POLITIK
HUKUM (KELUARGA) ISLAM DI BRUNAI DARUSSALAM
A. Pendahuluan
Negara Brunei
mempunyai otoritas tidak hanya meliputi seluruh pulau Borneo tetapi juga
beberapa bagian pulau-pulau Sulu dan Fhilipina. Pada abad ke-18 dan ke-19
kekuasaan kesultanan Brunei mulai berkurang akibat adanya konsesi yang dibuat
dengan Belanda, Inggris, Raja Serawak, British North Borneo Company. Perlu
diketahui di Brunei Darussalam terjadi perjanjian kurang lebih sekitar lima
perjanjian yaitu; 1) Perjanjian pada tahun 1847 Sultan Brunei mengadakan
perjanjian dengan Inggris Raya untuk memajukan hubungan dagang dan penumpasan
para pembajak. 2) Perjanjian kedua pada tahun 1881 yaitu perjanjian negara
brunei berada dibawah proteksi Inggris Raya. 3) Perjanjian pada tahun 1856
intervensi Inggris dalam tulisan hukum Brunei (intervensi ) 4) Perjanjian pada
tahun 1888 tentang bidang kekuasaan kehakiman di Brunei (pembagian kekuasaan
kehakiman dengan pihak Inggris). 5) Perjanjian pada tahun 1906 tentang
kekuasaan dalam bidang hukum (kekuasaan intervensi perundangan-undangan,
pentadbiran keadilan, dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan ).
Perjanjian-perjanjian
tersebut menimbulkan efek yang sangat jelas bagi perkembangan hukum di negara
Brunei. Brunei Darussalam memiliki kekuasaan kehakiman yang terpisah yaitu
kekuasaan kehakiman Inggris dan kekuasaan kehakiman Brunei. Sungguh
mengherankan bukan suatu negara mempunyai kekuasaan kehakiman yang lain
disamping kekuasaan kehakiman Brunei. Disamping itu pula Inggris mempunyai
kekuasaan untuk intervensi dalam urusan perundang-undangan kehakiman masalah
negara terkecuali perkara-perkara agama islam. Terlihat jelas sekali bahwa
perjanjian-perjanjian denagan pihak Inggris banyak berdampak negatif yaitu
merugikan bangsa Brunei dalam hal mereka sebagai bangsa yang ingin
merdeka.faktor-faktor yang menyebabkan Brunei selalu terposok atau tersudut
dalam perjanjian kemungkinan karna lemahnya sultan dalam menghadapi
tekanan-tekanan Inggris dan juga lemahnya pengetahuan strategis politik sehingga
terjadi ketidak adilan dalam pembagian kekuasaan. Seperti pada etisi yang
diajukan pada Kesultanan Brunei kepada seluruh Jaya British pada 2 Juli 1986
dimana petisi itu berisi dua tuntutan dari kedua petisi hanya masalah nomor
satu yang disetujui oleh Inggris dan tidak dilanjuti dengan mengembangkan
Mahkamah Syari’ah sedangkan yang kedua ditolak karena isinya bertentangan
dengan isi perjanjian tahun 1906.
Mahkamah syari’ah
Bunei hanya dibenarkan melaksanakan Undang-undang Islam yang berkaitan denagn
perkara-perkara kawin, cerai, dan ibadah (khusus). Sedangkan masalah yang
berkaitan dengan jinayah diserahkan kepada Undang-undang Inggris yang
berdasarkan Common Law England. Untuk seterusnya peraturan dan
perundang-undangan di Brunei terus-menerus mengalami perombakan.
B. Asal-Usul Brunai Darussalam
Silsilah kerajaan
Brunei didapatkan pada Batu Tarsilah yang menuliskan Silsilah Raja-Raja
Brunei yang dimulai dari Awang Alak Betatar, raja yang mula-mula memeluk agama
Islam (1368) sampai kepada Sultan Muhammad Tajuddin (Sultan Brunei ke-19,
memerintah antara 1795-1804 dan 1804-1807). Brunei adalah sebuah negara tua di
antara kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Keberadaan Brunei Tua ini diperoleh
berdasarkan kepada catatan Arab, Cina dan tradisi lisan. Dalam catatan Sejarah
Cina dikenal dengan nama Po-li, Po-lo, Poni atau Puni dan Bunlai.
Dalam catatan Arab dikenali dengan Dzabaj atau Randj.
Catatan tradisi lisan
diperoleh dari Syair Awang Semaun yang menyebutkan Brunei berasal dari
perkataan baru nah yaitu setelah rombongan klan atau suku Sakai yang
dipimpin Pateh Berbai pergi ke Sungai Brunei mencari tempat untuk mendirikan
negeri baru. Setelah mendapatkan kawasan tersebut yang memiliki kedudukan
sangat strategis yaitu diapit oleh bukit, air, mudah untuk dikenali serta untuk
transportasi dan kaya ikan sebagai sumber pangan yang banyak di sungai, maka
mereka pun mengucapkan perkataan baru nah yang berarti tempat itu sangat
baik, berkenan dan sesuai di hati mereka untuk mendirikan negeri seperti yang
mereka inginkan. Kemudian perkataan baru nah itu lama kelamaan berubah
menjadi Brunei.
Replika stupa yang
dapat ditemukan di Pusat Sejarah Brunei menjelaskan bahwa agama Hindu-Buddha
pada suatu masa dahulu pernah dianut oleh penduduk Brunei. Sebab telah menjadi
kebiasaan dari para musafir agama tersebut, apabila mereka sampai di suatu tempat,
mereka akan mendirikan stupa sebagai tanda serta pemberitahuan mengenai
kedatangan mereka untuk mengembangkan agama tersebut di tempat itu. Replika
batu nisan P’u Kung Chih Mu, batu nisan Rokayah binti Sultan Abdul Majid
ibni Hasan ibni Muhammad Shah Al-Sultan, dan batu nisan Sayid Alwi Ba-Faqih
(Mufaqih) pula menggambarkan mengenai kedatangan agama Islam di Brunei yang
dibawa oleh musafir, pedagang dan mubaligh-mubaliqh Islam, sehingga agama Islam
itu berpengaruh dan mendapat tempat baik penduduk lokal maupun keluarga
kerajaan Brunei.
Islam mulai
berkembang dengan pesat di Kesultanan Brunei sejak Syarif Ali diangkat menjadi
Sultan Brunei ke-3 pada tahun 1425 M. Sultan Syarif Ali adalah seorang Ahlul
Bait dari keturunan/ pancir dari Cucu Rasulullah Shalallahualaihi Wassallam
yaitu Amirul Mukminin Hasan/ Syaidina Hasan sebagaimana yang tercantum dalam
Batu Tarsilah/ prasasti dari abad ke-18 M yang terdapat di Bandar Sri Begawan,
Brunei. Keturunan Sultan Syarif Ali ini kemudian juga berkembang menurunkan
Sultan-Sultan disekitar wilayah Kesultanan Brunei yaitu menurunkan
Sultan-Sultan Sambas dan Sultan-Sultan Sulu.
Para peneliti sejarah
telah mempercayai terdapat sebuah kerajaan lain sebelum berdirinya Kesultanan
Brunei kini, yang disebut orang Tiongkok sebagai Po-ni. Catatan orang Tiongkok
dan orang Arab menunjukkan bahwa kerajaan perdagangan kuno ini ada di muara
Sungai Brunei awal abad ke-7 atau ke-8. Kerajaan itu memiliki wilayah yang
cukup luas meliputi Sabah, Brunei dan Sarawak yang berpusat di Brunei. Kesultanan
Brunei juga merupakan pusat perdagangan dengan China. Kerajaan awal ini pernah
ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatra pada awal abad ke-9
Masehi dan seterusnya menguasai Borneo utara dan gugusan kepulauan Filipina.
Kerajaan ini juga pernah menjadi taklukan (vazal) Kerajaan Majapahit yang
berpusat di pulau Jawa. Nama Brunai tercantum dalam Negarakertagama sebagai
daerah bawahan Majapahit. Kekuasaan Majapahit tidaklah lama karena setelah
Hayam Wuruk wafat Brunai membebaskan diri dan kembali sebagai sebuah negeri
yang merdeka dan pusat perdagangan penting.
Pada awal abad ke-15,
Kerajaan Malaka di bawah pemerintahan Parameswara telah menyebarkan pengaruhnya
dan kemudian mengambil alih perdagangan Brunei. Perubahan ini menyebabkan agama
Islam tersebar di wilayah Brunei oleh pedagangnya pada akhir abad ke-15.
Kejatuhan Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, telah menyebabkan Sultan
Brunei mengambil alih kepimpinan Islam dari Melaka, sehingga Kesultanan Brunei
mencapai zaman kegemilangannya dari abad ke-15 hinga abad ke-17 sewaktu
memperluas kekuasaannya ke seluruh pulau Borneo dan ke Filipina di sebelah
utaranya. Semasa pemerintahan Sultan Bolkiah (1473-1521) yang terkenal
disebabkan pengembaraan baginda di laut, malah pernah seketika menaklukkan
Manila. kesultanan Brunei memperluas pengaruhnya ke utara hingga ke Luzon dan
Sulu serta di sebelah selatan dan barat Kalimantan; dan pada zaman pemerintahan
sultan yang kesembilan, Hassan (1605-1619), yang membangun susunan aturan adat
istiadat kerajaan dan istana yang masih kekal hingga hari ini.
Pada tahun 1658
Sultan Brunei menghadiahkan kawasan timur laut Kalimantan kepada Sultan Sulu di
Filipina Selatan sebagai penghargaan terhadap Sultan Sulu dalam menyelesaikan
perang saudara di antara Sultan Abdul Mubin dengan Pengeran Mohidin.
Persengketaan dalam kerajaan Brunei merupakan satu faktor yang menyebabkan
kejatuhan kerajaan tersebut, yang bersumber dari pergolakan dalam disebabkan
perebutan kuasa antara ahli waris kerajaan, juga disebabkan timbulnya pengaruh
kuasa penjajah Eropa di rantau sebelah sini, yang menggugat corak perdagangan
tradisi, serta memusnahkan asas ekonomi Brunei dan kesultanan Asia Tenggara
yang lain.
Pada Tahun 1839,
James Brooke dari Inggris datang ke Serawak dan menjadi raja di sana serta
menyerang Brunei, sehingga Brunei kehilangan kekuasaannya atas Serawak. Sebagai
balasan, ia dilantik menjadi gubernur dan kemudian “Rajah” Sarawak di Barat
Laut Borneo sebelum meluaskan kawasan di bawah pemerintahannya. Pada tanggal 19
Desember 1846, pulau Labuan dan sekitarnya diserahkan kepada James Brooke.
Sedikit demi sedikit wilayah Brunei jatuh ke tangan Inggris melalui
perusahaan-perusahaan dagang dan pemerintahnya sampai wilayah Brunei kelak
berdiri sendiri di bawah protektorat Inggris sampai berdiri sendiri tahun 1984.
Pada masa yang sama,
Persekutuan Borneo Utara Britania sedang meluaskan penguasaannya di Timur Laut
Borneo. Pada tahun 1888, Brunei menjadi sebuah negeri di bawah perlindungan
kerajaan Britania dengan mengekalkan kedaulatan dalam negerinya, tetapi dengan
urusan luar negara tetap diawasi Britania. Pada tahun 1906, Brunei menerima
suatu lagi langkah perluasan kekuasaan Britania saat kekuasaan eksekutif
dipindahkan kepada seorang residen Britania, yang menasihati baginda Sultan
dalam semua perkara, kecuali yang bersangkut-paut dengan adat istiadat setempat
dan agama.
Pada tahun 1959,
Brunei mendeklarasikan kerajaan baru yang berkuasa memerintah kecuali dalam isu
hubungan luar negeri, keamanan dan pertahanan di mana isu-isu ini menjadi
tanggung jawab Britania. Percobaan untuk membentuk sebuah badan perundangan
pada tahun 1962 terpaksa dilupakan karena terjadi pemberontakan oleh partai
oposisi yaitu Partai Rakyat Brunei dan dengan bantuan Britania, pemberontakan
ini berhasil diberantas. Pada akhir 1950 dan awal 1960, kerajaan Brunei ketika
itu menolak rencana (walaupun pada awalnya menunjukkan minat) untuk bergabung
dengan Singapura, Sabah, Sarawak, dan Tanah Melayu untuk membentuk Malaysia dan
akhirnya Sultan Brunei ketika itu berkehendak untuk membentuk sebuah negara
yang merdeka.
Pada 1967, Omar Ali
Saifuddin III telah turun dari takhta dan melantik putra sulungnya Hassanal
Bolkiah, menjadi Sultan Brunei ke-29. Baginda juga berkenan menjadi Menteri
Pertahanan setelah Brunei mencapai kemmerdekaan penuh dan disandangkan gelar
Paduka Seri Begawan Sultan. Pada tahun 1970, pusat pemerintahan negeri Brunei
Town, telah diubah namanya menjadi Bandar Seri Begawan untuk mengenang jasa
baginda. Baginda mangkat pada tahun 1986.
Pada 4 Januari 1979,
Brunei dan Britania Raya telah menandatangani Perjanjian Kerjasama dan
Persahabatan. Pada 1 Januari 1984, Brunei Darussalam telah berhasil mencapai
kemerdekaan sepenuhnya. Saat ini Brunei memiliki wilayah yang lebih kecil
daripada masa lalu, dengan berbatasan dengan Serawak dari sebelah barat sampai
timur wilayah itu, serta sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Kerajaan Brunei
Darussalam adalah negara yang memiliki corak pemerintahan monarki absolut
berdasar hukum islam dengan Sultan yang menjabat sebagai Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan, merangkap sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan
dengan dibantu oleh Dewan Penasihat Kesultanan dan beberapa Menteri. Sultan
Hassanal Bolkiah yang gelarnya diturunkan dalam wangsa yang sama sejak abad
ke-15, ialah kepala negara serta pemerintahan Brunei. Baginda dinasihati oleh
beberapa majelis dan sebuah kabinet menteri, walaupun baginda secara berkesan
merupakan pemerintah tertinggi. Media amat memihak kerajaan, dan kerabat
kerajaan melestarikan status yang dihormati di dalam negeri.
Brunei tidak memiliki
dewan legislatif, namun pada bulan September 2000, Sultan bersidang untuk
menentukan Parlemen yang tidak pernah diadakan lagi sejak tahun 1984. Parlemen
ini tidak mempunyai kuasa selain menasihati sultan. Disebabkan oleh
pemerintahan mutlak Sultan, Brunei menjadi salah satu negara yang paling stabil
dari segi politik di Asia.
Pertahanan Keamanan
Brunei mengandalkan perjanjian pertahanan dengan Inggris di mana terdapat
pasukan Gurkha yang terutama ditempatkan di Seria. Jumlah pertahanan
keamanannya lebih kecil bila dibandingkan dengan kekayaannya dan negara negara
tetangga. Secara teori, Brunei berada di bawah pemerintahan militer sejak
pemberontakan yang terjadi pada awal dekad 1960-an. Pemberontakan itu
dihancurkan oleh laskar-laskar Britania Raya dari Singapura.
Brunei memiliki
dengan hubungan luar negeri terutama dengan negara negara ASEAN dan negara
negara lain serta ikut serta sebagai anggota PBB. Kesultanan ini juga terlibat
konflik Kepulauan Spratly yang melibatkan hampir semua negara ASEAN (kecuali
Indonesia, Kamboja, Laos dan Myanmar), RRC dan Republik Cina. Selain itu
terlibat konflik perbatasan laut dengan Malaysia terutama masalah daerah yang
menghasilkan minyak dan gas bumi. Brunei menuntut wilayah di Sarawak, seperti
Limbang. Banyak pulau kecil yang terletak di antara Brunei dan Labuan, termasuk
Pulau Kuraman, telah dipertikaikan oleh Brunei dan Malaysia. Bagaimanapun,
pulau-pulau ini diakui sebagai sebagian Malaysia di tingkat internasional.
Raja-raja Brunai
Darusalam yang memerintah sejak didirikannya kerajaan pada tahun 1363 M yakni:
1.
Sultan Muhammad Shah
(1383 -1402)
2. Sultan
Ahmad (1408 -1425)
3. Sultan
Syarif Ali (1425 – 1432)
4. Sultan
Sulaiman (1432 – 1485)
5. Sultan
Bolkiah (1485 – 1524)
6. Sultan
Abdul Kahar (1524 – 1530)
7. Sultan
Saiful Rizal (1533 – 1581)
8. Sultan
Shah Brunei (1581 – 1582)
9. Sultan
Muhammad Hasan (1582 – 1598)
10. Sultan
Abdul Jalilul Akbar (1598 – 1659)
11. Sultan
Abdul Jalilul Jabbar (1669 – 1660)
12. Sultan
Haji Muhammad Ali (1660 – 1661)
13. Sultan
Abdul Hakkul Mubin (1661 – 1673)
14. Sultan
Muhyiddin (1673 – 1690)
15. Sultan
Nasruddin (1690 – 1710)
16. Sultan
Husin Kamaluddin (1710 – 1730) (1737 – 1740)
17. Sultan
Muhammad Alauddin (1730 – 1737)
18. Sultan
Omar Ali Saifuddien I (1740-1795)
19. Sultan
Muhammad Tajuddin (1795-1804) (1804-1807)
20. Sultan
Muhammad Jamalul Alam I (1804)
21. Sultan
Muhammad Kanzul Alam (1807-1826)
22. Sultan
Muhammad Alam (1826-1828)
23. Sultan
Omar Ali Saifuddin II (1828-1852)
24. Sultan
Abdul Momin (1852-1885)
25. Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin
(1885-1906)
26. Sultan
Muhammad Jamalul Alam II (1906-1924)
27. Sultan
Ahmad Tajuddin (1924-1950)
28. Sultan Omar ‘Ali Saifuddien III (1950-1967)
29. Sultan
Haji Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah (1967-kini)
Negara Brunei
Darussalam merupakan salah satu negara kerajaan Islam di utara Kalimantan
berbatasan dengan Lautan Cina Selatan di utara, dan Serawak di barat, dan
timur. Luas : 5765 km. Penduduk: 264.000 (1991). Komposisi penduduk: Melayu
(69%), Asli (5%), Cina (18%), dan bangsa-bangsa lain (8%). Agama resmi Islam
(67%) dengan bermazhab Syafi’i.
Sedang yang lainnya
Budha (14%), Kristen (9,7%) dan lainnya (12%) termasuk agama pribumi suku
dayak. Bahasa resmi Melayu. Ibukota Bandar Sribegawan. Mata uang: Dollar Brunei
(100 Cents). Sumber utama penghasilan negara: gas bumi dan minyak.
Populasi penduduk
Brunei adalah 301.000 yang terdiri dari 70,5 % orang Melayu yang umumnya
bekerja di pemerintahan dan sipil, orang Cina 16 % dimana 80 % nya tidak
terakomodasi sebagai warga negara resmi, dan beberapa kelompok lokal seperti
orang Iban, Kedayan, Kayan, Kenyah, Kiput, Muru dan Tutung, pendatang yang
berjumlah 8,2 % umumnya sebagai pekerja industri yang berasal dari Inggris
6.000 orang, Asia Selatan 4.200 orang, Gurkha 1.000 orang, Korea dan Fhilipina.
Secara historis, Brunei
adalah salah satu kerajaan tertua di Asia
Tenggara. Sebelum abad ke-16, Brunei memainkan peranan penting
dalam penyebaran Islam di Wilayah Kalimantan dan Filipina.
Sesudah merdeka pada tahun 1984,
Brunei kembali menunjukkan usaha serius dalam upaya penyebaran syiar Islam,
termasuk dalam suasana politik yang masih baru.
Di antara
langkah-langkah yang diambil ialah mendirikan lembaga-lembaga modern yang
selaras dengan tuntutan Islam. Sebagai negara yang menganut sistem hukum agama,
Brunei Darussalam menerapkan hukum syariah dalam perundangan negara. Untuk
mendorong dan menopang kualitas keagamaan masyarakat, didirikan sejumlah pusat
kajian Islam serta lembaga keuangan Islam. Tak hanya dalam negeri, untuk
menunjukkan semangat kebersamaan dengan masyarakat Islam dan global, Brunei
juga terlibat aktif dalam berbagai forum resmi, baik di dunia Islam maupun
internasional.
Sama seperti Indonesia yang
mayoritas penduduknya menganut agama Islam dengan Mazhab
Syafi'i, di Brunei juga demikian. Konsep akidah yang dipegang
adalah Ahlussunnah waljamaah. Bahkan, sejak memproklamasikan diri sebagai
negara merdeka, Brunei telah memastikan konsep ”Melayu Islam Beraja” sebagai
falsafah negara dengan seorang sultan
sebagai kepala negaranya. Saat ini, Brunei Darussalam dipimpin oleh Sultan Hassanal Bolkiah. Dan,
Brunei merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara dengan latar
belakang sejarah Islam yang gemilang.
Bahasa Melayu menjadi
bahasa utama, disertai bahasa Inggris, Cina, Iban, dan belasan dialek daerah
yang berjumlah 17 bahasa. Brunei dikenal sebagai salah satu negara terkaya di
Asia karena hasil minyak buminya.
Negara ini mempunyai
otoritas tidak hanya meliputi seluruh Pulau Borneo tetapi juga beberapa bagian
pulau-pulau Suluh dan Fhilipina namun mulai abad ke-17 lebih-lebih pada abad
ke-18 dan ke-19. Kekuasaan kesultanan Brunei mulai berkurang akibat adanya
konsesi yang dibuat dengan Belanda, Inggris, Raja Serawak, British North borneo
Company dan serangan-serangan para pembajak. Pada abad ke-19 wilayah negar
Brunei Darussalam tereduksi menjadi sangat kecil sampai batas-batas yang ada
sekarang.
Pada tahun 1847
Sultan Brunei mengadakan perjanjian dengan Inggris Raya untuk memajukan
hubungan dagang dan penumpasan para pembajak. Perjanjian berikutnya diadakan
pada tahun 1881 yaitu perjanjian negara Brunei berada dibawah proteksi Inggris
Raya. Pada tahun 1963 negara Brunei berbentuk negara Merdeka Melayu Inggris
dengan tidak bergabung dengan federasi Malaysia. Sampai akhirnya tanggal 1
Januari 1984 Brunei Darusalam menjadi negara Kesulatanan yang merdeka dan berdaulat.
Bentuk pemerintahan
Brunei menurut konstitusi di kesultanan dijalankan oleh Majelis Umum, Dewan
Menteri, dan Badan Legislatif. Sultan mempunyai kekuasaan yang sangat besar
kuasa eksekutif tertinggi berada di tangan Sultan sebagai Menteri Besar (Ketua
Menteri).
C. Politik Hukum Islam di Brunai Darussalam
Diperkirakan Islam
mulai diperkenalkan di Brunei Darussalam pada tahun 1977 melalui jalur Timur
Asia Tenggara oleh pedagang-pedagang dari Cina. Islam menjadi agama resmi
negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk Islam dan berganti nama menjadi
Muhammad Shah (1406-1408). Perkembangan islam semakin maju setelah pusat
penyebaran dan kebudayaan Islam, Malak jatuh ketangan portugis (1511) sehingga
banyak ahli agama Islam pindah ke Brunei. Kemajuan dan perkembangan Islam
semakian nyata pada masa pemerintahan Sultan Bolkiah (sultan ke-5), yang
wilayahnya meliputi Suluk, Selandung, seluruh Pulau Kalimantan (Borneo),
Kepulauan Sulu, Kepulauan Balakac, Pulau Banggi, Pulau Balambangan, Matanani,
dan Utara Pulau Pallawan sampai ke Manila.
Pada masa Sultan
Hassan (Sultan ke-9) dilakukan beberapa hal yang menyangkut tata pemerintahan:
1) menyusun institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama memainkan
peranan penting dalam memandu negara Brunei ke arah kesejahteraan. 2) menyusun
adat-istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka,
disamping menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan raja; 3) menguatkan
undang-undang Islam, yaitu hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian.
Pada tahun 1888-1983 Brunei di bawah penguasaan Inggris. Brunei
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 31 Desember 1983. Setelah merdeka,
Brunei Darussalam menjadi sebuah negara Melayu Islam Beraja “ melayu” diartikan
dengan unsur-unsur kebaikan dan menguntungkan. “Islam” diartikan sebagai suatu
kepercayaan yang dianut negara yang bermadzhab Ahlussunnah Wal Jamaah sesuai
dengan konstitusi dan cita-cita kemerdekaannya. “Beraja” adalah suatu sistem
tradisi melayu yang telah lama ada.
Brunei merdeka
sebagai negara Islam dibawah pimpinan Sultan ke-29, yaitu Sultan Hasanah
Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Panggilan resmi kenegaraan Sultan adalah “Ke
Bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan dan Yang Dipertuan
Negara.” Gelar Mu’izzadin Waddaulah “(penata agama dan negara) menunjukkan ciri
keIslaman yang selalu melekat pada setiap raja yang memerintah.
Sultan telah
melakukan usaha penyempurnaan pemerintah, antara lain dengan membentuk Majelis
Agama Islam atas dasar Undang-Undang Agama dan Mahkamah kadi tahun 1955.
Majelis ini bertugas menasehati sultan dalam masalah agama Islam. Langkah ini
yang ditempuh sultan adalah menjadikan Islam benar-benar berfungsi sebagai
pandangan hidup rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara. Untuk itu,
dibentuk jabatan hal ikhwal agama yang tugasnya menyebarluaskan paham Islam,
baik kepada pemerintah beserta aparatnya maupun kepada masyarakat luas. Untuk
kepentingan penelitian agama Islam, pada tanggal 16 september 1985 didirikan
pusat Dakwah, yang juga bertugas melaksanakan program dakwah serta pendidikan
pada pegawai-pegawai agama serta masyarakat luas dan pusat pameran perkembangan
dunia Islam. Di Brunei, orang-orang cacat dan anak yatim menjadi tanggungan
negara. Seluruh pendidikan rakyat (dari TK sampai perguruan tinggi) dan
pelayanan kesehatan diberikan secara gratis. Brunei juga mengembangkan hubungan
luar negeri dengan masuk Organisasi Konferensi Islam, ASEAN, dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Sebelum datangnya
Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei ialah Undang-Undang Islam
yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut
sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan (1605-1619 M) yang
disempurnakan oleh Jalilul jabbar (1619-1652 M).
Pemberian
kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris setelah
ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang membuat aturan :
1.
Bidang kuasa sivil
dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk mengendalikan kes rakyat, kes
rakyat asing dari negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat negara lain jika
mendapat persetujuan kerajaan negara mereka.
2.
Bidang kuasa untuk
menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei dalam kes
tersebut merupakan seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika didalam sesuatu
kes tersebut, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes
itu akan diadili oleh Mahkamah Tempatan.
Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam
bidang hukum diberikan setelah adanya perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian
tersebut Inggris lebih leluasa mendapat kekuasaan yang luas untuk campur tangan
dalam urusan per-Uuan, Pentadbiran keadilan dan kehakiman, masalah negara dan
pemerintahan kecuali dalam perkara-perkara agama Islam.
Karena undang-undang adat dan kedudukan
hukum syara’ dirasa tidak begitu jelas, kesultanan Brunei memberi petisi kepada
Pesuruh Jaya British pada 2 Juli 1906 yang isinya menuntut:
1.
Setiap kasus yang
berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-hakim setempat.
2.
Meminta agar
adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak, dipindah, dan dilanggar
selama-lamanya.
Dari kedua petisi ini, yang disetujui
oleh Inggris hanya masalah nomor satu dan ditindaklanjuti dengan mengembangkan
Mahkamah Syari’ah yang akan mengendalikan urusan-urusan agama Islam. Sedangkan
yang kedua ditolak, penolakan itu didasarkan pada tujuan perjanjian 1906 adalah
untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat sebagai langkah untuk
menyelamatkan Brunei dari kehilangan-kehilangan wilayahnya.
Untuk seterusnya Mahkamah Syari’ah
Brunei hanya dibenarkan melaksanakan undang-undang Islam yang berikatan dengan
perkara-perkara kawin, cerai, dan ibdat (khusus) saja. Sedangkan masalah yang
berkaitan dengan jinayat diserahkan kepada undang-undang Inggris yang
berdasarkan Common Law England.
Peraturan dan perundang-undangan di
Brunei terus menerus dirombak, seperti pada tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri
telah mengundangkan undang-undang agama Islam yang dikenal dengan “Muhammadans
Marriages and Divorce Enactement.” Sampai yang terakhir yaitu dengan
diundangkannya Undang-Undang Majelis Ugama, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi tahun
1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu
berturut-turut undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960,
1961, dan 1967.
Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang
inipun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar
dengan akta Majelis Agama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.
Sebenarnya perundang-undangan ini,
menurut Hooker, didasarkan pada perundangan yang berlaku di negeri Kelantan
dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi Brunei. Peraturan ini
membuat peraturan tentang :
1.
Pendahuluan (Bagian I
pasal 1-4)
2.
Majelis Ugama Islam
(Bagian II pasal 5-44)
3.
Mahkamah syari’ah
(Bagian III pasal 45-96)
4.
Masalah Keuangan
(Bagian IV pasal 97-122)
5.
Masjid (Bagian V
pasal 123-133)
6.
Perkawinan dan
perceraian (Bagian VI pasal 134-156)
7.
Nafkah Tanggungan
(Bagian VII pasal 157-163)
8.
Muallaf (Bagian VIII
pasal 164-168)
9.
Kesalahan (Bagian IX pasal
169-195)
10.
Perkara Umum (Bagian
X pasal 196-204)
Undang-undang keluarga Islam Brunei
yang terdapat dalam Undang-undang Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal
77 bentuk dan kandungannya masih sama dengan undang-undang Majelis Ugama Islam,
Adat Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam undang-undang tersebut masalah
hukum keluarga Islam diatur hanya 29 Bab yaitu di bawah aturan-aturan Marriage
and Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan Maintenance
of Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157-163.
Untuk lebih memberikan wawasan,
sebagian dari aturan ini akan dijelaskan di bawah ini dengan diberikan
perbandingan dengan negara yang berada diwilayah Asia Tenggara yaitu Malaysia
dan Singapura. Alasannya karena ketiga negara ini bertetangga dan mempunyai
kesamaan dalam warisan sosial, budaya dan adatnya, disamping itu madzhab yang
dianut oleh penduduknya adalah madzhab Syafi’i.
1.
Pembatalan
Pertunangan
Perbuatan membatalkan perjanjian
pertunangan oleh pihak laki-laki yang dibuat baik secara lisan maupun secara
tertulis yang dilakukan mengikuti hukum muslim, akan berakibat pada pihak
laki-laki, yaitu harus membayar sejumlah sama dengan banyaknya mas kawin,
ditambah dengan perbelanjaan yang diberikan secara suka rela untuk persiapan
perkawinan. Apabila yang membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan,
maka hadiah pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan
dengan suka rela. Semua pembayaran baik yang digariskan tadi bisa didapatkan
kembali melalui perkawinan. Hal ini tidak dijelaskan dalam fikih Syafi’i secara
eksplisit.
2.
Pendaftaran Nikah
Dalam Undang-undang Brunei orang yang
bisa menjadi pendaftar nikah cerai selain kadi besar dan kadi-kadi adalah
imam-imam masjid, disamping imam-imam itu merupakan juru nikah yang diberi
tauliah untuk menjalankan setiap akad nikah. Orang biasa melangsungkan sebuah
pernikahan adalah orang yang diberi kuasa (tauliah) oleh sultan atau yang
diberi kuasa oleh hukum untuk orang Islam. Tetapi dalam hal kehadiran dan
kebenaran pendaftaran juga diperlukan. Walaupun demikian pernikahan yang tidak
mengikuti aturan ini tetap dilangsungkan (sah), tetapi menurut aturan hukum
muslim dianggap sah dan hendaknya didaftarkan. Sedangkan yang dinamakan
perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti hukum madzhab
yang dianut oleh kedua belah pihak. Aturan-aturan yang berlaku di atas
merupakan reformasi hukum keluarga Islam yang sifatnya regulatory, karena
dengan tidak adanya pencatatan dan pendaftaran tidak menyebabkan batalnya suatu
perkawinan bahkan dalam hal ini ternyata di Brunei terasa lebih longgar
dibanding dengan negara tetangganya, karena dengan tidak mendaftarkan
perkawinan tersebut tidak merupakan suatu pelanggaran.
3.
Wali Nikah
Persetujuan kedua belah pihak dalam
perkawinan sangat diperlukan selain itu wali pengantin perempuan harus
memberikan persetujuan atau kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai
wali raja yaitu apabila tidak ada wali nasab atau wali naab tidak menyetujui
dengan alasan yang kurang tepat hal ini juga terjadi di Malaysia, yang
memberikan aturan tentang keharusan adanya izin wali dalam nikah. Jika tidak
ada wali nasab atau wali tidak memberikan izin dengan alasan yang tidak masuk
akal pengadilan dapat memberikan izin kepada orang lain untuk bertindak sebagai
wali. Di Singapura aturan ini ditetapkan melalui ordonansi muslim 1957 yang
memberikan otoritas kepada kadi untuk menyelenggarakan pernikahan seorang
perempuan yang tidak mempunyai wali nasab, atau walinya tidak memberikan izin
denagn alasan yang tidak masuk akal, asalkan tidak ada halangan berdasarkan
hukum islam.
4.
Perceraian yang
dilakukan suami
Jika perempuan cerai sebelum disetubuhi
maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang
terdahulu dalam masa iddah. Kecuali telah dibenarkan oleh kadi yang berkuasa
dimana ia tinggal.
Dalam Undang-undang Brunei selanjutnya
disebutkan bahwa bagi perempuan yang dicerai dengan talak tiga tidak boleh
nikah lagi dengan suaminya yang terdahulu. Kecuali ia kawin dengan laki-laki
lain denagn cara yang sah dan bersetubuh dengannya kemudian diceraikan dengan
cara yang sah sesuai dengan undang-undang. Peraturan perceraian Brunei yang
lainnya adalah seorang suami bisa menceraikan istrinya denagn talak 1, 2, 3,
denagn hukum Muslim seorang suami mesti memberitahukan tentang perceraiannya
kepada pendaftar dalam tempo 7 hari. Jika seorang perempuan yang sudah menikah
bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada kadi dengan mengikuti hukum
muslim. Apabila suaminya rela hendaknya dia mengucapnya cerai. Kemudian
didaftarkan dan kadi akan mengeluarkan akta perceraian kepada kedua belah pihak
sebagai perbandingan di negara malaysia hukum yang berlaku ternyata membatasi
kebebasan seorang suami muslim untuk menceraikan istriny, lain hal denag hukum
yang berlaku di serawak, jika suami menuntut perceraian pada istrinya maka
ketika dibuktikan bahwa ia tidak bersalah pengadilan akan memberikan waktu 15
hari untuk mempertimbangkan kembali seandainya waktu yang diberikan habis
sedang ia masih dalam keputusannya maka di izinkan kepadanya untuk menceraikan
istrinya dengan membayar denda.
5.
Perceraian dengan talak tebus
Di Brunei juga diberlakukan aturan yang
menyatakan bahwa jika pihak tidak menyetujui perceraian denagn penuh kerelaan
maka kedua belah pihak bisa menyetujui perceraian dengan tebusan atau cerai
tebus talak kadi akan menilai jumlah yang dibayar sesuai dengan taraf kemampuan
kedua belah pihak tersebut. Serta mendaftarkan perceraian itu. Perceraian
dengan cara ini ternyata berlaku juga di Malaysia.
6.
Talak tafwid, fasakh dan perceraian
oleh pengadilan
Perempuan di Brunei bisa memohon kepada
Mahkamah Kadi untuk mendapatkan perceraian lewat fasakh. Yaitu suatu pernyataan
pembubaran perkawinan menurut hukum Muslim pernyataan fasakh ini tidak akan
dikeluarkan, kecuali mengikuti hukum Islam dan pihak perempuan dapat memberikan
keterangan dihadapan sekurang-kurangnya dua saksi denagn mengangkat sumpah atau
membuat pengakuan. Bagi para istri di Malaysia, pihak istri diberikan hak untuk
mengajukan perceraian dengan alasan bahwa suaminya impoten sedangkan di
Singapura pengadilan dapat menerima tuntutan dari kaum perempuan muslimah untuk
mengadakan perceraian (fasakh) dan memutuskannya berdasarkan hukum keluarga
Islam.
7.
Hakam (Arbitrator)
Apabila selalu muncul masalah antara
suami dan istri maka kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau
hakam dari keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui
keadaannya. Kadi memberikan petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan arbiterase
dan harus melaksanakannya sesuai dengan hukum Muslim, apabila kadi tidak
sanggup atau tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam kadi akan mengganti
dan mengangkat hakam yang lain. Haruslah di angkat seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, kedua hakam yang diangkat
itu adalah orang yang terpercaya dengan persetujuan suami istri dan kedua suami
istri itu mewakilkan kepada kedua hakam untuk kumpul lagi atau bercerai apabila
kedua hakam itu berpendapat demikian.
8.
Rujuk
Dalam Undang-undang ini disebutkan
adanya rujuk setelah dijatuhkannya talak, yaitu apabila cerainya dengan talak
satu atau dua. Tinggal bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan kerelaan
kedua belah pihak denagn syarat tidak melanggar hukum Muslim dan kadi harus
mendaftarkan untuk tinggal bersama. Apabila perceraian yang bisa dirujuk
kembali dilakukan dengan tanpa sepengetahuan istri maka ia tidak dapat diminta
untuk tinggal bersama sampai diberitahukan tentang perkara itu. Kemudian jika
setelah menjatuhkan talak yang masih bisa dirujuk kembali pihak suami
mengucapkan rujuk dan pihak istri menerimanya, maka istri dapat diperintahkan
kadi untuk tinggal bersama tetapi pihak tersebut tidak bisa dibuat sekiranya
pihak istri tidak memberi kerelaan.
9.
Nafkah dan tanggungan
anak
Pembicaan nafkah hanya dipakai dlam
tuntutan yang dibuat oleh orang Islam terhadap orang Islam yang lainnya. Yang
termasuk kedalam ini adalah para istri, anak sah yang masih belum dewasa, orang
yang tidak mampu membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak diluar
nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan berdasarkan hukum Muslim yang
dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak diluar nikah, Mahkamah
Kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai. Perintah bisa dikuatkan
melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi Besar.
10.
Sistem Perwakafan
Negara Brunei Darussalam menyerahkan segala urusan mengenai
wakaf kepada Majlis Ugama Islam yaitu berdasarkan peruntukan undang-undang yang
tercantum dalam Undang-Undang Negara Brunei Darussalam yaitu Akta Majelis Ugama
Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi Penggal 77 dalam bab 98 dan 100.
a.
Sistem Perwakafaan
Secara umum sistem perwakafan di Negara Brunei Darussalam
terbagi kepada dua bentuk: tidak terdaftar dan terdaftar.
1)
Secara Tidak Terdaftar
a)
Sistem perwakafan
serupa ini terjadi di Negara Brunei Darussalam apabila seorang hamba Allah
mewakaf sesuatu kepada pihak-pihak tertentu seperti uang, kelengkapan peralatan
dan lain-lain secara tidak bertulis hanya dilafalkan secara lisan saja. Timbang
terima kedua belah pihak diperlukan secara lisan apabila kedua belah pihak
bersetuju untuk memberi dan menerima harta yang diwakafkan.
b)
Kadang-kadang
perwakafan itu dapat juga terjadi tanpa diketahui oleh pihak kedua yaitu orang
yang menerima harta wakaf tersebut. Contohnya seorang hamba Allah mewakafkan
sebuah Al-Quran di masjid tanpa diketahui oleh pegawai dan pengurus masjid.
2)
Secara Terdaftar
Sistem perwakafan seperti ini terjadi
apabila seorang hamba Allah mewakafkan jenis-jenis harta tidak bergerak seperti
tanah dan bangunan dengan menentukan pergantian nama pemilik secara yang sah
menurut peraturan perundang-undangan. terhadap sistem perwakafan seperti ini
contohnya tanah, apabila wakaf seseorang itu telah diterima, dilafalkan dan
disahkan oleh pihak-pihak tertentu, maka urusan penggantian hak milik tanah
dari orang yang berwakaf kepada Majlis ugama Islam akan diselesaikan oleh
Majlis Ugama Islam selaku pihak yang akan mengurus harta wakaf.
b. Jenis-jenis Wakaf
Harta wakaf
yang diurus dan dikendalikan oleh Majlis Agama Islam dapat dibagikan kepada dua
jenis yang terdiri atas:
1)
Wakaf Khas
Wakaf khas adalah merupakan wakaf yang telah ditentukan
sendiri oleh seorang yang berwakaf. Contohnya sebidang tanah telah diwakafkan oleh
seorang hamba Allah dan tanah yang diwakafkannya itu telah ditentukannya untuk
kegunaan-kegunaan tertentu misalnya untuk didirikan masjid. Oleh yang demikian
wakaf serupa ini adalah dinamakan Wakaf Khas.
2)
Wakaf Am
Wakaf am pula adalah merupakan wakaf yang tidak ditentukan
secara khusus kegunaannya oleh orang yang berwakaf. Bagi wakaf jenis ini Majlis
Ugama Islam yaitu bebas untuk menentukan tindakan-tindakan yang patut dibuatnya
ke atas harta wakaf jenis ini.
a)
Institusi yang mengurus
wakaf dan Prosedur berwakaf
Institusi yang dipertanggungjawabkan di Negara Brunei
Darussalam dalam mengurus persoalan harta wakaf secara terdaftar adalah Majlis
Ugama Islam. Pengurusan yang dijalankan adalah harus berdasarkan jenis wakaf
yang dilafazkan oleh orang yang berwakaf. Perlaksanaan awal atau prosedur yang
akan dilakukan oleh pihak yang berwakaf adalah seperti berikut:
(1)
Mengantar surat
permohonan untuk berwakaf.
(2)
Apabila wakaf diterima,
dapat melafazkan wakaf di hadapan Hakim.
(3)
Disampaikan ke Jabatan
Tanah.
(4)
Perlaksanaan wakaf oleh
pihak-pihak berkenaan mengikut jenis wakaf yang dilafazkan.
Terhadap wakaf yang tidak terdaftar,
pengurusannya diserahkan kepada pihak yang diberikan atau menerima harta wakaf
tersebut. Misalnya sebuah masjid menerima wakaf 100 kitab suci al-Quran, maka
masjid itu sendiri yang akan mengurus segala hal yang berkaitan dengannya.
D. Penutup
Dapat kita ambil
kesimpulan bahwa hukum Islam di Brunei Darussalam mengalami perubahan setelah
adanya perjanjian-perjanjian dengan Inggris yang menyebabkan Inggris campur
tangan dalam urusan kekuasaan kehakiman, keadilan, hukum serta
perundang-undangan. Pelaksanaan hukum Islam secara khusus diserahkan kepada
pemerintah Brunei, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan mahkamah
Syari’ah. Negara Brunei Darussalam mengakomodasi hukum Islam, adat, dan barat
tetapi yang sering sekali digunakan adalah hukum Muslim (Islam). Pengambilan
hukum Islam di brunei secara utuh dikembangkan dari mazhab Syafi’i dan sebagian
besar bersifat regulatory, meskipun demikian ternyata pembaharuan hukum yang
bersifat substansial tidak sejalan dengan Syafi’i sendiri bahkan dengan mazhab
lain seperti masalah iddah yang belum disetubuhi oleh suaminya, kemudian ganti
rugi batalnya perjanjian pertunangan. Kita ketahui hukum di Brunei dipengaruhi
oleh Inggris melalui perjanjian-perjanjian sehingga memungkinkan Inggris campur
tangan dan Brunei menjadi pemerintahan bergantung pada Inggris. Andaikan pada
waktu itu Kesultanan Brunei tegas tidak lemah, serta mampu menangani konflik
yang ada di negara brunei mungkin Bruneei menjadi negara-negara yang mempunyai
undang-undang hukum Islam yamg kuat. Strategi kuatnya kekuatan negara dalam
menghadapi persoalan menjadi hal yang penting di Brunei dan seluruh negara.
Semoga Brunei terus-menerus melakukan pembaharuan hukum dan tidak menyimpang
jauh dari hukum islam sehingga tidak tertinggal dwengan negara-negara lainnya
dan diharapkan pengetahuan hukum Islam di brunei menjadikan kita lebih yakin
dan percaya bahwa hukum Isalm yang kita gunakan adalah hukum yang benar yang
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah katrena negara lain seperti Brunei
berprinsip yang sama dengan umat Islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdu Karim Barakatullah, dkk, Hukum Islam:
Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006
Atho Mudzhar dan Khoerudin Nasution, Hukum
Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003
David Leake, JR., Dalam John L. Eposito
(Ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, New York:
Oxford University Press, 1995
Dedi Supriyadi, Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Islam, Bandung: al-Fikriis, 1998
Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Mahkamah
Syari’ah di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya, dalam Mimbar
hukum No. 23 Tahun VI, 1995
http// :www
hukumislamdibruneidarussalam. Com., diunggah pada tanggal 10 April 2016
Inamulah khan (Ed), The World
MuslimGazeteer, Delhi: International Islamic publisher, 1992
Khoirudin Nsution, Hukum Perdata (Keluarga)
Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta:
ACAdeMIA, 2013
Redaksi Ensiklopedia, Ensiklopedia
Islam
Saifullah, Sejarah & Kebudayaan Islam di
Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Tahir Mahmood, Personal Law in
Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, New Delhi:
Academy of Law and Religion, 1978
……., Family Law Reform in the muslim
world, Bombay: N.M. Tripathi pvt. Ltd., 1972
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1.
Pulau Brunai
Darussalam
2.
Lokasi Brunai di
Tenggara Asia
3.
Bendera Brunai
Darussalam
David Leake, JR.,
Dalam John L. Eposito (Ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic
World, (New York: Oxford University Press, 1995), Cet. 1, hal. 232
Tahir Mahmud, Personal
Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, (New
Delhi: Academy of Law and Religion, 1978), h. 198-199.
http// :www hukumislamdibruneidarussalam.
Com., diunggah pada tanggal 10 April 2016