BAB I
PENDAHULUAN
1.1.    Latar belakang
Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah
dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Al-Qur’an.
Pada awalnya, Al-Qur’an hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian
yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam
diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun
662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak
bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang
miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini
menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai
jumlah zakat tersebut. Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai
sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok
itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka,
orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari'ah mengatur dengan
lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan. Kejatuhan
para khalifah dan negara-negara Islam menyebabkan zakat tidak dapat
diselenggarakan dengan berdasarkan hukum lagi. Zakat merupakan salah satu rukun
Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh
sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat,
haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Al-Qur'an dan As
Sunnah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang
dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
1.2.     Rumusan Masalah
1.       Apa pengertian Zakat Profesi ?
2.      Apa Landasan Hukum Zakat Profesi ?
3.       Apa Ketentuan Zakat Profesi ?
4.      Apa Kontrovesi Zakat Profesi ?
1.3.    Tujuan Penulisan
1.       Untuk mengetahui dan memahami pengertian Zakat
Profesi
2.      Untuk mengetahui landasan hukum Zaakat Profesi
3.       Untuk mengetahui ketentuan Zakat Profesi
4.      Untuk mengetahui kontrovesi Zakat Profesi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Zakat
Profesi
Ditinjau dari segi bahasa zakat berarti
suci, berkah, tumbuh, dan terpuji. Adapun secara istilah para ulama mempunyai
pandangan tersendiri mengenai pengertian zakat, di antaranya:
a.             
Al Mawardi,
“Zakat adalah harta tertentu yang diberikan kepada 
orang
tertentu, menurut syarat-syarat tertentu pula 
b.             
Yusuf Qardawi,
“Zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada
orang-orang yang berhak. 
 Selanjutnya mengenai pengertian profesi adalah
sebuah pekerjaan, usaha profesi, atau pemberian jasa yang menghasilkan. Di
dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa profesi adalah “pekerjaan sebagai
atas keahliannya sebagai mata pencahariannya”. 
 Mahjuddin di dalam bukunya
mengatakan bahwa yang dimaksud profesi adalah suatu pekerjaan tetap dengan
keahlian tertentu yang dapat menghasilkan gaji, honor, upah atau imbalan,
seperti profesi dokter, guru, dosen, pengacara, pegawai negeri, dan yang
lainnya. 
 Fachrudin, sebagaimana yang dikutip oleh
Muhammad di dalam buku Zakat Profesi, mengatakan : Profesi adalah segala usaha
yang halal yang mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang
mudah, baik melalui suatu keahlian tertentu atau tidak. 
Dari
beberapa pengertian zakat dan profesi di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud zakat profesi adalah harta zakat yang dikeluarkan dari sumber usaha
profesi atau pendapatan dari penjualan jasa.
 Hal ini selaras dengan pengertian yang
diberikan oleh Ahmadi dan Yeni Priyatna Sari, yakni : Harta yang diperoleh dari
pemanfaatan potensi yang ada pada dirinya dan dimiliki   dengan kepemilikan yang baru dengan berbagai
macam upaya pemilikan yang syar’i, seperti: hibah, upah kerja rutin, profesi
dokter, penceramah, arsitek, pengacara, akuntan, dan lain-lain. 
2.2  Landasan Hukum
Zakat Profesi
Mengenai dalil kewajiban berzakat dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian. Yang pertama adalah dalil-dalil kewajiban
zakat yang secara khusus menyebutkan jenis zakat tersebut, seperti zakat emas
dan perak, zakat hewan ternak, dan yang lainnya. Dan yang kedua adalah dalil
umum mengenai zakat seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 219 dan
267,
 وَيَسْئَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلِ اْلعَفْوَ 
Artinya:
“Dan mereka bertanya kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan.
Katakanlah, Kelebihan (dari apa yang diperlukan)” (QS. Al Baqarah: 219)
 ياَ أَيُّهَا اَّلذِيْنَ أَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّببَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu” (QS.
Al Baqarah: 267) Selain itu terdapat pula hadits dari Nabi Muhammad sewaktu
beliau mengutus Mu’adz ke negeri Yaman yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang
artinya: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membayar zakat
harta yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang
miskin di kalangan mereka”(muttafaqun ‘alaih).
Meskipun tidak pernah disebutkan secara langsung di dalam Al Qur’an maupun
Sunnah Nabi Muhammad, jika dalil-dalil umum tentang zakat dikaji lebih mendalam
lagi maka akan ditemukan sebuah isyarat akan berlakunya hukum zakat bagi
profesi. Isyarat tersebut berupa perintah umum untuk mengeluarkan zakat
terhadap harta yang melebihi kebutuhan. Dewasa ini pekerjaan seseorang sebagai
professional mempunyai penghasilan yang cukup besar. Abdul Ghofur Anshori
menyatakan apabila seorang petani yang pada zaman sekarang ini bersusah payah
menanam dan memelihara sawahnya serta memanennya saja dikenakan wajib zakat
apalagi seorang professional yang memiliki penghasilan cukup besar dengan
pekerjaan yang tidak menuntut etos kerja super keras layaknya petani. Adanya
zakat profesi dipertegas oleh konsensus yang dihasilkan dalam Muktamar Internasional
tentang zakat di Kuwait pada tanggal 29 Rajab 1404 atau 30 April 1984. Para
peserta muktamar tersebut telah bersepakat tentang wajibnya zakat profesi
apabila telah mencapai nishab. 
2.3  Ketentuan Zakat
Profesi
Setiap jenis zakat mempunyai nishab yang
menjadi batas minimal timbulnya kewajiban mengeluarkan zakat. Adapun mengenai
nishab zakat profesi terdapat tiga pendapat terhadapnya, sebagaimana yang
penulis simpulkan dari buku Zakat dalam Perekonomian Modern
Yang pertama menganalogikan zakat profesi kepada zakat perdagangan, sehingga
nishabnya adalah 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 persen dan dikeluarkan
setahun sekali setelah dikurangi kebutuhan pokok. Yang kedua menganalogikan
kepada zakat pertanian dengan nishab senilai 653 kilogram padi atau gandum
dengan kadar zakat 5 persen dan dikeluarkan setiap kali mendapatkan penghasilan
atau gaji. Dan yang terakhir menyandarkan analogi zakat profesi kepada zakat
rikaz, sehingga tidak ada nishab pada zakat profesi dan dikeluarkan dengan
kadar 20 persen setiap kali menerima penghasilan atau gaji. 
2.4  Kontroversi
Zakat Profesi
Zakat profesi merupakan hal baru di
dunia Islam yang muncul belakangan ini. Pro dan kontra mewarnai perdebatan
mengenai hal tersebut. Selain pihak yang menyepakati adanya zakat profesi juga
terdapat pihak lain yang menolak keberlakuan zakat model iniPihak yang kontra
terhadap zakat profesi berdalih bahwa zakat berikut jenis-jenisnya adalah
bentuk ibadah tauqifi, yakni ibadah yang telah ditetapkan oleh ajaran agama
sehingga tidak boleh diutak-atik. Selain itu ada juga yang menyatakan
kekeliruan terhadap qiyas zakat profesi, khususnya terhadap kalangan yang
mengqiyaskan zakat profesi kepada zakat pertanian secara universal, yang mana
hasil pertanian baru dapat dipanen sekitar 2-3 bulan dan kadar zakatnya adalah
5 persen untuk yang diairi dan 10 persen untuk yang tidak diairi, sedangkan
untuk kadar zakat profesi yang ditentukan dipungut setiap bulan saja masih
diperdebatkan. Kelompok ini juga mengatakan bahwa menganalogikan zakat profesi
kepada zakat rikaz adalah bentuk kezhaliman, hal itu disebabkan kebutuhan
manusia berbeda-beda dan dipenuhi melalui penghasilan atau gaji yang ia
dapatkan tersebut dan jika harus dipotong 20 persen setiap bulan maka ia akan
mengalami kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menanggapi
pernyataan pihak yang kontra terhadap zakat profesi, penulis beranggapan bahwa
argumen yang mereka berikan dapat diambil hikmahnya. Allah telah berfirman di
dalam surat Al Baqarah ayat 219 yang pada intinya menentukan secara umum bahwa
zakat diambil dari hasil kelebihan dari kebutuhan, tak terkecuali penghasilan
dari profesi. Adapun orang-orang yang justru kekurangan dalam hal pemenuhan
kebutuhan maka baginya tidak ada kewajiban zakat. Penulis berpendapat
bahwasanya zakat profesi tetap dibebankan kepada mukallaf yang memiliki
pekerjaan atau seorang professional, sebagaimana argumen dan landasan hukum
yang telah penulis paparkan pada pembahasan sebelumnya.
Adapun
zakat profesi lebih utama diqiyaskan kepada zakat emas atau zakat perdagangan
dan zakat hasil pertanian. Namun khusus untuk pekerjaan bernilai prestise yang
tinggi, seperti pejabat, artis, dokter, dan yang lainnya, yang merupakan bentuk
komoditi paling menguntungkan saat ini dapat lebih diharapkan untuk menyadari
diri untuk mengqiyaskan kepada zakat pertanian, yang juga merupakan komoditi
terlaris pada zaman perkembangan Islam di Madinah, dengan kadar 5 persen
(disebabkan profesi merupakan pekerjaan yang menggunakan keahlian dan tenaga
manusia) yang dikeluarkan setiap bulan atau setiap mendapatkan penghasilan.
B.     Profesi yang Di Zakati
Barangkali
bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang
diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada
dua macam. Yang pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa
tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan
yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti
penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu
dan lain-lainnya.
Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik
pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang
diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari
pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium. Penghasilan dan
profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita
berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab
tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara
dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa
dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil
penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun
bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu,
kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena
terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih sah, dan nisab,
yang merupakan landasan wajib zakat. Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi
seseorang – untuk bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran
Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk
terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib
zakat dan orang miskin penerima zakat. Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih
jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun
saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus
diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini,
supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin,
seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut.
Mengenai besar zakat, Penghasilan dan profesi dalam fikih masalah khusus
mengenai penyewaan. Seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang
sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya
ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya
menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai
satu nisab. Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu,
bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti
yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi
cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang
telah berumur setahun. Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, adalah
bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan dari dua belas
bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun
atau akhir tahun. Pendapat guru-guru besar tentang hasil penghasilan dan
profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya yaitu kekayaan yang
diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat
agama. 
 Jadi pandangan fikih tentang bentuk
penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta penghasilan."
Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut
langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun. Yang diperlukan zaman sekarang
ini adalah menemukan hukum pasti "harta penghasilan" itu, oleh karena
terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil
penghasilan, profesi, dan kekayaan non-dagang dapat digolongkan kepada "harta
penghasilan" tersebut. Bila kekayaan dari satu kekayaan, yang sudah
dikeluarkan zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan"
itu, mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan produksi binatang
ternak maka perhitungan tahunnya disamakan dengan perhitungan tahun induknya.
Hal itu karena hubungan keuntungan dengan induknya itu sangat erat. Berdasarkan
hal itu, bila seseorang sudah memiliki satu nisab binatang ternak atau harta
perdagangan, maka dasar dan labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada
akhir tahun. Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, "harta penghasilan"
dalam bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup masanya setahun,
misalnya seseorang yang menjual hasil tanamannya yang sudah dikeluarkan
zakatnya 1/10 atau 1/20, begitu juga seseorang menjual produksi ternak yang
sudah dikeluarkan zakatnya, maka uang yang didapat dari harga barang tersebut
tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga. Hal itu untuk menghindari adanya
zakat ganda, yang dalam perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."
Yang jelas pendapat tersebut diatas adalah pendapat ulama- ulama fikih meskipun
yang terkenal banyak di kalangan para ulama fikih itu adalah bahwa masa setahun
merupakan syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda perolehan
maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadis-hadis mengenai ketentuan masa setahun
tersebut dan penilaian bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua kekayaan
termasuk harta hasil usaha.
C.    Ketentuan-ketentuan Zakat Profesi
Istilah
zakat profesi adalah baru, sebelumnya tidak pernah ada seorang 'ulamapun yang
mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qaradhowy
menuliskan masalah ini dalam kitab Zakat-nya, kemudian di taklid (diikuti tanpa
mengkaji kembali kepada nash yang syar'i) oleh para pendukungnya, termasuk di
Indonesia ini. Dalam ketentuan zakat profesi terdapat beberapa kemungkinan
dalam menentukan nishab, kadar, dan waktu mengeluarkan zakat profesi. Hal ini
tergantung pada qiyas (analogi)  yang
dilakukan : Yang pertama, Jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka
nishab, kadar, dan waktu mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan
zakat emas dan perak. Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan
waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok. Cara
menghitung misalnya : jika si A berpenghasilan Rp 5.000.000,00 setiap bulan dan
kebutuhan pokok perbulannya sebesar Rp 3.000.000,00 maka besar zakat yang
dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 600.000,00
pertahun /Rp 50.000,00 perbulan. Yang kedua, Jika dianalogikan pada zakat
pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya
sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau penghasilan.
Misalnya sebulan sekali. Cara menghitungnya contoh kasus di atas, maka
kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp
1.200.000,00 pertahun / Rp 100.000,00 perbulan. Yang ketiga, Jika dianalogikan
pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesar 20 % tanpa ada nishab, dan dikeluarkan
pada saat menerimanya.
Cara menghitungnya  contoh kasus di atas,
maka si A mempunyai kewajiban berzakat sebesar 20 % x Rp 5.000.000,00 atau
sebesar Rp 1.000.000,00 setiap bulan. Mengenai waktu pengeluaran zakat profesi
ini beberapa ulama berbeda pendapat sebagai berikut: Pendapat As-Syafi'i dan
Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu
didapat Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah
dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir
harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan
kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat. Pendapat Ibnu Abbas,
Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak
mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta
tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap
waktu panen. 
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan
dari penghasilan profesi ( guru, dokter, aparat, dan lain-lain ) atau hasil
profesi bila telah sampai pada nisabnya
Profesi
yang dizakati adalah profesi yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada
orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Dan profesi yang dikerjakan
seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan
memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Ketentuan-ketentuan
zakat profesi adalah ditentukan batas minimal nishab danharus menjalani haul
(putaran satu tahun). Ada tiga pendapat mengenai nishab zakat profesi, Pertama
menganalogikan zakat profesi kepada zakat perdagangan, sehingga nishabnya
adalah 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 persen dan dikeluarkan setahun sekali
setelah dikurangi kebutuhan pokok. Yang kedua menganalogikan kepada zakat
pertanian dengan nishab senilai 653 kilogram padi atau gandum dengan kadar
zakat 5 persen dan dikeluarkan setiap kali mendapatkan penghasilan atau gaji.
Dan yang terakhir menyandarkan analogi zakat profesi kepada zakat rikaz,
sehingga tidak ada nishab pada zakat profesi dan dikeluarkan dengan kadar 20
persen setiap kali menerima penghasilan atau gaji. 
3.2  Saran
            Ada berbagai saran yang disampaikan
oleh penulis, yaitu.
1.      
Para pembaca disarankan agar memberikan kritik
atas isi dan penulisan makalah.
2.      
Bagi para pembaca disarankan untuk memiliki
kriteria yang telah dipapar dalam makalah.
3.      
Jika memiliki hambatan dalam membaca maka seyogyanya
membaca makalah ini, karena didalam makalah ini dipaparkan mengenai solusi
untuk mengatasi hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi dan Yeni Priyatna Sari, Zakat, Pajak, dan
Lembaga Keuangan Islami dalam Tinjauan Fiqih, Solo: Era Intermedia.
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat,
cet. II, Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh
Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
Hafiuddin, Didin Zakat Infaq Sedekah, Gema Insani
Press: Jakarta, 1999
Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram (terjemah),
cet. V, Solo: At Tibyan, 2011.
Daradjat, Zakiah. Zakat Pembersih Harta Dan Jiwa,
CV. Puhama: Jakarta, 1996
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern,
Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Al Juhairi, Wahab. Zakat Kajian Berbagai Madzhab,
PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung, 1995
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, cet. IX, Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa, 2006.
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, cet. V, Jakarta: Kalam
Mulia, 2005.
Muhammad, Zakat Profesi, Jakarta: Salemba Diniyah,
2002.
Wahab Al Juhairi, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, ( PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung, 1995 ), hal. 45