BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam
sistem politik Indonesia, pemegang kedaulatan rakyat adalah rakyat itu sendiri.
Hanya saja dalam pelaksanaannya kedaulatan ini dilakukan menurut undang-undang
yang berlaku. Salah satu undang-undang menyatakan bahwa rakyat menentukan
pilihan politiknya kepada wakil rakyat dan dewan perwakilan daerah. Kedua
kelompok inilah yang kemudian akan menduduki posisi legislatif di Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam naskah asli UUD 1945, dinyatakan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Setelah
UUD 1945 diamandemen, kedaulatan rakyat dijalankan tidak hanya oleh MPR, tetapi
oleh lembaga-lembaga lainnya. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 1 Ayat 2
yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut undang-undang dasar. Adapun MPR hanyalah lembaga tinggi negara yang
mewakili rakyat.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD (Dewan
Perwakilan Daerah) yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR ini
diresmikan dengan Kepu tusan Presiden. Masa jabatan MPR adalah lima tahun,
sejak diresmi kan oleh presiden dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru
mengucapkan janji/sumpah.
Pimpinan
MPR terdiri atas satu orang ketua dan tiga orang wakil ketua yang mencerminkan
unsur DPR dan DPD yang dipilih dari anggota dan oleh anggota MPR dalam Sidang
Paripurna MPR. Jika pimpinan MPR belum terbentuk, pimpinan sidang dipimpin oleh
Pimpinan Sementara MPR, yaitu dari ketua DPR, ketua DPD, dan satu orang
wakil ketua sementara MPR. Adapun jika Ketua DPR, dan Ketua DPD berhalangan,
dapat digantikan oleh Wakil Ketua DPR dan Wakil Ketua DPD. Peresmian sebagai
ketua MPR dilakukan melalui keputusan MPR.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja tugas Dewan Perwakilan Rakyat?
2. Apakah MPR mempunyai kedudukan
yang sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya?
3. Apa saja tugas dari Dewan
Perwakilan Daerah?
BAB
II
PEMBAHASAN
LEMBAGA PERWAKILAN DAN
PERMUSYAWARATAN RAKYAT
TINGKAT PUSAT
A. LEGISLATURE
Seringkali
dipahami bahwa fungsi legislasi hanya terkait dengan fungsi pembuatan
undang-undang dalam pengertian yang sempit. Karena itu, yang biasa dipahami
sebagai lembaga legislatif berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi hanya DPR dan
DPD saja. Bahkan, banyak pula tokoh-tokoh politik kita yang memahaminya lebih
sempit lagi, yaitu bahwa lembaga yang mempunyai kewenangan langsung di bidang
pembuatan undang-undang itu hanya DPR, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai ‘advisory council’ terhadap fungsi DPR.
Jika kita
mengacu kepada pendapat Frank Goodn0w, kekuasaan negara dapat dibedakan antara
fungsi pembuatan kebijakan (policy making)
dan pelaksanaan kebijakan (policy
executing). Teori Goodnow ini dapat dinamakan sebagai teori ‘duo-politica’. Berbeda dari Goodnow,
fungsi-fungsi kekuasaan, menurut Montesquieu, terdiri atas tiga cabang atau ‘trias politica’ yaitu legislature,
executive, dan judiciary. Executive adalah pelaksana, sedangkan judiciary menegakkannya
jika timbul sengketa atau pelanggaran terhadap kebijakan. Namun, baik menurut
Goodnow maupun menurut Montesquieu, yang dimaksud dengan fungsi legislatif atau
legislature itu berkaitan dengan semua kegiatan yang dengan mengatasnamakan
atau mewakili rakyat membuat kebijakan-kebijakan negara. Inilah yang disebut
sebagai legislature atau fungsi legislatif.
Pelembagaan
fungsi legislature itulah yang disebut parlemen. Di berbagai negara ada yang
melembagakannya dalam satu forum saja (unicameral
atau monocameral), ada pula yang dua
forum (bicameral),. Bahkan ada pula negara-negara
yang mempunyai struktur parlemen multi kameral atau terdiri atas lebih dari dua
kamar atau lebih dari dua institusi.
Salah satunya adalah Indonesia yang mempunyai tiga institusi atau tiga forum
parlemen sekaligus, yaitu DPR, DPD, dan MPR. DPR merupakan lembaga perwakilan
politik (political representation),
DPR merupakan perwakilan daerah (regional
representation), sedangkan MPR merupakan penjelmaan keseluruhan rakyat,
baik dari segi politik maupun kedaerahan.
Di samping
fungsi lainnya, DPR berfungsi untuk membentuk undang-undang, DPD memberikan
pertimbangan dalam pembentukan undang-undang, sedangkan MPR menetapkan UUD
sebagai kebijakan tertinggi. Di berbagai negara, DPD atau yang disebut dengan
nama lain, seperti Senat, biasanya berperan dalam pengambilan keputusan
pembentukan undang-undang atau undang-undang tertentu. Akan tetapi, berdasarkan
UUD 1945 yang berlaku sekarang, keputusan-keputusan DPD sama sekali tidak
menentukan dalam proses pembentukan undang-undang itu. Peranan DPD hanya
bersifat advisoris terhadap DPR. Sementara itu, menurut Montesquieu,
pembentukan undang-undang dasar juga dinamakan legislasi.
Karena itu, dengan mengacu kepada
pendapat Montesquieu dan Frank Goodnow tersebut di atas, kita dapat mengatakan
bahwa dalam struktur parlemen Indonesia dewasa ini terdapat tiga forum parlemen
yang sama-sama mempunyai fungsi legislasi dalam arti yang luas. Karena itu,
saya sering menamakan struktur parlemen Indonesia dewasa ini sebagai parlemen trikameral. Kita tidak menganut
prinsip unikameralisme, bukan pula buikameralisme, melainkan trikameralisme.
Dengan demikian, adanya MPR, DPR, dan DPD dalam sistem ketatanegaraan kita
berdasarkan UUD 1945 dewasa ini merupakan satu kesatuan kelembagaan parlemen
Indonesia yang mempunyai tiga forum perwakilan dan permusyawaratan dalam rangka
pengambilan keputusan mengenai kebijakan negara berdasarkan UUD 1945.
B. MAJELIS
PERMUSAWARATAN RAKYAT
Pasal 2 UUD 1945 berbunyi:
(1)
Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur
lebih lanjut dengan undang-undang.
(2)
Majelis
Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota
negara.
(3)
Segala
putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
Sedangkan Pasal 3-nya menyatakan:
(1)
Majelis
Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar.
(2)
Majelis
Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(3)
Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar.
Dapat dikatakan bahwa Pasal 2 UUD 1945
tersebut mengatur mengenai organ atau lembaganya, sedangkan Pasal 3 mengatur
kewenangan lembaga MPR itu. Di samping itu, ada beberapa pasal lain dalam UUD
1945 yang juga mengatur tentang MPR, termasuk mengenai kewenangannya. Akan
tetapi, pada bagian ini, yang dititik-beratkan hanya penegasan bahwa dalam UUD
1945, status MPR itu sebagai lembaga atau organ negara diatur secara eksplisit.
Mengapa
nian ketentuan mengenai MPR harus ditempatkan pada Bab III yang tersendiri dan
mendahului pengaturan mengenai hal-hal lain seperti Presiden dan DPR serta DPD?
Jawabannya jelas bahwa memang demikianlah susunan UUD 1945 yang asli sebagai
Konstitusi Proklamasi yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945. Malah aslinya,
ketentuan tentang MPR itu terdapat dalam Bab II, bukan Bab III seperti naskah
setelah perubahan yang berlaku sekarang.
Sebelum menentukan hal-hal lain, UUD
1945 yang asli menegaskan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia dijelmakan dalam
tubuh MPR sebagai pelaku utama dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat itu.
Karena itu, bunyi rumusan asli Pasal 1 ayat (2) Bab I UUD 1945 adalah
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Di
samping itu, pada Bab III Pasal 6 ayat (2) ditentukan pula bahwa “Presiden dan
Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang
terbanyak”.
Atas dasar
rumusan yang demikian, dikembangkan pengertian sebagaimana diuraikan dalam
Penjelasan Umum UUD 1945 yang oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, yaitu bahwa Presiden
bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Karena itu, selama ini dimengerti
bahwa MPR inilah yang merupakan yang paling tinggi, atau biasa disebut sebagai
lembaga tertinggi negara, sehingga wajar bahwa keberadaanya diatur paling
pertama dalam susunan UUD 1945.
Sekarang,
setelah UUD 1945 diubah secara substantif oleh Perubahan Pertama sampai dengan
Keempat dengan paradigma pemikiran yang sama sekali baru, susunan organisasi
negara Republik Indonesia sudah seharusnya diubah sebagaimana mestinya. Antara
MPR, DPR, dan DPD sudah semestinya dijadikan 1 bab atau setidak-tidaknya berada
dalam rangkaian bab-bab yang tidak terpisahkan seperti sekarang. Dalam naskah
resmi konsolidasi yang tidak resmi
(setelah Perubahan Keempat), susunan Bab III tentang MPR dan Bab VII tentang
DPR serta Bab VII tentang DPD, diantarai oleh Bab IV tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara, Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung yang telah
dihapuskan ketentuannya dari UUD 1945, dan Bab V tentang Kementerian Negara,
dan Bab VI tentang Pemerintah Daerah.
Dalam UUD
1945 setelah Perubahan Keempat, organ MPR juga tidak dapat lagi dipahami
sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang
lain atau yang biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara. MPR sebagai
lembaga negara sederajat levelnya dengan lembaga-lembaga negara yang lain
seperti DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung,
dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan dalam hubungan dengan fungsinya, organ MPR
dapat dikatakan bukanlah organ yang pekerjaannya bersifat rutin. Meskipun di
atas kertas, MPR itu sebagai lembaga negara memang terus ada, tetapi dalam arti
yang aktual atau nyata, organ MPR itu sendiri sebenarnya baru dapat dikatakan
ada (actual existence) pada saat
kewenangan atau ‘functie’nya
sedangkan dilaksanakan. Kewenangannya itu adalah mengubah dan menetapkan
undang-undang dasar (UUD), memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden,
memilih presiden atau wakil presiden untuk mengisi lowongan jabatan presiden
atau wakil presiden, dan ‘melantik’
presiden dan/atau wakil presiden.
Sebelum
perubahan UUD 1945, MPR atau Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kedudukan
sebagai lembaga tertinggi negara. Kepada lembaga MPR inilah Presiden, sebagai
kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, bertunduk dan
bertanggungjawab. Dalam lembaga ini pula kedaulatan rakyat Indonesia dianggap
terjelma seluruhnya, dan lembaga ini pula yang dianggap sebagai pelaku
sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Dari lembaga tertinggi MPR inilah, mandat
kekuasaan kenegaraan dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara
lainnya, yang kedudukannya berada di bawahnya sesuai prinsip pembagian
kekuasaan yang bersifat vertikal (distribution
of power).
Namun,
sekarang setelah perubahan UUD 1945, tidak dikenal lagi adanya lembaga
tertinggi negara. Sesuai doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip “checks and balances” antara cabang-cabang kekuasaan negara, MPR
mempunyai kedudukan yang sederajat saja dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara
lainnya. Malahan, jika dikaitkan dengan teori mengenai struktur parlemen di
dunia, yang dikenal hanya dua pilihan, yaitu struktur parlemen satu kamar (unikameral) atau struktur parlemen dua
kamar (bikameral).
Di
lingkungan negara-negara yang menganut sistem parlemen dua kamar, memang
dikenal adanya forum psersidangan bersama di antara kedua kamar parlemen yang
biasa disebut sebagai “joint session”
atau sidang gabungan. Akan tetapi, sidang gabungan itu bukanlah lembaga yang
tersendiri. Misalnya, di Amerika Serikat terdapat the House of Representatives dan Senate. Keduanya disebut sebagai Congress of the United States of
America. Jika sidang gabungan atau ‘joint
session’ diadakan, maka namanya adalah persidangan Kongres.
Dalam
Konstitusi Amerika Serikat disebutkan bahwa “All legislative power vested in Congress which consist of the Senate
and the House of Representatives”. Segala kekuasaan legislatif berada di
Kongres yang terdiri atas House of
Representative dan Senat. Akan tetapi, dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945
ketentuan mengenai MPR, dirumuskan secara berbeda, yaitu “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui
pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Dengan demikian, MPR
tidak dikatakan terdiri atas DPR dan DPD, melainkan terdiri atas anggota DPR
dan anggota DPD. Dengan demikian, MPR itu merupakan lembaga yang tidak terpisah
dari institusi DPR dan DPD.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 8 ayat (2) dan (3), MPR mempunyai kewenangan
untuk (1) mengubah dan menetapkan undang-undang dasar; (2) memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang
dasar; (3) memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan
dalam jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar; dan
(4) mengadakan sidang MPR untuk pelantikan atau pengucapan sumpah/janji jabatan
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keempat
kewenangan tersebut sama sekali tidak tercakup dan terkait dengan kewenangan
DPR ataupun DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil keputusan mengenai keempat
hal tersebut sama sekali bukanlah sidang gabungan antara DPR dan DPD, melainkan
sidang MPR sebagai lembaga tersendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
keberadaan lembaga MPR itu merupakan institusi ketiga dalam struktur parlemen
Indonesia, sehingga saya menamakannya sebagai sistem tiga kamar (trikameralisme). Dewasa ini, tidak ada
satupun negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar seperti ini. Karena
itu, Indonesia dapat dikatakan merupakan satu-satunya negara di dunia yang
menerapkan sistem tiga kamar ini.
Namun
demikian, meskipun MPR itu adalah kamar ketiga, sifat pekerjaan MPR itu sendiri
tidaklah bersifat tetap, melainkan bersifat adhoc. Sebagai organ negara,
lembaga MPR itu baru dapat dikatakan ada, apabila fungsinya sedang bekerja (in action). Dalam hal ini kita dapat
membedakan antara pengertian “MPR in book”
dengan “MPR in action”. Dari keempat kewenangan di atas, tidak satupun yang
bersifat tetap. Perubahan dan penetapan undang-undang dasar tentunya hanya akan
dilakukan sewaktu-waktu. Setelah perubahan 4 (empat) kali berturut-turut pada
tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, mungkin masih akan lama untuk adanya
perubahan lagi atas UUD 1945. Kita belum dapat memperkirakan dalam waktu 10
sampai dengan 20 tahun mendatang, apakah akan ada lagi atau tidak agenda
perubahan atas UUD 1945.
Demikian
pula dengan agenda pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden serta agenda
pemilihan presiden dan/atau wakil presiden untuk mengisi lowongan jabatan. Kita
tidak dapat membuat ramalan mengenai kemungkinan kedua agenda ini akan
dijalankan dalam waktu dekat. Dalam sejarah lebih dari 2 abad
pengalaman Amerika Serikat, baru tercatat 3 (tiga) kasus yang terkait dengan ‘impeachment’ terhadap Presiden. Ketiga
kasus itu msing-masing melibatkan Presiden Lindon Johnson, Presiden Nixon, dan
Presiden Bill Clinton.
Karena
itu, satu-satunya kewenangan MPR yang bersifat rutin dan dapat direncanakan
adalah kegiatan persidangan untuk pelantikan presiden dan wakil presiden setiap
lima tahunan. Akan tetapi, menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945,
sidang MPR itu sendiri bersifat fakultatif. Pengucapan sumpah atau janji
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan di hadapan atau di dalam sidang
MPR atau sidang DPR. Jika MPR tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah/janji
itu dapat dilakukan dalam sidang atau rapat paripurna DPR. Jika rapat paripurna
DPR juga tidak dapat diselenggarakan, maka pengucapan sumpah/janji jabatan
Presiden dan/atau Wakil Presiden itu cukup dilakukan di hadapan pimpinan MPR
dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.
Dengan
perkataan lain, tidak satupun dari keempat kewenangan MPR itu yang bersifat
tetap, sehingga memerlukan alat-alat perlengkapan organisasi yang juga bersifat
tetap. MPR itu baru ada jika fungsinya memang sedang berjalan atau bekerja (in action). Oleh karena itu, tidak ada
keharusan bagi MPR untuk diadakan pimpinan dan sekretariat yang tersendiri. UUD
1945 sama sekali tidak mengamanatkan hal ini.
Artinya, jika dikehendaki, dapat saja pembentuk undang-undang dalam hal
ini DPR dengan persetujuan Presiden dapat saja mengadakan pimpinan MPR yang
bersifat tersendiri itu atau malah meniadakan dan mengatur agar pimpinan MPR
itu dirangkap saja secara ex officio
oleh pimpinan DPR dan pimpinan DPD.
Di
masa Orde Baru, pimpinan MPR juga pernah dirangkap oleh pimpinan DPR, karena
pertimbangan bahwa kegiatan MPR itu sendiri tidak bersifat tetap. Oleh karena
itu, pembentuk undang-undang diberikan kebebasan menentukan pilihan apakah akan
mengadakan atau meniadakan jabatan pimpinan dan sekretariat jenderal MPR yang
bersifat permanen. Kedua pilihan itu sama-sama dapat dibenarkan, asalkan
masing-masing pilihan itu benar-benar idadasarkan atas alasan yang masuk akal
dan memang ada kegunaanya.
Sebenarnya,
baik pimpinan MPR, pimpinan DPR, maupun pimpinan DPD sama-sama tidak diatur
dalam UUD 1945. Hal ini berbeda dari para pimpinan Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan yang secara tegas diatur, yaitu
bahwa ketuanya dipilih dari dan oleh anggotanya masing-masing. Karena itu,
adalah keharusan konstitusional (constitutional
imperative) bahwa di dalam organisasi MA, MK, dan BPK , diadakan jabatan
Ketua. Sedangkan di MPR, DPR, dan DPD, dapat saja diatur dalam Undang-Undang
bahwa pimpinannya hanya dijabat oleh seorang Koordinator, atau disebut Juru
Bicara atau “Speaker”. Hanya saja,
untuk pimpinan DPR selama ini sudah biasa disebut Ketua DPR dan Wakil Ketua
DPR, sehingga dapat dikatakan sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa di
DPR ada jabatan Ketua dan Wakil Ketua DPR.
Setara
dengan susunan DPR, di dalam susunan kepemimpinan DPD tentunya dapat pula
diadakan jabatan Ketua dan Wakil Ketua seperti yang terdapat dalam susunan
organisasi DPR. Karena itu, tidak salah jika pembentuk undang-undang, sama-sama
mengadakan jabatan Ketua dan Wakil, baik dalam susunan DPR maupun DPD. Akan
tetapi, untuk jabatan pimpinan MPR, keadaannya sungguh berbeda. Jabatan
kepimpinanan MPR yang terpisah dari kepemimpinan DPR dan DPD serta adanya
sekretariat jenderal MPR-RI yang juga tersendiri, terlepas dari sekretariat
jenderal DPR dan sekretariat jenderal DPD seperti dewasa ini, adalah
semata-mata akibat pengaturannya dalam Undang-Undang No. .... tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Selama
masa Order Baru juga sudah biasa diatur bahwa pimpinan MPR-RI itu dirangkap
secara ex-officio oleh pimpinan DPR-RI. Lagi pula keberadaan MPR yang
tersendiri sebagai lembaga ketiga di samping DPR dan DPD (trikameralisme) adalah produk baru dalam sistem ketatanegaraan kita
berdasarkan UUD 1945. Keberadaan pimpinan MPR yang tersendiri belum dapat
dikatakan didasarkan atas konvensi ketatanegaraan yang sudah baku. Malahan,
apabila dikaitkan dengan semangat efisiensi, keberadaan pimpinan MPR yang
tersendiri dan juga kesekretariat-jenderal yang juga tersendiri dapat dikatakan
sebagai pemborosan yang sia-sia.
Ketika
RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dibahas bersama di
DPR pada tahun 2003 yang lalu, harus diakui terdapat suasana politis yang tidak
menguntungkan, sehingga pengaturannya mengenai pimpinan MPR dan
kesekretraiat-jenderalan yang berdiri sendiri ini mendapat persetujuan.
Pertama, perdebatan tersisa mengenai hasil perubahan ketiga dan keempat UUD 1945
sepanjang menyangkut struktur parlemen bikameral masih belum reda.
Kelompok
konservatif sangat menentang gagasan bikameralisme yang salah satunya diartikan
seakan-akan menghilangkan sama sekali keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai lembaga yang sebelumnya merupakan lembaga tertinggi negara. Padahal
keberadaan Dewan dan Majelis tersebut dianggap sebagai pencerminan langsung
dari dianutnya sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Kata “permusyawaratan”
dinilai terjelma dalam pelembagaan MPR, sedangkan kata “perwakilan” dianggap tercermin dalam pelembagaan DPR. Menerima ide
struktur parlemen bikameral yang terdiri atas DPR dan DPD, berarti
menghilangkan keberadaan MPR sebagai pelembagaan prinsip “permusyawaratan”
dalam sila keempat itu.
Pandangan
semacam ini sangat mewarnai pandangan kelompok anggota MPR yang dimotori oleh
partai yang berkuasa (the ruling party)
ketika itu, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin
oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Suasana psikologis yang terbentuk ketika
itu sangat dipengaruhi oleh berbagai tekanan yang sangat kuat dari kelompok
yang anti-perubahan UUD, sehingga partai yang berkuasa sangat berhati-hati dalam
menyikapi setiap ide perubahan pasal demi pasal UUD 1945. Dalam suasana semacam
itu dapat dibayangkan bahwa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang
juga adalah Ketua Umum Partai ini sangat dihantui oleh kekuatiran bahwa lembaga
MPR akan dihapuskan sama sekali dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Karena
itu, sebagai kompromi atas perdebatan ini, rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945
yang disepakati dalam rangka Perubahan Keempat pada tahun 2002 adalah “MPR
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Karena adanya kata “anggota” dalam
rumusan tersebut di atas, berarti – meskipun keanggotaannya dirangkap--
institusi MPR itu sama sekali berbeda dan terpisah dari institusi DPR dan
institusi DPD. Sebagai institusi yang terpisah, seperti telah diuraikan di
atas, ketiganyapun mempunyai fungsi, tugas, dan kewenangan yang juga berbeda
dan terpisah satu sama lain. Karena itu, memang tidak dapat dihindarkan untuk
menyatakan bahwa MPR itu adalah lembaga atau kamar ketiga dari struktur
parlemen Republik Indonesia (trikameral
parliament).
Sebab
kedua yang mengakibatkan diterimanya keberadaan pimpinan dan
kesekretariat-jenderalan yang tersendiri itu adalah suasana persaingan
kepentingan politik antar partai-partai politik itu sendiri baik yang ada di
dalam MPR dan DPR maupun di luar parlemen menjelang pemilihan umum legislatif
dan pemilihan umum presiden tahun 2004. Berbagai kelompok partai politik sedang
disibukkan oleh berbagai agenda koalisi antar satu sama lain. Karena itu,
keengganan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Megawati untuk meniadakan
jabatan pimpinan dan kesekretariat-jenderal MPR yang tersendiri itu berhimpit
dengan kepentingan elite partai-partai politik untuk menyediakan sebanyak
mungkin jabatan publik sebagai bahan untuk pembagian kekuasaan di antara
mereka. Karena itu, kesepakatan mengenai rumusan pasal-pasal yang menentukan
adanya jabatan pimpinan MPR dan kesekretariat-jenderalan MPR yang terpisah dan
tersendiri itu, dengan mudah dapat dicapai.
Karena
itu, dapat rangka konsolidasi sistem ketatanegaraan kita pasca Perubahan UUD
1945, dan penataan kelembagaan kenegaraan kita di masa mendatang, dapat
diusulkan agar adanya lembaga pimpinan dan kesekretariat-jenderalan MPR yang
tersendiri ini cukuplah selama periode transisi sampai tahun 2009 saja. Untuk
selanjutnya, hal itu perlu diubah agar lebih efisien. MPR, DPR, dan DPD adalah
tiga kamar dalam struktur parlemen Indonesia sebagai satu kesatuan. Gedungnya
sama, pegawainya juga sama. Karena itu, piminannya juga sebaiknya dirangkap
saja, dan bahkan kesekretariat-jenderalannya pun sebaiknya dijadikan satu saja.
Dalam rangka hasil pemilihan umum tahun 2009, pembentuk undang-undang sebaiknya
menyempurnakan kembali Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, sehingga hal ini mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.
C. DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT (DPR)
Dalam UUD
1945 jelas tergambar bahwa dalam rangka fungsi legislatif dan pengawasan,
lembaga utamanya adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Pasal 20 ayat (1) UUD
1945 menegaskan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang”. Bandingkan dengan
ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 5 ayat (1) ini sebelum
Perubahan Pertama tahun 1999 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kedua pasal tersebut setelah Perubahan
Pertama tahun 1999, berubah drastis sehingga mengalihkan pelaku kekuasaan
legislatif atau kekuasaan pembentukan undang-undang itu dari tangan Presiden ke
tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di samping itu, menurut ketentuan Pasal
21 UUD 1945, setiap anggota DPR berhak pula mengajukan usul rancangan
undang-undang yang syarat-syarat dan tatacaranya diatur dalam peraturan tata
tertib.
Bahkan
lebih dipertegas lagi dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 ditentukan pula, “Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan”. Artinya, kekuasaan legislasi, kekuasaan penentuan anggaran (budgeting), dan kekuasaan pengawasan (control), berada di Dewan Perwakilan
Rakyat. Menurut Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, “Dalam melaksanakan fungsinya,
selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain undang-undang dasar ini, DPR
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Ayat
(3)-nya menyatakan pula, “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
undang-undang dasar ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat, serta hak imunitas”.
Untuk
menggambarkan kuat posisi konstitusional DPR berdasarkan UUD 1945, ditegaskan
pula dalam Pasal 7C bahwa “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan
Dewan Perwakilan Rakyat”. Sebaliknya, dalam Pasal 7A ditentukan, “Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas
usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Di samping
itu, dalam rangka fungsinya sebagai pengawas, Pasal 11 UUD 1945 menentukan
pula:
(1)
Presiden
dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian
dengan negara lain.
(2)
Presiden dalam
membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan DPR”.
(3)
Ketentuan
lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Bahkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 hasil
Perubahan Pertama tahun 1999, bahkan diatur pula hal-hal lain yang bersifat
menyebabkan posisi DPR menjadi lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya. Pasal
13 ayat (2) menentukan, “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan
pertimbangan DPR”, dan ayat (3)-nya menentukan, “Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan DPR”. Sedangkan Pasal 14 ayat (2) menentukan, “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan DPR”.
Untuk
lebih lengkapnya uraian mengenai kewenangan DPR itu, dapat dikutipkan disini
ketentuan UUD 1945 Pasal 20 dan Pasal 20A, yang masing-masing berisi 5 (lima) ayat,
dan 4 (empat) ayat. Pasal 20 menentukan bahwa:
(1)
DPR memegang
kekuasaan membentuk undang-undang.
(2)
Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
(3)
Jika
rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
(4)
Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang.
(5)
Dalam hal
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 20A
berbunyi:
(1)
DPR memiliki fungsin
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
(2)
Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, DPR empunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat.
(3)
Selain hak
yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap angota DPR
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak
imunitas.
(4)
Ketentuan
lebih lanjut tentang DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Selain ketentuan tersebut, dalam Pasal
21 UUD 1945 juga dinyatakan bahwa “Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.
Anggota DPR itu sendiri, menurut ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipilih melalui
pemilihan umum. Dalam ayat (2)-nya ditentukan bahwa susunan DPR itu diatur
dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 22B diatur pula bahwa “Anggota
DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya
diatur dalam undang-undang.
D. DEWAN PERWAKILAN
DAERAH (DPD)
Pembentukan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi
struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral itu diharapkan
proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem “double-check” yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh
rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.
Yang satu merupakan cerminan representasi politik di DPR (political representation), sedangkan yang lain mencerminkan prinsip
representasi teritorial atau regional (regional
representation) di DPD.
Akan
tetapi, ide bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar itu mendapat
tentangan yang keras dari kelompok konservatif di Panitia Ad Hoc Perubahan UUD
1945 di MPR 1999-2002, sehingga yang disepakati adalah rumusan yang sekarang
yang tidak dapat disebut menganut sistem bikmaeral sama sekali. Dalam ketentuan
UUD 1945 dewasa ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai kewenangan
membentuk undang-undang. DPD juga tidak mempunyai kewenangan penuh untuk
melakukan fungsi pengawasan. Karena itu, kedudukannya hanya bersifat penunjang
atau ‘auxiliary’ terhadap fungsi DPR,
sehingga DPD paling jauh hanya dapat disebut sebagai ‘co-legislator’, dari pada ‘legislator’
yang sepenuhnya.
Menurut
ketentuan Pasal 22D UUD 1945, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempunyai beberapa
kewenangan sebagai berikut:
(1)
DPD dapat
mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan:
·
otonomi
daerah,
·
hubungan
pusat dan daerah,
·
pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah,
·
pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
·
yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2)
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD):
a.
ikut membahas
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
·
otonomi
daerah,
·
hubungan
pusat dan daerah;
·
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah;
·
pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
·
perimbangan
keuangan pusat dan daerah; serta
b.
memberikan pertimbangan kepada DPR atas:
·
rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara,
·
rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
·
rancangan
undang-undang yang berkait dengan pendidikan, dan
·
rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan agama.
(3)
Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) dapat melakukan pengawasan (kontrol)
atas:
a.
Pelaksanaan
UU mengenai:
·
otonomi
daerah,
·
pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah,
·
hubungan
pusat dan daerah,
·
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya,
·
pelaksanaan anggaran
dan belanja negara;
·
pajak,
·
pendidikan,
dan
·
agama, serta
b.
menyampaikan
hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu hanyalah
sebagai ‘co-legislator’ di samping
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sifat tugasnya hanya menunjang (auxiliary agency) terhadap tugas-tugas
konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau
legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam
proses pengambilan keputusan sama sekali. Padahal, persyaratan dukungan untuk
menjadi anggota DPD jauh lebih berat daripada persyaratan dukungan untuk
menjadi anggota DPR. Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali
tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai wakil rakyat
daerah (regional representatives).
Dalam Pasal 22C diatur bahwa:
(1)
Anggota DPD
dipilih dari setiap provinsi mealui pemilihan umum.
(2)
Anggota DPD
dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak
lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
(3)
DPD bersidang
sedikitnya sekali dalam setahun.
(4)
Susunan dan
kedudukan DPD diatur dengan undang-undang.
Seperti halnya,
anggota DPR, maka menurut ketentuan Pasal 22D ayat (4), “Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan
tata caranya diatur dalam undang-undang”.
Bagi
para anggota DPD, kewenangan-kewenangan yang dirumuskan di atas tentu kurang
memadai. Apalagi dalam pengalaman selama lima tahun DPD periode 2004-2009,
telah ternyata bahwa keberadaan lembaga DPD ini terasa kurang banyak gunanya
dalam dinamika sistem ketatanegaraan dalam kenyataan praktik. Karena itulah,
muncul aspirasi untuk mengadakan (i) Perubahan Kelima UUD 1945, dan/atau
setidaknya (ii) Perubahan UU tentang Susduk yang dapat memperkuat kedudukan dan
peranan DPD dalam praktik. Namun demikian, ide ini kandas, dikarenakan tidak
berhasil meyakinkan para anggota DPR untuk berbagi peran dengan DPD dalam
setiap pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, di masa yang akan datang,
meskipun memang disadari perlunya dilakukan Perubahan Kelima UUD 1945, tetapi
inisiatif untuk itu sebaiknya tidak datang dari kalangan DPD, melainkan
haruslah datang dari partai-partai politik yang duduk di DPR.
Dari
segi etika, juga kurang elok jikalau inisiatif itu datang dari DPD, karena para
calon anggota DPD sendiri sebelum terpilih menjadi anggota DPD sudah mengetahui
persis bahwa yang harus dilakukan oleh DPD adalah sebagaimana yang sudah diatur
dalam UUD 1945 yang sekarang. Mengapa mau menjadi anggota DPD jika sejak
sebelumnya sudah mengetahui bahwa kedudukan dan peranan DPD itu memang tidak
sekuat yang diharapkan? Jika sesudah terpilih baru mempersoalkan kedudukan DPD
yang lemah, akan mudah nampak dari luar bahwa para anggota DPD hanya berusaha
memperbesar kekuasaan sendiri, bukan berpikir tentang nasib rakyat di
daerah-daerah.
Ada
beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperkuat atau menempatkan diri
sebagai lembaga yang penting dalam sistem ketatanegaraan kita pada periode
2009-2014 yang akan datang. Pertama, berikan dukungan kepada ide Perubahan
Kelima UUD 1945 yang datang dari partai-partai politik yang berkuasa; Kedua,
tingkatkan kinerja dengan ‘high profile’
di segala bidang di mata publik; Ketiga, setiap anggota DPD sebaiknya mengalihkan
sasaran kritik, bukan kepada DPR yang merasa disaingi oleh DPD, tetapi justru
aktif dan kritis terhadap jalannya pemerintahan sesuai dengan kewenangannya.
DPR harus diperlakukan sebagai partner, bukan saingan.
Keempat,
perjuangkan melalui undang-undang susduk agar pimpinan MPR dirangkap oleh
pimpinan DPR dan DPD. Misalnya, Ketua DPR adalah Ketua MPR, sedangkan Ketua DPD
sebaga Wakil Ketua MPR. Adakan dialogue-dialogue dan lobi-lobi informal dan
tertutup dengan pimpinan partai-partai politik mengenai kemungkinan peningkatan
kedudukan DPD di masa yang akan datang. Namun demikian, pendekatan-pendekatan
semacam ini jangan memberikan kesan kepada publik bahwa inisiatif untuk
memperbesar kekuasaan datang dari kalangan DPD sendiri. Kelima, dan hal-hal
lain yang dapat didiskusikan bersama, sehngga kinerja DPD dapat menjalan lebih
efektif dan dirasakan kebergunaannya dalam sistem politik dan ketatanegaraan
kita berdasarkan UUD 1945.
D. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
(Dewan Perwkilan Rakyat Daerah) - merupakan lembaga
perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan daerah, di samping Pemerintah Daerah. DPR Daerah mempunyai fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sehubungan dengan fungsinya itu, maka DPRD
mempunyai tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban, baik secara
institusional maupun individual.
Tugas dan wewenang DPRD adalah.
- membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk
mendapat persetujuan bersama;
- membahas dan menyetujui rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
bersamadengan Kepala Daerah;
- melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijaksanaan Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di
daerah;
- mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah/ Wakil
Kepala Daerah kepada Presiden melalui Menteri dalam Negeri bagi DPRD
Provinsi, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPR Daerah
Kabupaten/Kota;
- memilih Wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan
Wakil Kepala Daerah;
- memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah
terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
- memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah;
- meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah;
- membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah;
- melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan
pemilihan Kepala Daerah;
- memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan
dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
Anggota DPR Daerah mempunyai hak
sebagai berikut.
- Mengajukan rancangan Peraturan Daerah.
- Mengajukan pertanyaan.
- Menyampaikan usul dan pendapat.
- Memilih dan dipilih.
- Membela diri.
- Imunitas.
- Protokoler.
- Keuangan dan administratif.
Anggota DPR Daerah mempunyai
kewajiban sebagai berikut.
- Mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945, dan menaati segala
peraturan perundang-undangan.
- Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
- Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.
- Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat.
- Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan.
- Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku
anggota DPR Daerah sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap
daerah pemilihannya.
- Menaati peraturan tata tertib, kode etik, dan sumpah/janji anggota
DPR Daerah.
- Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang
terkait.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelembagaan fungsi legislature itulah
yang disebut parlemen. Di berbagai negara ada yang melembagakannya dalam satu
forum saja (unicameral atau monocameral), ada pula yang dua forum (bicameral),. Bahkan ada pula negara-negara
yang mempunyai struktur parlemen multi kameral atau terdiri atas lebih dari dua
kamar atau lebih dari dua institusi. Salah satunya adalah Indonesia yang
mempunyai tiga institusi atau tiga forum parlemen sekaligus, yaitu DPR, DPD,
dan MPR. DPR merupakan lembaga perwakilan politik (political representation),
DPR berfungsi untuk membentuk
undang-undang, DPD memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang,
sedangkan MPR menetapkan UUD sebagai kebijakan tertinggi. Di berbagai negara,
DPD atau yang disebut dengan nama lain, seperti Senat, biasanya berperan dalam
pengambilan keputusan pembentukan undang-undang atau undang-undang tertentu.
Akan tetapi, berdasarkan UUD 1945 yang berlaku sekarang, keputusan-keputusan
DPD sama sekali tidak menentukan dalam proses pembentukan undang-undang itu.
Peranan DPD hanya bersifat advisoris terhadap DPR. DPRD mempunyai tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban, baik secara
institusional maupun individual.
B. Saran
Dengan
dibuatnya makalah tentang Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia kami mempunyai
saran yaitu agar para pembaca mengerti apa tujuan dan fungsi lembaga perwakilan
rakyat Indonesia yaitu seperti DPR, MPR, DPD dan DPRD.
DAFTAR PUSTAKA
Marbun, B.N, 2004. DPR-RI Pertumbuhan Dan Cara Kerjanya. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
Zaman.
Aqiq, 2004, Potret
Wakil Rakyat di Era Reformasi, Malang: Bayumedia Publishing
Rencana Strategis Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia 2010-2014