BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada
umumnya,di bagian akhir suatu perjanjian dicantumkan suatu kalusula yang dapat
menentukan penyelesaian sengketa. Klausula itu misalnya “apabila terjadi
perselisihan atau sengketa sebagai akibat dari perjanjian tersebut maka para
pihak akan memilih penyelesaian sengketa yang terbaik bagi mereka.”
Namun,sengketa ini terjadi dimulai
dari suatu situasi dimana satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan
tidak puas akan segera muncul kepermukaan apabila terjadi conflict interest.
Sementara itu,pihak yang merasa
dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua,apabila pihak
kedua dapat menanggapi dan member perasaan puas kepada pihak pertama maka
akan selesailah konfilk tersebut,sebaliknya
jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki
nilai-nilai yang berbeda maka akan terjadi perselisihan sehingga dinamakan
sengketa.
Pada umumny didalam kehidupan suatu
masyarakat telah mempunyai cara untuk menyelesaikan konflik atau sengketa sendiri,yakni
proses penyelesaian sengketa yang ditempuh dapat melalui cara-cara formal
maupun informal. Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses
adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan (litigasi) dan arbitrase
(perwasitan),serta proses melalui penyelesaian-penyelesaian konflik secara
informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui
negoisasi dan mediasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
cara-cara penyelesaian sengketa?
1.3
Tujuan
Masalah
1. Untk
mengetahui cara-cara penyelesaian sengketa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Didalam penyelesaian sengketa dapat
dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain dengan negosiasi (negotiation),
mellui pihak ketiga, mediasi, konsilasi, arbitase, peradilan dan peradilan
umum.
2.1.1
Negosiasi
Negosiasi adalah proses tawar menawar
dengan dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu
pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) lain.
Negosiasi juga diartikan satu cara penyelesaian sengketa. Secara damai melalui
perundingan antara pihak yang berperkara.
Dalam hal ini, negosiasi (negotiation)
merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan saat
kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda.
Oleh karena itu, negosiasi, merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa
untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai
penengah, baik yang berwenang mengambil keputusan.
Sementara itu, yang harus diperhatikan
bagi para pihak yang melakukan perundingan secara negosiasi harus mempunyai
itikad baik untuk menyelesaikan dengan damai.
Namun penyelesian, sengketa yang
dilakukan melalui pihak ketiga dapat terjadi dengan cara, antara lain mediasi
dan arbitase.
2.1.2
Mediasi
Mediasi adalah proses pengikut sertaan
pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat, juga
terdapat beberapa definisi mengenai mediasi menurut Nolah Haley antara lain “ A
short term structured task oriented, partipatory invention process. Dispunting
parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually
acceptable agreement” sedangkan Kovach mendefinisikan mediasi, “facilitated
negotiation is process by which a neutral third party, the mediator, assist,
disputing parties in reaching a mutually satisfaction solution”.
Dengan demikian, dalam hal ini dapat
ditarik kesimpulan, bahwa mediasi merupakan salah satu bentuk negosiasi antara
para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu
demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.
Sementara itu, pihak ketiga yang
ditunjuk membantu penyelesaian sengketa dinamakan sebagai mediator. Oleh karena
itu pengertian mediasi mengandung unsure-unsur antara lain
1. Merupakan
sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan;
2. Mediator
terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan;
3. Mediator
bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian;
4. Tujuan
mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima
pihak-pihak bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Dengan demikian tugas mediator sebagai
fasilitator untuk menemukan dan merumuskan persamaan pendapat, seperti berikut
1. Sebagai
tugas utama adalah bertindak sebagai seorang fasilitator sehinga terjadi
pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan.
2. Menemukan
dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya
untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul (penyesuaian persepsi) sehingga
mengarahkan kepada stu keputusan bersama.
Dengan demikian, putusan yang diambil
atau yang dicapai oleh mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh
para pihak yang dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi
tataan dalam masyarakat. Selain itu, dapat pula berbentuk putusan yang tidak
sejalan dengan tatanan yang ada, tepapi tida bertentangan dengan nilai atau
norma yang berlaku. Namun putusan tersebut dapat pula bertolak belakang dengan
nilai atau norma yang berlaku.
Jika dengan cara mediasi tidak
menghasilkan suatu putusan diantara para pihak maka tiap-tiap pihak boleh
menempuh cara penyelesaian lain, seperti melalui pengadilan, arbitrase, atau
lain-lain.
2.1.3 Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan
keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian.
Namun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang
eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat
ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 Penjelasan Umum, yakni konsiliasi
merupakan salah satu lembaga alternative dalam penyelesaian sengketa.
Dengan demikian konsiliasi meupakan
proses penyelesaian sengketa alternatif dan melibatkan pihak ketiga yang
diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa.
Sementara
itu, mengenai konsiliasi di sebutkan di dalam buku Black’s Law Dictionary,
Conciliation is the
adjustment and settlement of a dispute in a friendly, unantagonistic, manner
used in courts before trial with a view to worlds avoiding trial and in labor
dispute before arbitrarion. Court of
conciliation is a court with propose terms of adjustments, so as to avoid
litigation.
Namun,
apa yang disebutkan dalam Black’s Law
Dictionary pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian sebelum sdang peradilan
(litigasi).
Dengan demkian, konsiliator dalam proses
konsiliasi harus memiliki peran yang cukup berarti. Oleh karena itu konsiliator
berkewajiban untuk menyampaikan pendapat-pendapatnya mengenai duduk persoalan.
Dalam
menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk
menyampaikan pendapat secara tebuka dan tidak memihak kepada yang beengketa.
Selain itu konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk
dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi
yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam
bentuk kesepakatan diantara mereka.
2.1.4
Arbitrase
Arbitrase
adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dalam hal ini ada beberapa
definisi yang di berikan oleh para ahli hukum, antara lain Subekti dan
Abdilkadir Muhammad.
a. Subekti
mengatakan arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh
seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan
tunduk atau mentaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang
mereka pilih atau yang ditunjuk.
b. Abdulkadir
Muhammad mengatakan arbitrase merupakan badan peradilan swasta di luar
lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase
adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh
pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan
merupakan kehendak bebas pihak-pihak yang bersengketa. Kehendak bebas ini
dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah
terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.
c. Dalam
pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan. Akan tetapi, putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial (executoir) setelah
memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
Dalam pada itu, penyelesaian sengketa
melalui lembaga abitrase lebih disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis
yang bersifat nasional maupun internasional dikarenakan sifat kerahasiaannya,
prosedur sederhana, keputusan arbirter mengikat para pihak, dan disebabkan
putusan yang diberikan bersifat final.
Arbitrase adalah sebagai upaya hukum dalam
pekembangan dunia usaha, baik nasional maupun internasional. Pemerintah telah
mengadakan pembaharuan terhadap undang-undang arbitrase nasional dengan
dikelarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Dengan demikian, berdasarkan
undang-undang tersebut, arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa
perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase
merupakan kesepakatan berupa klausala arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat pata pihak sebelum timbul sengketaatau suatu
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Sementara itu sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa dibidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Suatu
perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu
keadaan, seperti dibawah ini:
a. Meninggalkan
salah satu pihak,
b. Bangkrutnya
salah satu pihak,
c. Novasi
(pembaruan utang)
d. Insolvensi
(keadaan tidak mampu membayar) salah satu pihak,
e. Perwarisan,
f. Berlakunya
syarat-syarat hapusnya perikatan pokok,
g. Bilamana
pelahsanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, atau
h. Berakhirnya
atau batalnya perjanjian pokok.
Suatu
perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuatdalam perjanjiannya
kepengadilan negeri maka pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur
tangan didalam suatu penyelesaian sengkta yang telah ditetapkan.
Dalam
pada itu, arbitrase ada dua jenis, yaitu:
1. Arbitrase
Ad Hoc atau Arbitrase Volunter
Arbitrase
Ad Hoc atau Arbitrase Volunter merupakan arbitrase yag dibentuk secara khusus
untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu
arbitrase ad hoc bersifat “insidentil”, dimana kedudukan dan keberadaannya
hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu maka apabila
telah menyelesikan sengketa dengan diputuskan perkara tersebut, keberaaan dan
fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitrase
Institusional
Arbitrase
Institusional merupakan suatu lembaga atau badan abitrase yang bersifat
“permanen” sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan
tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Sementar
itu, di Indonesia terdapat dua embaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase,
yakni Badan Abitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Abitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI).
Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, para pihak berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga
arbitrase atas hubungan hukum terentu, dari suatu perjanjian. Lembaga arbitrase
dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian
dan memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) mengenai persoalan berkenaan dengan perjanjian
tersebut, misalnya terdapat penafsiran ketentuan belum jelas, yakni adanya
penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan munculnya
keadaan baru.
Pemberian pendapat oleh lembaga
arbitrase menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila tindakanna ada
yang bertentangan dengan pendapat terebut maka dianggap melanggar perjanjian
sehingga terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya
hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan putusan
arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak
tanggal putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang merupakan
akta pendaftran.
Dengan
demikian, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum dan
mengikat para pihak. Kputusan arbitrase bersifat final, berarti putusan
arbitrase merupakan keprtusan final dan kerenanya tidak dapat diajukan banding,
kasasi atau peninjauan kembali.
Sementara
itu ketua pengadilan negeri dalam memberikan perintah pelaksanaan keputusan
arbitrase harus memeriksa syarat-syarat untuk dijadikan suatu putusan arbitrase,
seperti
a. Para
pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui
arbitrase,
b. Persetujuan
untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang
ditanda tangani oleh semua pihak;
c. Sengketa
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya dibidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. Sengketa
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah tidak bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.
Dengan
demikian, putusan arbitrase dibubuhi perintah oleh ketua pengadilan negeri
untuk dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata
dan keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum yeyap.
Dalam
hal pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999, berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara
itu, berasarkan pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan
arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum
Republik Indonesia, jika telah memenuhi persyaratan seperti berikut.
a. Pasukan
arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase disuatu
Negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian baik secara
bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional.
b. Putusan
arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c. Putusan
arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia dan keputusannya
tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan
arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dengan
demikian suatu putusan arbitrase terhadap para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur,
seperti berikut
a. Surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan
diketahui palsu atau dinystsksn palsu.
b. Setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan dan yang
disembunyikan oleh pihak lawan.
c. Putusan
diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
Dengan demikian, permohonan pembatalan
putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30
hari terhitung sejak hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada
panitera pengadilan negeri dimana permohonan tersebut diajukan kepada ketua
pengadilan negeri.
Terhadap
putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung
yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan
serta memutuskan pemohonan banding dalam waktu paling lama 30 hari setelah
permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
2.1.5
Peradilan
Dalam hal terjadi suatu pelanggaran
hukum, baik berupa hak seseorang maupun kepentingan umum maka tidak boleh
begitu saja terhadap si pelanggar itu diambil suatu tindakan untuk
menghakiminya oleh sembarang orang. Perbuatan “menghakimi sendiri” sangatlah
tercela, tidak tertib, dan harus dicegah.
Dengan demikian, tidak hanya dengan
suatu pencegahan, tetapi dipelukan perlindungan dan penyelesaian. Oleh karena
itu, yang berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian adalah Negara. Untuk
itu Negara menyerahkan kepada kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan
peradilan dengan para pelaksananya, yaitu hakim.
Pengadilan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah pengdilan negeri dan
pengadilan tinggi dilingkungan peradilan umum.
Dalam menegakkan hukum, hakim
melaksanakan hukum yang berlaku dengan dukungan rasa keadilan yang ada padanya
berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi yang tertulis dan tidak tertulis. Oleh
Karen itu, disebutkan bahwa hakim atau pengadilan adalah penegak hukum.
Sementara itu berasarkan pasal 2
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dn badan peradilan yang berbeda dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah
konstitusi.
2.1.6
Peradilan
Umum
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradlan Umum,
yang dimaksud dengan peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana.
Dengan
demikian, kekuasaan kehakiman dilindungi peradilan untuk dilaksanakan oleh
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
1. Pengadilan
Negeri
Pengadilan negeri adalah pengdilan
tingkat pertama yng berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabuaten, yang dibentuk dengan
keputusan presiden.
Sementara
itu, pengadilan negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan perkara pidana dn perkara perdata di tingkat pertama.
2. Pengadilan
tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat
banding yang berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi
wilayah propinsi yang dibentuk dengan undang-undang.
Sementara
itu pengadilan tinggi bertugas dan berwenang mengdili perkara pidana dan
perkara perdata di tingkat banding. Pengadilan tinggi juga bertugas dan
berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan yang
mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.
3. Mahkamah
Agung
Ketentuan mengenai Mahkamah Agung di
atur dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1985, merupakan pengadilan Negara
tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya
terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain, yang berkedudukan
di ibukota Negara Republik Indonesia.
Mahkamah
Agung bertugas dan berwenag memeriksa dan memutus
a. Permohonan
kasasi
b. Engketa
tentang kewenangan mengadili,
c. Permohonan
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Mahkamah
Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding
atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.
Dalam
tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena
a. Tidak
bewenang atau melampaui batas wewenang,
b. Salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
c. Lalai
memenuhi syarat-syarat yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan
yang bersangkutan.
Mahkamah agung memeriksa dan memutuskan
permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan
yang diatur dalam perundangan-undangan.
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan
hanya satu kali dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
pengadilan.
Permohonan peninjauan kembali dapat
dicabut selama belum diputus dan dalam hal sudah di cabut permohonan peninjauan
kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Permohonan peninjauan kembali di ajukan
oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan negri yang memutus
perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan.
Permohonan peninjauan kembali putusan
perkara perdata harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara atau
ahli warisnya atau seorang wakilnya secara khusus dikuasakan untuk itu dengan
tenggang waktu pengajukan 180 hari yang didasarkan atas alasan seperti berikut:
1. Didasarkan
pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah
perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim
pidana di nyatakan palsu.
2. Setelah
perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan pada waktu
perkara diperuksa tidak dapat ditemukan.
3. Apabila
telah di kabulkan suatu hala yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4. Menegnai
sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.
5. Apabila
antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama,atas dasar yang sama
oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang
bertentangan satu dengan yang lain.
6. Apabila
dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau uatu kekeliruan yang
nyata.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Didalam
penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain
dengan negosiasi (negotiation), mellui pihak ketiga, mediasi, konsilasi,
arbitase, peradilan dan peradilan umum.
1.
Negosiasi
Negosiasi
adalah proses tawar menawar dengan dengan jalan berunding guna mencapai
kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak
(kelompok atau organisasi) lain.
2.
Mediasi
Mediasi
adalah proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu
perselisihan sebagai penasihat.
3.
Konsiliasi
Konsiliasi
adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai
persetujuan dan penyelesaian..
4.
Arbitrase
Arbitrase
adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa
5.
Peradilan
Dalam
hal terjadi suatu pelanggaran hukum, baik berupa hak seseorang maupun
kepentingan umum maka tidak boleh begitu saja terhadap si pelanggar itu diambil
suatu tindakan untuk menghakiminya oleh sembarang orang.
6.
Peradilan
umum
Peradilan
umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana.
Dengan
demikian, kekuasaan kehakiman dilindungi peradilan untuk dilaksanakan oleh
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
DAFTAR
PUSTAKA
Elsi
Kartika,Advendi Simangunsong,Hukum Dalam
Ekonomi.Jakarta:PT Gramedia Widiasarana Indonesia,2008
Elsi
Kartika,Advendi Simangunsong.2008.Hukum
Dalam Ekonomi.Jakarta:PT Gramedia Widiasarana Indonesia.hal 198