BAB I
PEMBAHASAN
A.
LATAR BELAKANG
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, pada
dasarnya memperjuangkan syariat Islam merupakan suatu keharusan baginya
Salah satunya memberlakukan hukum pidana Islam di Indonesia. Namun, kejam dan
tidak manusiawi. begitulah kesan sebagian masyarakat terhadap hukum pidana
Islam (Fiqh Jinayah). Tiap mendengar pidana Islam, yang terbayang biasanya
hukuman potong tangan, rajam dan qishash yang dapat dikaegorikan sebagai
`vonis`. Padahal, studi yang obyektif dan mendalam terhadap hukum ini kana
menunjukan bahwa kesan sperti ini muncul, karena hukum pidana Islam dilihat
secara tidak utuh atau parsial.
Seharusnya, hukum pidana Islam dibaca dalam konteks
yang menyeluruh dengan bagian lain dari syariat Islam. Hukum potong tangan
contohnya, sering dituding telalu lampau kejam dan tidak adil. padahal, hukuman
ini baru dijatuhkan ketika sejumlah syarat yang ketat telah dipenuhi. Selain
itu, situasi dan kondisi pada lingkungan masyarakat itu menjadi pertimbangan
diberlakukanya hukum pidana Islam. Sebagai contoh, di masa kahlifah Umar bin
Khotob, hukuman potoang tangan tidak pernah diberlakukan karna terjadinya
krisis kebutuhan pokok dimasyarakat. Kalau hukuman itu diberlakukan, maka ini
tidak sesuai dengan maqosid asy-syariat atau tujuan hukumnya.
Saat ini, di negeri kita marak terjadi akasi kejahatan
yang amat meresahkan dan menakutkan masyarakat. seperti pembegalan
dijalan-jalan, pencurian, pencopetan, bahkan pada bulan Juli 2001, di sekitar
Bekasi terjadi pembunuhan yang didahului pemerkosaan terhadap ibu dua orang
anak dua. Mayat korban lalu dibakar dan dikubur di tempat kejadian. Sementara
itu, kejahatan seksualpun merebak dengan pesat. pornografi makin tak
terkendali, pelecehan seksual terjadi dimana-mana. penyalahgunaan narkotika dan
obat-obatan terlarang semakin bertambah, dan tindak pidana korupsi yang kian
tak terbendung.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa persoalan
administrasi hukum?
2.
Bagaimana
indentifikasi, definisi, dan rung lingkup hudud?
3.
Apa rasionalisasi
keagamaan hudud dalam standar hukum internasionl?
4.
Apa persoalan
diskriminasi didepan hukum?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui
persoalan administrasi hukum.
2.
Untuk mengetahui
indentifikasi, definisi, dan ruang lingkup hudud.
3.
Untuk mengetahui
rasionalisasi keagamaan hudud dalam standar hukum internasional.
4.
Untuk mengetahui
persoalan diskriminasi didepan hukum.
BAB
ll
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Hukum Pidana Islam
Al-Na’im
berpendapat terdapat sejumlah problem hukum materil, pembuktian, dan prosedur
dalam penerapan hukum pidana islam. Negara harus berusaha mempertahankan hukum
ketertiban dan keamanan dengan wewenang dan kekuasaan untuk menjatuhkan hukum
pidana yang mempengaruhi kehidupan, kebebasan dan pemilikan individu. Dalam
konteks sejarah formulasi hukum pidana islam, patut dipertimbangkan oleh
penguasa atau hakim untuk menggunakan wewenang kebijakan demi pengembangan dan
pembaharuan. Para ahli hukum awal (fukaha) telah memberikan beberapa garis
besar tuntutan berkenaan dengan wewenang ta’zil.
Namun masalahnya, menurut al Na’im Gris turunan ini masih sangat
samar-samar dan pada dasarnya tidak valid karena sifatnya tidak memadai bagi
upaya strukturisasi dan mengontrol kekuasaan dalam konteks negara-negara modern
yang pluralistik.
Selanjutnya, dalam pandangan
al-Na’im, hukum pidana sangat berpotensi menimbulkan kejahatan kemanusiaan dan
pelanggaran HAM, khususnya untuk jarimah
hudud. Namun, karena tidak ada ayat yang dapat dijadikan landasan untuk
menentang ayat-ayat yang sangat eksplisit dan tegas dalam menetapkan uhdud, maka tidak ada cara yang sah untuk menghapus da
membatalkan hukum tersebut kecuali hanya membatasi aplikasinya dalam praktik.
Menurut al-Na’im, dalam hukum pidana ini perlu mempertimbangkan ilmu
pengetahuan ilmu pengetahuan kontemporer seperti: piskologi, penologi,
sosiologi dan disiplin ilmu lain yang relevan. Memperhatikan kritikan-kritirkan
al-Na’im terhadap hukum pidana islam yang ditulis dalam bukunya Toward an Islamic Reformation; Civil
Liberties, Human Rights, and International Law, pada intinya terdapat
beberapa pokok masalah dalam hukum pidana islam yang dijadikan pembahasan
penelitian ini yaitu: a) persoalan
administrasi hukum pidana; b) Identifikasi, definisi, dan ruang lingkup hudud; c) Rasionalilasi keagamaan hudud dalam standar hukum internasional;
d) Persoalan diskriminasi di depan hukum.
a)
Persoalan Administrasi Hukum
Melakukan
survei perinci tentang administrasi peradilan pidana yang terjadi dalam sejarah
islam terasa sulit dilakukan, karena tidak tersedia informasi historis yang
andal. Akan tetapi, dapat diasumsikan bahwa banyak kebijakan administatif
dilakukan dalam administrasi peradilan pidana dalam berbagai tahapan sejarah
kaum muslimin. Dapat diduga pernah ada susunan peradilan pidana yang tepat dan
sesuai dengan syari’ah dalam suatu periode sejarah umat islam, namun
penerapan hukum pidana syari’ah secara
drastis tereduksi menjelang permulaan abad XX. Dimulai dari runtuhnya Khalifah
Usmaniyah di bagian barat dunia Muslim dan konsesi-konsesi timbal balik oleh
kerajaan Mongolian di timur sepanjang abad XIX serta kolonisasi negara negara
islam oleh Eropa, hukum pidana barat secara bertahap mengantikan syariah baik
pada level formal maupun praktiknya ( G. Ber,1977:139).
Syari’ah
histori hanya sedikit membicarkan masalah-masalah pelaksanaan hukum praktis
yang penting. Ini membuka jalan bagi formulasi modern dipandang dari sudut
pertimbangan-pertimbangan kebijakan islam. Sistem prosedur pidana yang
terperinci harus diformulasikan da diberlakukan sebelum hukum pidana islam
diterapkan. Perbedaan-perbedaan substansial antara model-model yang ada dan
perubahan-perubahan yang terus-menerus dan masing-masing model jelas menunjukan
sifat sistem perundang-undangan modern yang dinamis dan organik. Perlu
dibedakan hukum pidana islam sebagai materi fiqh
atau doktrin nash dengan hukum
pidana sebagai undang-undang. Ketika persoalan hukum pidana telah menyangkut
kepentingan publik, maka ia tidak lagi berfugsi sebagai materi fiqh tetapi ia harus menjadi materi
hukum positif. Ini berarti yang muncul adalah pendekatan perundang-undangan,
bukan sekedar wancana keilmuan.
Negara-negara
Islam diwajibkan menghormati standar-standar yang ada dalam dokumen-dokumen
hukum internasional, khususnnya yang berhubungan dengan administrasi hukum
pidana karena mereka harus melindungi hak-hak warga negara asing yang berada
didalam batasan-batasan geografis mereka. Semua negara memiliki warga asing
dengan jumlah yang cukup signifikan. Yurisdiksi pidana berlaku secara positif
bagi warga apapun yang melakukan tindak pidana di suatu negara tertentu.
Sebagian besar standar-standar konstitusional hukum pidana menghormati prinsip
itu dan memberlakukan perlindungan minimum untuk menentukan salah dan tidak salah secara adil dan sah. Persoalannya masih ada negara islam yang tidak menghormati
standar-standar yang internasional dimaksud, misalnya Arab Saudi, yang secara
tegas menerapkan kewarganegaraan hanya pada warga Muslim saja. Standar-standar
konstitusional dan internasional biasanya merinci perbuatan apa saja yang boleh
dan yang dilangar oleh hukum pidana. Namun, konstitusi nasional dan instrumen
internasional pada umumnya melarang hukuman atau perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi.
Dengan
demikian, implikasi dari prespektif pelaksanaan dari hukum pidana syari’ah
dalam suatu masyarakat yang multi agama terlihat dengan jelas. Kunci masalahnya
adalah, bahwa kedaulatan nasional atas substansi (materi) hukum pidana bukanlah pembenaran bagi penduduk mayoritas
untuk melaksanakan nilai-nilai moral, pengertian, ruang lingkup, dan isi hukum
pidana dari pihak mayoritas kepada minoritas. Seringkali pelanggaran seperti
ini ditemukan di negara negara yang mayoritas penduduknya beragama islam. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika administrasi hukum pidana di beberapa
negara muslim menyeleksi secara cermat apakah ia sesuai dengan semangat
konstitusi nasional dan instrumen-instrumen internasional. Menurut pandangan
al-Na’im, sebagian besar negara muslim modern telah mengambil pendekatan khusus
terhadap hukum pidana ini dalam kontitusi nasional mereka.
Standar-standar
kontitusinasional dan internasional yang disebut al-Na’im sebagai konsekuensi
masyarakat internasional yang mempunyai ototritas politik dan moral (jika bukan
legal) dan tinggi diantara deklarasi Universal HAM tahun 1948 dan perkatan
internasional tentang hak-hak sipil da politik tahun 1966. Deklarsi Universal
tersebut, didukung sebagaian negara besar Islam. Meskipun standar-standar
konstiusional dan internasional biasanya lebih berhubungan dengan masalah
prosedur pemidanaan yang sifatnya teknis, namun prinsip legalitas dan masalah
hukuman serta perlakuan tehadap seorang narapidana tetap perlu di perhatikan.
Prinsip leglitas diracang untuk memberikan maklumat seluas mungkin kepada
masyarakat tentang apa yang dilarang oleh hukum pidana sehingga mereka dapat
menyesuaikan tingkah lakunya.
Dalam
konteks hukum pidana islam, para penulis modern telah mengidentifikasikan tiga
kategori pokok pelanggaran, yakni: hudud,
jinayat, dan ta’zir. Hudud dikatakan suatu pelanggaran dimana
pelanggaran dimana hukuman khusus dapat diterapkan secara keras tanpa memberikan
peluang bagi pertimbangan, baik lembaga, badan, maupun jiwa seseorang. Jinayat mencakup pelanggaran, baik
dengan qishash (pembalasan setimpal)
maupun membayar Diyat (denda dengan
uang atau senilai) bagi korban atau diberikan kepada sanak familinya. Adapun Ta’zir merujuk kepada kekuasaan
legalitas yang didasarkan kepada kebijaksanaan yang tersisa bagi penguasa, para
hakimnya dan wakil-wakilnya untuk memperbarui dan mendisiplinkan warga mereka.
Tanpaberusaha
mengembangkan prinsip umum yang dapat iterapkan pada semua pelanggaran, maka
pendekatan yang diambil akan terlalu rumit dan fragmentaris untuk menopang
hukum pidana modern. Perkembangan prinsip-prinsip tanggung jawab, pembuktian,
dan prosedur pidana dari penerapan umum
bukan tidak sesuai dengan penerapan unsur-unsur tambahan yang khusus
terhadap pelanggaran tertentu atau kelompok pelanggaran yang mana pun. Salah
satu mekanisme untuk menggecek penyalahgunaan kekuasaan pemerintah adalah
prinsip kekuasaan hukum (the rule of law)
yang hanya memberi wewenang kepada para pejabat untuk bertindak sesuai
dengan aturan-aturan hukum penerapan umum yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Ketidaksepakatan
mengenai perincian yang pasti tentang prinsip pemisahan kekuasaan dalam
legislasi pidana oleh lembaga legislatif dan eksekutif yang independen dan
secara teknisrapan berkopenten dapat
saja terjadi. Karena hal itu menyangkut penrapan fungsi pemerintahan dengan
variasi kultural dan ideologis yang berbeda pula. Akan tetapi, menurut al Na’im
perbedaan-perbedaan dan variasi tersebuttidak sepatutnya memengaruhi validitas
universal prinsip ini begitu diterapkan pada peradilan pidana.
Ketegasan-ketegasa
dan ambivalensi yang mendasari kebijakan islamisasi yang dilakukan oleh
Presiden Ja’far Numeyry, tercermin pada undang undang September 1983. Sikap
ambivalen lainnya mencerminkan problem-problem dasar aplikasi hukum pidana
syariah modern yang di diskusikan pada bagian terdahulu. Dalam kritik singkat
terhadap sebagian undang-undang tahun 1983 berikut ini, tekanan akan diberikan
pada problem dasar hukum pidana syari’ah historis jika ingin diterapkan dalam
negara-negara modren. Undang-undang Acara Pidana Tahun 1983 secara sederhana
merupakan pemberlakuan kembali Undang-undang Acara Pidana “sekular” sebelumnya
secara keseluruhan.
Karena
kurangnya sistem hukum pidana substantif yang komprehensif dalam syari’ah, maka
undang-udang Pidana Sundan tahun 1983 direduksi dengan mencangkokan
aturan-aturan Hudud dan Jinayat syari’ah pada undang-undang
pidana yang ada. Dengan demikian, prinsip-prinsip umum tentang tenggung jawab
pidana bersama yang ada ketika suatu pelanggaran dilakukan oleh lebih dari
seorang, karena bersengkokolnya orang lain dalam melakukan pelanggaran tersebut
dan karena upaya untuk melakukan pelanggaran dipakai semuanya.
Bila
prinsip-prinsip syaria’ah diberlakukan dalam bagian 64 Undang-undang Pidana Tahun 1983, pengkhususan
hukuman yang mungkin dijatuhkan berdasarkan undang-undang tersebut, akan
memeperparah ambiguitas tersebut. Kebijaksanaan luas seperti dalam penjatuhan hukuman jelas
didasarkan pada kekuasaan Ta’zir syari’ah,
yang hampir-hampir tidak dapat dengan keras dibicarakan dalam sistem peradilan
pidana modern, karena ketidakjelasan yang tidak dapat diterima dan potensial
bagi penyelewengan. Konsekuensi-konsekuensi serius dari ambiguitas
sumber-sumber syariah tentang hadd haraba
atau qath al-thariq diilustrasikan
oleh penerapan hadd dengan variasi
pelanggaran yang luas dibawah undang-undang
pidana tahun 1983.
Disamping
menerapkan hukum syari’ah bagi hadd perampokan
dan pelanggaran-pelanggaran yang terkait sebagaimana sebagaimana didefinisikan
oleh undang-undang terdahulu. Bila kita cermati hukum hadd ini, dinyatakan didalam ayat 5:33 Al-Quran, baik hukuman mati
penyelipan, atau pemotongan tangan dan kaki secara silang atau pembuangan, maka
kita dapat menyadari bertapa pentingnya pembatasan aplikasinya pada tingkat
semaksimal mungkin. Problem penerapan hudud
terhadap non-muslim dimunculkan oleh Undang-Undang Hukum Pidana tahun 1983. Karena, berbagai hukuman syari’ah
terhadap hudud syariqah (pencurian), qath al-thariq (perampokan ditengah
jalan), dan qadzf (tuduhan zina tanpa bukti) diterapkan bagi
setiap pelaku pelanggaran, tanpa memandang agama dan kepercayaan mereka.
Keberatan
konstitusional atas undang-undang yang diskriminatif berdasarkan agama dan
gender dapat muncul dari undang-undang Pembuktian Negara Sundan 1983 yang
mencerminkan diskriminasi seperti ditentukan syari’ah. Sebagai contoh,
diskriminasi yang mendasari ketentuan undang-undang itu dengan kompetisi
kesaksian mengikuti prinsip-prinsip syariah yang mendiskualikasikan non-muslim
dan perempuan sebagai saksi dalam banyak kasus. Lebih lanjut, untuk menjamin
penyesuaian yang tuntas terhadap aturan-aturan syari’ah menyangkut kasus-kasus
tertentu, pasal 81 undang-undang itu menyatakan tidak ada ketetapan
undang-undang tersebut yang dapat ditafsirkan dengan cara tidak sesuai dengan
syari’ah. Dengan demikian, kompetensi kesaksian dalam undang-undang ditetapkan
sesuai dengan syari’ah, meskipun trem-trem yang digunakan dalam pasal 27
undang-undang itu bersifat netral.
Implementasi
standar hukum publik syari’ah yang adil, dalam padangan al-An’im, adalah dengan
membangun hubungan yang sangat erat dengan persepsi masyarakat mengenai
legitimasi standar-standar hukum publik yang baru, sebab kemungkinan menerima
dan melaksankan standar hukum publik yang baru lebih mudah apabila umat islam
menerima norma dan nilai yang sah dari sudut pandang kulturnya sendiri.
Mekanisme implementasi dan pemberlakuan resmi dan penyelesain atas pelanggaran
standar hukum juga tergantung pada persepsi masyarakatnya mengenai legitimasi
kultural terhadap standar hukum. Semakin kuat standar hukum publik syari’ah
dalam tataran kultural maka semakin mantap kesadaran masyarakat untuk
mengikutinya dan semakin lebih baik pemberlakuannya oleh para penyelenggaraan
resmi negara. Sebaliknya semakin dangkal legitimasi standar hukum tersebut,
maka semakin banyak pelanggaran yang dilakukan. Dalam prespektif ini hukum
publik syari’ah dapat mempunyai dampak “kultural” yang positif dan juga
negatif. Dampak positifnya jika hukum publik syari’ah mendukung norma dan nilai
yang malandasi standar hukum itu,sedangkan dampak negatifnya yaitu jika hukum
syari’ah itu tidak mendukung norma dan standar nilai hukum tersebut.
Al-Na’im
kembali memberlakukan teori nasakh dalam
konsep evolusi legislasi dalam rangka untuk membangun hukum islam yang koheren,
komperherensif dan sesuai dengan semangat Al-Quran dan Sunnah. Disamping itu ia
juga sekaligus mengkritk keterbatasan teori ijtihad tradisional yang masih
terbatas ruang geraknya yakni batasan mengenai teks Al-Quran dan Sunnah yang
jelas dan terperinci. Teori nasakh al-Na’im
juga mengajukan perlunya teori reformasi yang bercorak lintas kultural (global) dalam hukum publik syari’ah
yakni teori reformasi yang mempertemukan budaya hukum islam dengan budaya hukum
lain secara delektis. Standar hukum yang sudah dibakukan perlu dikenakan asas
berlaku surut (retrospektif) demi
tercapainya legitimasi kultural yang sebenarnya tanpa harus yang menjadi alat
justifikasi diantara salah satunya. Tujuannya adalah untuk membuat instrumen
dalam mencari konsensus seluas mungkin untuk mencapai legitimasi kultural yang
lebih luas, atau jika tidak dicapai, minimal diperoleh . persamaan.
b) Identifikasi, Definisi dan Ruang Lingkup Hudud
Hudud adalah
bentuk jamak dari hadd yang menurut bahasa berarti menahan (menghukum,
mencegah, mengekang, atau melarang). Olah karena itu, hudud merupakan peraturan
yang bersifat membatasi atau mencegah, sekaligus merupakan undan-undang dari
Allah yang berkenaan dengan halal dan haram. Menurut istilah, hudud berarti sanksi-sanksi
bagi orang yang melanggar hukum dengan dicambuk, dirajam, atau anggota badannya
dipotong.
Kesan mengerikan dari potong tangan dan kaki,
penyaliban, hokum mati, dan dera yang merupkan hokum khas syariah bagi
pelanggar hudud, adalah kesan popular
yang dominan menyangkut penerapan hokum islam. Wlaupun pelaksanaan
hukuman-hukuman itu tampaknya enjdi prioritas utama bagi umat islam pendukung
penerapan syariah secara tuntas, namun ada beberapa problem serius menyangkut
identifikasi dan definisi da ruang lingkup pelanggaran. Relevansi pembenaran
penologist yangberkaitan dengan pelanggaran hudud.
Dengan memberikan
beberapa contoh problem problem yang dikemukakan Al-na'im dan melakukan
refleksi terhadap masalah tersebut. pertama, masalah fundamental dalam
menentukan jumlah hudud dan mendefinisikan nya adalah dari mana menjabarkannya:
apakah wujud itu hanya terbatas pada pelanggaran-pelanggaran yang hukumnya
secara tegas ditetapkan dalam Al quran atau termasuk pelanggaran pelanggaran
yang hukumnya disebut dalam sunnah ? posisi yang diambil sebagian besar oleh
para ahli hukum perintis adalah, sudut merupakan pelanggaran pelanggaran yang
hukumnya ditetapkan dalam Alquran maupun sunnah . menurut pandangan ini, jenis
sudut ada 6: yaitu, sadiqah (pencuri), harabah (pemberontakan atau perampokan
besar dijalan), zina, qadzf (menuduh berzina), sukr (mabuk), riddah (keluar
dari Islam). Kedua, sebagian risalah fiqh Islam menyebutkan jadi ketujuh yang
disebut al-baghy, yakni pemberontakan bersenjata menentang negara Islam. akan
tetapi, karena ayat al-qur'an biasanya dinyatakan sebagai sumber hadd al-baghy
ini tidak menetapkan hukum individu, maka keberadaan hadd al-baghy yang
independen diragukan. kalaupun ada hukuman had bagi pemberontakan dengan
kekerasan atau bersenjata menentang negara, mungkin didasarkan pada sumber yang
lain misalnya dari ayat tentang haraba. Ketiga, ketetapan hudud sukr
(mabuk) dan riddah (murtad) juga
diragukan oleh al-na'im. Al-na'im juga menggugat hukum lain yakni hukuman
dengan sunnah sebagai sumber hudud. Alquran menentukan 100 cambukan untuk zina
tanpa mengaitkan status perkawinan pelaku . adapun sunnah menetapkan hukuman
pelemparan dengan batu sampai mati jika pelaku sudah menikah. Keempat, masalah
fundamental lainnya adalah dalam menentukan jumlah hudud dan definisinya
masing-masing darimana menjabarkannya. Apakah hudud itu hanya terbatas pada
pelanggaran yang hukum secara tegas diterapkan dalam Alquran untuk atau termasuk
pelanggaran pelanggaran yang hukumnya disebut dalam sunnah saja. posisi yang
diambil oleh sebagian besar ahli hukum perintis adalah mencangkup keduanya,
ayat dan Sunnah, yaitu: pencurian, pemberontakan atau perampokan besar zina
mabuk dan keluar dari Islam. Ke lima, terkait dengan pengertian pemberontakan,
Al na'im mempertanyakan definisi pelanggaran itu sendiri dan unsur-unsurnya.
Persoalan mendasar yang perlu dijawab adalah apakah pemberontakan sekedar
kejahatan atas harta terhadap korban yang di isolasi dan tak melawan atau
merupakan kejahatan politik diantaranya termasuk tentara yang membelot pada
perang saudara, dan konfiks dalam skala besar yang menyebabkan hilangnya banyak
biaya atau perusakan terhadap harta benda.
Dalam membahas
persoalan-persoalan atau keberatan-keberatan yang telah dikemukakan di atas,
al-na'im mengemukakan bahwa legislasi harus mendefinisikan prinsip-prinsip umum
tindak pidana yang tidak memenuhi syarat tanggung jawab pidana . dengan kata
lain, legislasi harus mengatur tanggung jawab seorang anggota komplotan dalam
satu pelanggaran yang dibedakan dari tanggung jawab pelaku langsung pelanggaran
tersebut. Sebagai contoh legislasi harus menentukan apa dan bagaimana tanggung
jawab hukumnya jika terdapat fakta bahwa seorang anggota persengkongkolan
adalah anak kecil atau cacat mental. Legislasi juga harus mengatur
pertanggungjawaban relatif dari sejumlah besar serta dalam perbuatan pidana
yang sama . bahkan seandainya apabila seseorang harus menggeneralisasikan
aturan tersebut untuk diformulasikan sebagai pelanggaran tertentu maka akan
ditemukan perbedaan pandangan di kalangan para ahli hukum dan terlalu kecil nya
otoritas pandangan mereka untuk menopang seperangkat prinsip umum yang
komprehensif dan koheren.
Pendapat al-na'im ini dapat dipahami maksudnya
agar setiap aspek yang terkait dengan hudud teridentifikasidengan baik sehingga
pertanggungjawaban hukumnya menjadi jelas baik mengenai substansi pelanggaran
maupun pelakunya. Dalam yurisprudensi Islam historis hanya membedakan hudud dan
jinayat dengan ta'zir dalam pendekatan dan kategori secara terpisah-pisah,
kekuasaan takzir pun tidak digunakan secara kolektif melalui pembuat hukum.
Gambaran pokok yang membedakan hudud adalah keseragaman (invariabalitas)
hukuman. persyaratan bahwa hukuman tertentu dijatuhkan ketika pelanggaran
diketahui oleh yang berwenang dan terbukti menurut Syariah dengan mengabaikan
aspirasi korban. baik korban maupun yang berwenang tidak memiliki kebijakan
apapun ketika masalah pelanggaran diadukan . ini merupakan perbedaan penting
antara hudud, di satu pihak, dengan jinayat dan ta'zir di pihak lain. walaupun
hukuman jinayat ditunjuk oleh teks Alquran yang jelas, namun teks yang sama
mengizinkan adanya kebijakan alternatif mengenai apakah menuntut atau memilih antara
qishas ( balasan setimpal ) atau
menerima diyat ( kompensasi uang/benda).
Pada prinsipnya tidak ada wewenang keagamaan
Islam untuk menghapus hard terhadap suatu pelanggaran, walaupun di sana mungkin
terdapat celah untuk mempertimbangkan kondisi umum dan khusus bagi
pelanggaran-pelanggaran tertentu di dalam batasan umum Alquran dan Sunnah.
suatu pendekatan radikal guna memperbarui aspek hukum publik Syariah telah
disarankan dalam bagian studi ini. Wewenang Alquran dapat dinyatakan sebagai
prinsip modern alternatif . pada prinsipnya, kata Al na'im, tidak ada otoritas
Qur'ani untuk menghapuskan hudud yang dapat dilakukan adalah
"pembatasan" aplikasinya dalam praktik. dari perspektif tingkat
kekejaman hukuman yang ditemukan secara ekstrem dan konsekuensi-konsekuensi
politik negatif pelaksanaannya, al-na'im
yakin, bahwa adalah lebih baik untuk membatasi persyaratan keniscayaan
hukuman hudud terhadap pelanggaran-pelanggaran yang hukumnya senantiasa disebut
secara khusus dalam Alquran. Jika hal ini menjadi kriteria maka hendaknya
dibatasi pada 4 pelanggaran yang pertama. Yakni Sariqah, haraba, zina, dan
qafzh karena hanya pelanggaran-pelanggaran itulah yang hukumnya dalam teks
Alquran disebutkan dengan jelas dan terperinci. oleh karena itu, penggunaan
Sunnah untuk mendukung hukuman yang lebih berat (rajam) dalam kasus zina
mungkin dibedakan dari penggunaannya sebagai sumber hudud karena zina merupakan
hadd berdasarkan al-quran, sedangkan sunnah semata-mata menjatuhkan hukuman
yang lebih keras di dalam situasi tertentu ( status telah beristri).
Selain itu, pandangan
yang terbatas tentang sumber-sumber hudud direkomendasikan oleh problem-problem
tertentu yang terkait dengan 2 hudud yang lain yakni sukr dan riddah. "Berkenaan dengan sukr
(mabuk), baik Alquran maupun sunnah tidak menyebutkan hukuman khusus. "
hal ini dapat dilihat dari perbedaan pendapat yang luas di kalangan para ahli
hukum islam atas banyak aspek pelanggaran yang memasukkan jumlah cambukan
tertentu untuk dikenakan sebagai hukuman. terasa agak mengherankan, bahwa para
ahli hukum telah menyetujui klasifikasi pelanggaran tersebut sebagai had,
karena nabi, tegas Al na'im, tidak mengatur hukuman peminum alkohol dalam
berbagai kasus dan memerintahkan hukuman cambuk dalam jumlah yang tidak
terbatas.
Dapat dijelaskan bahwa
kasus yang diperintahkan untuk dihukum lebih merupakan contoh khusus bagi
penggunaan ta'zir (hukuman yang berdasarkan kebijaksanaan) daripada penjelasan
hukuman tertentu dan pasti yang membuat pelanggaran suatu hadd. Dalam persoalan
Ridha menurut al-na'im walaupun riddah (keluar dari Islam) dikecam oleh Alquran
dengan kata-kata yang paling keras namun Alquran tidak menetapkan hukum apapun
bagi riddah. Bahwa ayat-ayat Alquran (Q.S Al-Baqarah (2): QS. Yunus (10): 99
dan QS. Al-kahfi (18):29).memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih
keyakinannya, tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam secara fitrah
dirasakan apabila orang memeluk Islam karena kesadaran bukan karena terpaksa
atau tipudaya, akan selamanya tetap masuk Islam. terlebih lagi, tidak ada
alasan untuk menghukum seseorang yang hanya karena ia melakukan perbuatan
tertentu kemudian ia dituduh murtad berdasarkan pandangan pandangan sempit atau
pertimbangan-pertimbangan politik apa yang dikemukakan al-qur'an pada abad-abad
pertengahan mengenai term-term kebebasan dan tidak adanya paksaan dalam
berpandangan merupakan puncak peradaban . mayoritas ahli hukum muslim
mengklasifikasikan riddah sebagai hadd yang bisa dihitung hati seperti disebut
dalam sunnah. namun klasifikasi seperti itu melanggar hak asasi kebebasan
beragama yang didukung oleh Alquran sendiri dalam sejumlah ayat. Menyadarkan
pada otoritas Alquran yang lebih tinggi bagi kebebasan hati nurani dan
membantah bahwa sunnah yang ada menjatuhkan pidana mati dapat dijelaskan
situasi khusus dari kasus yang dibicarakan beberapa penulis muslim modern yang
berpendapat bahwa Rida bukanlah hadd.
Memang, pendekatan ini
memperbincangkan konsekuensi konsekuensi negatif riddah lainnya dalam syariah,
tidak pula menghalangi penjatuhan hukuman yang lain bagi riddah dengan ta'zir.
Naim dengan argumen di atas, berpendirian untuk menyingkirkan semua keberatan
konstitusional dan hak asasi manusia, maka konsep hukum riddah dan semua
konsekuensi perdata dan pidana nya harus dihapuskan. otoritas sunnah, yang
mungkin ada bagi konsekuensi-konsekuensi pidana dan konsekuensi konsekuensi
lainnya terhadap orang murtad seharusnya dijadikan sebagai suatu hukum
peralihan yang tidak lagi bisa diterapkan sebagai prinsip evolusi.
C) Rasionalisasi
keagamaan dalam standar hukum internasional
Bertolak dari sudut
pandang keyakinan, seorang muslim percaya bahwa hukuman hudud yang khas
tersebut adalah patut dan akan mencapai kemaslahatan sosial dan perorangan
sebagaimana dibayangkan, karena Tuhan yang menetapkannya. Dari sudut pandang
ini, sia-sia mencari indikasi cultural hukuman hudud. bagi orang yang
beriman,hukuman tersebut ditetapkan berdasarkan kewajiban karena Tuhan telah
menentukan. Kredo pandangan hidup dan ultimate cencern, dan tidak melihat agama
sebagai hal yang juga bersifat historis cultural. M. Amin Abdullah,
"rekonstruksi metodologi studi agama",
kebenaran logika keyakinan agama mungkin
berlaku bagi orang yang beriman, namun permasalahannya ia tidak memiliki
validitas bagi orang yang tidak beriman. kecuali kalau sudut bisa dibenarkan
atas dasar rasional. Sebab, hukum tersebut secara rasional tidak bisa
diberlakukan terhadap non muslim karena mereka tidak akan mampu memahami alasan
keagamaan di balik hukuman itu . mereka juga tidak akan memperoleh manfaat dari
perspektif kemaslahatan a keagamaan agama mereka.
Persoalan pendekatan
terhadap hukuman pidana itu mungkin juga ditentang karena dianggap sebagai
diskriminasi berdasarkan agama memperkosa persamaan konstitusional di depan
hukum. itu mungkin juga karena dianggap sebagai berdasarkan agama memperkosa
hak persamaan didepan hukum. dengan kata lain, seorang warga negara muslim
mungkin keberatan menjadi objek hukum yang tidak bisa diterapkan pada warga
nonmuslim.pembebasan nonmuslim dari penerapan hidup dapat menimbulkan berbagai
problem serius yang lain termasuk masalah menentukan afiliasi agama pelaku.
Jika hudud itu terapkanhanya kepada umat Islam dan riddah tidak bisa dikenai
hukuman mati, seperti telah dijelaskan terdahulu, seorang pelaku pelanggaran
mungkin berusaha menghindari hukuman had dengan menolak beriman pada Islam.
Al
na’im juga mengangkat
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan prinsip umum tanggung jawab,
pembuktian, dan prosedur pidana hal ini disebabkan karena sama-sama tidak
dikembangkan dalam syariah. daftar persoalan-persoalan yang terpecahkan jauh
lebih banyak. Masing-masing masalah yang dikemukakan di atas memasukkan
sejumlah persoalan-persoalan yang sama pentingnya. persoalan-persoalan itu
terlepas dari alasan-alasan politik, tidak pernah diperbincangkan dan
diselesaikan secara otoritatif sebelum penerapan hukum pidana Islam di
negeri-negeri seperti sudan. Abdullah Ahmad Al naeem, ketika mengomentari hukum
Islam yang berhubungan dengan urusan publik seperti hukum hudud, qishas, dan
yang sejenisnya mengatakan, hukum publik yang terkandung dalam syariah adalah
sepenuhnya dapat dijadikan landasan dan konsisten dengan konteks historis
nya.menurut logika Syariah sebagai hukum keagamaan, sekali Alquran dan Sunnah
berbicara jelas dan pasti, maka orang beriman tidak memiliki pilihan lain
kecuali patuh . ketika semua pertimbangan teks yang sesuai dan penafsirannya
diselesaikan, maka sampai pada kesimpulan menjadi perintah bagi orang beriman.
pencarian pembenaran rasional mungkin membantu orang beriman memahami kebebasan
dan alasan aturan tersebut tetapi gagal menemukan pembenaran yang objektif dan
memadai yang tidak membebaskannya dari memenuhi kewajiban tersebut.
Dengan cara ini,
sejauh umat menyangkut Islam, pertimbangan-pertimbangan sosiologis dan
penologis tidak dapat mempengaruhi prinsip hudud. kebenaran hudud sebagai
bagian dari hukum pidana suatu negara Islam adalah tidak lepas dari keberadaan
atau kuatnya pembenaran sosiologis maupun penologis. tetapi, bagi Al naeem terlihat
jelas bahwa penerapan praktik hudud tergantung pada faktor-faktor politik.
literature penologi kontemporer berusaha menentukan kebijakan pidana dalam
mempertimbangkan ganti rugi ( retribution), penangkalan (deterrence), dan
perbaikan (reform) pelaku pelanggaran.
Pertimbangan-pertimbangan
menyangkut pencegahan, baik pelanggaran khusus maupun pelanggaran-pelanggaran
potensial yang lain dan perbaikan pelanggar melalui hukuman, didasarkan pada
asumsi tertentu menyangkut pola-pola dan motivasi perilaku manusia. namun
keputusan penerapan hukuman tertentu terdapat suatu pelanggaran yang ada bisa
di justifikasi sebagai pencegahan atau perbaikan, didasarkan pada pertimbangan
nilai yang tidak terlalu berlebihan atau tidak tepat bagi pelanggaran tersebut.
Dengan kata lain, ketidakpantasan yang berlebihan suatu hukuman yang ada dapat
menghilangkan nilai pencegahan atau menghilangkan potensi untuk memperbaiki nya
atau malah dapat diabaikan sama sekali.
ketika diterapkan pada hudud, analisis ini dapat mengantarkan ke arah
kesimpulan-kesimpulan berikut.rasa kemanusiaan kita yang independen tentang
keadilan dapat mengetahui misalnya, bahwa pemotongan tangan kanan adalah
hukuman yang terlampau kejam terhadap (pencuri). sekali lagi kita dapat
merasakan, bahwa melempari batu hingga mati adalah hukuman yang terlampau kejam
terhadap pelaku zina yang masih terikat perkawinan. Pandangan-pandangan
kelayakan hukuman hudud tersebut didasarkan pada pertimbangan nilai kita
tentang ketercelaan moral dan konsekuensi-konsekuensi sosial perbuatan
tersebut. dalam kasus dari sudut pandang agama pun, orang yang beriman harus
memegangi pertimbangan nilai kemanusiaan untuk disubordinasikan pada
pertimbangan ilahiyah sebagaimana dinyatakan dalam Wahyu.
Seseorang harus
menerima pertimbangan nilai ilahiyah dan lebih berusaha membenarkan dan mencari
pembenaran dan memahaminya ketimbang menolaknya berdasarkan pertimbangan nilai
kemanusiaan yang independen. Ustadz mohmoud thaha, menurut al-na'im, telah
menjelaskan, bahwa prinsip Al - muwa'adah (ganti rugi dan timbal balik). Yang
mendasari hudud (dan qisas, mata di bahas mata) adalah memancar dari sumber
kehidupan yang fundamental. Hal tersebut bukan hukum agama dalam pengertian
umum biasa. bagaimanapun, prinsip umum ini dapat dipahami oleh seluruh umat
manusia, tanpa mempedulikan Apa agama atau kepercayaan yang mereka anut. bahwa
hukuman-hukuman tersebut adalah tepat karena disamping ia melayani kepentingan
agressor juga melayani mereka yang menjadi korban dan masyarakat pada umumnya.
dengan mengambil contoh seseorang yang mencabut mata orang lain dengan menahan
kemarahan ustadz Mahmoud menjelaskan masalah ini sebagai berikut: jika yang
menerima ganti rugi berada pada posisi yang sama dengan posisi korbannya dan
matahari dicabut seperti yang terjadi pada korban tersebut (muwa'adah) , maka
dua tujuan telah terpenuhi pada waktu yang sama. Pertama, kepentingan komunitas
akan terlindungi dengan mencegah agresor nya, sekaligus mempertinggi
kepekaannya dengan pengalaman dia dengan demikian, ia menyadari sakitnya
penderitaan tersebut dan besarnya kerugian telah dia perbuatdengan demikian, ia
menyadari sakitnya penderitaan tersebut dan besarnya kerugian telah dia
perbuat. Ustadz Mahmud membenarkan hukuman hudud dengan cara yang sama. dengan
mengambil contoh hukuman had zina ia mengatakan bahwa pelaku zina mencari
kesenangan dengan mudah tanpa menghiraukan Syariah (hukum), maka mereka dibuat
menderita agar memperoleh kembali perasaannya. Dengan membuat dirinya
menderita, karena telah menuruti kesenangan yang terlarang, dia menegakkan
kembali keseimbangan dan menghindari sikap sembrono dan bodoh. Penalaran ini bisa jadi menyakinkan tidak bisa jadi
menyakinkan bagi non muslim.
Bagaimanapun juga harus
ditekankan, bahwa keyakinan umat Islam terhadap hudud untuk kemaslahatan
nonmuslim dan umat Islam tidak relevan dari sudut pandang non muslim yang tidak
terlibat dalam keyakinan tersebut. namun ada otoritas tinggi dalam syariah
untuk memberlakukan hukum hak tertentu terhadap non-muslim. Misalnya, pemahaman
bahwa pelemparan batu hingga mati bagi pezina yang terikat perkawinan merupakan
bagian dari hukum Yahudi. nabi dikabarkan telah menerapkan hukuman ini terhadap
kaum Yahudi berdasarkan hukum yang dipercayainya di negara Madinah. Al naim
menyatakan, bahwa rasionalisasi keagamaan hudud adalah pembenaran yang tidak
memadai untuk memasukkan pelanggaran-pelanggaran tersebut dan hukuman hukuman
nya ke dalam hukum pidana negara bangsa modern kan tidak ada upaya yang pernah
dibuat untuk menjustifikasi hudud dalam tren-tren sosiologis dan teologis
lintas kultural dan lintas agama. Dari sudut pandang Islam, Al naeem ingin
memberikan argumentasi, bahwa Islam yang fundamental tentang kebebasan beragama
dan keadilan dalam pemerintahan dengan jelas memberi indikasi bahwa undang-undang
pidana Islam tidak harus diberlakukan terhadap non muslim yang tidak
menghendakinya, pembenaran sosiologis dan penologi sudut mungkin relevan pada
level yang lain. Seperti dijelaskan di atas, pada prinsipnya, merupakan
kewajiban agama umat Islam untuk menerima hudud sesuai dengan usaha-usaha
mereka untuk membatasi penerapannya secara praktis.
Kesimpulan umum bagian
ini adalah, bahwa terlalu banyak peluang untuk penyalah penyalahgunaan hudud
jika ia diperlakukan terhadap warga negara di negara Syaruah mutakhir. karena
sifat kekuasaan ta'zir yang asli, maka masalah kebijakan pidana dalam laporan
ini mungkin membuat dirinya lebih siap untuk dikonsumsi ikan yang disepakati
ketimbang dalam lapangan hudud dan jinayat. umat Islam secara umum lebih tidak
terikat oleh ajaran iman mereka yang fundamental untuk membedakan anakan
tindakan tertentu atau membebankan suatu bentuk hukuman yang ada daripada dalam
kasus kasus hudud dan jinayat.
D) Persoalan diskriminasi
didepan hukum
Pembunuhan dan melukai
anggota badan disebut di dalam sejumlah teks Alquran dan Sunnah. Sehubungan
dengan sifat yuridis pelanggaran-pelanggaran itu kita hanya mempunyai kutipan
Alquran 2:175 dan 5:45 untuk mengilustrasikan problem-problem tersebut. Unsur kebijaksanaan yang diberikan kepada korban atau
sanak keluarganya dalam ayat itu, mengeluarkan jin ayat dari kategori hudud
yang tegas, menurut al-na'im, karena ada kebijaksanaan yang tidak sama. Al'naim
menduga, bahwa kebijaksanaan dalam jinayat ini secara jelas ditafsirkan dengan
sudut pandang kebiasaan suku yang berlaku pada masyarakat muslim awal. baik
orang yang diberi wewenang untuk menggunakan kebijaksanaan tersebut maupun
kompensasi (diyat) yang tepat ditentukan oleh praktik kebiasaan suku Arab abad
ke-7. Sunnah dan praktik muslim awal memberi masukan terperinci prinsip jinayat
ini.
Banyak aspek pada
aturan itu yang tampak tidak sesuai dengan prinsip persamaan didepan hukum.
Sebagai contoh, diyat ( kompensasi uang/benda) karena pembunuhan terhadap
seorang perempuan ditentukan oleh ahli hukum islam awal dengan nilai setengah
dari jumlah kompensasi pembunuhan terhadap seorang laki-laki. hal ini sebagian
disebabkan karena ayat pertama yang dikutip di atas menyatakan, umum Syariah
yang didasarkan pada ayat-ayat Alquran yang lain, bahwa seorang perempuan
bernilai setengah kesaksian laki-laki dan menerima setengah bagian warisan
laki-laki. memang benar secara prinsip, bahwa tindakan pidana dapat menyebabkan
kompensasi yang dibayar dengan uang juga dapat tetap memberlakukan hukuman
terhadap pelakunya. Namun, al-naim, beranggapan adalah penting untuk menentukan
sifat dasar tindakan tersebut dengan sudut pandang yang berbeda secara
signifikan dalam aturan-aturan pembuktian dan prosedur yang dapat diterapkan
terhadap masing-masing tipe tindakan . untuk mempertahankan perbedaan-perbedaan
tersebut dan penerapannya dalam praktik hukum sehari-hari pada tahap tahap
peradilan maupun pasca peradilan.
Mungkin ada ruang bagi
kebijaksanaan eksekutif dan yudikatif dalam menentukan kondisi kondisi yang
memberikan pilihan bagi individu, tetapi logika Syariah sebagai hukum agama
akan mencegah eliminasi pilihan individu karena ia dijamin oleh Alquran.
Walaupun dikaitkan dengan kategori-kategori hudud, jinayat, dan ta'zir yang
terpisah, namun aturan-aturan pembuktian yang sebenarnya diartikulasikan oleh
para ahli hukum awal tersebut memunculkan berbagai problem umum. diskriminasi
terhadap perempuan dan nonmuslim dibawa ke dalam hukum pembuktian dengan
menolak perempuan dan non muslim yang sesungguhnya berkompeten untuk menjadi
saksi dalam beberapa kasus atau membatasi kompetensi mereka dalam hal-hal yang
lain. bila kesaksian perempuan diterima, misalnya masih di syaratkan dua saksi
perempuan sedangkan laki-laki cukup satu orang.
Al-na'im kembali menegaskan bahwa gambaran-gambaran
diskriminasi terhadap perempuan dan non muslim hanya dapat diselesaikan dengan
revisi pundamental terhadap berbagai asumsi dasar dan orientasi Syari’ah
historis. tampak jelas bahwa perumusan kembali aturan-aturan pembuktian yang
ada, dengan kompetensi kesaksian mendasarkan pada kriteria lain yang objektif
dan adil, di luar gender dan agama merupakan keharusan bagi penerapan hukum.
Islam modern secara umum dan hukum pidana khususnya karena aturan yang paling
diskriminasi diterapkan dalam wilayah hukum pidana ini. pemecahan berbagai
masalah pembuktian lain mungkin tidak melibatkan revisi fundamental Syariah
historis. Formulasi-formulasi sebelumnya dari pengaruh paksaan atas
dibolehkannya pengakuan, misalnya secara sederhana mencerminkan pandangan
pandangan para ahli hukum dan mazhab yurisprudensi tertentu yang tidak
berkaitan dengan asumsi dasar dan orientasi syariah secara keseluruhan
menyangkut status dan hak perempuan dan nonmuslim. Sekali lagi, penerapan
aturan-aturan pembuktian modern, misalnya, yang mengatur kebolehan dan bobot
pendapat saksi ahli atau bukti dokumenter dan bukti-bukti fisik, tidak sesuai
dengan prinsip umum Syariah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Negara
harus berusaha mempertahankan hukum ketertiban dan keamanan dengan wewenang dan
kekuasaan untuk menjatuhkan hukum pidana yang mempengaruhi kehidupan, kebebasan
dan pemilikan individu. Dalam konteks sejarah formulasi hukum pidana islam,
patut dipertimbangkan oleh penguasa atau hakim untuk menggunakan wewenang
kebijakan demi pengembangan dan pembaharuan.
Hudud adalah bentuk jamak dari hadd yang menurut
bahasa berarti menahan (menghukum, mencegah, mengekang, atau melarang). Olah
karena itu, hudud merupakan peraturan yang bersifat membatasi atau mencegah,
sekaligus merupakan undan-undang dari Allah yang berkenaan dengan halal dan
haram. Menurut istilah, hudud berarti sanksi-sanksi bagi orang yang melanggar
hukum dengan dicambuk, dirajam, atau anggota badannya dipotong.
Persoalan pendekatan terhadap hukuman pidana itu
mungkin juga ditentang karena dianggap sebagai diskriminasi berdasarkan agama
menyimpang persamaan konstitusional di depan hukum.
Al-na'im kembali
menegaskan bahwa gambaran-gambaran diskriminasi terhadap perempuan dan non
muslim hanya dapat diselesaikan dengan revisi pundamental terhadap berbagai
asumsi dasar dan orientasi Syariah historis
Daftar pustaka
Izomiddin. 2018. Pemikiran dan Filsafat
Hukum Islam.Jakarta: Prenada Media Group
Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Santoso, Topo. 2003. Membumikan
Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema
Insani Press
Alhafidz, Ahsin. 2013. Kamus Fiqh.
Jakarta: Pena Grafika