EKSISTENSI
KONSEP MASLAHAT TERHADAP PARADIGMA
FIKIH FEMINIS MUSLIM TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
ABSTRACT
Konsep maslahat merupakan salah
satu teori yang eksis dalam menyikapi perkara-perkara kontemporer, yang dalam
hal ini adalah hak dan kewajiban suami istri. Paradigm yang mengatakan bahwa
suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga cukup
mengusik para feminis muslim untuk mereintepretasikan dan merekonstruksi dengan
mempertimbangkan misi keadilan, kesetaraan, demokrasi dan mu’asyarah bi
al-ma’ruf, karena realitanya saat ini seorang istri tidak hanya membantu dalam
urusan rumah tangga, namun lebih daripada itu juga membantu dalam urusan
nafkah, maka makna kepala rumah tangga juga harus menanamkan nilai-nilai
kebersamaan, saling melindungi, saling menopang dan saling bekerjasama untuk
menjadi mitra yang baik sehingga paradigm ini harus diluruskan demi
kemaslahatan.
Keywords: Maslahat, Fikih Feminis
Muslim
PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan
wadah yang legal, yang menghalalkan hubungan seksual antara laki-laki dan
perempuan yang terjalin dalam sebuah mitsaqan
ghalidgan (ikatan yang sangat kuat). Akibat dari perkawinan juga akan
menimbulkan hak dan kewajiban suami istri, karena dalam sebuah organisasi dalam
konteks ini adalah rumah tangga, maka akan adanya pembagian tugas, yang dalam
hal ini suami adalah sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah
tangga.
Hal-hal yang menjadi
tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga adalah bertanggung jawab terhadap
nafkah istri dan anak, serta hal-hal yang berkaitan dengannya, sedangkan
hal-hal yang berkaitan dengan tugas istri adalah bertanggung jawab terhadap
urusan rumah tangga, yang tugas ini sejatinya adalah membantu tugas suami
sebagai kepala rumah tangga.
Secara kontekstual,
dalam kacamata sosial yang berkembang di masyarakat saat ini adalah banyaknya
perempuan yang berusaha membantu suami dalam mencari nafkah di luar rumah, yang
sejatinya dalam hal ini adalah tugas pokok suami, yang bertanggungjawab untuk
melindungi, mengayomi serta menjaga keluarga. Dari paradigma inilah, kemudian
para feminis Muslim mencoba mereintepretasikan tentang hak dan kewajiban
tersebut, dengan cara membuka peluang bagi istri untuk dapat bekerja di luar
rumah, dengan pergeseran peran tersebut itulah kemudian haruslah ada pula
pergeseran tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga.
Jika kita lihat dalam
perspektif ulama’ klasik maupun paradigma feminis Muslim, keduanya memiliki
argumentasi yang sangat kuat untuk dapat dipertimbangkan, yang dalam hal ini
adalah demi tercapainya kemaslahatan.
KONSEP MASLAHAT
Pengertian maslahat secara etimologis,
berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, dan kepatutan. Kata al-maslahah dilawankan
dengan kata al-mafsadah yang artinya kerusakan. Maslahat atau sering disebut maslahat mursalah, atau
kerap juga disebut istislāh, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan
tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau
meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar
atau kemaslahatan. Mashlahat disebut juga mashlahat yang mutlak.
Karena tidak ada dalil yang mengakui keabsahan atau kebatalannya. Jadi
pembentuk hukum dengan cara mashlahat semata-mata untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak ke-mudharat-an
dan kerusakan bagi manusia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan antara kata maslahat dengan kemaslahatan. Kata maslahat,
menurut kamus tersebut, diartikan sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faidah dan guna. Sedangkan kata kemaslahatan mempunyai makna kegunaan,
kebaikan, manfaat, kepentingan. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia melihat bahwa kata maslahat dimasukkan sebagai kata dasar, sedangkan
kata kemaslahatan dimasukkan sebagai kata benda jadian yang berasal dari kata maslahat
yang mendapatkan awalan ke dan akhiran an.
Kata masslahat secara bahasa berasal dari kata shalaha yang berarti baik dan menjadi lawan kata dari
buruk, sehingga secara etimologis, kata maslahat digunakan untuk menunjukkan jika sesuatu
itu baik atau seseorang menjadi baik. Namun secara terminologis dalam usul
fikih, baik dan buruk dalam pengertian maslahat ini
menjadi terbatasi. Sebagaimana dalam buku Amir Syarifuddin dinyatakan; 1) Sandaran
maslahat adalah petunjuk syarâ’ bukan semata-mata berdasarkan akal
manusia yang sangat terbatas, mudah terprovokasi oleh pengaruh lingkungan dan
hawa nafsu. 2) Baik dan buruk dalam kajian maslahat
tiak hanya terbatas pada persoalan-persoalan duniawi melainkan juga urusan ukhrawi. 3) Maslahat dalam kacamata syara’, tidak hanya dinilai dari kesenangan
fisik semata-mata, namun juga dari sisi kesenangan rûhaniyah.
Para ulama yang menjadikan maslahat
sebagai salah satu dalil syara',
menyatakan bahwa dasar hukum maslahat,
berdasarkan:
1.
Persoalan yang dihadapi manusia selalu
tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak hal-hal atau persoalan yang tidak terjadi
pada masa Rasulullah saw.,
kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi
tidak lama setelah Rasulullah saw.,
meninggal dunia. Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan
hal-hal yang demikian berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalîl yang dimaksud adalah dalil yang
dapat menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana yang tidak
sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama Islam. Jika hal itu telah ada, maka
dapat direalisir kemaslahatan
manusia pada setiap masa, keadaan dan tempat.
2.
Sebenarnya para sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in dan para ulama yang datang
sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukum
sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalîfah Abû Bakar telah mengumpulkan Alquran. Khalîfah Umar telah menetapkan talak yang dijatuhkan
tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa Rasulullah saw., hanya jatuh satu. Khalifah Utsman
telah memerintahkan penulisan al-Qur’an
dalam satu mushaf. Khalîfah Ali pun telah menghukum bakar hidup golongan
Syi'ah Rafidhah yang memberontak,
kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.
Obyek
maslahat, ialah kejadian atau
peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash
(al-Qurân dan al-Sunnah) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini disepakati
oleh kebanyakan pengikut madzhab yang ada dalam fiqh, demikian pernyataan Imâm
al-Qarafi al-Thûfî dalam kitabnya Masalihul
Mursalah menerangkan bahwa Masalihul
Mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu'āmalah dan semacamnya. Sedang dalam
soal-soal ibadah adalah Allah Swt.,
untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan
lengkap hikmah ibadat itu. Kaum muslimîn beribadat sesuai dengan
ketentuan-Nya yang terdapat dalam al-Qurân
dan Hadith.
Sejalan dengan
batasan terhadap pengertian maslahat secara umum
inilah, dalam teori hukum Islam atau yang disebut Islamic legal
yurisprodence diperkenalkan tiga macam maslahat,
yaitu maslahat mu’tabarah, maslahat mulghah dan maslahat
mursalah.Maslahat mu’tabarah, didefinisikan sebagai maslahat yang diungkapkan secara langsung baik
dalam al-Qur’an maupun
hadis Nabi. Sedangkan maslahat mulghah, adalah
maslahah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam al-Qur’an dan
al-Hadits. Adapun maslahat mursalah
adalah maslahat yang tidak ditetapkan dalam al-Quran
dan hadis maupun juga tidak bertentangan dengan kedua sumber tersebut.
Ada empat hal yang menjadi tujuan dan
mendorong fuqahā dalam menggunakan istislāh, yaitu:
1.
Jalb mashâlih, (menarik maslahat) yaitu
perkara-perkara yang di diperlukan masyarakat untuk membangun kehidupanmanusia
di atas pondasi yang kokoh.
2.
Dar’u mafâshid, (menolak mafsadat) yaitu perkara-perkara yang memudharatkan manusia
baik individu maupun kelompok, baik berupa materi maupun moral.
3.
Syadz dzari’ah, (menutup jalan)
yaitu menutup jalan yang dapat membawa kepada menyia-nyiakan perintah syari’ah
dan memenipulasinya, atau dapat membawa kepada larangansyarâ’ meskipun tanpa
disengaja.
4.
Taghayyur al-azman, (perubahan
zaman) yaitu kondisi manusia, akhlak-akhlak, dan tuntutan-tuntutan umum yang
berbeda dari masa sebelumnya.
Keempat prinsip
tersebutlah yang menjadi urgen untuk digunakankan metode maslahat
dalam menyikapi masalah-masalah kontemporer,
sehingga Islam menjadi rahmatan
li al-‘âlamīn, mampu menyikapi situasi dan kondisi dalam
keadalan arif bersifat dinamis dan berkeadilan.
Menurut al-Ghazāli, ada beberapa hal yang harus
dicermati dalam menggunakan konsep maslahat,
yaitu:
1.
Maslahat adalah menarik manfaat dan menghindarkan bahaya.
Bukan Ghazali mendefinisikan bahwa manfaat adalah tujuan setiap orang, tapi
manfaat yang ia maksud adalah bagaimana manfaat itu dalam bidang dunia dan
akhirat.
2.
Maslahat tidak hanya terbatas secara bahasa dan ‘urf saja, namun lebih dari itu, yaitu
memelihara tujuan maqâshid al-syari’ah,
yaitu menjaga usûl al-khamsah, (hifdu al-dīn, hifdzu al-nafs, hifdzu al-aql,
hifdzu al nasl, dan
hifdzu al-mâl).
3.
Secara tegas al-Ghazāli mendefinisikan maslahatapa yang dimaksud Allah, bukan menurut
pandangan manusia, maka setiap orang yang ingin tercapainya maslahat, maka tidak keluar dari ajaran syariah
Islam. Karena apa yang diinginkan manusia belum tentu sama dengan kemaslahatan
Allah.
4.
Maslahat menurut al-Ghazāli merupakan sinonim dari al-ma’na al- munâsib, sehingga dalam kondisi tertentu sering
disebut qiyas.
Maslahat dapat dijadikan dalil hukum Islam apabila pertama, maslahat tersebut telah menjadi dzan yang kuat (setelah melakukan
penelitianberdasarkan beberapa pertimbangan, mujtahid telah dapat mengambil
kesimpulan bahwa masalah itu benar-benar maslahat yang sejalan dengan jenis tindakan syarâ’. Kedua, maslahat itu masuk jenis maslahatyang ditinggalkan oleh syarâ’ (maslahat itu tidak bertentangan dengan nash, atau ijmâ’.
Imam
al-Ghazali mengelompokkan maslahat
menjadi tiga aspek, yaitu:
1.
Maslahat dibedakan berdasarkan ada keabsahan normatif atau
kadar kekuatan dukungan nash kepadanya
menjadi tiga macam, yaitu; 1) Maslahat yang
didudkung keabsahannya dalam syarâ’ dan
dapat dijadikan illat dalam
qiyâs. 2) Maslahat yang didukung oleh syarâ’ kebatalannya.
3) Maslahat yang tidak mendapat dukungan dari syarâ’ dalam hal keabsahan maupun
kebatalannya.
2.
Dilihatdari aspek kekuatan maslahat (keabsahan fungsional) itu sendiri.
Terhadap maslahat ini, Ghazali memberikan syarat-syarat
pemberlakuannya, yaitu; 1) Kemaslahatannya sangat esensial dan primer (dharûriyah), 2) Kemaslahatannya sangat jelas dan tegas (qat’iyyah), 3) Kemaslahatannya bersifat universal (kuliyyah), 4) Kemaslahatannya
berdasarkan pada dalil yang universal dari keseluruhan qarinah (mu’tabarah).
3.
Jenis maslahat ini
terkait erat dengan beberapa aspek penyempurna (takmilan dan tatimah).
Dalam rumusan berbeda juga disebutkan, bahwa
legalitas maslahatdalam kajian usul fikih harus di dasarkan pada
krieteria-kriteria adalah; 1) Maslahatitu
harus bersifat pasti, bukan sekedar rekaan atau anggapan bahwa ia memang
mewujudkan suatu manfaat, atau mencegah terjadinya kemudharatan. 2) Maslahat itu bukan hanya kepentingan pribadi,
atau sebagian kecil masyarakat, namun bersifat umum. 3) Hasil penalaran maslahat itu tidak berujung pada pengabaian
suatu prinsip yang telah ditetapkan oleh nash syari’ah.
Pandangan Najmuddin al-Tûfi tentang maslahat
bertolak dari konsep maqâshid al-syarī’ah yang menegaskan bahwa hukum
Islam itu disyari’atkan untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal.
Pembahasannya tentang maslahat bertolak dari hadits Rasulullah saw.
:”Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh pula dimudaratkan orang lain”
(Hadits Riwayat al-Hakim, al-Baihaqi, al-Daruqutni, Ibnu majah dan Ahmad ibn
Hanbal). Kandungan hukum dari hadits ini, menurut al-Tûfi adalah “Tidak sah
tindakan yang menyebabkan kerugian (pada orang lain) kecuali karena sebab yang
memaksa (seperti hukuman bagi pelanggar hukum yang dibenarkan oleh syara’.)”.
Sangsi hukum atau kerugian semacam ini merupakan pengecualian dari aturan umum
mengenai tidak bolehnya tindakan merugikan.
Argumen al-Tûfi untuk mendukung tidak boleh
melakukan tindakan yang merugikan orang lain, didasarkan pada firman Allah,
misalnya Tuhan menginginkan kemudahan untuk kamu, dan tidak menginginkan kesulitan
untuk kamu. (QS al-Baqarah; 2:185). “Allah ingin meringankan beban kamu”
(QS al-Nisâ’: 28) “Dia (Allah) tidak menetapkan kesulitan kamu dalam agama” (QS
al-Mâidah: 6).
Menurut al-Tûfi, hadits la dzarâra wa la
dzirâra diatas, memberikan prinsip umum mengenai tidak bolehnya melakukan
tindakan yang merugikan,yaitu tidak boleh melakukan atau menyebabkan kerugian
atau kerusakan sosial, harus diberi prioritas pertimbangan diatas seluruh
sumber hukum tradisional atau argument-argumen madzhab-madzhab hukum muslim;
harus membatasi serta mengkhususkan validitas atau aplikasi sumber-sumber hukum
tersebut dalam rangka mengakhiri terciptanya kerugian dan kejahatan sosial
sebagai upaya merealisasikan kebaikan atau kemaslahatan sosial dalam praktek
actual.
Sumber-sumber hukum tradisional yang paling
kuat menurut al-Tûfi adalah consensus
para ahli hukum (ijmâ’) dan teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan Sunnah
atau hadits-hadits Nabi). Jika dua sumber ini sejalan dengan perlindungan
kemasalahatan manusia, maka semuanya berjalan dengan baik dan tidak ada yang
perlu dipermasalahkan. Namun, jika tidak sejalan, maka perlidungan kemaslahatan
menduduki prioritas di atas kedua sumber tersebut. Pemberian prioritas kepada
perlindungan kemaslahatan, kata al-Tûfi tidak dimaksudkan untuk menghentikan
atau menyangkal serta total validitas dua sumber tersebut, tetapi untuk
menjelaskan fungsinya yang proposional.
Menurutnya, perlindungan terhadap
kemaslahatan manusia merupakan sumber atau prinsip hukum paling tinggi dan
paling kokoh karena ia merupakan tujuan pertama agama dan poros utama dari
maksud syari’ah. Untuk mendukung pendapat ini, al-Tûfi menyatakan bahwa
perlindungan terhadap kemaslahatan manusia sebagai tujuan dibalik semua aturan
hukum, dibalik petunjuk Tuhan dan penciptaan manusia serta cara-cara untuk
memperoleh mata pencaharian mereka.
Konsekwensinya, dalam pendangan al-Tûfi,
hakim tertinggi atau otoritas paling tinggi dari kemaslahatan hukum dan sosial
manusia adalah akal atau intelegensia manusia sendiri. Sebab menurutnya,
kemaslahatan hukum atau sosial manusia diketahui atau dapat diketahui oleh
mereka melalui sinaran intelegensi, akal atau pengalamanhidup mereka.
Pengetahuan atau pola pemahaman seperti ini sangat alami dan telah dianugrahkan
oleh Tuhan.
Oleh sebab itu, kata al-Tûfi bahwa
perlindungan terhadap kemaslahatan manusia merupakan sesuatu yang riil
didalam dirinya dan tidak diperdebatkan. Lain halnya dengan teks-teks
keagamaan, yang menurut al-Tûfi saling berbeda dan bertentangan, tidak seperti
perlindungan terhadap kemaslahatan manusia, yang dipandang sebagai sesuatu yang
riil dan subtansial. Teks-teks keagamaan, kadang-kadang bersifat mutawâtir
dan kadang bersifat ahad, kadang jelas dalam pernyataannya (secara
harfiah dalam aturan hukumnya atau qath’i) dan ada pula muhtamal (dhanni).
Konsekuensinya, jika teks tersebut mutawâtir
dan qath’i maka bersifat meyakinkan atau pasti, tetapi bisa jadi iamuhtamal
atau dhanni dari segi keumuman atau ketidakterbatasan signifikansinya.
Jika demikian, ia menyatakan, maka kepastian absolut disangkal atau diragukan.
Termasuk jika teks hadits adalah ahad atau tidak mutawâtir, maka
ia dikatakan tidak meyakinkan, tidak peduli apakah ia jelas dalam pernyataannya
ataukah tidak, karena otentisitas periwayatannya meragukan.Oleh sebab itu, perlindungan terhadap
kemslahatan manusia dipandang lebih kuat atau lebih meyakinkan dari teks.
Al-Tûfi lebih mendahulukan kemaslahatan
manusia dari pada ijmâ’, beragumentasi bahwa; Pertama, ia menolak
para ahli hukum yang mengklaim tidak ada kemungkinan salah baikyang dinisbatkan
pada ijmâ’ mereka sendiri maupun pada consensus fiktif dari seluruh kaum
muslimin. Klaim ini didasarkan terutama pada hadits Nabi : “Umatku tidak
akan bersepakat pada kesesatan“ Ia menyatakan, jika ijmâ’ adalah
bukti yang tidak dapat dibantah, maka hal itu mungkin disebabkanoleh
person-person sendiri, orang yang bersepakat secara bulat, atau karena
kesaksian terhadap tidak dapat salahnya mereka oleh “teks keagamaan”,
yaitu oleh hadits disandarkan kepada Nabi.
Kedua,
hadits “Umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan” tidak berarti bahwa
kaum muslimin telah bersepakat bulat atau bahwa ijmâ’ mereka tidak dapat
salah atau bahwa seseorang harus mengikutinya. Ia beralasan bahwa (a) banyak
kaum muslimin yang menolak kandungan atau otentisitas hadits ini dan juga ijmâ’
sendiri, termasuk khawarij, kaum Syī’ah, kaum Zahiri dan orang-orang semisal
al-Nazzam, tokoh Mu’tazilah.(b) klaim bahwa ijmâ’ masyarakat Muslim
secara keseluruhan telah diterima merupakan suatu klaim, kata al-Tûfi, yang
dibuat melalui ijmâ’ yakni ijma’ hukum, untuk membuktikan atau
meligimasi ijmâ’, yang merupakan metode argument yang salah yang
mengandung upaya untuk membuktikan sesuatu dengan dirinya sendiri. (c) al-Tûfi
mengatakan jika ia adalah hadits mutawâtir atau menyebar luas, maka
seseorang masih tidak dapat memberinya kepastian yang mewajibkan untuk
mengikutinya. Sebab, mungkin saja (dengan asumsi haditstersebut otentik) maksud
Nabi pada hadits itu adalah umatku tidak akan sepakat pada kesepakatan tidak
adanya iman (kufur) (makna non-tradisional Alquran mengenai kufur adalah
penyembunyian atau penyangkalan kebenaran atau segala sesuatu sebagaimana
adanya).
Oleh sebab itu, ia berkesimpulan bahwa
hadits semacam ini bukan merupakan bukti atau argument yang kuat atau wajibnya
mengikuti ijmâ’, kecuali menyangkut iman sebagai lawan dari kufur. Ketiga,
al-Tûfi mempertentangkan maksud dari hadits diatas, Umatku tidak akan
bersepakat pada kesesatan dengan hadits lain yang disandarkan pada Nabi, Umatku
akan terpecahbelah menjadi 73 kelompok, semuanya di neraka kecuali satu. Ia
kemudian menyatakan apa yang dimaksud dengan umat yang tidak akan bersepakat
pada kesesatan adalah semua 73 kelompok atau satu kelompok diantara yang
selamat dari api neraka. Jika yang dimaksud adalah seluruh kelompok, maka hal
itu menurutnya tidak valid, karena dua alasan (1) sebagian dari mereka tidak
mendukung ijmâ’, seperti sudah disebutkan, dan dengan demikian, tidak
valid untuk mempertimbangkan ijmâ’ dari orang-orang yang menolak ijmâ’.
(2), diantara kelompok-kelompok umat Islam, ada beberapa kelompok yang
dipandang tidak beriman karena bid’ah mereka, dan dengan demikian, orang
kafir tidak dipandang termasuk didalam ijmâ’.
Akan tetapi, jika yang dimaksud adalah
kelompok yang selamat, maka kelompok semacam ini, kata al-Tûfi bukan seluruh
umat Islam, tetapi hanya sekitar sepertujuh puluh tiga dari seluruh umat. Oleh
sebab itu kandungan hadits yang disandarkan pada nabi menjadi sepertujuh puluh
tiga umat muslim tidak akan bersepakat pada kesesatan. Ini merupakan ungkapan
yang meragukan, kata al-Tûfi, yang tidak layak disandarkan pada Nabi. Atau
dengan kata lain, hal ini merupakan pemalsuan, meskipun al-Tûfi tampaknya
dengan sengaja menolak mengatakan demikian secara langsung.
Kreteria di atas, tidak menjadikan sebuah batasan
terhadap maslahatbagi al-Tûfi, yang dikenal dengan tokoh
Kontroversial, dari madzhab Hanbali dinilai berlebihan dalam menilai maslahat. Mengingat dalam pandangan al-Tûfi,
pembagian maslahat
sebagaimana
pembahasan di atas, sebenarnya tidak ada dengan alasan tujuan syari’ah adalah
kemaslahatan, maka
dengan demikian, segala bentuk kemaslahatan didukung atau tidak didukung oleh
teks suci harus dicapai tanpa merinci kedalam pembagian maslahat secara kategoris.
Imam Malik sebagai orang yang pertama kali
menggunakan teori maslahat, berpendapat
bahwa maslahat
yang dapat dijadikan
sebagai sumber hukum harus memenui beberapa kreteria, yaitu adanya kesesuaian
dengan tujuan syâri’yang
secara umum didukung serta tidak bertentangan dengan nash. Pandangan al-Tûfi tentu berbeda terhadap
pandangan terhadap maslahat secara
umum yang telah dikemukakan oleh para ulama’ termasuk al-Ghazali. Jika para
ulama’ selain al-Tûfi memaknai eksistensi maslahat yang masih dalam lingkaran syarâ’, maka al-Thûfi lebih jauh melangkah
dan cenderung melandaskan konstelasimaslahatpada
superioritas oleh akal, karena akal manusia menurut al-Tûfi lebih objektif
dalam memposisikan kreteria maslahatdibandingkan
dengan pertentangan antara nash-nash syar’i. sehingga
dengan demikian, validitas kehujahan maslahatharus
diprioritaskan atas dalil-dalil lain termasuk nash syar’i.
Argument al-Tûfi berdasarkan pada hadits nabi yang
berbunyi lâ
dharâra wa la dhirâra. Menurut
al-Tûfi, hadits ini adalah prinsip syari’ah yang sangat asasi, karena maslahat pada hakekatnya adalah untuk mencegah
kesulitan yang diperlukan guna memberikan kemudahan bagi orang yang sedang
menghadapi kesulitan. Maka konsekuensinya, jika ada nashdan
ijmâ’ yang harus menyesuaikan dengan maslahat dalam kasus tertentu, maka hal
tersebut harus dilakukan, namun sebaliknya, jika antara nash dan ijmâ’
bertentangan maslahat
maka kedua dalil tersebut harus tunduk pada maslahat.
Pandangan al-Tûfi ini berasumsi bahwa nash (al-Qur’an dan al-sunnah), yang dibuat
oleh al-Syâri’,
untuk kemaslahatan manusia dan tidak sebaliknya, namun jika terdapat argument
yang menganggap nash tidak
relevan, maka harus dikembalikan pada maslahat, namun demikian al-Tûfi hanya mendefinisikan dalam
bidang muamalah dan ‘âdat
saja, karena wilayah ibadah hanya al-Syâri’
yang secara mutlak mengaturnya.
Pengunggulan maslahat terhadap nashdan
ijmâ’ bagi al-Tûfi didasarkan pada beberapa
argumen.
a. Kehujahan ijmâ’ masih diperselisihkan, sedangkan
kehujahan maslahat
telah disepakati oleh
para ulama’, sehingga mendahulukan sesuatu yang disepakati lebih utama daripada
sesuatu yang masihdiperselisihkan.
b. Nash
memungkinkan bayak
pertentangan sehingga menimbulkan perbedaan pendapat, sedangkan memelihara
kemaslahatan secara substansial merupakan sesuatu yang hakiki, sehingga
pengutamaan maslahat
adalah sebab terjadinya kesepakatan yang dikehendaki oleh syarâ’.
c. Secara faktual
terdapat beberapa nashyang
ditolak oleh para sahabat karena berdasarkan pada pertimbangan maslahat, salah satunya adalah hadits Nabi yang
artinya “Barang
siapa yang mengucapkan kalimat la ilaha illallah maka masuk surga”. Umar melarang penyebaran hadits ini
karena berdasarkan pertimbangan kemaslahatan, andai saja lafadz ini disebarkan,
maka akan timbul kemalasan untuk beribadah hanya dengan hanya mengandalkan
hadits tersebut.
Namun satu hal yang harus dicatat,
dalam konteks maslahat ini.
al-Tûfi membagi hukum Islam kedalam dua katagori, yaitu hukum Islam dan
katagori ibadah yang maksud dan maknanya telah ditentukan syâri’ sehingga akal manusia tidak mampuuntuk
menalarnya secara detail. Selain katagori ibadah, al-Tûfi juga membagi hukum
Islam kedalam katagori muamalat
yang makna dan maksudnya dapat dijangkau oleh akal. Dalam katagori inilah maslahat menjadi pedoman baik dikala ada nashmaupun ijmâ’
atau pun tanpa adanya dua dalil tersebut.
Secara operasional, maslahat al-Tûfi khususnyadalam ranah mu’amalah
ini dibangun atas empat prinsip, yaitu:
a. Istiqlâl
al’uqûl bi idrâk al-masâlih wa al-mafâsid (akal semata-mata dapat mengetahui tentang
kemaslahatan dan kemafsadatan).
b. Al-maslahah
dalīlun syar’iyyun mustaqillun ‘an al-nusush (maslahat
adalah dalil independen yang terlepas dari nash).
c. Majâl
al’amal bi al-maslahat humâ al-muâmalat wa al-‘âdat dûna al-ibâdat wa
al-muqaddarah (ranah
pengamalan maslahaadalah bidang muamalahdan adat bukan
ibadah dan muqaddarah).
d. Al-maslahah
aqwâ adillat al-syar’i (maslahatadalah dalil hukum Islam yang paling
kuat).
Dari
penjelasan konsep maslahat yang
dipaparkanal-Tûfi dan al-Ghazali, pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama
yaitu kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkan kemudharatannya, al-Ghazali
justru membagi maslahat
pada tiga kreteria, yaitu; maslahat mu’tabarah, maslahat mulghahdan maslahat mursalah, pembagian ini tentunya berdasarkan
analisa yang tajam oleh Ghazali. Justru al-Tûfi tidak berbicara pada tataran maslahat mu’tabarah, karena ia masuk dalam kreteria qiyâs yang justru bukan dari bagian maslahat yang dimaksud, al-Tûfi banyak
mengembangkan penalaran dan logika dalam menentukan kemaslahatan, karena akal
manusia pada dasarnya dapat membedakan antara yang maslahat dan mudharat. Al-Tûfi
menganggap bahwa akal lebih tinggi nilainya dalam penilaian nash, dan inilah yang mungkin kemudian
bahwa al-Tûfi dianggap berlebihan dalam memaknai konsep maslahat.
Meskipun
demikian, al-Ghazali dan al-Tûfi sama-sama ulama hebat yang mampu mencetuskan
suatu konsep serta mengembangkannya dalam menyikapi permasalahan agama di era
kontemporer yang selalu berkembang dan kompleks, sedangkan nash(Alquran dan al-Sunnah) sebagai sumber
hukum Islam belum memberikan dasar hukumnya. Meskipun al-Tûfi memberikan konsep
yang beda dibandingkan al-Ghazali, namun ia tetap masih memberikan pembatasan
pada konsep maslahat
hanya terbatas pada hal-hal mu’amalat
dan ‘âdat dan bukan wilayah ibadah dan muqaddarah (perkara yang sudah ada dalilnya).
REKONSTRUKSI TENTANG HAK
DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM PERSPEKTIF FIKIH FEMINIS
Dalam
realitas yang terjadi saat ini, bisa dikatakan bahwa hampir tidak ada perempuan
yang bisa dibatasi ruang geraknya hanya di wilayah domistik. Secara tidak langsung
mereka dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman dengan segala
perubahan-perubahannya. Tafsir-tafsir klasik merupakan refleksi dari kondisi
sosio-kultural yang mereka hadapi saat itu. Apalagi Islam dikatakan shālihun
fi kulli zamān wa makān, maka pikiran-pikiran keagamaan secara klasik dalam
tafsir-tafsir tersebut perlu mendapatkan penyesuaian kembali dengan situasi
sosio-kultural saat ini.
Al-Qur’an secara normatif menegaskan konsep
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Konsep kesetaraan itu mengisyaratkan
dua hal; Pertama, dalam pengertian yang umum, ini berarti penerimaan
martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang sama. Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan politik.
Menurut Husein Muhammad, gender adalah behabioral difference antara
laki-laki dan perempuan yang socially constructed. Yakni perbedaan yang
bukan kodrat atau bukan ciptaan tuhan melainkan diciptakan oleh baik laki-laki
maupun perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang, perbedaan
perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis, namun
melalui proses sosial kultur.
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan
terhadap suatu kelompok tertentu yang merugikan dan menimbulkan ketidak adilan.
Salah satu jenis stereotif itu adalah bersumber dari pandangan yang bias
gender. Streotif bias gender merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan
kultural, yakni dengan pemberian label tertentu yang memojokkan kaum perempuan.
Stereotipe laki-laki sebagai pencari nafkah juga berdampak pada
menganalisasi perempuan. Akibatnya, stereotif ini menjadikan apa saja yang
dihasilkan oleh perempuan hanya dipandang sebagai sambilan atau tambahan dalam
memenuhi kebutuhan keluarganya, meskipun tidak jarang pendapatan perempuan atau
isteri lebih tinggi dari laki-laki atau suaminya.
Akibat semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawabnya, maka
beban pekerjaan perempuan menjadi lebih berat. Perempuan menerima pekerjaan
menjaga kebersihan dan kerapihan rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci,
menyetrika dan mengasuh anak. Bagi keluarga menengah, maka beban ini akan
dikerjakan oleh pembantu rumah tangga. Akan tetapi, pembantu rumah tangga ini
pada umumnya adalah perempuan, yang sampai saat ini belum terlindungi secara
memadai oleh hukum negara. Sementara itu pada kalangan keluarga miskin, beban
kerja perempuan menjadi berlipat ganda di samping harus membereskan urusan
rumah tangga, mereka juga harus membantu bekerja di sektor publik untuk
membantu mencari nafkah tambahan bagi keluarganya. Curahan waktu dan tenaga
yang dihabiskan oleh perempuan lebih banyak dan berat daripada laki-laki.
Perempuanlah yang paling belakang menuju ke pembaringan di malam hari dan
paling cepat bangun di pagi hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa jam kerja
isteri sejak dari sebelum suami bangun sampai mata suami terpejam.
Kekerasan yang mengenai adanya pandangan gender, perempuan pada
umumnya disebabkan pandangan gender. Bentuk kekerasan fisik maupun non fisik,
yang berlaku di tingkat rumah tangga, tingkat negara bahkan sampai pada tafsir
agama. Salah satu bentuk
kekerasan fisik adalah pemerkosaan dalam perkawinan, aneh kedengarannya dalam
kehidupan suami isteri yang terikat perkawinan terjadi pemerkosaan.
Al-Qur’an sangat bijaksana dengan menyebutkan bahwa hubungan suami
isteri harus dibangun dengan cara mu’âsyarah bi al-ma’rûf. Suami yang baik
adalah suami yang dapat menyenangkan, menjaga dan membantu isterinya
seperti isterinya menyenangkannaya, menjaganya dan membantunya serta suami
harus sabar atas kekurangan isterinya.
Menurut
Mansour Fakih, suatu ketidakadilan harus mendapatkan tindak lanjut, menekankan pada sikap bagaimana menanamkan serta merubah gaya
hidup masyarakat kita saat ini agar terbangun sebuah kultur baru yang bersifat
bilateral, sehingga kebiasaan dan pemahaman serta sikap terhadap anak laki-laki
sama dengan perempuan, agar dapat terwujud sebuah keadilan gender. Sedangkan perempuan
yang menentang feminism.
Ada banyak faktor yang menyebabkan kaum perempuan
mengalami bias gender, sehingga mereka belum setara. 1) budaya patriarkhi yang
sedemikian lama mendominasi dalam masyarakat, 2) faktor politik, yang belum
sepenuhnya berpihak kepada kaum perempuan, 3) faktor ekonomi, dimana sistem
kapitalisme global yang melanda dunia, sering kali justru mengekploitasi kaum
perempuan, 4) faktor intepretasi teks-teks agama yang bias gender.
Syafiq
Hasyim berpendapat bahwa kesetaraan sebagai prinsip utama keadilan yaitu
memandang setara seimbang kedudukan laki-laki dan perempuan, tidak berdasarkan
pada perbedaan-perbedaan yang bersifat kodrati. Sebenarnya Syafiq lebih
menekankan makna filosofis dari laki-laki dan perempuan itu seimbang di hadapan
Allah kecuali dalam hal ketakwaan, namun dalam hak dan kewajiban dalam rumah
tangga seimbang dan tidak harus dibeda-bedakan kecuali dalam hal seks
yaitu perbedaan kelamin.
Menurut
Husain Muhammad, saling terkait dan saling memengaruhi, baik kepada laki-laki
maupun perempuan, secara terstruktur, yang pada akhirnya antara lak-laki dan
perempuan menjadi terbiasa dan terpercaya bahwa peran gender itu seakan-akan
kodrat Tuhan, yang dapat diterima dan dianggap sebagai suatu yang tidak harus
dikoreksi.
Menurut Nasarudin Umar, bahwa kepemimpinan dalam keluarga merupakan
sesuatu yang given untuk suami. Alasan utama mengapa suami dengan
sendirinya sebagai pemimpin keluarga adalah karena adanya fadl (kelebihan)
yang dimilikinya atas wanita, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak. Di
samping itu, infaq atau pemberian nafkah yang dibebankan kepada lelaki
atas isteri dan anggota keluarga yang lain juga sebagai alasan mengapa mereka
(suami) yang harus memegang kekuasaan dalam keluarga.
Nasaruddin
lebih menekankan dari sisi penafsiran, bahwa laki-laki dan perempuan adalah
mitra yang mampu bekerjasama dan saling membantu antara yang satu dengan yang
lainnya. Bahkan suami maupun isteri sama-sama memiliki hak untuk menjadi
pemimpin rumah tangga apabila isteri memiliki fadl yang berperan dalam
urusan publik, namun siapaun yang menjadi kepala rumah tangga hendaknya
mengedepankan prinsip sakinah, mawaddah wa rahmah untuk menjaga
keberlangsungan rumah tangga.
Menurut
Nasharuddin terjadinya ketidak adilan disebabkan; 1) belum jelasnya antara seks dan gender
dalam mendefinisikan peren laki-laki dan perempuan. 2) pengaruh kisah-kisah Isra’iliyyat yang berkembang luas
di kawasan Timur Tengah. 3) metode penafsiran yang selama ini banyak mengacu
pada pendekatan tekstual daripada kontekstual. 4) kemungkinan lainnya pembaca
tidak netral menilai teks-teks ayat al-Qur’an
atau dipengaruhi oleh perspektif
lain dalam membaca ayat-ayat yang terkait dengan gender, sehingga
seolah-olah dikesankan bahwa al-Qur’an memihak kepada laki-laki dan mendukung
system patriarkhi yang dinilai oleh kalangan feminis merugikan perempuan. Bias
gender bisa disebabkan oleh cara membaca ayat-ayat gender secara persial.
Posisi
perempuan yang disubordinat laki-laki sesungguhnya muncul dan lahir dari sebuah
bangunan masyarakat atau peradaban yang dikuasai laki-laki, yang secara popular
dikenal dengan peradaban patriarkhi. Oleh karena itu, maka akan menjadi
kesalahan besar apabila ingin memposisikan perempuan dalam setting budaya
seperti itu kedalam setting social dan budaya modern seperti sekarang ini. Kenyataan
dewasa ini memperlihatkan bahwa pandangan mengenai kehebatan laki-laki dan
kelemahan perempuan dari sisi intelektual dan profesi tengah digugat dan
diruntuhkan, meski tangan hegemonik laki-laki masih berusaha (melalui kesadaran
atau tidak) untuk tetap mempertahankan superioritas dirinya.
Menurut
Husein, secara sosiologis dan kultural, Islam memang hadir pertama kali pada
masyarakat Arab yang sangat kental berbudaya patriarkhi. Mereka sangat
mengagung-agungkan laki-laki dan kelelakian, dan sebaliknya merendahkan potensi
kaum perempuan. Budaya seperti itu ikut mempengaruhi dan membentuk kesadaran
dan asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang pasif, sementara laki-laki
ditakdirkan untuk terus aktif. asumsi seperti itu, sangat mempengaruhi bentuk
penghayatan keagamaan yang kita warisi sampai saat ini.
Menurut Husein, pada
prinsipnya, keadilan
dan kemaslahatan harus menjadi dasar dalam membuat hukum. Hukum
bisa berubah apabila tidak ditemukan kebaikan sosial. Produk fikih bercorak
patriarkis mendominasi seluruh ruang domestik termasuk dalam pernikahan.
Perempuan dimiliki suami, akibatnya isteri tak memiliki hak seksual atas
suaminya dan juga kontrol atas dirinya sendiri karena seluruh tubuhnya adalah
milik suami. Dampaknya, perempuan sebagai isteri tertutup dan malu untuk
mengungkapkan hasratnya terhadap suami. Hal lain bisa ditemukan dalam
kepemimpinan dalam rumah tangga, di mana perempuan tidak memiliki hak sebagai
pemimpin. Dampaknya bagi perempuan adalah sulit mengambil keputusan dalam rumah
tangga, bahkan atas dirinya. Isteri akhirnya sangat bergantung kepada suami.
Hak asasi perempuan sebagai isteri menjadi ternafikan. Fikih bisa bersifat adil terhadap perempuan, yakni dengan
mencari dan menyeleksi produk fikih yang relevan dengan perspektif keadilan. Fikih
menjadi pandangan yang akan selalu melahirkan perbedaan pendapat. Karenanya,
keputusan negara harus diambil. Keputusan negara mengikat dan menghapus
kontroversi.
Lebih
lanjut Husein Muhammad memberikan tanggapan bahwa jika kebudayaan adalah realitas kehidupan masyarakat manusia yang meliputi tradisi-tradisi, pola perilaku
manusia keseharian, hukum, pikiran dan keyakinan, maka kebudayaan yang tampak
secara umum masih memperlihatkan dengan jelas keberpihakannya pada kaum laki-laki.
Orang menyebutnya dengan budaya patriarki. Dalam kebudayaan ini, memapankan
peran laki-laki untuk melakukan dan menentukan apa saja, disadari atau tidak,
mendapatkan pembenaran. Sebaliknya perempuan berada dalam posisi subordinat. Ia
menjadi bagian dari laki-laki dan menggantungkan nasib hidupnya kepada
laki-laki. Otonomi perempuan berkurang. Keadaan ini sering kali terbukti
melahirkan sebuah proses marjinalisasi, bahkan juga ekploitasi dan kekerasan
atas kaum perempuan. Ini terjadi dalam segala ruang, baik domestik maupun
public.
Inilah fakta sosial dalam masyarakat, kesadaran
laki-laki dan perempuan cukup lemah. Penilaian yang bias terhadap perempuan
tersebut pada dasarnya juga berawal dari tiga buah asumsi dasar tentang
keyakinan beragama, yaitu; 1) Asumsi
dokmatis yang secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai pelengkap, 2)
Dogma bahwa bakat moral etik perempuan lebih rendah, 3) Pandangan
materialistik, ideologi masyarakat Makkah pra-Islam yang memandang peren
perempuan dalam proses produksi.
Berbeda dengan konsep Masdar Farid Mas’udi
memandang hak isteri untuk mendapatkan nafkah dan jaminan kesejahteraan dari
suami, di samping karena secara normatif telah disebutkan dalam nas
(al-Qur’an dan hadist), juga karena istri mempunyai peran dan tanggung jawab
yang cukup besar dalam reproduksi dan pengelolaan rumah tangga. Sangat tidak
adil jika perempuan atau isteri dibebani pula dengan masalah pembiayaan hidup
(untuk keperluan makan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan, dan sebagainya).
Maka sudah selayaknya suami memikul tanggung jawab tersebut.
Prinsip mendasar dalam menetapkan nafkah suami
kepada isterinya adalah dalam rangka menjaga anggota keluarga terbebas dari
keterlantaran. Sehingga dalam soal jumlah nafkah yang harus diberikan penulis
cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa hal itu sangat tergantung
kepada kebutuhan rumah tangga (istri dan anak-anak) di satu pihak dan kemampuan
suami di lain pihak. Akan tetapi, jika sampai keluarga terlantar karena suami
tidak memperhatikan kewajiban nafkahnya, istri dapat mengajukan gugatan cerai
(jika keadaan benar-benar memaksanya).
Musdah Mulia lebih kepada pemahaman kontekstual,
bahwa kenyataannya tidak semua laki-laki mampu berperan melebihi peran
perempuan, maka dalam hal ini tidak dapat dipaksakan bahwa suami harus menjadi
kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, bisa dimungkinkan
ternyata istri lebih mampu disektor publik, maka isteri akan dapat memegang peran
pemimpin dalam rumah tangga.
Musdah Mulia mengkaji surat al-Nisa ayat 32 dari
segi bahasa, menurutnya kata rijāl dan al-nisā’ bukan
satu-satunya istilah yang dipakai dalam al-Qur’an untuk mengungkapkan makna
laki-laki dan perempuan. Karena menurutnya, di dalam al-Qur’an ditemukan dua
kata untuk makna laki-laki yaitu rajul (bentuk singular) dan al-rijāl
(plural) atau al-zakar (singular) dan al-zakar
(plural).
Menurut Ratna Bantara
Munti, pada dasarnya konsep hubungan suami dan isteri yang ideal menurut Islam adalah konsep
kemitrasejajaran atau hubungan yang setara. Sebagaimana yang disebutkan dalam
surat al-Baqarah/2: 187. Ideal moralnya
adalah bahwa pada prinsipnya posisi laki-laki maupun perempuan adalah setara.
Prinsip kesetaraan ini selaras dengan bunyi surat al-Nisā’: 124.
Begitu
juga Ratna Bantara Munti memberikan komentar yang sama, pada prinsipnya
laki-laki dan perempuan merupakan kemitraan, yang posis mereka adalah sama,
hanya di bidang seks saja yang membedakannya bukan dalam wilayah gender.
Semua keumuman maslahat merupakan kenyataan yang tidak
diragukan adanya. Tak seorangpun menyangkal bahwa memelihara agama, jiwa, akal,
nasab dan harta merupakan hal yang dituntut dalam akal sehat manusia. Menurut
al-Syātibī yang dimaksud dengan al-maslahat
dalam pengertian syari’ mengambil
manfaat dan menolak mafsadat yang
tidak hanya berdasarkan kepadaakal sehat semata, tapi dalam rangka memelihara
hak hamba.
Jika kita melihat dari sisi maslahatitu dibarengi dengan sadd al-źarī’at, karena tujuan hukum tidak lain hanyalah
untuk kemanusian, dan selama tidak melanggar ketentuan syarā. Terkait dengan tawaran konsep
rekontruksi dalam bentuk reintepretasi
tentang hak dan kewajiban suami isteri yang ditawarkan oleh pra feminis Muslim,
tidaklah bertentangan dengan konsEp maslahat yang ditawarkan oleh al-Syātibī.
Menurut pendapat al-Syātibī, ada beberapa prinsip yang
harus dipenuhi dalam pengggunaan metode maslahat, yaitu; Pertama,
maslahat itu harus sesuai dengan maksud-maksud syarā’, sehingga
tidak akan terjadi pertentangan antara maslahat dengan
dalil-dalil hukum. Dari konsep pertama ini, konsep hak dan kewajiban suami
isteri yang digagas oleh para feminis muslim tidaklah bertentangan dengan hukum
syarā, dan ia bersifat umum, yaitu untuk kemaslahatan umum, karena
penafsiran yang ditawarkan dalam surat al-Nisā ayat 34 adalah hasil reitepretasi
(bentuk penafsiran ulang), karena sejatinya menolak hasil penafsiran bukan
berarti menolak ayat-ayat Tuhan.
Hal ini juga seirama dengan konsep sad źarī’at, yang
digagas al-Syātibī, bahwa sejatinya tujuan hukum adalah jalb al-massalih
wa dafu al-mafāsid (yaitu mengambil maslahat dan menolak kemudharatan).
Agar tidak terbawa kearus liberal, radikal dan fundamental, mAka dalam kajian
ini dibutuhkannya teori sad źarī’at, karena teori gender pada awalnya
adalah teori Barat yang digagas untuk menuntut keadilan, kesamaan dan hak asasi
manusia yang tidak terlepas dari munculnya banyak aliran. Tujuan hukum Islam
tidak lain hanyalah untuk kemaslahatan, yaitu menjaga agama, menjaga jiwa,
menjaga akal, menjaga nasab dan menjaga harta. Kebutuhan manusia dalam kemaslahatan,
yang dilakukannya adalah demi kemaslahatan, setidaknya kekuatan akal manusia
untuk tercapainya kemaslahatan yang tidak keluar dari tujuan syara’.
Kedua, maslahat itu memang masuk akal. Secara
kontekstual-praktis, peran perempuan tidak lagi di bidang domistik, namun
sebagian besar di bidang publik, maka sangat logis jika kemudian konsep nafkah
yang ditawarkan oleh para feminis muslin tidak lagi secara mutlak menjadi beban
suami, tetapi lebih kepada mitra untuk
saling bekerjasama, saling melindungi dan saling menopang dalam urusan rumah
tangga.
Ketiga, hasil penerapan maslahat
itu akan dapat menghilangkan kesempitan atau kepicikan yang memang tidak
diinginkan oleh syarā’.
Tentunya trobosan-trobosan ini haruslah ditangguhkan untuk dapat menghadapi
realita sehingga peran hukum yang harus progresif dan responsip terhadap
situasi dan kondisi tertentu.
Dengan kajian interdisipliner ini, setidaknya para
feminis Muslim tidak terlalu ambisius dalam memploklamirkan dan menuntut secara
fulgar terhadap hak-haknya secara setara. Karena justru dikhwatirkan terjerumus
pada aliran feminis liberal, yang menuntut kesetaraan secara terang-terangan.
Karena Islam tidak hanya berprinsip pada pemikiran, namun moral serta etika
menjadi bagian yang harus diprioritaskan.
Pendapat
para feminis dalam menawarkan rekontruksi dalam bentuk reintrepretasi
dibatas kewajaran dan tidak bertentangan dengan tujuan syari’ah,
sebagaimana yang diungkapkan al-Syātibī, namun demikian, hal ini tidak dapat
digeneralkan, dan hanya bersifat kasuistik semata, sebagai serpon bahwa secara
tersurat bahwa konsep perundang-undangan tentang hak dan kewajiban suami isteri
yang terkesan kaku dan baku, namun ada kalanya di konteks tertentu bersifat
lentur.
Dalam konteks kajian ini, bentuk rekontruksi konsep
hak dan kewajiban suami isteri dalam perundang-undangan Indonesia dan keadilan
gender lebih maslahat,
lebih adil dan lebih bermartabat, namun demikian, tentunya mengantisipasi hal
sekecil apapun yang akan terjadi atau timbul dikemudian hari, sehingga tidak
justru terjebak kepada hal-hal yang źarī’ah.
PENUTUP
Pernikahan
merupakan ikalatan yang legal (mitsaqan ghalidhan) untuk mewujudkan
keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Konsep maslahat merupakan
salah satu teori yang eksis dalam menyikapi perkara-perkara kontemporer, yang
dalam hal ini adalah hak dan kewajiban suami istri. Paradigm yang mengatakan
bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga cukup
mengusik para feminis muslim untuk mereintepretasikan dan merekonstruksi dengan
mempertimbangkan misi keadilan, kesetaraan, demokrasi dan mu’asyarah bi
al-ma’ruf, karena realitanya saat ini seorang istri tidak hanya membantu dalam
urusan rumah tangga, namun lebih daripada itu juga membantu dalam urusan
nafkah, maka makna kepala rumah tangga juga harus menanamkan nilai-nilai
kebersamaan, saling melindungi, saling menopang dan saling bekerjasama untuk
menjadi mitra yang baik sehingga paradigm ini harus diluruskan demi
kemaslahatan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah,” Jurnal Salam
Filsafat dan Budaya Hukum Vol 12, no. 2 (Desember 2014): 314. Lihat juga Muhammad Roy Purwanto, “Kritik Terhadap Konsep Mashlahah
Najm ad-Dîn at-Tûfi,” Jurnal Madania vol 11, no. 1 (Juni 2015): 29.
Imron Rosyadi, “Pemikiran Asy-Syâtibî tentang Maslahah
Mursalah,” Jurnal Profetika Studi Islam vol 14, no. 1 (Juni 2013): 82.
Amir
Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII
Press, 2001), 68. Lihat juga Hamzah
K, “Revitalisasi Teori Maslahat Mulghâh Al-Tûhfî Dan Relevansinya dalam
Pembentukan Perundang-Undangan di Indonesia,” Jurnal AL-AHKAM vol 15,
no. 4 (Januari 2015): 27.
Muksana Pasaribu, “Maslahat dan Perkembangannya Sebagai
Dasar Penetapan Hukum Islam,” Jurnal Justitia vol 1, no. 4 (Desember
2014): 352.
Muhammad
Ali Rusdi, “Maslahat Sebagai Metode Ijtihad dan Tujuan Utama Hukum Islam,” Jurnal
Syari’ah dan Hukum Diktum vol 15, no. 2 (Desember 2017): 168.
Alawy Rachman, Gelas Kaca Dan Kayu Bakar, Pengalaman
Perempuan Dalam Pelaksanaan Hak-Hak Keluarga Berencana, (Yokyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), h. 7
,Yusdani. Peranan
Kepentingan Umum DalamReakltualisasi Hukum; Kajian Konsep Hukum Islam
Najamuddin al-Thufi, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 50