BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangannya Islam mengalami kemajuan yang sangat
signifikan, meskipun pada Negara tertentu mengalami fliktuasi, dan bahkan ada
yang hampir punah seperti halnya di Brunei Darussalam. Penyebaran islam terjadi dengan berbagai cara, diantaranya ialah
orang-orang
islam yang pergi ke suatu daerah
dengan tujuan berdakwah, selain itu ada pula yang bertujuan berdagang tetapi
sambil mendakwahkan Islam sebagai agamanya. Kemudian selain berdakwah dan
berdagang, mereka juga melakukan perkawinan dengan anak bangsawan, penguasa dan
lain sebagainya. Karena Islam masuk ke suatu daerah tidak dengan paksaan, Islam
juga tidak mengenal pembagian kasta dalam masyarakat karena menganggap
kedudukan manusia itu sama di mata Tuhan, dan proses masuknya Islam yang
berusaha membaur dengan suatu adat istiadat di suatu daerah, membuat proses
masuknya Islam menjadi mudah diterima oleh suatu masyarakat dimana proses
penyebaran itu dilakukan.
Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Asia Tenggara dikalangan
sejarawan, khususnya dalam aspek kebudayaan, masih belum terungkap secara
sempurna. Menurut Azyumardi Azra hal ini disebabkan antara lain karena kajian
sejarah islam dengan berbagai aspeknya di Asia Tenggara, baik itu dari kalangan
orang asing maupun dari kalangan orang pribumi belum mampu merumuskan suatu
paradigma sejarah yang dapat dijadikan pegangan bersama yang kadang – kadang
sulit untuk dipertemukan atau disatukan antara satu dengan yang lain.
Dan dalam pembahasan ini, penulis mengambil suatu Negara kecil yang
ada di Asia Tenggara untuk dijadikan fokus pokok pembahasan dalam makalah ini.
Satu hal yang menarik dari negara ini, karena Brunei merupakan suatu negara
yang agak tertutup dengan dunia luar. Sehingga kajian – kajian tentang negara
ini dari beberapa aspek, agak sulit untuk ditemukan. Hal ini mungkin disebabkan
karena Brunei merupakan negara yang makmur.
B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui
proses masuk dan berkembangnya Islam di Brunei Darussalam
2. Mengetahui
proses masuk dan berkembangnya Islam di Malaysia
C. Tujuan Masalah
1. Menambah
pengetahuan tentang bagaimana penyebaran islam di Asia Tenggara khususnya
di Brunei Darussalam dan Malaysia
2. Menumbuhkan
kesadaran bahwa betapa beratnya penyebaran islam ke seluruh dunia.
3. Mendorong orang
agar menceritakan kepada yang lain yang belum tahu sejarah islam.
4. Memotifasi
kalangan umat islam untuk ikut serta menyebarkan ajaran islam ke pelosok yang
belum mengenal islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses masuk dan berkembangnnya agama islam
di Brunei Darussalam
Berkaitan dengan masuknya Islam di Brunei ditemukan beberapa sumber
yang berbeda yaitu :
a) Dalam
Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa Islam mulai diperkenalkan di Brunei pada
tahun 977 melalui jalur timur Asia Tenggara oleh pedagang-pedagang dari negeri
Cina. Islam menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk
Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah (1406-1408). Perkembangan Islam
semakin maju setelah pusat penyebaran dan kebudayaan Islam Malaka jatuh ke
tangan Portugis (1511) sehingga banyak ahli agama Islam pindah ke Brunei.
Kemajuan dan perkembangan Islam semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan
Bolkiah (sultan ke-5), yang wilayahnya meliputi Suluk, Selandung, kepulauan
Suluk, kepulauan Balabac samapai ke Manila. Masuknya Islam di Brunei didahului
oleh tahap perkenalan. Islam masuk secara nyata ketika raja yang berkuasa pada
saat itu menyatakan diri masuk Islam, lalu diikuti oleh penduduk Brunei dan
masyarkat luas. Sehingga cukup beralasan jika Islam mengalami perkembangan yang
begitu cepat.
b) Dalam
Ensiklopedi Nasional Indonesia dikatakan bahwa agama Islam masuk ke Brunei pada
abad ke-15. Sejak itu, kerajaan Brunei berubah menjadi kesultanan Islam. Pada
abad ke-16 Brunei tergolong kuat di wilayahnya, dan daerah kekuasaannya
meliputi pula beberapa pulau di Filipina selatan. Perubahan nama dari kerajaan
menjadi kesultanan memberi informasi bahwa Islam di Brunei mendapat perhatian
yang serius dari pihak pemerintah. Hal ini menjadi salah satu faktor sehingga
penganut agama Islam semakin bertambah banyak.
c) Di sumber lain
dikatakan bahwa silsilah kerajaan Brunei didapatkan pada Batu Tarsilah yang
menuliskan silsilah raja-raja Brunei yang dimulai dari Awang Alak Batatar, raja
yang mula-mula memeluk agama Islam (1368) sampai kepada Sultan Muhammad
Tajuddin (Sultan Brunei ke-19, memerintah antara 1795-1804 dan 1804-1807). Data
ini menunjukkan sistem pemerintahan di Brunei adalah kesultanan atau monarki
mutlak Islam, dan semuanya sangat memeperhatikan Islam sebagai agama resmi
negara.
d) Menurut
Azyumardi Azra bahwa awal masuknya Islam di Brunei yaitu sejak tahun 977
kerajaan Borneo (Brunei) telah mengutus P’u Ali ke istana Cina. P’u Ali adalah
seorang pedagang yang beragama Islam yang nama sebenarnya yaitu Abu Ali. Pada
tahun itu juga diutus lagi tiga duta ke istana Sung, salah seorang di antara
mereka bernama Abu Abdullah. Peran para pedagang muslim dalam penyebaran Islam
di Brunei telah terbukti dalam catatan sejarah.
e) John L.
Esposito seorang orientalis yang pruduktif banyak menulis tentang sejarah
Islam, menurutnya bahwa Islam pertama kali datang di Brunei pada abad ke-15 dan
yang pertama kali memeluk Islam adalah raja Berneo. Pendapat Esposito ini
sejalan dengan pendapat lainnya bahwa pihak raja atau sultan yang lebih awal
menyatakan diri masuk Islam, lalu kemudian diikuti oleh masyarakatnya.
Data dan informasi di atas memberi penegasan bahwa raja Brunei
sejak dahulu besar perhatiannya terhadap Islam dan dapat diterima oleh lapisan
masyarakat. Mereka dapat menerima Islam dengan baik ditandai dengan sambutan
positifnya terhadap kedatangan pedagang Arab Muslim. Islam masuk di Brunei
melalui suatu proses yang panjang tidak pernah berhenti. Menurut Ahmad M.
Sewang ada suatu proses yang dinamakan adhesi, yaitu proses penyesuaian diri
dari kepercayaan lama kepada kepercayaan baru (Islam).
Proses tersebut juga disebut proses islamisasi yang dapat berarti
suatu proses yang tidak pernah berhenti. Kedatangan Islam di Brunei membolehkan
rakyat menikmati sistem kehidupan lebih tersusun dan terhindar dari adat yang
bertentangan dengan akidah tauhid. Awang Alak Betatar adalah raja Brunei
pertama yang memeluk Islam dengan gelar Paduka Seri Sultan Muhammad Shah
(sultan ke-1 tahun 1383-1402). Ia dikenal sebagai penggagas kerajaan Islam
Brunei. Awang penganut Islam sunni lebih dipecayai dari pada Syarif Ali yang berketurunan
ahl al-bait, yang bersambung dengan keluarga Nabi Muhammad saw melalui pjalur
cucunya Sayidina Hasan. Syarif Ali dikawinkan dengan putri Sultan Muhammad
Shah, setelah itu ia dilantik menjadi raja Brunei atas persetujuan pembesar dan
rakyat. Sebagai raja dan ulama, Syarif Ali gigih memperjuangkan Islam dengan
membangun masjid dan penerapan hukum Islam. Satu hal yang menarik untuk
diketahui bahwa meskipun Syarif Ali berketurunan ahl al-bait, tetapi tidak
menjadikan pola pemerintahan yang berdasarkan pola kepemimpinan Syiah yang
dikenal immah, justru ia melanjutkan konsep kepemimpinan yang sudah ada yaitu
sunni. Raja-raja Brunei sejak dahulu kala secara turun temurun adalah kerajaan
Islam dan setiap raja bergelar sultan.
Di samping itu, kerajaan Brunei
dalam kunstitusinya secara tegas menyatakan bahwa kerajaan Brunei adalah negara
Islam yang beraliran sunni (ahl al-sunnah wa al-jama‘ah). Islam berkembang di
Brunei karena pihak kesultanan menjadikan sunni sebagai prinsip ketatanegaraan
dan pemerintahan dalam Islam.
Menurut Hussin Mutalib bahwa pihak Sultan pernah memperingatkan
agar hati-hati terhadap Syiah. Aliran Syiah di Brunei tidak mendapat posisi
penting untuk berkembang bahkan menjadi ancaman bagi Sultan. Pada masa Sultan
Hassan (sultan ke-9 tahun 1582-1598), dilakukan beberapa hal yang menyangkut
tata pemerintahan:
1) menyusun
institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama memainkan peranan penting
dalam memandu negara Brunei ke arah kesejahtraan,
2) menyusun adat istiadat yang dipakai dalam semua
upacara, di samping itu menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan raja,
3) menguatkan
undang-undang Islam. Pada tahun 1967, Omar Ali Saifuddin III (sultan ke-28
tahun 1950-1967) telah turun dari tahta dan melantik putra sulungnya Hassanal
Bolkiah menjadi sultan Brunei ke-29 (1967-sekarang).
Pada tahun 1970, pusat pemerintahan negeri Brunei Town telah diubah
namanya menajdi Bandar Seri Begawan untuk mengenang jasa Baginda yang meninggal
dunia tahun 1986. Usaha-usaha pengembangan Islam diteruskan oleh Yang Mulia
Paduka Seri Baginda Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Wadaulah. Di
antara usahanya yaitu pembinaan masjid, pendidikan agama, pembelajaran
al-Qur’an dan perundang-undangan Islam. Setelah Brunei merdeka penuh tanggal 1
Januari 1984, Brunei menjadi sebuah negara Melayu Islam Braja. Melayu diartikan
sebagai negara Melayu yang memiliki unsur-unsur kebaikan dan menguntungkan.
Islam diartikan sebagai suatu kepercayaan yang dianut negara yang bermazhab ahl
al-sunnah wa al-jama’ah sesuai dengan kontitusi cita-cita kemerdekaan, sedang
Braja diartikan sebagai suatu sistem tradisi Melayu yang telah lama ada.
Penduduk Brunei yang
mayoritas Melayu dan penganut agama Islam terbesar di Brunei tentu saja
merekalah yang menentukan tatanan negara dengan tetap memperhatikan kemajuan
Islam yang berhaluan ahl al-sunnah wa al-jama‘ah dan menjaga kelestarian dan
mempertahanakan adat istiadat yang berlaku. Islam sebagai agama resmi negara
Brunei dan agama mayoritas, namun agama lain tidak dilarang. Kementerian agama
Brunei berperan besar dalam menentukan kebijaksanaan dan aturan bagi
penduduknya. Buku-buku keagamaan harus lebih dahulu melalui sensor kementerian
itu sebelum boleh beredar di masyarakat. Segala bentuk patung dilarang,
walaupun patung Winston Churuchil dibangun di perempatan utama di ibu kota
Bandar Seri Begawan.
Hukum Islam berpengaruh besar pada undang-undang di negara itu.
Selain itu, yang perlu juga diketahui bahwa Brunei sebagai negara Islam di
bawah pemimpin sultan ke-29 yaitu Sultan Hassanal Bolkiah. Sultan ini telah
banyak melakukan usaha penyempurnaan pemerintahan antara lain dengan melakukan
pembentukan majelis Agama Islam atas dasar Undang-Undang Agama dan Mahkamah
Kadi. Majelis ini bertugas menasehati Sultan dalam masalah agama Islam. Usaha lain
yang dilakukan yaitu menjadikan Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan
hidup rakyat Brunei dan satu-satunya idiologi negara. Untuk itu, dibentuklah
jabatan Hal Ehwal Agama yang bertugas menyebarkan paham Islam. Untuk
kepentingan penelitian agama Islam, pada tanggal 16 September 1985 didirikan
pusat dakwah, yang juga bertujuan melaksanakan program dakwah serta pendidikan
kepada pegawai-pegawai agama dan masyarakat luas dan pusat pameran perkembangan
dunia Islam.
Atas dasar itu, sehingga
secara kuantitas masyarakat Muslim di Brunei semakin hari semakin bertambah
banyak. Brunei sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim dan Sultan
menjadikan Islam sebagai idiologi negara, telah banyak melakukan aktifitas baik
bersifat nasional maupun internasioal. Di bulan Juni 1991, Brunei sebagai tuang
rumah penyelenggaraan Pertemuan Komite Eksekutif Dewan Dakwah Islam Asia
Tenggara dan Pasific, di bulan Oktober 1991, Sultan menghadiri pembukaan Budaya
Islam di Jakarta, di bulan Desember 1991, Sultan menghadiri pertemuan
Organisasi Konfrensi Islam (OKI) yang diselenggarakan di Qatar, di bulan
September 1992, didirikan lembaga yang bergerak di bidang finansial yaitu
Tabung Amanah Islam Brunei (TAIB), lembaga keuangan ini dikelola secara
profesional sesuai dengan prnsip dasar Islam. Data sejarah ini menunjukkan
bahwa Sultan memiliki perhatian dan semangat besar untuk mengembangkan Islam
dan menyejahtrakan kehidupan umat Islam Brunei. Untuk menjaga keutuhan dan
keharmonisan umat Islam Brunei, Sultan dalam sambutannya dalam peringatan Isra’
dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. tahun 1991 mengeluarkan dekrit yang isinya
melarang organisasi al-Arqm melakukan aktifitas keagamaan. Sultan memerintahkan
seluruh jajaran pemerintahannya agar melarang organisasi asing melakukan kegiatan
yang dapat mengancam keutuhan dan keharmonisan umat Islam yang selama ini sudah
terbina dengan baik. Organisasi al-Arqm dianggap organisai yang akan memeceh
belah umat Islam dan berusaha menghilangkan tradisi Melayu di Brunei. Dalam
satu sumber dikatakan bahwa di Brunei seluruh pendidikan rakyat mulai dari
tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi ditanggung oleh negara atau
diberikan secara gratis.
Perhatian negara terhadap peningkatan sumber daya manusia menjadi
prioritas, utamanya pengembangan sumber daya manusia islamik. Salah satu
langkah yang ditempuh dalam peningkatan ini yaitu negara mengirim sejumlah kaum
muda untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri atas biaya negara, sehingga
jumlah siswa yang dikirim setiap tahunnya mencapai angka 2000 orang. Pendidikan
gratis di semua tingkatan, menunjukkan bahwa Brunei adalah negara kaya.Meskipun
Brunei yang luas wilayahnya tergolong kecil, menempati urutan 148 di dunia
(setelah Siprus dan sebelum Trinidad dan Tobago) sebanding dengan luas wilayah
kabupaten Aceh Tengah. Anggota ASEAN ini merupakan salah satu negara makmur di
dunia dengan tingkat income percapita masuk 10 besar dunia. Karena itu, sangat
beralasan bila agama Islam di negara ini mengalami perkembangan yang cepat dan
mempunyai istana besar dan megah. Perdagangannya yang maju antara lain
menjadikan negara nomor satu dalam angka “Export per capita”
Adapun nama-nama Sultan yang pernah menguasai kesultanan Brunei
adalah sebagai berikut:
1) Sultan Muhammad
Syah (1363-1402)
2)
Sultan Ahmad (1408-1425)
3)
Sultan Sharif Ali (1425-1432)
4)
Sultan Sulaiman (1432-1485)
5)
Sultan Bolkiah (1485-1524)
6)
Sultan Abdul Kahar (1524-1530)
7)
Sultan Saiful Rijal (1533-1581)
8)
Sultan Syah Brunei (1581-1582)
9)
Sultan Muhammad Hasan (1582-1598)
10)
Sultan Abdul Jalilul Akbar (1598-1659)
11)
Sultan Abdul Jalilul Jabbar (1659-1660)
12)
Sultan Haji Muhammad Ali
(1660-1661)
13)
Sultan Abdul Hakkhul Mubin (1661-1673)
14)
Sultan Muhyiddin (1673-1690)
15)
Sultan Nasaruddin (1690-1710)
16)
Sultan Husin Kamaluddin (1710-1730)dan 1737-1740)
17)
Sultan Muhammad Alaudin (1730-1737)
18)
Sultan Omar Ali Saifudin (1740-1795)
19)
Sultan Muhammad Tajudin (1795-1804) dan (1804-1807)
20)
Sultan Muhammad Jamalul Alam I (1804)
21)
Sultan Muhammad Kanzul Alam
(1807-1826)
22)
Sultan Muhammad Alam (1826-1828)
23)
Sultan Omar Ali Saifudin II (1828-1852)
24)
Sultan Abdul Momin (1852-1885)
25)
Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin (1885-1906)
26)
Sultan Muhammad Jamalul Alam II (1906-1924)
27)
Sultan Ahmad Tajudin (1924-1950)
28)
Sultan Haji Omar Ali
Saifudin III (1950-1967)
29)
Sultan Haji Hassanal Bolkiah
(1967- sekarang)
B. Proses masuk dan bekembangnya islam di
Malaysia
a) Proses masuknya islam di Malaysia
Sejarah masuknya Islam di
Malaysia tidak bisa terlepas dari kerajaan-kerajaan Melayu, jauh sebelum
datangnya Inggris di kawasan tersebut. Sebab kerajaan ini dikenal dalam sejarah
sebagai Kerajaan Islam, dan oleh pedagang Gujarat melalui daerah kerajaan
tersebut mendakwahkan Islam ke Malaysia pada sekitar abad kesembilan.
Dari sini kemudian dipahami bahwa Islam sampai
ke Malaysia belakangan ketimbang sampainya Islam di Indonesia yang sudah
terlebih dahulu pada abad ketujuh. Berdasarkan keterangan ini, maka asal usul
masuknya Islam ke Malaysia berdasar pada yang dikemukakan Azyumardi Azra bahwa
Islam datang dari India, yakni Gujarat dan Malabar. Sebelum Islam datang,
Malaysia adalah berada di jalur perdagangan dunia yang menghubungkan
kawasan-kawasan di Arab dan India dengan wilayah China, dan dijadikan tempat
persinggahan sekaligus pusat perdagangan yang amat penting. Maka tidak heranlah
jika wilayah ini juga menjadi pusat bertemunya berbagai keyakinan dan agama (a
cross-roads of religion) yang berinteraksi secara kompleks.
Agama dan keyakinan itu pun telah mempengaruhi
susunan sosial, budaya, ekonomi, dan politik di wilayah ini. Menurut Prof. DR.
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) bahwa ada tiga isu masuknya Islam di
Malaysia yaitu Perbincangan tentang proses yang membawa kepada penyebaran Islam
ke Alam Melayu akan melibatkan perbincangan yang menimbulkan tiga isu. Isu-isu
tersebut ialah bila tarikh sebenar Islam diperkenalkan kepada orang Melayu,
dari manakah asal-usul pendakwah yang menyebarkan agama tersebut dan
bagaimanakah proses ini boleh berlaku dengan begitu berkesan sekali. Dalam
menguraikan ketiga-tiga isu ini kelebihan yang terdapat dalam hujah yang
diberikan oleh beliau telah mempelopori pendekatan yang memberikan perspektif
tempatan tentang proses yang membawa kepada penyebaran Islam ke Alam Melayu.
Isu pertama yang menimbulkan perbincangan
tentang penyebaran Islam di Alam Melayu adalah berkaitan dengan bilakah tarikh
tepat agama Islam mula disebarkan di rantau ini. Dalam tulisannya, Hamka
cenderung berpendapat bahwa agama Islam telah diperkenalkan di rantau ini pada
awal abad Hijrah (abad ketujuh Masehi). Pendapat yang beliau kemukakan ini
adalah berdasarkan kajian yang dilakukan dengan merujuk sumber Cina. Pendapat yang dikemukakan juga adalah dengan bersandar
kepada tulisan oleh seorang sarjana Barat, yaitu T.W. Arnold yang
mengaitkan penyebaran agama Islam dengan peranan yang dimainkan oleh
pedagang-pedagang Arab. Dalam kajiannya, T.W. Arnold mendapati bahawa
pedagang-pedagang Arab telah menjalin hubungan perdagangan dengan rantau
sebelah timur sejak sebelum abad Masehi lagi.
Pada abad kedua Sebelum Masehi hampir
keseluruhannya perdagangan di Ceylon berada di tangan orang Arab. Menjelang
abad ke-9 Masehi kegiatan perdagangan
orang Arab dengan Ceylon semakin meningkat apabila meningkatnya hubungan
perdagangan antara orang Arab dengan China. Menurut rekod sejarah, menjelang
pertengahan abad ked-8 Masehi pedagang-pedagang Arab
dapat ditemui dengan ramainya di Canton. Dari abad ke-10 hingga abad
ke-15, sebelum kedatangan Portugis, orang Arab merupakan pedagang yang
unggul dan hampir tidak tersebar dalam menjalankan kegiatan
perdagangan dengan Timur.
Berdasarkan pandangan yang diberikan oleh T.W
Arnold ini, Hamka berpendapat bahwa sudah semestinya apabila orang Arab memeluk
agama Islam mereka akan berusaha menyebarkan agama tersebut di kawasan-kawasan
di mana mereka menjalankan kegiatan perdagangan. Namun begitu, hujah yang
dikemukan ini sukar untuk dibuktikan karena ketiadaan maklumat bertulis yang
konklusif untuk menyokong pendapat yang diberikan. Lantaran itu, dari segi
rekod Hamka setuju dengan pandangan yang umumnya disepakati, termasuklah oleh sarjana
Barat bahwa Samudra-Pasai (abad ke-13-14) adalah merupakan kerajaan
Melayu-Islam yang pertama yang diwujudkan di rantau ini.
Islam masuk ke Malaysia pada abad pertama
Hijrah dibawa oleh para pedagang India, Persia, dan juga Arab melalui suatu
proses damai dan secara cepat diterima oleh masyarakat karena mampu berbaur
dengan adat dan kebudayaan masyarakat tempatan.
Isu kedua para penyebar Islam tersebut menurut
T. W. Arnold. tidak datang sebagai penakluk dengan menggunakan kekuatan
pedang untuk menyebarkan Islam, sebagaimana yang terjadi di wilayah Timur
Tengah, Asia Selatan, dan Afrika. Mereka juga tidak menguasai hak-hak penguasa
tempatan untuk menekan rakyat, sebaliknya mereka hanya sebagai pedagang yang
memanfaatkan kepintaran dan peradaban mereka yang lebih tinggi untuk
kepentingan penyebaran Islam dengan memperkenalkan toleransi dan persamaan
antara manusia. Bagi penganut Hindu, yang agama mereka mengajarkan sistem kasta
dalam masyarakat, agama Islam yang baru mereka kenali adalah umat menarik perhatian, khususnya di kalangan pedagang yang
cenderung kepada orientasi kosmopolitan. itulah sebabnya penerimaan orang
Melayu terhadap agama Islam adalah berkait erat dengan keluhuran agama
tersebut.
Isu ketiga suatu proses perubahan kebudayaan
tidak akan berlaku jika tidak ada titik-titik kesamaan yang saling
menghubungkan, begitu juga yang terjadi pada Islam dan kebudayaan Malaysia.
Seandainya Islam dengan serta merta menghapuskan segala kebudayaan dan tradisi
yang wujud sebelumnya, mungkin ia sama sekali tidak akan menemukan tempat untuk
memasuki pulau-pulau di kawasan ini. Islam sebenarnya telah masuk di berbagai
wilayah Malaysia berabad-abad sebelum pengislaman besar-besaran dimulai. Para
pedagang asing telah lama menetap di bandar-bandar dan kerajaan-kerajaan Islam
pertama yang terdapat di Sumatera bagian Utara dan Pantai Barat Semenanjung
sejak lebih kurang Abad ke-13, atau mungkin lebih awal daripada itu.
Akan
tetapi, menurut Harry J.Benda. Baru pada Abad ke 15 dan 16 agama Islam menjadi
kekuatan kebudayaan dan agama utama di kepulauan Nusantara. Perubahan yang agak
mendadak ini mungkin disebabkan semakin meluasnya ajaran sufisme (mistik Islam)
oleh para sufi yang berperanan sebagai pendorong gerak maju agama ini.
Ajaran mistik Islam ini ternyata menemukan
banyak titik kesamaan dengan ajaran Hindu dan banyak disebarkan oleh orang
daripada India yang beragama Islam. Melalui berbagai hubungan titik persamaan
ini, Islam ternyata mempunyai banyak kesesuaian dengan budaya masyarakat
tempatan. Oleh itu unsur tasawuf menjadi aspek yang lebih dominan dalam proses
Islamisasi di wilayah ini.
Menurut ahli sejarah Malaysia, Islam masuk ke
semenanjung ini sebelum abad ke-12 berbeda pendapat penulis barat yang
mengatakan sekitar abad ke-13 atau 14. Penulis Malaysia didasarkan pada mata
uang dinar emas yang ditemukan di Klantang tahun 1914, bagian pertama mata uang
itu bertuliskan al-julus kelatan dan angka arab 577 H, yang bersamaan dengan
tahu 1161 M, bagian kedua bertuliskan äl-Mutawakkil, gelar pemerintahan Kelantang.
Dan jika kita lihat batu nisan tua tertulis arab ditemukan ke Kedah tahun 1963
pada makam Syekh Abdul Kadir bin Syekh Husen Shah Alam (w. 291 H), abad ke-9
merupakan awal perkembangan Islam di kawasan selat Malaka dan kawasan-kawasan
yang menghadap ke laut Cina Selatan, sebagaimana diakui Dinasti Sung
(960-1279), bahwa masyarakat Islam telah tumbuh di sepanjang pantai laut Cina
Selatan
Sekitar tahun 1276 M di masa Sultan Muhammad
Syah bertahta di Malaka, datang sebuah kapal dagang dari Jeddah yang dipimping
kapten kapal yang bernama Sidi Abdul Aziz, yang juga seorang ulama Islasm, Sidi
Abdul Aziz lalu menganjurkan raja Malaka saat itu yang telah di Islamkan untuk
menukar namanya menjadi Sultan Muhammad Syah. Dalam sejarah negeri Kedah
disebutkan bahwa Islam masuk ke Kedah pada tahun 1501 M, pada suatu hari
datanglah seorang alim bangsa Arab di Kedah yang bernama Syekh Abdullah Yamani
yang kemudian mengislamkan raja dan pembesar serta anak negeri Kedah. Raja
Pramawangsa akhirnya dianjurkan oleh Syekh Abdullah menukar namanya etelah
masuk Islam menjadi sultan Muzafar Syah. Syekh Abdullah mendapat kiriman Al-
Qurán dari sahabatnya pendakwah di Aceh yaitu Sykh Nuruddin Makki.
Kedatangan Islam dan proses islamisasi
berlangsung melalui jalur perdagangan atas peranan para pedagang muslim dan
mubaliq dari Arab dan Gujarat, para dai’ setempat dan penguasa Islam. Sejak
awal abad ke-7 semananjung Malaka dan nusantara merupsakan jalur perdagangan
utama antara Asia Barat dan Timur jauh serta kepulauaan rempah-rempah Maluku,
semananjung tidak dapat dipisahkan dari gugusan pulau-pulau nusantara, mereka
juga singgah di pelabuhan-pelabuhan semenanjung.
Bahwa proses islamisasi di Malaysia yang
memainkan peranan penting dalam mengembangkan ajaran Islam adalah ulama atau
pedagang dari jasirah Arab, yang pada tahun 1980-an Islam di Malysia mengalami
perkembanga dan kebangkitan yang ditandai dengan semaraknya kegitan dakwah dan
kajian Islam oleh kaum intelektual dan setiap tahun menyelenggarakan kegiatan
Internasional yaitu Musabaqh Tilawatil Al-Qurán yang selalu diikuti oleh Qari
dan Qariah Indonesia.
Negara Malaysia yang menganut agama resmi
Islam menjamin agama-agama lain dan oleh pemerintah diupayakan menciptakan
ketentraman, kedamaiaan bagi masyarakat, walaupun pemegang jabatan adalah
pemimpn-pemimpin muslim, tidak berarti Islam dapat dipaksakan oleh semua pihak,
sebagai konsekwensi semua masyarakat termasuk non muslim harus menghargai dan
menjunjung tinggi konstitusi negara kebangsaan Malysia.
b)
Perkembangan Islam di Malaysia
Azyumardi Azra menyatakan bahwa tempat asal
datangnya Islam ke Asia Tenggara termasuk di Malaysia, sedikitnya ada tiga
teori. Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab
(Hadramaut). Kedua, Islam datang dari India, yakni Gujarat dan Malabar. Ketiga,
Islam datang dari Benggali (kini Banglades). Sedangkan mengenai pola penerimaan
Islam di Nusantara termasuk di Malaysia dapat kita merujuk pada peryataaan
Ahmad M. Sewang bahwa, penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara
memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima terlebih dahulu
oleh masyarakat lapisan bawah, kemudian berkembang dan diterima oleh masyarakat
lapisan atas atau elite penguasa kerajaan. Kedua, Islam diterima langsung oleh
elite penguasa kerajaan, kemudian disosialisasi-kan dan berkembang ke
masyarakat bawah. Pola pertama biasa disebut bottom up, dan pola kedua biasa
disebut top down. Pola ini menyebabkan Islam berkembang pesat sampai pada
saat sekarang di malaysia.
Pola pertama melalui jalur perdagangan
dan ekonomi yang melibatkan orang dari berbagai etnik dan ras yang berbeda-beda
bertemu dan berinteraksi, serta bertukar pikiran tentang masalah perdagangan,
politik, sosial dan keagamaan. Di tengah komunitas yang majemuk ini tentu saja
terdapat tempat mereka berkumpul dan menghadiri kegiatan perdagangan
termasuk dirancang strategi penyebaran agama Islam mengikuti jaringan-jaringan
emporium yang telah mereka bina sejak lama. Seiring itu pola kedua mulai
menyebar melalui pihak penguasa dimana istana sebagai pusat kekuasaan berperan
di bidang politik dan penataan kehidupan sosial, dengan dukungan ulama yang
terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan, hukum Islam dirumuskan dan
diterapkan, kitab sejarah ditulis sebagai landasan legitimasi bagi
penguasa Muslim.
Sisa-sisa peninggalan sejarah yang juga
membuktikan perkembangan Islam di Malaysia dapat dilihat sesudah abad ke
sepuluh, pada abad ke-15 misalnya dan ketika itu Brunei masih bergabung dengan
malaysia, Salah satu sumber dari cina menyebutkan ada enam masjid di Malaysia
dan ditemukan batu nisan silsilah keturunan raja-raja Brunei. Sultan Brunei
ketika itu adalah Abdul Djalil Jabar tahun 1660, isterinya adalah putri sultan
Sukadana dari Sambas. Kemudian pada tahun 1852 ada masjid jami dibangun di
daerah Kucing, pada tahun 1917 dibangun madrasah di Malaysia yang disebut
Madrasah Al-Mursyidah Fakta-fakta sejarah ini
mengindikasikan bahwa Islam di Malaysia terus mengalami perkembangan yang
ditandai dengan perkembangan ilmu pengetauan dan pendidikan Islam semakin
mengalami kemajuan.
Memasuki awal abad ke-20, bertepatan dengan
masa pemerintahan Inggris, urusan-urusan agama dan adat Melayu lokal di
Malaysia di bawah koordinasi sultan-sultan dan hal itu diatur melalui sebuah
departemen, sebuah dewan ataupun kantor sultan. Setelah tahun 1948, setiap
negara bagian dalam federasi Malaysia telah membentuk sebuah departemen urusan
agama. Orang-orang muslim di Malaysia juga tunduk pada hukum Islam yang
diterapkan sebagai hukum status pribadi, dan tunduk pada yurisdiksi pengadilan
agama (mahkamah syariah) yang diketua hakim agama. Bersamaan dengan itu, juga
ilmu pengetahuan semakin mengalami perkembangan dengan didirikannya perguruan
tinggi Islam dan dibentuk fakultas dan jurusan agama. Perguruan tinggi kebanggaan
Malaysia adalah Universitas Malaya yang kini kita kenal Universistas Kebangsaan
Malaysia.
Memasuki masa pasca kemerdekaan, jelas sekali
bahwa pola perkembangan Islam tetap dipengaruhi oleh pihak penguasa (top down).
Sebab, penguasa atau pemerintah Malaysia menjadikan Islam sebagai agama resmi
negara. Warisan undang-undang Malaka yang berisi tentang hukum Islam yang
berdasarkan konsep Qur’aniy berlaku di Malaysia.
Di samping itu, ada juga undang-undang warisan
Kerajaan Pahang diberlakukan di Malaysia yang di dalamnya terdapat sekitar 42
pasal di luar keseluruhan pasal yang berjumlah 68, hampir identik dengan hukum
mazhab Syafii. Pelaksanaan undang-undang yang berdasarkan Alquran, dan
realisasi hukum Islam yang sejalan dengan paham Syafii di Malaysia sekaligus
mengindikasikan bahwa Islam di negara tersebut sudah mengalami perkembangan
yang signifikan.
Dengan adanya proses islamisasi di Malaysia
yang memainkan peranan penting dalam mengembangkan ajaran Islam adalah ulama
atau pedagang dari jazirah Arab yang pada tahun 1980-an Islam di Malaysia
mengalami perkembangan dan kebangkitan yang ditandai dengan semaraknya kegiaan
dakwah dan kajian Islam oleh kaum itelektual dan menyelenggarakan kegiatan
intenasional yaitu Musabaqah ilawatil Al-Qur’an yang selalu diikuti qari qariah
Indonesia. Selain tersebut perkembangan Islam di Malaysia
makin bertambah maju dan pesat, dengan bukti banyaknya masjid-masjid yang
dibangun, juga terlihat dalam penyelenggaraan jamaah haji yang begitu baik.
Sehingga dapat dikatakan bahwa perkemabangan Islam di Malaysia, tidak banyak
mengalami hambatan. Bahkan, ditegaskan dalam konstitusi negaranya bahwa Islam
merupakan agama resmi negara. Di kelantan, hukum hudud (pidana Islam) telah
diberlakukan sejak 1992.
Namun demikian Malaysia yang menganut agama
resmi Islam tetap menjamin agama-agama lain dan oleh pemerintah diupayakan
menciptakan ketentraman, kedamaian bagi masyarakat walaupun pemegang jabatan
adalah pemimpin-pemimpin muslim, tidak berarti Islam dapat dipaksakan oleh
semua pihak, sebagai konsekwensi semua masyarakat termasuk non muslim harus
menghargai dan menjunjung tingi konstitusi negara kebangsaan Malaysia.
·
Perkembangan Keagamaan dan Peradaban di Malaysia
Islam merupakan
agama resmi negara federasi Malaysia. Hampir 50% dari 13 juta penduduknya
adalah Muslim dan sebagian besar diantaranya adalah orang melayu yang tinggal
di Semenanjung Malaysia. Adapun sisanya terdiri dari kelompok-kelompok etnik
yang minoritas yakni diantaranya Cina yang terdiri sekitar 38% dari penduduk
Malaysia dan yang lainnya India dan Arab (Esposito, 1990:55).
Keragaman
masyarakat yang demikian besar membawa dampak ketegangan dan konflik-konflik
yang cenderung untuk menambah identitas orang-orang melayu, terutama
orang Cina yang lebih meningkat pendidikan dan perokonomiannya
dari pada orang muslimin yang lebih pedesaan.
Masyarakat Muslim
di Malaysia
sebagian besar berlatarbelakang pedesaan dan mayoritas mereka
bekerja sebagai petani. Mereka cenderung dalam kehidupan komunitas
masyarakat kampung. Warga perkampungan Malaysia
menjalankan praktek-praktek keagamaan, meyakini terhadap roh-roh suci,
tempat suci, dan meyakini para wali yang dikeramatkan baik di kalangan Muslim
maupun non Muslim. Diantara warga Muslim dan non Muslim dapat hidup rukun tanpa
ada permusuhan sehingga masyarakat di sana tentram dan damai.
Perkembangan
Islam di Malaysia telah membawa peradaban-peradaban baru yang diakui Dunia
Islam. Sampai saat ini Muslim Malaysia dikenal sebagai Muslim yang taat
ibadahnya, kuat memegang hukum Islam dan juga kehidupan beragamanya yang damai
serta mencerminkan keIslaman
agamanya baik di perkampungan maupun
dalam pemerintahan. Peranan seorang ulama di sana sangat penting baik dalam
segi dakwah dan dalam pengelolaan sekolah-sekolah. Mengenai hasil peradaban
Islam di Malaysia ini juga tidak kalah dengan negaranegara Islam yang lain,
seperti:
·
Adanya bangunan-bangunan masjid yang megah seperti Masjid Ubaidiyah
di Kuala Kancong.
·
Banyaknya bangunan-bangunan sekolah Islam.
·
Berlakunya hukum Islam pada pemerintahan Malaysia (hukum Islam di
sana mendapat kedudukan khusus karena dijadikan hukum negara).
Ringkasan
Salasilah Pemerintahan Melaka, yaitu:
Ø 1400 – 1414: Raja Iskandar Shah (nama Islam
Parameswara)
Ø 1414 – 1424: Raja Megat Iskandar Shah
Ø 1424 – 1444: Sultan Muhammad Shah
Ø 1444 – 1445: Sultan Ibrahim/Sultan Abu Sa’id –
dibunuh oleh pembesar Melaka akibat rasa tidak puas hati dengan
pemerintahannya.
Ø 1445 – 1459: Raja Kassim/Sultan Muzaffar Shah.
Melaka pernah diserang sebanyak 2 kali oleh Siam. Dipatahkan oleh Tun Perak dan
Tun Hamzah.
Ø 1459 – 1477: Sultan Mansur Shah – zaman
kemuncak Melaka. Kegemilangan Tun Perak, Hang Tuah dan Sultan Mansur Shah berkahwin
dengan Puteri Hang Li Po.
Ø 1477 – 1488: Sultan Alauddin Ri’ayat Shah
Ø 1488-1511: Sultan Mahmud Shah
·
Pemerintahan di Malaysia
Pada zaman
tradisional Islam di negara-negara perairan Malaya mempunyai hubungan yang erat
antara kehidupan kampung dan organisasi kenegaraan. Pemerintahan dibagi menjadi
dua ruang lingkup yakni:
1)
Dalam Kehidupan Kampung
dua jabatan yang seimbang. Kepala kampung atau
penghulu diangkat oleh pejabat yang lebih tinggi
untuk menjaga ketertiban lokal, menengahi
persengketaan, mengumpulkan pajak, mengorganisir kaum buruh dan bertindak
sebagai penyembuh dalam bidang spiritual. Adapun jabatan yang lain yakni Imam
masjid yang lokal dan mengajar di sekolah lokal.
Islam
memberikan peranan yang penting terhadap sejumlah ritual dan perayaan yang
menjadi simbul solidaritas komunitas perkampungan, dan perayaan beberapa
peristiwa besar dalam siklus kehidupan individual seperti perayaan kelahiran,
perkawinan, dan peringatan kematian.
2)
Dalam kehidupan negara
Islam juga bagi
negara Malaysia. Para Sultan pada negara Malaya merupakan kepala sebuah
kelompok keturunan Aristokratik yang membuat elit politik negeri dan merupakan
raja-raja kampung. Seorang penguasa juga disebut sebagai Sultan, Raja dan Yang
Dipertuan. Gelar-gelar tersebut merupakan gelar Muslim dan Hindu yang diyakini
sejak masa Islam.
Pada periode
tradisional Sultan merupakan pejabat agama dan politik yang tertinggi dan
melambangkan corak Muslim masyarakat melayu. Sultan sebagai kepala agama
mempunyai wewenang penuh bagi umat Islam di Malaysia. Di samping itu kehidupan
beragama di sana terasa sangat formal jika dibandingkan dengan
Indonesia seperti khutbah Jum’at yang harus berisikan doa bagi Sultan dan
seluruh keluarganya. Bahkan pernah terjadi pada waktu “Idul Fitri” di Masjid
Kuala Lumpur, takbir yang dikumandangkan bersama-sama diberhentikan demi
menyambut kedatangan yang Maha Mulia Sultan. Setelah Sri Baginda duduk, barulah
bacaan takbir dikumandangkan kembali (Anwar, 1968:XII). Jadi kedudukan seorang
Sultan di Malaysia pada zaman dahulu sangat mulia.
Namun kenyataan di atas berubah drastis setelah Malaysia didominasi
oleh Inggris. Sistem yang berlaku pada era tradisional ini berubah total.
Mereka membebaskan para Sultan Melayu dari otoritas efektif dalam segala urusan
kecuali bidang yang berkenaan dengan agama dan adat. Oleh karena itu para
Sultan berusaha memperkuat pengaruh mereka pada bidang tersebut sebagai
satu-satunya ekspresi dan berusaha memusatkan organisasi keagamaan Islam
dan memperluas kontrol kesultanan terhadap kehidupan keagamaa
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Islam masuk
pertama kali di Malaysia dibawah oleh pedagang Gujarat sekitar abad kesembilan
dengan pola penerimaan bottom up yang selanjutnya mengalami perkembangan
melalui proses pola top down. Setelah memasuki abad ke-15 Islam di Malaysia
mengalami perkembangan yang signifikan dengan ditandai banyaknya bangunan
masjid bahkan telah dibangun lembaga pendidikan Madrasah Al-Mursyidiyah. Dan
awal abad ke-20 dengan ciri khas perkembangan Islam oleh adanya koordinasi
sultan-sultan di setiap negara bagian dalam menegakkan hukum Islam. Setelah
masa kemerdekaan perkembangan pemeluk Islam dari segi kuantitasnya mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun.
2.
Islam masuk pertama
kali di brunei Darussalam terdapat beberapa sumber salah satunya adalah islam pada abad ke-15. Sejak itu, kerajaan Brunei berubah menjadi kesultanan
Islam. Pada abad ke-16 Brunei tergolong kuat di wilayahnya, dan daerah
kekuasaannya meliputi pula beberapa pulau di Filipina selatan. Perubahan nama
dari kerajaan menjadi kesultanan memberi informasi bahwa Islam di Brunei
mendapat perhatian yang serius dari pihak pemerintah. Hal ini menjadi salah
satu faktor sehingga penganut agama Islam semakin bertambah banyak.
3.
Masyarakat
muslim Malaysia dan brunei Darussalam dengan jumlah
besar senantiasa menjalankan ajaran keagamaannya dengan baik dan benar. Mereka
tekun menjalankan ibadah baik yang wajib maupun
yang sunnat, mereka memiliki moralitas yang baik (akhlakul karimah)