Sejarah Zakat Pada Masa Rosulullah
1.      Pada Periode Makkah
Ayat-ayat Alqur'an yang mengingatkan orang
mukmin agar mengeluarkan sebagian harta kekayaannya untuk orang-orang miskin
diwahyukan kepada Rasulullah SAW ketika beliau masih tinggal di Makkah.
Perintah tersebut pada awalnya masih sekedar sebagai anjuran, sebagaimana wahyu
Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 39: 
''Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)''.
2.      Pada Periode Madinah
Namun menurut pendapat mayoritas ulama, zakat
mulai disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah di Madinah. Di tahun tersebut zakat
fitrah diwajibkan pada bulan Ramadhan, sedangkan zakat mal diwajibkan pada
bulan berikutnya, Syawal. Jadi, mula-mula diwajibkan zakat fitrah kemudian
zakat mal atau kekayaan. Firman Allah SWT surat Al-Mu'minun ayat 4: ''Dan orang
yang menunaikan zakat''. Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan zakat dalam ayat di atas adalah zakat mal atau kekayaan meskipun ayat
itu turun di Makkah. Padahal, zakat itu sendiri diwajibkan di Madinah pada
tahun ke-2 Hijriah. Fakta ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat pertama kali
diturunkan saat Nabi SAW menetap di Makkah, sedangkan ketentuan nisabnya mulai
ditetapkan setelah Beliau hijrah ke Madinah. 
Kewajiban yang dikenal sebagai zakat merupakan
salah satu dari lima rukun Islam. Namun, permasalahan zakat tidak bisa
dipisahkan dari usaha dan penghasilan masyarakat. Demikian juga pada zaman Nabi
Muhammad SAW. Dalam buku 125 Masalah Zakat karya Al-Furqon Hasbi disebutkan
bahwa awal Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, zakat belum dijalankan. Pada
waktu itu, Nabi SAW, para sahabatnya, dan segenap kaum muhajirin (orang-orang
Islam Quraisy yang hijrah dari Makkah ke Madinah) masih disibukkan dengan cara
menjalankan usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya di tempat baru
tersebut. Selain itu, tidak semua orang mempunyai perekonomian yang cukup
kecuali Utsman bin Affan karena semua harta benda dan kekayaan yang mereka
miliki ditinggal di Makkah.
Kalangan anshar (orang-orang Madinah yang
menyambut dan membantu Nabi dan para sahabatnya yang hijrah dari Makkah) memang
telah menyambut dengan bantuan dan keramah-tamahan yang luar biasa. Meskipun
demikian, mereka tidak mau membebani orang lain. Itulah sebabnya mereka bekerja
keras demi kehidupan yang baik. Mereka beranggapan pula bahwa tangan di atas
lebih utama daripada tangan di bawah. Keahlian orang-orang muhajirin adalah
berdagang. Pada suatu hari, Sa'ad bin Ar-Rabi' menawarkan hartanya kepada
Abdurrahman bin Auf, tetapi Abdurrahman menolaknya. Ia hanya minta ditunjukkan
jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang. Dalam waktu tidak lama, berkat
kecakapannya berdagang, ia menjadi kaya kembali. Bahkan, sudah mempunyai
kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa dagangannya.
Selain Abdurrahman,
orang-orang muhajirin lainnya banyak juga yang melakukan hal serupa. Kelihaian
orang-orang Makkah dalam berdagang ini membuat orang-orang di luar Makkah
berkata, ''Dengan perdagangan itu, ia dapat mengubah pasir sahara menjadi
emas.'' Tidak semua orang muhajirin mencari nafkah dengan berdagang. Sebagian
dari mereka ada yang menggarap tanah milik orang-orang anshar. Tidak sedikit
pula yang mengalami kesulitan dan kesukaran dalam hidupnya. Akan tetapi, mereka
tetap berusaha mencari nafkah sendiri karena tidak ingin menjadi beban orang
lain. Misalnya, Abu Hurairah. 
Kemudian Rasulullah SAW menyediakan bagi
mereka yang kesulitan hidupnya sebuah shuffa (bagian masjid yang beratap)
sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffa
(penghuni shuffa). Belanja (gaji) para Ahlush Shuffa ini berasal dari harta
kaum Muslimin, baik dari kalangan muhajirin maupun anshar yang
berkecukupan.Setelah keadaan perekonomian kaum Muslimin mulai mapan dan
pelaksanaan tugas-tugas agama dijalankan secara berkesinambungan, pelaksanaan
zakat sesuai dengan hukumnya pun mulai dijalankan. Di Yatsrib (Madinah) inilah
Islam mulai menemukan kekuatannya.Setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW menerima
wahyu berikut ini:
''Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah
zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu
akan mendapat pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa
yang kamu kerjakan'' (QS Al-Baqarah: 110). 
B.    
Sjarah Zakat Pada Masa Sahabat
1.      Masa Khalifah Abu Bakar Ashidiq
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan
umat Islam diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar Ashidiq. Di masa pemerintahan
Abu Bakar, zakat dilakukan dengan merujuk kepada cara-cara pengelolaan zakat
yang dilakukan Rasulullah SAW. Namun, persoalan baru muncul, ketika ada orang
atau kelompok yang enggan membayar zakat, di antaranya Musailamah Al-Kadzdzab
dari Yamamah dan Sajah Tulaihah. Masalah ini berakar dari pemahaman sebagian
umat Islam bahwa perintah zakat yang tertuang dalam surat At-Taubah ayat 103:
“Ambilah sedekah (zakat) dari harta mereka, dari zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka,” bermakna hanya Nabi yang berhak memungut zakat, karena
beliaulah yang diperintahkan untuk memungut pajak.
Mereka juga menilai hanya pemungutan yang
dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan menghapuskan dosa mereka. Dengan
demikian, zakat hanya menjadi kewajiban mereka ketika Rasullulah masih hidup,
dan ketika rasul telah wafat maka mereka terbebas dari kewajiban berzakat
tersebut. Pandangan tersebut jelas keliru. Menyikapi hal itu, Abu Bakar
mengambil kebijakan tegas dengan memerangi mereka. Bagi Abu Bakar mereka
dianggap telah murtad. Pada awalnya, kebijakan Abu Bakar ini ditentang oleh
Umar bin Khattab. Umar bin Khattab berpegang kepada hadis nabi yang menyatakan,
“Saya diutus untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat La
llahaillah”.
Bagi Umar, dengan masuk Islam yang dibuktikan
dengan mengucapkan lafaz syahadat, sudah menjamin bahwa darah dan kekayaan
seseorang berhak memperoleh perlindungan.Akan tetapi Abu Bakat beragumen bahwa
teks hadis di atas memberi syarat terjadinya perlindungan tersebut, yaitu,
“kecuali bila terdapat kewajiban dalam darah dan kekayaan itu.”Zakat adalah
yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga menganalogikan zakat
dengan sholat, karena pentasyri’an keduanya memang sejajar. Argumen tersebut
akhirnya dapat diterima oleh Umar.
Dan Abu Bakar pun beragumentasi pada
Alquran, dimana negara diberikan kekuasaan untuk memungut secara paksa zakat
dari masyarakat yang akan dipergunakan kembali sebagai dana pembangunan negara.
Ketegasan sikap Abu Bakar, dalam hal ini betul-betul merupakan suatu sikap yang
membuat sejarah yang tidak ada tandingannya. Dia tidak dapat sama sekali
menerima pemisahan antara ibadah jasmaniah (salat) dari ibadah kekayaan (zakat)
dan tidak dapat pula menerima pengurangan sesuatu yang pernah diserahkan kepada
Rasulullah, walaupun hanya berupa seekor kambing ataupun anaknya. Pembangkangan
orang-orang yang mengangkat dirinya menjadi nabi palsu dan sudah dirasakan
bahayanya di Madinah pun tidak terlepas dari tindakan tegasnya. Dia tidak
mundur sedikitpun dari tekadnya untuk memerangi mereka, sehingga setiap warga
negara yang melakukan pembangkangan tidak mau membayar zakat, pemerintah dapat
melakukan penyitaan terhadap aset yang dimiliki.
Demikianlah tindakan Abu Bakar sebagai
khalifah pertama terhadap orang-orang yang membangkang untuk tidak membayar
zakat. Demikian pula bagaimana sikap para sahabat utama, termasuk mereka yang
pada mulanya tidak setuju, sepakat bahwa pembangkang-pembangkang itu harus
diperangi karena keengganan mereka membayar salah satu ibadah utama dalam
Islam.Dengan demikian, memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat
merupakan salah satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum Islam. Negara Islam
dalam periode Abu Bakar, pertama kali melancarkan perang untuk membela hak-hak
fakir miskin dan golongan-golongan ekonomi lemah. Setelah dilakukan pembersihan
terhadap semua pembangkang zakat, Abu Bakar pun memulai tugasnya dengan
mendistribusikan dan mendayagunakan zakat bagi orang-orang yang berhak
menerimanya, menurut cara yang dilakukan Rasullulah. 
2.      Masa Khalifah Umar Bin Khottab
Pada masa Umar menjadi Khalifah, situasi
jazirah Arab relatif lebih stabil dan tentram. Semua kabilah menyambut seruan
zakat dengan sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas mengumpulkan
zakat dari orang-orang dan kemudian mendistribusikan kepada golongan yang
berhak menerimanya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada Khalifah.Untuk
mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan yang kian kompleks,
Umar kemudian membenahi struktur pemerintahannya dengan membentuk beberapa
lembaga baru yang bersifat akseklusif-operasional, di antara lembaga baru yang
Umar bentuk adalah Baitul Mal. 
Lembaga yang berfungsi mengelola sumber-sumber
keuangan, termasuk zakat. Umar menentukan satu tahun anggaran selama 360 hari,
dan menjadi tanggung jawab Umar untuk membersihkan Baitul Mal dalam setiap
tahun selama sehari. Umar berkata,”Untuk mendapatkan ampunan dari Allah, aku
tidak sedikitpun tinggalkan harta di dalamnya.” Ada perkembangan menarik
tentang implementasi zakat pada periode Umar ini, yaitu Umar membatalkan
pemberian zakat kepada muallaf.
 Di sini Umar melakukan ijtihad. Umar saat itu
memahami bahwa sifat muallaf tidak melekat selamanya pada diri seseorang. Pada
situasi tertentu memang dipandang perlu menjinakkan hati seseorang agar
menerima Islam dengan memberikan tunjangan, namun bila ia telah diberi cukup
kesempatan untuk memahami Islam dan telah memeluknya dengan baik, maka akan
lebih baik tunjangan itu dicabut kembali dan diberikan kepada orang lain yang
jauh lebih memerlukan. Selain itu pada masa beliau mulai diperkenalkan sistem
cadangan devisa, yaitu tidak semua dana zakat yang diterima langsung
didistribusikan sampai habis, namun ada pos cadangan devisa yang dialokasikan
apabila terjadi kondisi darurat seperti bencana alam atau perang. Hal ini
merupakan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh
Umar bin Khattab.
Pada awal pertumbuhan konsep baitulmaal yang
diinisiasi oleh Khalifah Umar bin Khattab, pengelolaan dana zakat menjadi
otorisasi pusat dengan model sentralisasi. Sehingga pemerintah pusat menjadi
agent of change terhadap perubahan kondisi masyarakat, terutama mengangkat
harkat dan martabat kaum dhuafa. Wibawa pemerintah dan ketaatan rakyat menjadi
harmonis seiring dengan imbangnya pengelolaan harta zakat kepada masyarakat.
Pada masa Umar bin Khattab, sahabat Muaz bin Jabal yang menjabat sebagai
Gubernur Yaman ditunjuk pertama kali untuk menjadi ketua amil zakat di Yaman.
Konsekuensi dengan model sentralisasi dipahami sebagai satu kewajiban ketaatan
karena sistem dan infrastruktur yang sudah established (berkembang). 
Pada tahun pertama Muaz bin Jabal mengirimkan
1/3 dari surplus dana zakatnya ke pemerintah pusat, lalu Khalifah Umar
mengembalikan kembali untuk pengentasan kemiskinan di daerah Yaman. Sebuah
kebijakan yang semestinya dilakukan sebagai pendidikan otorisasi wilayah dalam
sistem kebijakan zakat pada saat itu. 
Pada tahun kedua Muaz bin Jabal menyerahkan dari surplus zakatnya ke
pemerintah pusat. Dan Subhanallah, pada tahun ketiga Muaz bin Jabal menyerahkan
seluruh pengumpulan dana zakatnya ke pemerintah pusat. 
Hal ini dilakukan karena
sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat dan disebut sebagai
mustahik, sehingga kebijakan pemerintah pusat mengalihkan distribusi dana
tersebut pada daerah lain yang masih miskin. Paradigma merubah mustahik menjadi
muzaki bukanlah mimpi, ketika pengelolaan zakat didukung dengan manajemen
profesional dan sistem kebijakan pemerintah yang komprehensif serta bermuara
pada kepentingan kesejahteraan mustahik. 
3.      Masa Khalifah Usman Bin Affan
Pengelolaan zakat pada periode Usman bin Affan
pada dasarnya melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan
dikembangan oleh Umar bin Khattab.Pada masa Usman kondisi ekonomi umat sangat
makmur, bahkan diceritakan Usman sampai harus juga mengeluarkan zakat dari
harta kharaz dan jizyah yang diterimanya. Harta zakat pada periode Usman
mencapai rekor tertinggi dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik
Zaid bin Sabit untuk mengelola dana zakat.Pernah satu masa, Usman memerintahkan
Zaid untuk membagi-bagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu
dirham, lalu Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk
membangun dan memakmurkan masjid Nabawi.
Pada periode ini ada sinyalemen bahwa
perhatian khalifah pada pengelolaan zakat tidak sepenuh seperti pada kalifah
sebelumnya, dikarenakan pada periode ini wilayah kekhalifahan Islam semakin
luas dan pengelolaan zakat semakin sulit terjangkau oleh aparat birokrasi yang
terbatas. Sementara itu, terdapat sumber pendapatan negara selain zakat yang
memadai, yakni kharaj dan jizyah. Sehingga khalifah lebih fokus dalam
pengelolaan pendapatan negara yang lain seperti kharaj dan jizyah yang besaran
persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang besarannya harus mengikuti
tuntunan syariat.
4.      Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Dalam kebijakan zakat dan pengelolaan uang
Negara khalifah Ali bin Abi Thalib mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan
oleh khalifah Umar bin Khattab. Zakat dianggap sebagai salah satu jenis harta
yang diletakkan da Baitul Mal, namun zakat berbeda dengan jenis harta-harta
yang lain, dari segi perolehannya serta berapa kadar yang harus dikumpulkan,
dan dari segi pembelajaannya. Saudah berkata “ Saya menemui Amirul Mukminin
untuk mengeluhkan sesuatu kepada petugas yang diangkatnya sebagai pengumpul
zakat. Ketika saya berdiri di depannya ia berkata kepada saya dengan penuh
kelembutan, `Adayang Anda perlukan ? `Saya mengadukan petugas tersebut
kepadanya. Setelah mendengar pengaduan saya, ia langsung menangis dan berdoa
kepada Allah, `Ya Allah ! Saya tidak menyuruh para petugas itu untuk menindas
manusia, dan tidak meminta mereka menyia-nyiakan keadilanMu. `Lalu ia
mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan menuliskan kata-kata
berikut,`Timbag dan ukurlah dengan benar dan jangan memberi kepada rakyat
dengan ukuran yang kurang, dan janganlah menyebarkan bencana dimuka bumi.
Setelah anda menerima suratini, tahanlah barang-barang yang Anda urusi sebagai
cadangan sampai orang lain datang dan mengambil alih tugas iu dari Anda.” Dalam
buku Islamic Economic: Theory and Practice (Lahore, 1970:285), diterangkan
bahwa ibadah zakat mengikuti beberapa prinsip yaitu :
a.      
Prinsip Keyakinan Keagamaan (Faith). Prinsip ini menyatakan bahwa orang
yang membayar zakat yakin bahwa pembayaran tersebut merupakan salah satu
manifestasi keyakinan agamanya, sehingga kalau belum mengeluarkan zakat, merasa
belum sempurna ibadahnya.
b.     
Prinsip Pemerataan (Equity) dan Keadilan. Prinsip ini menggambarkan
tujuan dari zakat itu sendiri, membagi lebih adil atas kekayaan yang telah
diberikan oleh Allah.
c.      
Prinsip Produktivitas (productivity) dan Kematangan. Prinsip ini
menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena milik tertentu telah
menghasilkan produk tertntu.
d.     
Prinsip Nalar (Reason) dan Prinsip Kebebasan (Freedom). Kedua prinsip
ini menjelaskan bahwa zakat harus dibayar oleh orang yang bebas, dan sehat
jsmani serta rohaninya. Zakat tidak dipungut dari orang yang sedang mengalami
gangguan jiwa.
e.      
Prinsip Etik (Ethic) dan Kewajaran. Prinsip ini menjelaskan, zakat tidak
akan dimnta secara sewenang-wenang, tanpa memperhatikan akibat-akibat yang akan
ditimbulkannya. Zakat tidak mungkin dipungut, kalau ternyata membuat orang yang
membayarnya menderita.
C.   
Sejarah Zakat Pada Masa Tabiin
Hal dan kondisi seperti inipun terjadi pada
masa kekhalifahan tabiin-tabiin yang berjuang dijalan Allah SWT. Salah satunya
Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah. Pemimpin yang mengoptimalkan potensi
zakat, infaq, shadaqoh dan wakaf sebagai kekuatan solusi pengentasan kemiskinan
di negerinya. Hal ini terbukti hanya dengan waktu 2 tahun 6 bulan dengan
pengelolaan dan sistem yang profesional, komprehensif dan universal membuat
negerinya makmur dan sejahtera tanpa ada orang miskin di negerinya.Sebagaimana
diriwayatkan oleh Ubaid, bahwa Gubernur Baghdad Yazid bin Abdurahman mengirim
surat tentang melimpahnya dana zakat di Baitulmaal karena sudah tidak ada lagi
orang yang mau menerima zakat. 
Mindset dan izzah prilaku muslim yang perlu
menjadi perhatian bersama antara muzaki dan mustahik. Lalu Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan untuk memberikan upah kepada orang yang biasa menerima upah. Lalu
Yazid menjawab, "Sudah diberikan namun dana zakat masih berlimpah di
Baitulmaal." Umar mengintruksikan kembali untuk memberikan kepada orang
yang berhutang dan tidak boros. Yazid berkata, "Kami sudah bayarkan
hutang-hutang mereka namun dana zakat masih berlimpah." Lalu Umar bin
Abdul Aziz memerintahkan untuk menikahkan orang yang lajang dan membayarkan
maharnya. Namun hal itu dijawab oleh Yazid dengan jawaban yang sama bahwa dana
zakat di Baitulmaal masih berlimpah. 
Pada akhirnya, Umar bin Abdul memerintahkan Yazid bin Abdurahman untuk
mencari orang yang usaha dan membutuhkan modal, lalu memberikan modal tersebut
tanpa harus mengembalikannya. Strategi pengelolaan dan distribusi dana zakat
yang semuanya berorientasi pada berlipatgandanya pahala muzaki dan peningkatan
kesejahteraan para mustahik. 
D.   
Sejarah Zakat Di Indonesia
Sejak Islam datang ke tanah air kita, zakat
telah menjadi satu sumber dana untuk kepentingan pengembangan agama Islam.
Dalam perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Barat pendahulu, zakat,
terutama bagian sabilillahnya, merupakan sumber dana perjuangan ketika satu persatu
tanah air kita dikuasai oleh penjajah Belanda. Pemerintah Kolonial itu
mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi
kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai zakat. Yang menjadi pendorong
pengeluaran peraturan tentang zakat itu adalah alasan klasik rezim kolonial
yaitu mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh para penghulu atau
naib bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan pemerintah Belanda, tapi
tidak diberi gaji atau tunjangan untuk membiayai hidup dan kehidupan mereka
beserta keluarganya. Dan untuk melemahkan (dana) kekuatan rakyat yang bersumber
dari zakat itu. Pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai pemerintah dan
priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat.
Kendatipun negara Republik Indonesia tidak
didasarkan pada ajaran suatu agama, namun falsafah negara kita dan pasal-pasal
UUD negara Republik Indonesia memberi kemungkinan kepada pejabat-pejabat negara
untuk membantu pelaksanaan pemungutan zakat dan pendayagunaannya. Seperti yang
tercantum dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 antara lain adalah bahwa “ Negara
Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at islam bagi orang islam, syari’at
nasrani bagi orang nasrani, dan syari’at hindu Bali bagi orang hindu. Sekedar
menjalankan syari’at ( norma hukum agama ) itu memerlukan perantaraan kekuasaan
negara (Demokrasi Pancasila, 1983 : 34). Karena syari’at yang berasal dari
agama yang dianut warga negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup
para pemeluknya.
Dalam Negara Republik Indonesia ini, syari’at
islam yang merupakan kebutuhan hidup para pemeluk agama islam dan norma abadi
yang berasal dari Allah itu dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu:
1.     
Syari’at yang mengandung hukum dunia, misalnya hukum perkawinan, hukum
kewarisan, hukum zakat, dan hukum pidana. Hukum-hukum ini memerlukan bantuan
kekuasaan negara untuk menjalankannya agar dapat berjalan dengan sempurna.
2.     
Kategori yang kedua yaitu norma abadi yang memuat syari’at yang mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya seperti shalat, dan puasa. Pelaksanaan
syari’at ini tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara, karena ia merupaka
kewajiban pribadi pemeluk agama yang bersangkutan kepada Allah.
3.     
Kategori ketiga yaitu syari’at yang mengandung tuntunan hidup kerohanian
(iman) dan kesusilaan (akhlak) yang seperti syari’at dalam kategori kedua
tersebut di atas, tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara yang
menjalankannya. Demikian juga syari’at agama nasrani dan hindu. Menurut
Profesor Hazairin, dalam penyusunan ekonomi Indonesia, di samping
komponen-komponen yang telah ada dalam sistem adat kita yaitu gotong-royong dan
tolong-menolong. Pengertian zakat seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an
besar manfaatnya. Kalau dipahami dengan seksama. Kata beliau, mengenai cara pelaksanaannya
memang diperlukan perubahan sehingga memenuhi keperluan bank masa kini dan
keadaan di Indonesia. Dan jika diadakan bank zakat misalnya, tempat
mengumpulkan dana yang tidak adalagi golongan yang menerimanya dari mustahiq
yang delapan itu, manfaatnya akan besar sekali. 
Dari Bank zakat itu akan dapat
disalurkan pinjaman-pinjaman jangka panjang yang tidak berbunga untuk rakyat
miskin guna membangun lapangan hidup yang produktif. Zakat yang di
organisasikan dan diselenggarakan dengan baik, akan sangat berfaedah bukan saja
bagi umat islam, tetapi juga bagi mereka yang bukan muslim. Demikian sejak
Indonesia merdeka, di beberapa daerah di tanah air kita, pejabat-pejabat
pemerintah yang menjadi penyelenggara negara telah ikut serta membantu
pemungutan dan pendayagunaan zakat. Kenyataan ini dapat dihubungkan pula dengan
pelaksanaan pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak –
anak terlantar di pelihara oleh negara. Kata-kata “ fakir miskin “ yang
dipergunakan dalam pasal tersebut jelas menunjukkan pada para mustahiq yaitu
mereka yang berhak menerima bagian zakat.
Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat
ini secara kualitatif, mulai meningkat pada tahun 1962. Pada tahun itu,
pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 / 1968.
Masing-masing tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan pembentukan Baitul Mal (
Balai Harta Kekayaan ) di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya.
Setahun sebelumnya, yakni pada tahun 1967, pemeritah telah pula menyiapkan RUU
zakat yang akan diajukan kepada DPR untuk disahkan menjadi undang-undang.
Menteri Keuangan, pada waktu itu, dalam jawabannya kepada Menteri Agama,
menyatakan bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu dituangkan dalam
undang-undang, cukup dengan peraturan Menteri Agama saja. Karena pendapat itu,
Menteri menunda pelaksanaan peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun 1968
tersebut di atas. Kemudian beberapa hari setelah itu, pada peringatan Isra’ dan
Mi’raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968, Presiden Soeharto manganjurkan
untuk menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisasi seperti Badan Amil
Zakat Nasional yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah khusus Ibukota Jakarta.
KESIMPULAN
Mengenai kewajiban zakat ini ilmuwan Muslim
ternama, Ibnu Katsir, mengungkapkan, ''Zakat ditetapkan di Madinah pada abad
kedua hijriyah. Tampaknya, zakat yang ditetapkan di Madinah merupakan zakat
dengan nilai dan jumlah kewajiban yang khusus, sedangkan zakat yang ada sebelum
periode ini, yang dibicarakan di Makkah, merupakan kewajiban perseorangan
semata''.  
Sayid Sabiq menerangkan bahwa zakat pada
permulaan Islam diwajibkan secara mutlak. Kewajiban zakat ini tidak dibatasi
harta yang diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar zakatnya. Semua itu
diserahkan pada kesadaran dan kemurahan kaum Muslimin. Akan tetapi, mulai tahun
kedua setelah hijrah, menurut keterangan yang masyhur ditetapkan besar dan
jumlah setiap jenis harta serta dijelaskan secara teperinci. 
Menjelang tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah SAW
telah memberi batasan mengenai aturan-aturan dasar, bentuk-bentuk harta yang
wajib dizakati, siapa yang harus membayar zakat, dan siapa yang berhak menerima
zakat. Dan, sejak saat itu zakat telah berkembang dari sebuah praktik sukarela
menjadi kewajiban sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi
oleh setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan
yang wajib dizakati.