BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum
sebagai salah satu kajian ilmu sosial, mempunyai karakter yang sangat dinamis
seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Selain dibentuk oleh masyarakat,
hukum juga membentuk masyarakat. Secara sosiologis hukum merupakan refleksi
tata nilai yang diyakini sebagai suatu pranata dalam bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Ini berarti muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi
masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya yang bersifat kekinian
melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi
dan politik di masa depan.
Pemikiran
di atas menunjukkan bahwa hukum bukan sekedar norma statis yang mengutamakan
kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasikan
pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-citanya. Jadi
hukum merupakan sarana untuk ketertiban dan kesejahteraan, atau hukum harus
mencerminkan apa yang dianggap baik serta harus mengindikasikan suatu
perencanaan, rekayasa atau perakitan masyarakat yang dicita-citakan, atau dalam
istilah Rescoe Pound “law as tool of social engineering
Salah
satu faktor yang memungkinkan terjadinya pembaruan hukum Islam adalah pengaruh
kemajuan dan pluralisem sosial budaya dan politik dalam sebuah masyarakat dan
negara. Jika kita lihat keadaan yang ada di masa yang sangat awal, maka
jelaslah peran dan pengaruh elemen-elemen sosial budaya terhadap ulama untuk
menentukan atau menemukan hukum Islam. Dengan demikian, kondisi masyarakat yang
ada akan berpengaruh terhadap pemikiran ataupun desakralisasi hukum Islam.
B. Rumusahan Masalah
1.
Apakah Yang Dimaksud Dengan Desakralisasi Hukum Islam?
2.
Bagaimana Kategorisasi Hukum Islam Berdasarkan Posisi
Ajaran?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendefinisikan
Pengertian Desakralisasi Hukum Islam
2. Menjelaskan
Kategorisasi Hukum Islam Berdasarkan Posisi Ajaran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Desakralisasi Hukum Islam
Ketika pemahaman beragama telah
dipatok mati hanya bertumpu pada
penafsiran –penafsiran para ahli agama di masa lalu tanpa sedikitpun
melakukan penafsiran fenomena masa kini terhadap teks kitab suci ,maka yang
akan terjadi adalah kebekuan atau bahkan
kematian agama .agama yang beku atau mati adalah agama yang telah kehilangan fungsinya sebagai pemeluk
arah bagi petunjuknya hal demikian pernah di alami oleh agama khatolik yang
telah beku bahkan mati ini lah yang
kemudian melahirkan gelombang
sekularisme di eropa .sebuah penolakan gelombang yang sangat besar
terhadap campur tangan agama yang sudah mati terhadap hidup manusia yang
senantiasa actual dengan segala
permasalahan barunya yang senantiasa meminta jawaban yang tanggap dan
cepat.
Apa yang terjadi dengan umat islam saat ini
persis seperti yang tergambar pada kisah
di atas ,dimana umat islam terpaku pada penafsiran –penafsiran sma tentang
syariah.jika ada permasalahan yang belum terjawab maka yang di lakukan adalah cepat –cepat
membuka kitab –kitab karya para ulama
klasik yang notabene dibuat
untuk menjawab permasalahan masa mereka dan belum tentu mampu menjawab permasalahan di masa kini .akibatnya yang
7terjadi adalah kemandengan pada umat islam di Indonesia.umat islam seolah
berhenti bergerak karna semangat taklid
yang membuat uamat menjadi jumud.dan megakibatkan agama islam seolah
beku,tidak aktual lagi ,dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman.
Untuk
menghindari kemujudan dan kebekuan itulah para lokomotif para pembaru islam di
Indonesia mulai mengerakan sebuah
gerakan modernisasi dengan tujuan untuk melepaskan umat dari taklit dan jumud kepada karya karya atau penafsiran –penafsiran ulama
masa lalu terhadap sumber ajaran
agama islam .para pembaru ini berjuang menyadarkan umat
agar tidak mempersamakan
penafsiran ulama masa lalu yang nisbi
itu dengan al quran yang mutlak dan yang tidak bisa di berubah itu adalah al quraan ,sedangkan penafsiran
atau karya para ulama masa lalu
adalah karya manusia yang tidak mutlak yang bisa ketinggalan zaman dan butuh di perbaharuhi oleh setiap
umat pada setiap zaman sesuai
dengan permasalahan yang di
hadapi.
Salah satu dari gerakan
modernisasi yang di motori oleh para
pembaru kita ini adalah desakrisasi hukum islam . desakrisasi di lihat dari
segi bahasa , berasal dari kata inggris sacral , yang berarti suci ,karamat,dan
angker ,kata ini sepandan dengan istilah "demitologi sasi", artinya
proses pembuangan nilai nilai mitologis .bila demikian kata
"desakralisasi" yang di maksud
adalah suatu proses pembebasan masyrakat
dari Dalam masalah "desakralisasi
"ini,nurcholis madjid lebih
mengikuti pendapat Robert N.billah ,yang
secara sosiologis menyamakan antara "desakralisasi"dengan
"sekularisasi"..dimana ,desakralisai
adalah suatu bentuk proses
sosiologis yang banyak mengisyaratkan
kepada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul, dalam arti tidak
sepenuhnya mengarah pada penghapusan orientasi
keagamaan ,seperti norma- norma, dan nilai nilai sosiologis lainnya
.proses pembebasan dari ketahayulan tersebut bisa terjadi karena dorongan atau , kelanjutan logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan,khususnya
monoteisme,dimana hanya tuhan lah yang harus menjadi pusat rasa kesucian .dari pendapat bellah
ini,nurcholis memaknai "desakralisasi" adalah suatu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari objek objek yang semestinya tidak tabu
dan tidak sakral.
Tauhid
itu sendiri ,menurut nurcholish, adalah selalu menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk tuhan.namun, bagi sementara orang,
justru merupakan bentuk sakralisasi kegiatan manusia.seperti adanya pensucian atau penyembahan terhadap berbagi objek
selain kepada tuhan, yang dalam pandangan islam termasuk manifestasi dari
bentuk"politeisme"(syirik).kemudia nurcholis menutup pernyataan
dengan kata kata ,bagaimanapun juga pandangan saya tentang sosiologi
sekularisasi yang bisa disebut desakralisasi, memang harus di akui masih
terdapatnya perbedaan pandangan,bahkan sempat menyulut kontroersi di sekitar
istilah tersebut. Hal itu dapat di lihat dari penolakan pak rasyidi atas penggunaan
istilah sekularisasi dan yang
semacamnya.sebab,bagaimanapun juga yang namanya sekularisasi tetep tak mungkin telepas dari induk
semangnya,yaitu"sekularisme",itu sendiri.
Sebagaimana di katakan
seorang ahli hukum di masa islam
klasik yaitu abul hasan Muhammad
ibn yusuf al amin (381 H) sebagaimana di kutip oelh hasbi ash-shiddieqy
(1975:45;46)sebagai berikut:
"sesungguhnya nash nash agama , walaupun banyak namun dia
terbatas , dalam arti tidak dapat di tambah lagi . ada pun kejadian kejadian
yang di hadapi manusia tidak akan berkesudahan.untuk
menghadapi kejadian kejadian itu dan
menetapkan hukumannya kita membutuhkan
ijtihad.artinya, kembali kepada ra'yu dan qiyas. Mengingat hal ini maka
ijtihad merupakan sesuatu yang tidak
dapat dihindari mengigat kebutuhan dan perkembangan.meskipun ijtihad itu di
larang dengan cara apapun,pada akhirnya mau tidak mau kita harus kembali
kepadanya."
B. Kategorisasi Hukum Islam
Berdasarkan Posisi Ajaran
Untuk melakukan desakralisasi terhadap
hukum islam dibutuhkan pengategorian hukum Islam, yakni apakah suatu hukum itu
tergategorikan sebagai ajaran dasar atau bukan ajaran dasar karena tidak semua
ajaran hukum dapat disakralisasikan. Dari keseluruhan umat Islam di dumia
ternyata sangan sedikit sekali memahami ajaran islam, bahwa ajaran islam yang
kita anut memiliki dua sisi proses disakralisasikan hukum islam sangat erat berkaitan
dengan dari ajaran Islam yaitu ajaran dasar yang absolute dan ajaran dasar yang
tidak absolu hal inilah yang diperjuangkan oleh para tokoh pembaru Islam
seperti tokoh pemimpin pembaharuuan pertama dimesir Rif’ah Badwi Al-khawantawi
(1801-1873) dilanjutkan oleh Jamaludin Al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad
Abduh (1849-1905). Di India. Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898). Di Indonesia
kita mengenal tokoh-tokohpembaru seperti Harun Nasutiaon, Nurcholis Madjid,
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Amien Rais, dan beberapa tokoh lainnya. Mereka berjuang
keras menyadarkan umat Islam, bahwa
ajaran Islam memiliki dua sisi yang berbeda (Nasution, 1995: 168).
1.
Hukum
Dalam Posisi sebagaui Ajaran Dasar
Hukum sebagai ajaran dasar yang bersifat absolute
atau mutlak atau universal serta abadi tidak dapat diubah karna ia berasal dari
Allah tuhan sang maha pencipta, dan rosulnya.Sisi ajaran dasar jelas bersifat
mutlak universal, dan tidak dapat diubah karna ia berasal dari Allah dan
rasulnya, ajaran dasar ini berfungsi sebagai sumber ajaran, ajaran tercantum
tersurat dalam nash.Ajaran islam dalam sisi yang inilah yang wajib ditaati
secara mutlak dan tidak boleh diubah hanya dari segi implementasinya, ajaran
ajaran ini juga berhadapan dengan ketersediaan wadah yang memungkinkan ajaran ajaran
dasar tersebut bias dilaksanakan, seperti kondisi subyek hukumnya, seting
sosialisasinya, posisi hukuman potong tangan bagi pencuri tidak serta-merta
langsung bisa diterapkan, perlu dipertimbangkan apakah kondisi ekonomoi
masyarakat sudah layak tidak lagi mencuri, juga ukuran barang yang dicuri
apakah ia telah sampai pada kadar yang membolehkan pelaksanaan hukuman potong
tangan dan beraga kendala lainnya. Oleh karna itu, terhadap ajaran dasar
Al-quran dan As-sunnah kita harus terus melakukan penggalian, tidak hanya pada
aspek tsubut atau wurudl ayat atau Hadisnya atau
dalalahnya saja, tetapi aspek Tanfizhiyahyah
juga harus dipertimbangkan, namun semuanya bukan berarti kita tidak
mengakui kebenaran ajaran yang sesuai dengan bunyi ayat atau hadits yang
dimaksud. Dengan penelaahan sedemikian, hukum-hukum yang dikandungnya bisa
memenuhi kebutuhan umat maupun negara kita, soluisi terhadap masalah-masalah
baru yang terus bermunculan dengan cepat
2.
Hukuman
Dalam Posisi Bukan Sebagai Ajaran Dasar
Hukum islam yang berada pada posisi yang bukan
ajaran dasar, maka ia bersifat tidak absolute atau tidak mutlak, tidak
universal dan tidak abadi serta dapat berubah karena ia berasal dari manusia
sebagai hasil penafsiran dari ajaran dasar ( Nasution, 1995: 169). Hukum dalam
sisi ini tidak abadi atau dapat ketinggalan zaman karena ia adalah hasil
penafsiran manusia terhadap Al-quran dan
As-sunnah sesuai kebutuhan untuk menjawab permasalahan pada zamannya. Produk
dari hasil penafsiran ini antara lain berupa hukum atau fikih, tafsir Al-quran,
tafsir hadits, tasawuf, filsafat, dan sebagainya yang merupakan hasil dari
usaha memahami pesan Allah dalam kitabnya dan pean Rasulullah dalam haditsnya.
Produk ini sepenuhnya sepenuhnya hasil usaha manusia yang bisa dipastikan akan
ketinggalan zaman bila zaman berubah, karena itu ia harus segera diganti
apabila sudah tidak mampu lagi menjawab tantgangan zaman. Kita semua yakin,
bahwa teks Al-Qur’an tidak bisa berbicara sendiri, ia juga bukanlah realitas
hidup yang dapat bergerak menerangkan maksud-maksudnya sendiri.
Al-Qur’an adalah petunjuk dari kitalah yang butuh
untuk untuk membacanya. Karena itu, membaca Al-QUR’an dalam rangka untuk
memahami maksud-maksudnya yang kemudian dirumuskan menjadi pedoman hidup adalah
proses tiada henti yang harus dilakukan oleh setiap generasi pada setiap zaman
yang membutuhkannya, dengan demikian Al-qur’an akan senantiasa actual dan
senantiasa berfungsi serta hidup dalam segala aktivitas umat (Asmawi, 2004:
23-24). Hal inilah yang seharusmnya dilakukan oleh umat Islam pada setiap
generasi dan pada setiap zaman. Hanya dengan cara seperti ini sajalah Islam
akan menjadi actual, hidup, dinamis, dan mampu memandu umat dalam menjawab
setiap persoalan baru yang datang silih berganti.
Tegasnya, ajaran bukan dasar adalah produk pemikiran
manusia yaitu hasil penafsiran para ulama ahli hukum di masalalu terhadap
sumber ajaran islam, yaitu Al-qur’an dan As-Sunnah. Produk tersebut anatara
lain berupa kodifikasi hukum Islamatau fikih yang dibuat dalam rangkan memenuhi
kebutuhan umat dimasa itu dalam menjawab berbagai permasalahan dan tantangan
dizaman itu. Produk-produk hukum itu, karena ia dibuat dimasalalu untuka
masyarakat masalalu dan untuk menjawab persoalan di masa lalu, maka sudah dapat
dipastikan produk-produk hukum tersebut akan sampai pada masa kedaluarsanya dan
kitya harus menyadari itu. Namun celakanya produk-produk manusia itu
diidentikan dengan ajaran Tuhan, hal inilah yang menjadi pokok masalah di dunia
Islam sekarang ini yang menyebabkan Islam menajdi membeku, tidak actual, dan
tidak menghadapi gempuran zaman (madzar, 1994: 371).
Sikap kita terhadap ajaran bukan dasar yaitu
karya-karya dari ulama masalalu terutama hukum Islam atau fikih kalsik,
terhadapnya kita wajib tetap bersikafhormat kepada para ulama tersebut,menjaga
karya-karyanya sebagai kewarisan kekayaan intelektual yang tk ternilai dan
menjadikan sang ulama serta karyanya sebagai refensi atau bahan rujukan dalam
melakukan upaya penafsiran terus-menerus terhadap Al-qur’an dan As-Sunnah,
dengan deikian ummat akan lepas dari belenggu kejumudan dan Al-qur’an dan As-Sunnah akan kembali
berfungsi menjadi petu njuk untuk mencapai kemajuan dan kebebasan peradaban
Islam (Sardar, 2005: 95).
Dengan kejel;asan dan kepastian batasan mana sumber
ajaran dan yang mana hasil penafsiran terhadap sumber ajaran yang merupakan
karya manusia, maka kita akan dapat memosisikan dengan benar dan bersikaf benar
pula yaitu, bahwa Al-Qur’an damn As-Sunnah adalah sumber ajaran yang mutlak,
universal, dan baku karena ia berasal dari Allah dan Rassulnya. Adapun
penafsiran manusia terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah murni karya manusia
yang sifatnya tidak mutlak, tidak universal, tidak baku, dan pasti akan
ketinggalan zaman. Karena itulah kita tidak boleh membakukan nya, tidak
menganggapnya sacral dan suci. Sebaliknya, kita wajib selalu untuk mengoreksi
dan memperbaharuinya sebagai kebutuhan kita dalam menjawab tantangan zaman
(Hassan, 197: 103). Hal inilah yangb harus disadari oleh umat Islam yang selama
ini terjebak dalam kebekuan yang mensakralkan hasil interpretasi hukum para
ulama masalalu menganggapnya sesuatu yang suci, bahkan mutlak sama suci dan
mutlaknya dengan wahyu ilahi sehingga tidak boleh diubah. Dengan demikianjelas
tergambar bagaimana seharusnya umat bersikaf terhadap ajaran dasar dan ajaran
bukan dasar.
Dalam babakan sejarah dunia, era Modern dimulai
sejak zaman kelahiran kembali (renaissance)
yang terjadi di prancis sekitar tahun 1500-an. Ciri penting dari zaman ini
antara lainmunculnya rasionalisme, kapitalisme, dan imperialism. Dalam zaman
ini pula lahir materialism dan hedonism, dan imperialissme, sebuah paham yang
menyebutkan, bahwa materi beserta kesenangan sesaatnya merupakan sumber
kebahagiaan dan oleh karena itu ia mesti diperoleh walaupun dalam proses
pencapaiannya seringkali harus melalui eksploitasi. Paham materialism dan
hedonism ini sendiri tidak lebih dari sebuah konsekuensi atas cirri-ciri yang
yang pertama.
Ketika dunia Timur (Dunia Islam) tengan menjalin
kontak dengan Barat (Eropa) pada sekitar bad ke XVIII M, maka amat terkejut
melihat kemajuan Erofa yang amat pesat. Dunia Timjur tidak mengira, bahwa Eropa
yang Pernah belajar dari Timur telah begitu Maju. Hal itu membuat para pemikir
Islam merenungkan apa yang perlu dilakukan untuk mencapai kemjuan kembali
sebagaimana pondasi ndasar yang pernah diletakan oleh para pemikir Muslim pada
Zaman klasiknsekitar tahun 650-1250 M. Sebagai puncak kemajuan Ilmu pengetahuan
Islam.
Melihat perubahan social yang berlangsung secara
drastis, akibat pengaruh kebudayaan Barat yang meluias keseluruh dunia, yang
mana dalam menghadapi dampak perubahan system berfikir maupun struktur social
sangat menuntut penyelesaian-penyelesaian yang bersifat dialektis, bukan lagi
secara normative. Problematika yang tak kalah penting adalah, adanya fenomena
baru, dimana para pemikir Muslim tersebut lebih cenderung berkiblat pada dunia
Barat, sehingga tak mengherankan apabila penyebaran serba-ismi barat, seperti ide tentang sosialismeateis,
sekularisme, modernism, liberalisme kapitalis, dan sebagaimana banyak mewarnai
dalam dunia Islam. Salam iklim pembaruan semacam ini, perlu ditelusuri ide-ide
pembaruannya, terutama dalam hal modernisasi, sekularisasi, dan desak ralisasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu dari gerakan modernisasi
yang di motori oleh para pembaru kita ini adalah desakrisasi hukum islam
. desakrisasi di lihat dari segi bahasa , berasal dari kata inggris sacral ,
yang berarti suci ,karamat,dan angker ,kata ini sepandan dengan istilah
"demitologi sasi", artinya proses pembuangan nilai nilai mitologis
.bila demikian kata "desakralisasi"
yang di maksud adalah suatu proses pembebasan masyrakat dari Dalam masalah "desakralisasi
"ini,nurcholis madjid lebih
mengikuti pendapat Robert N.billah ,yang
secara sosiologis menyamakan antara "desakralisasi"dengan
"sekularisasi"..dimana ,desakralisai
adalah suatu bentuk proses
sosiologis yang banyak mengisyaratkan
kepada pengertian pembebasan
masyarakat dari belenggu takhayul, dalam
arti tidak sepenuhnya mengarah pada penghapusan orientasi keagamaan ,seperti norma- norma, dan nilai
nilai sosiologis lainnya .proses pembebasan dari ketahayulan tersebut bisa
terjadi karena dorongan atau ,
kelanjutan logis dari suatu bentuk
orientasi keagamaan,khususnya monoteisme,dimana hanya tuhan lah yang harus
menjadi pusat rasa kesucian .dari
pendapat bellah ini,nurcholis memaknai "desakralisasi" adalah
suatu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari objek objek yang semestinya tidak tabu
dan tidak sakral.
Daftar Pustaka
Izomiddin.
2018.Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Prenadamedia Group.