pembuangannya ia memilih di Syiria ( Beirut ) di sini
ia mendapat kesempatan mengajar pada perguruan tinggi Sultaniah, kurang lebih
satu tahun lamanya. Kemudian ia pergi ke Paris atas panggilan Sayyid Jamaludin
al-Afghani, yang pada waktu itu tahun1884 sudah berada disana. Muhammad Abduh
kebetulan diperkenankan pulang ke Mesir, sedang Jamaluddin mengembara di Eropa
kemudian terus ke Moskow.
Di Mesir
Muhammad Abduh diserahi jabatan Mufti Mesir, disamping itu ia diangkat menjadi
anggota Majelis Perwakilan (Legilative Council), Muhammad Abduh pernah juga di
serahi jabatan hakim Mahkamah, dan di dalam tugas ini ia dikenal sebagai
seorang Hakim yang adil.
Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek, yaitu:[
Pertama,
aspek kebebasan, antara lain; dalam usaha memperjuangkan cita-cita
pembaharuannya, MuhammadAbduh memperkecil ruang lingkupnya, yaitu Nasionalisme
Arab saja dan menitikberatkan pada pendidikan.
Kedua, aspek kemasyarakatan, antara lain usaha-usaha pendidikan perlu diarahkan
untuk mencintai dirinya, masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar pendidikan
seperti itu akan membawa kepada seseorang untuk mengetahui siapa dia dan siapa
yang menyertainya.
Ketiga, aspek
keagamaan, dalam masalah in Muhammad Abduh tidak menghendaki adanya taqlid,
guna memenuhi tuntutan ini pintu ijtihad selalu terbuka.
Keempat,
aspek pendidikan antara lain, al-Azhar mendapatkan perhatian perbaikan,
demikian juga bahasa Arab dan pendidikan pada umumnya cukup mendapat perhatiannya.
Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu dihidupkan dan untuk itu
metodenya perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya dengan metode pendidikan.
System menghafal diluar kepala perlu diganti dengan system penguasaan dan
penghayatan materi yang dipelajari.
6. PEMBAHARUAN RASYID RIDHA
Rasyid Ridha
adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di
Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli
(Suria). Ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh
karena itu ia memakai gelar Al-sayyid depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan
ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan
membaca Al-Qur’an di tahun 1882, ia melanjutkan pelajaran di Al-Madrasah al-Wataniah
Al-Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli .
Di Madrasah ini, selain bahasa arab diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis,
dan disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan
modern. Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama
Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern, tetapi umur sekolah tersebut
tidak panjang. Kemudian Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu
sekolah agama yang ada di Tripoli .
Disamping itu
Rasyid Ridha memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui membaca
kitab-kitab yang ditulis al-Ghozali, antara lain Ihya Ulumuddin sangat
mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan
baktinya terhadap agama. Rasyid Ridha mulai mencoba dan menerapkan ide-idenya
ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari
pihak kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas, karena itu ia
memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada tahun 1898 M.
Rasyid Ridha hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dan
dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama “al- Manar” untuk
menyebarluaskan ide-idenya dalam pembaharuan.
Pada dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan gurunya,
terutama dalam titik tolak pembaharuannya yang berpangkal dari segi keagamaan,
tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya maupun dari
segi amaliyahnya. Menurut pendapat dari Rasyid Ridha ummat Islam mundur karena
tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, dan perbuatan mereka
telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu
sebab-sebab yang membawa kemunduran ummat Islam, karena faham fatalisme, ajaran-ajaran
tariqad atau tasawuf yang menyeleweng semua itu membawa kemunduran ummat Islam
menjadi keterbelakangan dan menjadikan ummat tidak dinamis.
Dalam
hubungannya dengan akal pikiran, Rasyid ridha berpendapat bahwa derajat akal
itu lebih tinggi, akan tetapi hanya dapat dipergunakan dalam masalah
kemasyarakatan saja, tidak dapat dipergunakan dalam masalah ibadah. Diantara
aktivis beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang
dinamakan dengan “al-dakwah wal irsyad” pada tahun 1912 di kairo.
Para lulusan
dari seoah ini akan dikirim ke negeri mana saja yang membutuhkan bantuan
mereka. Kemudian melalui majalah al-Manar ia menjelaskan bahwa inggris dan
perancis yang berusaha membagi-bagi daerah arab ke dalam kekuasaannya
masing-masing. Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah
bentuk kekhalifahan yang tidak absolute, kholifah hanya bersifat koordinator,
tidaklah mungkin menyatukan ummat islam ke dalam satu system pemerintahan yang
tunggal, karena khalifah hanya menciptakan hukum perundang-undangan dan menjaga
pelaksanaannya.
Rasyid Ridha
menyadari pertentangan yang makin ada diantara nasionalisme dan kesetiaan
kepada persatuan Islam. Menurutnya paham nasionalisme bertentangan dengan paham
ummat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan
bahasa. Meskipun Rasid Ridha berguru pada Muhammad Abduh, tetapi dalam hal
pembaharuan mereka memiliki perbedaan. Muhammad Abduh lebih luas
pergaulannya,disamping itu penguasaan bahasa asing lebih menguasai dibanding
Rasyid Ridha.
Perbedaan
antara guru dan murid tersebut sangat terlihat, misalnya dalam hal paham-paham
teologi dan jujga dalam Tafsir al-Manar, ketika murid memberi komentar terhadap
uraian guru. Sedangkan dalam masalah teologi, Muhammad Abduh menafsirkan
ayat-ayat Mutajassimah secara filosofis rasional, sedangkan Rasyid Ridha
menafsirkan apa adanya ia tidak mentakwil.
Rasyid Ridha
sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu berjuang selama
hayatnya, ia meninggal pada tanggal 23 jumadil ula 1354/ 22 agustus 1935, ia
meninggal dunia dengan aman sambil memegang Al-Qur’an ditangannya.
8. PEMBAHARUAN QASYIM AMIN
Qasyim Amin
lahir dipinggiran kota Kairo pada tahun 1863, ayahnya keturunan Qurdi, tetapi
menetap di Mesir, ia belajar hukum di Mesir kemudian melanjutkan ke Perancis
sebagai mahasiswa tugas belajar dari pemerintah untuk memperdalam ilmu hukum,
setelah selesai dan pulang ke Mesir ia bekerja pada pengadilan Mesir. Dalam hal
pembaharuan di masyarakat ia lebih mengutamakan dalam hal memperbaiki nasib
wanita.
Ide inilah yang kemudian dikupas Qasyim Amin dalam bukunya tahrir al-mar’ah
(“emansipasi wanita”). Wanita yang terbelakang dan jumlahnya sekitar seperdua
dari jumlah penduduk Mesir, merupakan hambatan dalam pelaksanaan pembaharuan,
karena itu kebebasan dan pendidikan wanita perlu mendapat perhatian. Ide Qasyim
Amin yang banyak menimbulkan reaksi di zamannya ialah pendapat bahwa penutupan
wajah wanita bukanlah ajaran Islam.
Tidak
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist adalah ajaran yang mengatakan bahwa wajah
wanita murupakan aurat dan oleh karena itu harus ditutup. Penutupan wajah
adalah kebiasaan yang kemudian dianggap sebagai ajaran Islam.
Dan karena kritik dan protes terhadap ide inilah Qasyim Amin melihat bahwa ia
perlu memberi jawaban yang keluar dalam bentuk buku bernama al-mar’ah
al-jadilah (“wanita modern”). Ide-ide ini, tentu ada yang setuju dan ada pula
yang tidak setuju, tapi sekarang ini usaha itu sudah dapat dirasakan hasilnya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pernyataan
di atas dapat di simpulkan sebagai berikut. Mesir adalah sebuah negara
tua dan memiliki peradaban yang jatuh bagun silih berganti pula. Peradaban
Mesir kuno kita kenal menyembah dewa matahari, Ra. Bangunan-bangunan yang
hingga kini ada itu digunakan untuk penyembahan dewa matahari. Nabi Musa
alaihissalam diutus untuk mengajarkan Islam pada masyarakat yang nota bene
berada di Mesir. Kita ingat dan paham bagaimana kisah perjuangan Nabi Musa
alaihissalam dalam meyakinkan umatnya hingga harus ‘adu sihir’ dan menggantungkanyawa
di tepi laut merah. Begitulah Allah berkehendak.
Setelah selesai revolusi 1789 Prancis mulai menjadi negara besar yang
mendapat saingan dan tantangan dari Inggris. Inggris di waktu itu telah
meningkat kepentingan-kepentingannya di India dan untuk memutuskan komunikasi
antara Inggris di Barat dan India di Timur, Napoleon melihat bahwa Mesir perlu
diletakkan di bawa kekuasaan Prancis. Di samping itu Prancis perlu pada pasaran
baru untuk hasil perindustriannya. Napoleon sendiri kelihatnnya mempunyai
tujuan sampingan lain. Alexander Macedonia pernah menguasai Eropa dan Asia
sampai ke India, dan Napoleon ingin mengikuti jejak Alexander ini. Tempat
strategis untuk menguasai kerajaan besar seperti yang dicita-citakannya itu,
adalah Kairo dan bukan Roma atau Paris. Inilah beberapa hal yang mendorong
Perancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.
Pada 639
Masehi, ketika Islam di bawah
kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin Ash memasuki Mesir dan
kemudian diperkuat pasukan Zubair bin Awwam berkekuatan 4000 orang. Mukaukis
didukung gereja Kopti menandatangani perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi
wilayah kekuasaan pihak Islam. Di masa kekuasaan Keluarga Umayah, dan kemudian
Abbasiyah, Mesir menjadi salah satu provinsi seperti semula.
Pada masa pembaharuan, perembangan lu
pengetahuan mengalami kemajuan. Hal ini dapat di liat di berbagai Negara
seperti turki, india dan mesir. Sultan muhammad II (1785-1839 M) dari turki
usmani melakukan berbagai usaha agar umat islam di negaranya agar dapat
mengetahui ilmu pengetahuan dan tekhnologi. usaha-usaha tersebut seperti:
Muhammad bin Abdul Wahab ibn Sulaiman ibn Ali bin Muhammad ibn
Rasyid ibn Bari ibn Musyarif ibn Umar ibn Muanad Rais ibn Zhahir ibn Ali Ulwi
ibn Wahib, lahir pada tahun 1703 dan meninggal pada tahun 1787 M. di Uyainah,
daerah Nejeb Saudi Arabia . Ia seorang pembaharu di Arabia , pengikut paham
Ibnu Taimiyah dan bermazhab Hambali
B.
SARAN
Penulis sangat memohon maaf jika dlam penulisan terlalu banyak
salah karna kami sifat nya masih belaja. Kita belajar tentang islam paa masa di
mesir aar kita tau bagai mana sejarah islam pada masa itu,peradaban,ilmu
pengetahuan nya dan paratokoh tokoh islam pada saat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, Yusran, 1998, Pengantar
Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan da lam
Dunia Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Nasution, Harun, 2003,
Pembaharuan dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang
——————-,
1975, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Ja karta
: Bulan Bintang
Sani, Abdul, 1998, Lintas Sejarah
Pemikiran, Jakarta : PT. Grafindo Persada
Rais, M. Amien dan David Sagiv,
1997, Islam Orientalis Liberalisme, Yogyakarta : Bulan Bintang
Abidin Ahmad, H. Zainal, 1979, Sejarah Islam dan Ummatnya, Bulan
Bintang, Ja karta .
Asmuni, Yusran, 1998, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan
Pembaharuan Da lam dunia Islam, Raja Grafindo Persada,
Jakarta .
Ris’an, Rusli, 2005, Pemikiran Teologi Modern dalam Islam, IAIN
Raden Fatah Press, Palembang
Mufrodi , Ali, 1997, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Logos Wacana
Ilmu, Jakarta .
Nasution, Harun, 2003, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta .