PUASA,
KEJUJURAN, DAN KEDISIPLINAN
Rudy Irawan, M.S.I.
Puasa secara bahasa al-imsak artinya menahan diri. Para Ulama
mendefinisikan, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan suami
isteri, dan hal lain yang membatalkan puasa dari fajar shadiq hingga terbenam
matahari. Kira-kira 14 jam untuk kaum Muslim di daerah tropis. Ada saudara kita
yang puasanya sampai 19 jam. Namun karena ibadah puasa ini merupakan ibadah
yang menguji kejujuran, maka rintangan, cobaan, dan godaan apapun, semua akan
berlalu saja, dan tidak berpengaruh pada pelakunya.
Kejujuran ini adalah inti dari keimanan seorang hamba kepada Allah.
Dalam bahasa Rasulullah saw, “laa imaana li man laa amaanata lahu” artinya
“tidaklah ada iman (bagi seseorang) yang tidak bisa dipercaya baginya”. Orang
yang berpuasa ia akan selalu dalam kesadaran penuh untuk menahan diri dari
makan, minum, hubungan suami istri, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan
puasanya. Sebagai pekerja kantor, apalagi pejabat, yang dalam ruangan ia
sendirian, ber-AC, di kulkas tersedia teh, kopi, susu, dan makanan lainnya, tak
ada CCTV, ia merasa nyaman dengan puasanya, tidak tergoda untuk mengambilnya.
Kata Fakhrur Rozi (2019), “ada orang yang gagah, pejabat, yang dengan “bangganya”,
makan, minum, merokok, dan lain sebagainya”. Kala ditanya, “mengapa Anda tidak
berpuasa, bahkan merokok, makan, dan minum”? Dengan enaknya ia menjawab : “Hati
saya puasa, tetapi jasmani saya tidak mampu. Karena itu, saya merokok, makan
dan minum”. Bahkan ia mengatakan, “fikiran Anda belum nyampai (nyandak)”.
Ketika
ditanya dengan nada agak marah, bahkan “ditempeleng” balik bertanya, “kenapa
Anda menempeleng saya”, dijawab: “Saya niatnya mengelus pipi Anda, berarti ilmu
Anda belum sampai untuk memahami antara niat dan tindakan saya untuk
mengingatkan Anda”.
Sejatinya puasa memang menguji kejujuran dan keikhlasan. Banyak orang
yang pekerjaan sehari-harinya sangat berat, seperti tukang becak, pekerja kasar
di jalanan dengan sengatan matahari, namun mereka tetap berpuasa. Sementara
banyak orang yang bekerja di ruangan sejuk, ber-AC, namun gagal berpuasa.
Rasulullah saw menyebut bahwa “puasa itu adalah benteng”. Artinya orang yang
menjalankan ibadah puasa dengan dasar keimanan dan muhasabah (introspeksi
diri), maka Allah mengampuni dosa-dosanya selama satu tahun yang lewat.
(Riwayat al-Bukhari).
Puasa mendidik kita berdisiplin dalam segala hal. Disiplin untuk tidak
menyentuh yang halal sekalipun, kala belum waktunya tiba. Semua makanan sudah
tersedia, bahkan istri cantik, di saat-saat bulan madu misalnya, semua akan
dibiarkan berlalu, karena memang belum waktunya.
Saudaraku, seandainya, kita semua, seluruh penduduk negeri ini, dapat
menjalankan ibadah puasa dan mengimplementasikan makna dan pesan puasa, menjadi
orang-orang yang menjunjung tinggi kejujuran dan kedisiplinan, boleh jadi
negeri kita ini sudah menjadi negara yang hebat dan disegani dunia. Pasti tidak
akan ada korupsi, tidak ada nepotisme, tidak ada operasi tangkap tangan (OTT),
karena mereka akan bekerja on the track atau berada di jalan yang benar.
Puasa menyuratkan pesan yang sangat indah dan mulia. Yakni mendidik
sifat, sikap, dan perilaku jujur dan disiplin pada seluruh rakyat, yang rasanya
di negeri ini masih sangat kurang, untuk tidak mengatakan tidak ada sama
sekali. Karena itu, kita semua berharap, agar melalui ibadah puasa ini, yang di dalamnya terdapat malam lailatul
qadar, yang lebih utama dari seribu bulan, kita mampu meningkatkan sifat,
sikap, dan prilaku yang jujur dan disiplin dalam segala hal.
Semoga Allah memberkahi niat dan usaha kita bersama. Selain itu, mari
kita ciptakan budaya jujur dan disiplin. Kebiasaan yang baik, karena
diulang-ulang terus, maka akan menjadi habit, reflek, yang tidak lagi memerlukan
kerja otak kita. Ini manfaat penting dari pelaksanaan ibadah puasa dalam
membangun kejujuran dan kedisiplinan diri, agar hidup kita menjadi lebih sukses
dan bermanfaat bagi masyarakat, sehingga
kita layak menjadi manusia terbaik. Allah a’lam bi sh-shawab